“Bu El!”
Kiya membuang napas gusar saat melihat Elok baru keluar dari lift. Berlari tergesa, menghampiri Elok yang sudah berjalan cepat menuju ruangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore hari, tapi wanita itu baru muncul di kantor. Apa sebenarnya yang terjadi selama dua hari ini?
Kiya yang baru saja keluar dari kamar kecil itu pun segera menyamakan langkah dengan Elok.
“Sore Kiya Sayang,” sapa Elok tetap mengayunkan kaki dengan tergesa dan menatap sekilas pada asistennya. “Sorry, hapeku mati dan chargernya …” Elok merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah ponsel yang sudah kehabisan daya. Tanpa berhenti melangkah, Elok memberikan benda perseginya pada Kiya. “Tolong di charge.”
Kiya menerima ponsel tersebut dengan anggukan. “Ada pak Restu di ruangan Ibu. Dia sudah ada di sana dari jam dua. Dia juga minta semua data karyawan dengan level manajer ke atas dan masa jabatannya. Jumlah karyawan per divisi, karyawan magang, karyawan kontrak, dan karyawan tetap.”
Elok terpaksa menghentikan langkahnya lalu memutar tubuh menatap Kiya. Salahnya ialah, ponsel Elok kehabisan daya dalam perjalanan menuju firma Sagara, sehingga ia tidak mengetahui kabar apapun dari Kiya. Mood Elok sudah terlanjur berantakan sedari pagi saat berada di kediaman sang mertua. Ditambah, pertemuannya dengan Lex ternyata hanya berujung kesia-siaan belaka.
“Dia sendirian?” tanya Elok sambil memikirkan cara untuk menghadapi Restu. “Atau, dia ngadain pertemuan lagi di sana?”
“Sendirian, dan nggak mau diganggu.”
“Oke.” Elok mengangguk lalu menghela panjang. Saat kaki Elok baru melangkah, Kiya kembali memanggilnya dengan wajah gusar.
“Ibu, maaf.” Kiya menutup rapat kedua matanya sejenak, sambil meringis tidak enak. “Pak Restu maksa make komputer Ibu. Jadi, saya kasih passwordnya, karena Ibu nggak bisa ditelepon sama sekali dan dia ngancam mau mecat saya.”
Elok juga tidak bisa menyalahkan Kiya atas keputusan yang diambil wanita itu. Sebagai seorang bawahan, memangnya apa yang bisa Kiya lakukan. Apalagi saat berhadapan dengan cucu dari pemilik perusahaan.
“It’s oke, Beb.” Elok menepuk lengan Kiya untuk menenangkan wanita itu. “Jangan takut kalau suatu saat kamu dipecat dari Antariksa sama Restu, karena pintu Jurnal akan terbuka lebar buat kamu. Saya jamin itu!”
Elok kembali melanjutkan langkahnya dan segera disusul oleh Kiya. Sebelum membuka pintu, Elok meminta Kiya pergi untuk membuatkannya kopi. Setelahnya, Elok masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu.
Restu melirik ke arah pintu tanpa menggerakkan kepalanya sama sekali. Tatapannya tajam, dan mengikuti ke mana tubuh molek itu melangkah. “Apa begini pekerjaan CEO sekaligus Dirut Antariksa? Baru datang ke kantor jam segini?”
Elok menghempaskan tubuh lelahnya di sofa, lalu bersandar sambil memejamkan mata. Menengadahkan kepala, guna membuang seluruh penat yang berkutat di pikirannya.
“Itu artinya, kamu belum mengerti bagaimana kinerja seorang CEO, ataupun dirut di sebuah perusahaan. Apalagi media.” Elok masih memejamkan mata dan belum berminat untuk membukanya. Ia menumpuk kedua tangan di atas perut, sambil mengatur napas. “Untuk terlihat kerja, kamu nggak harus duduk di balik meja selama 12 jam. Bahkan, kamu itu nggak punya yang namanya jam kerja kalau sudah menjabat sebagai CEO. Jadi, apa kamu siap untuk itu?”
Elok sadar, hari ini ia lebih banyak mengurus masalah pribadi daripada perusahaan, dan itu salah. Namun, Elok tidak mungkin mengungkapkan hal tersebut di depan Restu.
“Dan satu hal yang harus kamu camkan baik-baik di kepala.” Elok akhirnya membuka mata lalu menatap malas tanpa minat pada Restu. Elok sudah bosan bersikap formal, dan sudah membuang jauh rasa hormatnya. “Sebagai seorang pemimpin, kamu harus punya attitude yang baik. Salah satu contohnya, jangan sekali-kali lancang menggunakan barang milik orang lain. Apalagi, sampai mengancam memecat karyawanku.”
Restu lantas menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesaran yang dipakai Elok sehari-hari. “Yang aku tahu, semua barang di perusahaan ini adalah milik Antariksa, bukan milik pribadi.”
“You know what I mean, Restu Antasena.”
Restu tersenyum tipis dan tidak ingin menanggapi Elok lebih lanjut. Bagaimanapun juga, wanita yang ada di depannya saat ini, sudah tidak punya kuasa untuk melawannya. Foto-foto tubuh Elok yang menakjubkan malam itu, sudah tersimpan rapi di kamarnya. Jadi, wanita itu tidak akan lagi bisa membantah barang sedikit pun.
“Apa rencanamu setelah mengundurkan diri dari sini, El?”
Elok yang baru saja mengalihkan wajah dari Restu, kembali menoleh malas pada pria itu. “Aku dengar-dengar, kamu mau bertunangan, dan menikah tahun ini?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Apa pacarmu itu tahu … kalau kamu mengoleksi foto-foto “seksiku” di brankas kamarmu?”
“El—”
“Aku, paling benci dengan orang yang nggak bisa bertarung secara fair,” potong Elok masih tidak merubah posisi duduknya sama sekali. “Apa kamu insecure, sampai-sampai harus mengancam, Res?”
“Pertama, jangan pernah mencampuri urusan pribadiku.” Restu menegakkan tubuh, kemudian beranjak menghampiri Elok. Berhenti dan berdiri tepat di depan Elok yang masih bersandar malas pada sofa, kemudian bersedekap. “Kedua, pada akhirnya nanti, kamu akan berterima kasih karena sudah mundur dari perusahaan ini.”
Elok memandang wajah Restu cukup lama, tanpa kata. Belum bisa mengambil keputusan pasti mengenai posisinya saat ini, karena Elok masih menunggu titah selanjutnya dari Raka.
“Nama pacarmu Yura, kan?” Tanpa aba-aba, Elok berdiri seketika hingga membuat Restu mundur satu langkah untuk menjaga jarak. “Salah satu pendiri startup transportasi on-line yang angle investornya itu papanya sendiri, kan?”
Tangan Restu reflek mencengkram lengan Elok, dan menarik tubuh wanita itu mendekat. “Aku sudah peringatkan, jangan pernah campuri urusan pribadiku. Kalau sampai terjadi sesuatu—”
“Aku bukan pengecut seperti kamu yang suka main belakang.” Elok mendongak dan menatap Restu tanpa rasa gentar. “Aku … lebih suka langsung datang menemui Yura dan—”
“Berani kamu sent—”
“Chill, Res!” Elok balas memotong ucapan Restu dengan santai, saat melihat kobaran amarah pada sorot mata pria itu. Elok pun dengan berani menepuk pipi Restu dua kali, sambil mencibir karena ia sudah mendapatkan kelemahan Restu. “Sebagai sesama perempuan, aku nggak akan mungkin menyakiti Yura. Karena, satu-satunya orang yang bisa menyakiti Yura, adalah kamu sendiri.”
Ternyata, Restu sudah salah karena menganggap remeh seorang Elok. Wanita itu, pasti sudah memiliki sebuah rencana di kepalanya untuk membalas Restu. Namun, tidak akan semudah itu untuk melawan seorang Restu Antasena.
“Kamu tahu, El. Kalau hidupmu sekarang ada di tanganku,” balas Restu tidak akan mau mengalah dengan semua perkataan Elok. “Kalau sampai foto-fotomu di Singa—”
“Apa rasanya mengambil foto perempuan yang hampir bugil, Res?” Dengan berani, Elok merapatkan tubuhnya pada Restu. Seiring hal yang dilakukan Elok tersebut, cengkraman Restu di lengannya pun ikut melonggar. “Apa rasanya, melihat tubuh perempuan yang hampir bugil? No, no! Aku yakin kalau kamu juga sempat menyentuh … beberapa bagian tubuh perempuan itu? Iya, kan?”
Restu yang tidak ingin terpancing itu, tetap berusaha menekan emosinya demi sebuah tujuan yang sudah ia rencanakan.
“Hampir bugil?” Restu berdecih sambil melepas tangannya kemudian bersedekap. “Meskipun kamu melepas semua bajumu tanpa bersisa di depanku dengan sukarela, tubuhmu itu nggak akan pernah membuatku tertarik.”
Seketika itu juga, Elok tergelak dengan perasaan miris mendengar pernyataan Restu. Tawa hambar Elok tersebut, sampai membuat sudut matanya berair. Pantas saja Harry berselingkuh dengan gadis yang jauh lebih muda darinya. Ternyata, tubuh Elok memang sudah tidak menarik lagi di mata pria. Bahkan, Restu dengan jelas-jelas mengikrarkan tidak akan tertarik pada Elok meskipun ia menanggalkan seluruh pakaiannya.“Ya! Aku percaya.” Elok berusaha menutupi luka hatinya atas pernyataan Restu barusan. Untuk menutupi guratan pahit di wajahnya, Elok melengos pergi menuju kursi kebesarannya lalu duduk di sana.Bersamaan dengan hal tersebut, Kiya mengetuk pintu dan membukanya setelah Elok mempersilakan. Dengan membawa nampan berisi secangkir kopi, Kiya mengangguk sopan sekilas pada Restu. Melewati pria itu menuju meja kerja Elok, kemudian meletakkan secangkir kopi yang diminta.“Ada lagi yang Ibu perlukan?” tanya Kiya berdiri sebentar di sudut meja.Elok menggeleng sambil menatap Kiya. “Pergilah, dan
Harry menutup kasar pintu mobilnya, lalu menghela. Menatap pekarangan rumah kediaman Lukito dengan seksama. Sudah tidak ada mobil yang terparkir di depan, dan suasana rumah pun sudah cenderung sepi. Jelas saja, karena waktu saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di jam segini, kedua orangtuanya biasanya sudah masuk ke kamar dan bersiap-siap untuk beristirahat.Namun, untuk apa sang papi memintanya untuk datang ke rumah di malam hari seperti ini?Kepala Harry saja sudah sangat dipusingkan dengan masalah Elok yang tidak bisa dihubungi sama sekali. Ditambah, Hendra hanya menelepon dan menyuruh Harry datang ke rumah tanpa memberi tahu tujuannya.Tidak seperti biasanya, dan sangat mencurigakan.Tanpa ingin didera rasa penasaran, Harry lantas bergegas masuk ke dalam. Jantung Harry seolah hendak melompat dari rongganya ketika melihat Elok ada di ruang keluarga. Harry yakin sekali tidak ada mobil Elok terparkir di depan, tapi istrinya itu ternyata sudah duduk manis di dalam sana. Mu
Elok berjalan gontai memasuki kediaman Mahardika. Setelah seharian penuh mengabaikan panggilan dari kedua orangtuanya, akhirnya Elok mendatangi rumah tersebut. Perasaan yang menggumpal di dada Elok saat ini sungguh tidak dapat diungkapkan. Di satu sisi, Elok tidak ingin kembali bersama Harry karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya itu. Namun, melihat dari perspektif luas dan mempertimbangkan semua hal, Elok seakan ingin menyerah dengan keadaan.Ada perasaan dan perkembangan Kasih yang harus Elok jaga jika hendak menggugat Harry di pengadilan agama. Ditambah, permohonan Joana yang meminta Elok memikirkan lagi tentang semua hal. Sampai detik ini pun, Elok masih belum bisa membayangkan hidup sebagai seorang janda untuk ke depannya. Namun, sudut hati Elok juga belum bisa menerima Harry kembali dengan semua kesalahan pria itu.“Pap … Papa.” Elok tidak jadi mengayunkan langkah menaiki anak tangga, ketika melihat sang papa berada tepat di ujung tangga lantai dua. Waktu memang sudah san
Karena kedua keluarga sudah tahu masalah yang terjadi dengan anak mereka, maka Elok tidak perlu lagi melanjutkan sandiwara mengenai bulan madu palsu yang sempat tercetus. Namun, Elok tetap pergi ke Singapura karena Kiya sudah membuat janji dengan seorang dokter untuk melakukan medical check up. Pada akhirnya, Elok hanya berangkat seorang diri karena Harry tiba-tiba ada urusan mendadak yang tidak bisa diwakilkan, maupun ditinggalkan. Sementara Kiya, Elok memutuskan untuk membatalkan penerbangan wanita itu guna mengawasi sepak terjang Restu di Antariksa. Selama berada di Negeri Singa, Elok lebih banyak menghabiskan waktu menyendiri di kamar hotel. Elok benar-benar menenangkan diri, untuk memikirkan langkah yang akan diambilnya ke depan nanti. Apakah akan terus melanjutkan pernikahannya dengan Harry, atau memilih bercerai dengan masing-masing konsekuensi yang ada di belakangnya. Selain itu, Elok juga sedang mempersiapkan beberapa hal, untuk rapat yang akan diadakan senin nanti di Anta
“Pagi, Kiya Sayang.”Sapaan Elok tersebut, langsung membuat Kiya yang baru keluar dari lorong pantry berlari kecil. Sambil berhati-hati memegang cangkir yang berisi kopi panasnya, Kiya menyamai langkah tergesa Elok.“Ada pak Raka di ruangan Ibu,” ucap Kiya. “Pak Restu, sama pak Fahri.”Elok berhenti melangkah, dan menoleh dengan mata memicing menatap asistennya untuk meminta penjelasan. Mengapa hal sepenting ini sampai tidak dikabarkan oleh Kiya sama sekali. “Kiya?”“Saya sudah hubungi Ibu berkali-kali dari setengah jam yang lalu.”Detik itu juga, Elok segera berlari meninggalkan Kiya menuju ruang kerjanya. Elok yakin sekali dirinya tidak terlambat datang ke kantor pagi ini. Begitu sampai di bandara, Elok langsung dijemput oleh supir sang papa dan segera pergi menuju Antariksa tanpa mampir ke mana pun. Masalah ponsel, sepertinya Elok harus membeli sebuah ponsel lagi untuk mobilitasnya meskipun tampak merepotkan.Elok mengetuk pintu ruang kerjanya terlebih dahulu, sebelum membuka dan m
Sambil menunggu kuorum terpenuhi, Restu sibuk berbincang dengan salah satu pemegang saham yang duduk di sebelahnya. Sesekali, matanya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan dan juga menatap pintu masuk. Setelah sedikit perdebatan yang dilakukan Elok dan dirinya beberapa saat yang lalu, Restu semakin yakin jika wanita itu tengah menghadapi masalah besar seorang diri.Restu jadi bertanya-tanya dalam hati, apa Elok juga menyembunyikan penyakit tersebut dari keluarga besarnya? Merahasiakannya dari putri cantik yang usianya masih sangat belia? Pun dari suaminya?Kenapa hal seperti ini justru diketahui Restu di penghujung keputusan rapat yang sudah terencana? Jika tidak, Restu mungkin masih bisa berbaik hati dengan tidak menekan Elok dengan foto-foto tersebut.Atau, Restu mungkin akan tetap memberi Elok sebuah posisi dalam jajaran direksi di Antariksa nantinya. Entahlah, untuk saat ini Restu akan menjalani agenda yang sudah direncanakan terlebih dahulu.Restu kemudian melihat kurs
“Aku mau bicara.” Restu menatap tajam pada Raka yang hendak pergi dari ruang meeting. Berdiri tepat di depan kursi roda pria tua itu, tanpa ada niat untuk bergeser seinci pun. Sekilas, matanya berlari melihat Elok yang jalan tergesa keluar dari ruang rapat. Wajah wanita itu tampak kesal, hingga membuat rasa penasaran Restu kembali menyeruak.“Kita sudah bicara tadi pagi,” ujar Fahri mengambil alih karena harus segera membawa Raka kembali ke rumah sakit. Kondisi Raka sudah terlalu lelah, karena harus turun tangan untuk meredam gejolak perusahaan yang disebabkan oleh Restu. Untuk itulah, pria tua itu harus segera kembali ke rumah sakit dan beristirahat. “Jadi minggirlah, Res.”Restu sama sekali tidak mengacuhkan ucapan Fahri. Tatapannya hanya tertuju pada Raka untuk meminta penjelasan. “Kakek nyuruh orang masuk ke dalam apartemenku?”“Yang kamu perbuat itu salah,” ujar Raka menarik napas panjang sebentar. Rasa-rasanya, Raka tidak akan tahan jika harus berada lebih lama lagi di Antariksa
“Ada pak Harry di ruangan Ibu,” bisik Kiya menyela pembicaraan antara Elok dengan salah satu komisaris perusahaan. “Beliau sudah nunggu dari 15 menit yang lalu.” Elok mengerjap. Menatap Kiya dalam diam untuk memproses ucapan asistennya itu. Setelah menyadari hal tersebut, Elok berpamitan pada lawan bicaranya dan bergegas pergi menuju ruangan kerjanya. Berani-beraninya Harry datang ke kantornya tanpa memberitahu Elok terlebih dahulu. Jika saja hubungan mereka dalam keadaan baik-baik saja, tentunya Elok akan menyambut Harry dengan penuh suka cita. Akan tetapi, hubungan keduanya kini bagai telur di ujung tanduk. Dan Elok masih belum bisa memberi keputusan pasti, mengenai nasib pernikahan mereka ke depannya. Elok masih terlampau sakit hati, karena Harry telah berani mengkhianati pernikahan mereka selama dua tahun belakangan ini. Ternyata, menenangkan diri dalam waktu singkat di Singapura tidak sanggup memberi Elok sebuah ketenangan. Elok membuka pintu ruang kerjanya, dan segera menutu