NYAWANYA rasa-rasanya seolah seperti baru saja di tarik dari tubuh kemudian di lepaskan lagi dan mendatangkan rasa sakit pada sekujur tubuhnya. Desisan lantas lolos dari kedua belah bibir pemuda kelinci tersebut, sembari membuka sepasang tirai matanya secara perlahan-lahan guna menyusaikan kontras cahaya matahari yang masuk, Alvin serta-merta membuka mata hanya untuk merasakan kepalanya berdenyut sakit gila-gilaan. Seakan-akan ia baru saja di hantam gada dengan kekuatan maksimal tepat di atas ubun-ubun kepalanya, menghantarkan rasa berkunang-kunang pada pandangannya tiap kali ia bergerak. Pemuda serupa kelinci tersebut berdecak sebal ketika pening di kepala tidak kunjung membaik bahkan setelah ia berusaha tenang guna menetralisir denyutan demi denyutan nan datang, namun nihil, Alvin malah semakin merasa sakit kepala di buatnya. Tangannya pun beralih mengurut pelipis, berharap dapat mengurangi setidaknya sedikit sakit dari kepalanya yang terasa berputar-putar.
Alvin mengerjapkan mata beberapa kali, tanpa perintah otaknya mulai bekerja guna mencerna mengenai potongan demi potongan adegan sebelum gelap menjemputnya dan dia terbangun berhadapan dengan langit-langit putih pucat membosankan serta aroma samar obat-obatan. Apakah dia benar-benar pingsan di lapangan utama sekolah, di tonton satu penduduk Bina Bangsa dan berakhir terbangun di atas ranjang UKS begini? Sial. Pingsan dengan tidak keren begitu merupakan aib kehidupannya. Departemen ingatan sialan! Ingatan ini tak pantas untuk ia ingat kembali, Alvin justru mendadak berharap dia di diagnosis amnesia saja agar tidak dapat mengingat setiap sekon kejadian memalukan ini. Noda sialan dalam hidupnya. Bibirnya pun mulai memaki, menyumpah serapahi dan mengutuk diri sendiri karena telah bertindak tidak keren demikian.
Alvin mulai mengkhawatirkan citra yang telah ia bangun selama hidup tetapi hancur dalam sekejap mata. Hanya karena trik murahan belaka. Ini aib! Alvin sangat-sangat tidak menerima kenyataan pahit ini! Tidak, tidak! Ini bukan kenyataan, ini hanya mimpi! Pasti cuma mimpi. Ini tidak benar-benar terjadi. Mana mungkin! Argh, sial! Alvin merasa kepalanya akan meledak sebentar lagi sebab terus-menerus mengingat reka ulang adegan memalukan itu, terus-menerus, seolah tubuh ini tidak lagi berada di bawah kontrolnya.Menyebalkan! Menjengkelkan! Menjijikan!
Dan semuanya terjadi karena Jessica adalah pelaku utamanya.
Sial! Sial! Sial!
Alvin akan membalaskan rasa menyedihkannya ini, pasti! Dia takkan tinggal diam saja.Yah, pemuda kelinci tersebut apabila di tanya secara mendalam dan menyeluruh mengenai kejadian menghebohkan ini juga tidak akan berkelit atas alasan dan dasar mengapa gadis serupa boneka nan bar-bar tersebut mengamuk sedemikian rupa kepadanya. Alvin tidak akan menepis segala tuduhan, sungguh, dia mengakui semua tindakannya memang menyebalkan, tetapi itu inti dari segala tindak-tanduknya selama ini, yaitu hanya demi membuat Jessica terbakar api amarah. Alasannya apalagi kalau bukan untuk bersenang-senang semata, sebab siapa di sekolah ini yang berani mengganggu gadis bar-bar tersebut jikalau bukan dia? Tentu saja tidak ada, mereka masih sayang nyawa. Oleh karena itu Alvin berbaik hati ingin membantu mereka yang selalu menjadi objek kenakalan Jessica yakninya dengan mengganggu kehidupan sehari-hari puan tersebut.
Sederhana, bukan? Akan tetapi dari sekian banyaknya bentuk aksi pembalasan dendam, mengapa Jessica harus memilih mengerjainya dengan sebuah pistol mainan? Kenapa?! Mengapa?! Apa alasannya?! Alvin benar-benar tidak mengerti lagi. Dia benar-benar mengira akan mati hari ini, bahkan dia sudah merapalkan doa sembari menyiapkan kata-kata di dalam hati agar Yang Maha Kuasa memberikan kebahagiaan bagi keluarganya. Ya, sebegitu takutnya Alvin pagi tadi.Lalu, mari menjawab pertanyaan aneh pemuda kelinci tersebut. Jelas saja! Jessica tentu ingin membalas semua perilakunya dengan cara tersadis sekaligus epik yang ia miliki dan Alvin menolak untuk memahami.
Hei! Harga dirinya kini tercoreng!
"Ck! Dasar cewek berengsek!"
Pemuda kelinci tersebut agaknya tersentak kaget tatkala tirai yang mengitari ranjangnya di buka kasar dan menampilkam seraut wajah khawatir teman-temannya. Yah, tidak juga sepenuhnya khawatir kalau boleh bilang apabila di sana Daniel masih sempat-sempatnya tertawa mengolok-olok kondisi menyedihkannya ini. Menyebalkan sekali.
"Heh! Lo nggak papa? Mau gue panggilin dokter?" tanya Thomas, pemuda itu menghela napas lega kala Alvin menggeleng dan mengibaskan tangannya seolah mengatakan, ia tidak perlu dokter sekarang. "Syukur deh lo masih hidup. Gue kira lo mati, anjing!"
"Yaa nggak usah kasar, bangsat!" Alvin mendelik sinis.
Daniel kemudian mendaratkan bokongnya di ranjang sebelah, melepas sepatu dan menaikkan kaki untuk di silangkan sembari menarik bantal ke atas pangkuan. Pemuda dengan tubuh penuh otot itu geleng-geleng kepala tidak habis pikir saat menatap Alvin yang mana membuatnya mengingat peristiwa yang menggemparkan Bina Bangsa hari ini. Daniel berpikir kejadian hari ini merupakan mimpi belaka kalau-kalau dia tidak langsung melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. "Gila! Gue masih syok sampe sekarang tau nggak lo-lo pada!" celetuknya tidak lama setelahnya, ia menatap tiga manusia di sana secara bergantian dan menarik napas pendek. "Gue pikir dia beneran beli pistol buat ngebunuh anak ini. Secara anak konglomerat, beli barang begituankan gampang. Sat-set! Beres. Gue bahkan udah mulai ngebayangin gimana jadinya sekolah di cat pake darah lo kayak apa yang Jessica bilang. Sumpah! Psikopat banget itu cewek. Ngeri gue!" sambungnya merinding, ia bergidik ngeri.
Thomas kontan setuju, kepalanya mengangguk-angguk afirmatif lalu mengusap lengannya yang seputih susu tersebut dengan mata menyipit horor. "Gue aja masih merinding sampe sekarang, anjir! Nggak nyangka dendamnya dia ke Alvin sampe bikin sinting separah itu. Gila-gila! Kira-kira ini masuk berita kagak, ya?"
"Apaan. Keluarganya udah turun tangan duluan kali buat nyegah." Daniel membalas sambil mengibas-ngibaskan tangan di udara. Ia menggeleng mantap. "Koneksi keluarganyakan bukan main. Beginian doang cetek buat di tutupin."Gerald manggut-manggut, dia menghela napas kasar selanjutnya. "Secara backingan dia kakeknya. Nyaris semua sektor industri udah di jajah keluarga mereka. Keluarga old money begitu, koneksi di mana-mana. Gue bahkan kalau bisa pengen kerja di perusahaan mereka, di bidang apa aja, gaji dan tunjangan karyawannya sejahtera mampus, Njir! Cewek gue yang bilang."
"Untung nggak mati beneran lu ya, Vin. Tobat nasuha deh lo abis ini, biar berkah dikit hidup lo," tukas Thomas menatap sang kawan.
Alvin menukikkan bibirnya tajam, dia menatap tidak senang. "Lo semua daripada ngekhawatirin gue malah milih muji-muji keluarga si Chucky depan biji mata gue. Beneran bangsat lo bertiga. Gue korban ini, woi!" Mendengar hal tersebut sontak membuat Gerald terkikik menghina pemuda kelinci tersebut, ini benar-benar peristiwa yang spektakuler. Bisa jadi cuma ada satu kali ini saja dalam sejarah sekolah mereka. Oleh karenanya ia akan menghina dan mengejek Alvin sampai ia bosan nanti. "Tapi seriusan, gue beneran mau nelepon agen batu nisan buat lo, Vin. Organ-organ lo rencananya mau gue sumbangin ke yang membutuhkan biar akhir hayat lo berguna dikit," ujarnya menimpali jahil. Gerald tersenyum miring. "Beneran setakut itu lo sampe pingsan di depan satu sekolah begini?"Kan. Harga dirinya benar-benar tercoreng brutal akibat kejadian ini.
Alvin semakin merasa gondok bukan kepalang, ia pun menendang lengan atas Gerald dengan gesit guna menyampaikan kejengkelannya sementara si empu justru tertawa. "Bajingan lo! Coba di posisi gue tadi, njing, biar tau rasanya hidup dan mati lo di pertaruhkan. Gue juga mikir beneran bakal di bikin koid sama dia. Sialan. Ternyata cuma prank doang. Mau ngamuk gue rasanya! Tengsin gue, bangsat, tengsin!"Mereka bertiga langsung terbahak-bahak mendengar curahan hati pemuda kelinci tersebut dan Gerald hanya bisa mengirimkan dua tepukan bela sungkawa pada lengan sang kawan. "Makanya tobat. Kan gue udah bilang, jangan nyari lawan mulu. Jangan nyari gara-gara. Jangan nyari pekara. Jangan nyari mati. Nyawa lo cuma satu, goblok! Nggak ada suku cadangnya kek motor, cok jancok! Ngeyel amat di bilangin. Sekarang rasain dah tuh sensasinya, mau matikan lo rasanya?"
“Lo nggak jadi gue sih!”
“Dih! Ogah gue jadi orang nggak ada otak kayak lo! Mohon maaf!” Gerald menukikkan bibirnya tajam dan menatap keki ke arah Alvin.
“Ck! Setan kalian! Minggat sono! Makin pusing kepala gue, nih!” gerutu pemuda kelinci itu sebal.
“Jujur deh, Vin. Lo kenapa ngebet banget sih gangguin Jessica?” tanya Daniel penasaran bukan main. “Secara di sekolah ini bahkan anak-anak geng yang lain tunduk semua sama dia kecuali elo yang menantang maut terus-terusan. Apalagi backingan tuh cewek bukan sembarangan orang. Sekali liat aja, udah, tamat hidup lo.”
Alvin mengerutkan keningnya; keheranan. “Jadi inti pertanyaan lo?”
“Bangsat! Yang tadi! Kenapa lo ngebet banget gangguin Jessica?! Dasar setan lo!” balas Daniel, emosi juga di buatnya.
Sang lawan bicara terkekeh geli, sudah paling ahli dia dalam hal menyulut kemarahan orang lain. Alvin berdeham kemudian, agak lama guna mencari-cari satu jawaban. “Hmmm … suka aja?”
Daniel menatap datar. “Udah gue duga. Ada yang konslet di otak. Lo. Transplantasi otak sana!”
“Transplantasi juga tuh nilai fisika lo! Bisa-bisanya cuma dapet 28. Lo dongo apa beneran goblok?” tandas Alvin dan melihat wajah frustasi Daniel, ia tahu ia memenangkan perdebatan.
“Argh, sat! Gue makin kepikiran, anjeng! Emak gue pasti ngemaki-maki lagi nih pas pulang!”
Tatkala Daniel sibuk mengumpat dan menyalahkan guru bidang studi yang melaporkan rentetan nilai sang teman yang tak kunjung mengalami peningkatan. Thomas mengetuk betisnya beberapa kali. “Terus abis ini lo mau ngebales Jessica?” tanyanya. “Secara satu sekolahan nontonin lo pingsan. Malu pasti.”
“Dia mana pernah punya malu sih,” hina Gerald tanpa menatap Alvin, pemuda itu sibuk saling bertukar pesan dengan kekasihnya. "Kalau punya mah, dunia udah mau kiamat keknya."
Lagi-lagi Alvin mengumpat memaki temannya sejak kelas satu tersebut. Ia mendengus kasar, “Nggak tau deh gue! Gila! Kepala gue masih sakit banget, pusing cok! Sial!”
“Mending nggak usah nyari gara-gara lagi, deh. Sayang-sayang nyawa lo mulai sekarang, kasian, terancam punah mulu gara-gara lo,” tutur Gerald memberi nasihat seraya melirik sekilas Alvin dan selanjutnya mengetuk pelipisnya dua kali. “Gunain otak berdebu lo.”
Dari kebungkaman pemuda kelinci tersebut Gerald mengira sekurang-kurangnya sang teman akan mulai berpikir jernih, menggunakan nalar dalam bertindak atau memutuskan berhenti menantang maut. Akan tetapi atensi mereka terpusat tatkala Alvin melompat turun dari ranjang, anak laki-laki itu mengangguk penuh keyakinan dan mengepal kuat sepasang tangannya di udara.
“Kesimpulan yang dapat gue petik dari saran-saran lo adalah … ” Alvin tersenyum kalem dan memberikan Gerald dua tepukan di pundak. Ia melanjutkan kepalang ringan. “ … gue makin yakin buat gangguin dia. Gue harus tetap balesin dendam orang-orang yang dia gangguin termasuk gue dengan cara yang sama juga. Daah, gue cabut duluan!”
Belum sempat bagi mereka untuk memproses seluruh kalimat yang Alvin layangkan dan si empunya telah menghilang dari balik pintu. Mereka menghela napas tak percaya.
Thomas kemudian menatap datar dua temannya sembari mengangkat ponselnya seraya berkata, “Jadi … agen batu nisan mana yang perlu kita telepon?”
APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di