Ia menegakkan punggung. Berdiri tegak sambil menatap benci pada ibunya. “Besok jam 12 siang, di kantor pengacara keluarga kita, aku mau kita melakukan tanda tangan penyerahan perusahaan.”
“Kalau Mommy tidak datang, jangan salahkan aku bila penyiksaan Hanae naik ke kantor polisi. Kalau Mommy berani menyerang atau membunuhku seperti Mommy membunuh Daddy, semua ini akan menyebar!” ancamnya serius. “Dunia akan tahu betapa Mommy adalah seorang pembunuh berdarah dingin! Mereka akan tahu siapa sebenarnya di balik topeng aristokrat menjijikkan yang Mommy pakai selama berpuluh-puluh tahun!” Sebelum berbalik, ia menegaskan sekali lagi. “Pilihan ada pada Mommy! Apa pun yang Mommy pilih, akulah pemenangnya! Besok siang datang dan tanda tangan, atau semua kebusukan menyebar detik itu juga!” Langkah kakinya lalu berayun menuju pintu keluar. Tidak peduli dengan rintihan ibu yang sudah melahirkannya, Xavion sudah teramat hancur dengan ber“Hemofilia adalah kelainan yang terjadi akibat keturunan. Orang dengan hemofilia tidak memiliki zat tertentu secara cukup untuk bisa membuat darah beku dan berhenti menetes saat luka,” terang dokter pada Xavion. “Ayah atau ibumu tidak pernah mengatakan ini padamu? Apa sejak kecil kamu tidak pernah terluka?”Xavion terengah mendengar hal itu. Batin sontak mengorek kenangan, mencari apakah ia pernah terluka dan mengalami kondisi hemofilia seperti sekarang.“Aku ... uhm, tergores pisau atau pinggiran kaleng tajam sepertinya pernah. Hanya luka kecil? Aku tidak tahu, aku tidak ingat,” gelengnya bingung. Dokter kemudian menunjuk keningnya. “Bagaimana dengan luka di pojok dahi Anda? Itu seperti bekas jahitan. Mungkin dulu saat kecil Anda pernah mengalami kepala bocor?”Secara reflek, Xavion mengusap kepalanya. Ia rasakan di pojok dahi bahwa memang ada seperti bekas jahitan di mana kulit terasa bergelombang. “Kalau tidak salah, saat usiaku 11 tahun ... a
Jeritan seorang wanita menggelegar di telinga. Akan tetapi, begitu Xavion menoleh ke kiri, sebuah sepeda motor sudah melaju kencang ke arahnya.“AAAKKK!” pekik Tuan Muda Young saat kendaraan roda dua itu menubruknya cukup kencang.Tubuh Xavion terpelanting ke udara dan orang-orang mulai berteriak. Mendarat di atas aspal, Xavion sontak merasakan sakit luar biasa di bagian betisnya. Celana kainnya sudah sobek panjang dan darah mengalir deras dari betis bagian samping.Sepeda motor yang menabraknya membawa besi konstruksi sepanjang setengah meter. Besi itu sudah menyobek betisnya hingga terlihat kulit terkoyak dan darah mengalir.Bagian dada dan perut atas juga terasa nyeri. Sepertinya tulang rusuk sang jaksa bermasalah entah karena terkena bagian lampu sepeda motor atau karena menghantam aspal.“Telepon 911!” jerit orang-orang. “Kenapa kamu menyebrang tanpa melihat kanan kiri terlebih dahulu?” engah sang pengendara seped
Ia menegakkan punggung. Berdiri tegak sambil menatap benci pada ibunya. “Besok jam 12 siang, di kantor pengacara keluarga kita, aku mau kita melakukan tanda tangan penyerahan perusahaan.” “Kalau Mommy tidak datang, jangan salahkan aku bila penyiksaan Hanae naik ke kantor polisi. Kalau Mommy berani menyerang atau membunuhku seperti Mommy membunuh Daddy, semua ini akan menyebar!” ancamnya serius. “Dunia akan tahu betapa Mommy adalah seorang pembunuh berdarah dingin! Mereka akan tahu siapa sebenarnya di balik topeng aristokrat menjijikkan yang Mommy pakai selama berpuluh-puluh tahun!” Sebelum berbalik, ia menegaskan sekali lagi. “Pilihan ada pada Mommy! Apa pun yang Mommy pilih, akulah pemenangnya! Besok siang datang dan tanda tangan, atau semua kebusukan menyebar detik itu juga!” Langkah kakinya lalu berayun menuju pintu keluar. Tidak peduli dengan rintihan ibu yang sudah melahirkannya, Xavion sudah teramat hancur dengan ber
Mendengar pertanyaan putranya, mata Gladys melotot tajam. “Apa kamu sudah hilang akal sehat, hah! Atas dasar apa kamu menuduh Mommy sudah membunuh ayahmu!” Dada wanita beranak satu itu kembang kempis hebat. Wajah merah padam seiring jemari nampak gemetar menahan kemarahan. “Kamu keterlaluan, Xavion!” Akan tetapi, sang pemuda yang sudah frustasi itu hanya tertawa dan menggeleng jengah. “Kalau semua penjahat mengaku, maka aku akan jadi pengangguran. Tentu saja Mommy tidak akan mengakuinya.” “Tapi, aku tahu semua. Aku tahu kalau ternyata Daddy dan Violet Cheng saling mencintai! Dan aku tahu kalau dia sudah beberapa hari pergi dari rumah saat Daddy terbunuh!” desis Xavion. Mata sembab dan bengkaknya menatap Gladys dengan sorot kekecewaan, juga kebencian. Parau suaranya terdengar, “Kesalahan Violet hanyalah meninggalkan baju pelayannya untuk Mommy tetesi darah Daddy.” Gladys kian terengah. Saking marahnya ia berd
Pintu lift terbuka, mereka sudah sampai di lantai satu. Xavion melepas gandengannya pada Hanae dan memilih untuk berjalan dengan jarak sekitar setengah meter di antara mereka.Di tengah lobi ada Ezra sedang menunggu. Kedatangan keduanya ditatap lekat, ia segera berdiri dan melangkah mendatangi. Melihat dua pasang mata bengkak, merah, berair, apa yang harus dia katakan?“Bawalah Hanae pergi. Aku serahkan dia padamu. Jaga dan rawat dia dengan baik. Penuhi janjimu padanya seperti di suratmu dulu. Yaitu, membawanya keluar dari panti asuhan dan memberikan kehidupan yang lebih baik,” ucap Xavion menahan sejuta reruntuhan asa.Ezra mengangguk, lalu mengambil koper Hanae dari tangan sahabatnya. Seolah sebuah simbol di mana setelah ini dia yang akan mengurusi semua hal dalam hidup Hanae. “Aku akan menjaganya dengan sangat baik.”Lalu, ia menatap kepada sang adik angkat. “Kita pergi sekarang, ya?”Hanae tak menjawab. Matanya bergerak menatap ke ara
Suara telapak tangan mengenai kulit wajah nyaring memecah udara di kamar hotel. Hanae menampar Xavion yang sejak pertama diam saja tidak mengatakan apa pun sementara mereka akan berpisah.Kata mereka, jika tidak terasa sakit maka itu bukan cinta ....Keduanya saling tatap. Hanae terisak parah, sementara Xavion menangis dalam diam.Cinta pertama bagi keduanya, tetapi takdir mengatakan mereka harus berpisah saat ini. Tak pernah menyangka saat sedang bercinta dengan panas di atas ranjang kalau ternyata di dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. “Please ... maafkan aku, maafkan aku!” rintih Hanae, membelai pipi kakak tirinya dengan jemari gemetar. “Aku tidak bisa seperti ini, tidak mendengar apa pun darimu!”Ia usap warna merah akibat gambar telapak tangannya di pipi Xavion. Mungkin itu adalah bukti betapa dia sangat mencintai sang lelaki ... sebuah tamparan. “Katakan semua ini tidak benar, katakan kamu mencintaiku dan kita ti