Share

Bab 4. Double Date?

Setelah selesai berdandan dan mengganti bajuku, aku menunggu Alex di sofa ruang tamu, sambil sesekali melirik penampilanku di kaca besar yang ada di pojok antara ruang tamu dan ruang TV. Aku menata rambutku sedikit curly dan memoles tipis wajahku dengan make up, juga memakai dress selutut warna jingga, tidak terlalu formal tapi tidak terkesan santai juga.

Tak berapa lama aku mendengar klakson mobil dari luar, aku melihat mobil audi warna hitam memasuki pekarangan rumahku, aku beranjak dari sofa dan keluar menghampiri mobil tersebut, dan kulihat Alex keluar dari sana.

"Sudah siap?," tanyanya.

Aku hanya tersenyum kecil dan menganggukan kepala, Alex membukakan pintu mobil untukku, mobil yang hanya berisi dua orang saja, untuk pengemudi dan satu penumpang. Kulihat selera Alex dalam memilih mobil cukup tinggi.

"Dimana Susan dan Liam?," tanyaku setelah Alex duduk dibelakang kemudi.

"Mereka jalan duluan untuk membooking tempat makan dan beli tiket bioskop untuk kita berempat," jawabnya.

Selama dalam perjalanan aku berpikir bagaimana caranya menjelaskan bahwa aku tidak sengaja menekan tombol emoticon tersebut, aku meremas kesepuluh jemariku, hal yang biasa aku lakukan saat sedang gugup.

"Hai, apa yang kau pikirkan? sepertinya kau gelisah sekali"

"Ehm... Alex, dengar.. a.. aku minta maaf soal pesanku tadi, aku tidak bermaksud mengirim emoticon itu, tadi aku tidak sengaja menekannya"

"Benarkah? padahal aku berharap sebaliknya"

Aku melihat Alex menghembuskan napas sedikit kasar, dan wajahnya terlihat murung, membuatku mengerutkan kening, apa ada perkataanku yang salah?

Selebihnya kami hanya terdiam, dan aku lebih banyak mengalihkan pandanganku ke arah jendela di sampingku, melihat lihat pemandangan kota.

Sesampainya di tempat tujuan Susan dan Liam menghampiri kami, Susan mengenalkan Liam padaku, dan kami pun masuk ke dalam bioskop berempat. Susan memilihkan tempat di barisan tengah di kursi bagian paling pojok.

Kami tidak duduk satu baris seperti dugaanku sebelumnya, karena Liam dan Susan duduk di depan dan aku duduk di belakang mereka dan di samping Alex.

Saat aku melayangkan protes Susan berkilah bahwa hanya ini kursi yang tersisa, berhubung itu adalah film yang masih baru dan sedang banyak diminati orang disana, dan argumen itu mampu membungkamku, aku hanya pasrah, toh kita hanya akan menonton film kan? Namun sialnya kami menonton film romance. Sebenarnya aku kurang menyukainya, namun karena menghargai teman-teman baruku, aku berusaha untuk fokus ke film tersebut.

Mungkin karena memaksakan diri untuk fokus, akhirnya aku merasa jenuh dan memejamkan mata, hingga akhirnya pulas tertidur.

Aku terbangun saat merasakan ada yg menyentuh pipiku dan mengusapnya perlahan. "Vanessa, bangunlah, filmnya sudah selesai," bisiknya.

Aku mengerjapkan mataku perlahan, terlihat ruang bioskop sudah sepi, bahkan lampu-lampu sudah dinyalakan kembali, dan disana hanya ada aku dan Alex yang tersisa, dengan posisi kepalaku di bahunya dan jaket Alex yang menutupi dadaku, bahkan aku merasakan tangan Alex yang melingkar di bahuku, buru-buru aku membetulkan posisiku, , menegakan punggungku dan memberikan jaket ke pemiliknya.

"Tidak, pakailah diluar sangat dingin, ternyata hujan turun lebat dari tadi di luar sana," tolaknya, kembali menyodorkan jaket tersebut kepadaku.

Karena memang aku merasa kedinginan aku pun kembali memakai jaketnya, dan kami pun berjalan meninggalkan area bioskop.

Di luar Liam dan Susan sudah menuggu kami, begitu Susan melihatku dia langsung menarik tanganku agar jalan beriringan denganya.

"Maaf jika kau tidak menyukai filmnya Vanessa, aku tadi berpikir mungkin kamu suka"

Susan memandangku dengan tatapan menyesal, sepertinya dia tau kalau aku tertidur selama film diputar tadi, membuatku merasa tidak enak padanya.

"Tidak Susan, ini bukan salahmu, memang akunya saja yang sedang lelah, kau taulah mungkin jetlagku masih tersisa," ucapku beralasan sembari menyunggingkan senyum bersalah.

"Baiklah bagaimana kalau sekarang kita makan dulu?" Liam menyela obrolan kami.

"Terntu saja honey, aku juga sudah lapar" sambut Susan melepaskan pegangan tanganya di lenganku dan balik merangkul pinggang Liam dan langsung di hadiahi kecupan bibir oleh Liam.

Melihat kemesraan mereka membuatku merasa sepertinya pamer kemesraan di depan kaum jomblo sepertiku terdengar sadis.

Kamipun sepakat memilih steak untuk makan malam, Susan dan Liam duduk bersebelahan, bersebrangan denganku yang duduk bersebelahan dengan Alex, terkesan kami sedang melakukan double date.

Aku memalingkan wajahku ke arah jendela kaca, melihat ramainya lalulintas dibawah sana saat dua sejoli itu tak henti hentinya memamerkan kemesraan mereka, atau mungkin aku yang belum terbiasa dengan kehidupan disini yang bebas, bertolak belakang dengan kehidupanku di Indonesia sana.

"Hei Vaness, apa kau mau mencoba menu pilihanku? Ini enak," sahut Alex tiba tiba sambil menyodorkan garpu yang berisi daging ke arahku, aku menoleh dan reflex membuka mulut karena melihat daging tersebut hampir terlepas dari garpu.

"Bagaimana? Enak kan?," tanyanya setelah semua daging terlihat masuk ke dalam mulutku.

"Hhmm... ini enak sekali," sahutku dengan mulut penuh.

"Kalau kamu suka aku akan membuatkan menu seperti ini setiap hari," ucap Alex.

"Eh?" Aku menatapnya heran, namun kemudian terdengar tawa Liam dan Susan.

"Tentu saja karena restaurant ini milik Alex," ujar Susan menjawab keherananku.

"Owh jadi kau pemiliknya ya? Tapi yang memasak kan chef karyawanmu, dan kau membanggakan masakanya seolah ini kau yang masak saja" Aku mengerlingkan mataku ke arah Alex.

"Karena Alex juga bisa memasak menu tersebut, bahkan resep itu adalah hasil dari penemuan Alex" kali ini Liam yang menjelaskan padaku.

"Benarkah? Wow itu hebat sekali, sangat beruntung wanita yang akan menjadi istrimu kelak?"

Alex langsung terdiam menatapku, dan aku tak bisa menebak arti dari tatapanya itu. Selanjutnya aku melihat senyuman Alex yang sialnya terlihat amat menawan di mataku. Aku langsung membuang pandanganku ke arah lain, pipiku terasa panas, mungkin sudah semerah tomat.

Ini sangat memalukan, untung saja Alex tidak mentertawakan aku, dia malah merentangkan lenganya di bahuku, maksudku di kursi belakangku, itu terlihat seperti di bahuku.

Saat itulah aku mendengar dering dari ponselnya, Alexpun meminta ijin untuk menjawab panggilan tersebut, dan berjalan menjauh dari kami, namun aku masih sempat mengintip dan membaca nama dari si penelpon tersebut.

Andrea.

Apa itu Andrea teman sekolah kami? memangnya ada berapa Andrea yang Alex kenal? dan untuk apa Andrea menelpon Alex? berbagai macam pertanyaan muncul di benaku. Entah mengapa ada semacam perasaan tidak nyaman memikirkan semua itu.

Alex kembali setelah mengakhiri telponya tanpa menjelaskan apapun pada kami, mungkin lebih tepatnya kepadaku. Namun langsung kutepiskan pemikiran tersebut mengingat aku tak memiliki hubungan special denganya, dan tentu saja Alex tak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apapun padaku kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status