Pagi ini aku bersiap hendak berangkat sekolah, paman sudah berangkat pagi sekali ke kantornya, dia bilang sedang banyak kerjaan jadi tidak sempat mengantarku sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk memesan uber.
Masih mengunyah zucchini bread, aku berdiri hendak meninggalkan meja makan, meraih ponselku dan membuka applikasi taksi online tersebut. Saat itulah aku mendengar klakson mobil dari arah luar. Aku penasaran dan mengecek keluar melalui jendela rumah, dan aku melihat mobil Alex terparkir disana, sang pemilikpun terlihat keluar dan berjalan mendekati pintu rumah, meskipun aku melihatnya mendekat tak urung aku terkejut mendengar bel pintu yang berbunyi nyaring itu, tak mau membuatnya menunggu lama aku membukakan pintu.
"Ada apa?," tanyaku masih terheran heran dengan kedatanganya pagi-pagi sekali di rumahku.
"Menjemputmu, apa kau sudah siap? Kalau sudah ayo berangkat" wajah Alex terlihat sangat bahagia saat mengatakan hal tersebut.
"Hei tunggu! Aku belum menyatakan kesediaanku. Lagipula aku biasa berangkat sekolah diantar paman," elakku kemudian.
"Tapi kulihat mobil pamanmu tidak ada di parkiran"
Oh iya aku lupa kalau pekarangan rumah dan carport kami terbuka, tidak ada pintu gerbang disana, walaupun jarak dari depan ke pintu rumah lumayan panjang. Hanya ada taman dan kolam air mancur yang menghiasi pekarangan depan rumah kami. Saat ini aku baru menyesali mengapa aku tak meminta Paman Taylor untuk memasang pintu gerbang yang tinggi.
"Ayolah, sekali kali berangkat sekolah bersamaku, itu tidak akan membuatmu rugi" Alex menaik turunkan alisnya, entah mengapa itu terlihat menggemaskan dimataku.
Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya sesaat, entah mengapa aku masih jengkel dengan kejadian semalam saat Alex menerima telpon dari seseorang yang bernama Andrea, bahkan hingga dia mengantarkan aku pulang, tak banyak yang kami bicarakan selama dalam perjalanan.
"Tapi aku sudah terlanjur memesan uber tadi," ucapku masih berusaha menolak ajakanya.
"Kau bisa mengcancelnya dan memberikan tips pada pengemudinya, ayolah.. aku sudah sampai disini"
Akhirnya akupun menyetujui ajakanya, harus kuakui Alex sungguh pandai dalam bernegosiasi. Saat kami hendak memasuki mobilnya tiba tiba terdengar suara tembakan dari arah seberang, dan juga pecahnya jendela kaca rumahku, jelas tembakan itu ditujukan ke rumahku, kami tersentak dan merunduk cepat, berlindung di balik mobil.
Aku berusaha mengintip dari celah kecil, mengecek situasi karena sudah tidak terdengar lagi suara tembakan tersebut, aku menoleh kesamping namun tak kutemukan Alex, pergi kemana dia? Gumamku dalam hati. Setelah dirasa keadaan cukup aman akupun keluar dari persembunyianku, masih terheran heran dengan menghilangnya Alex, bukankah tadi dia ada disampingku?.
Sentuhan di bahuku mengejutkanku, aku memutar tubuhku dan terpana melihat Alex ada di belakangku.
"Kau? Darimana saja kau? Kenapa cepat sekali menghilang?," tanyaku beruntun.
"Aku dari tadi di belakangmu, kamu saja yang tidak melihatku"
"Benarkah? Tapi tadi aku sudah mencari carimu dengan menoleh kesana kemari"
"Aku bersembunyi di balik pot besar itu, sudahlah jangan debatkan hal itu, sebaiknya kita melapor ke polisi atas penyerangan ini, menurutku kau tidak usah pergi ke sekolah dulu"
"Kurasa kamu benar, aku harus menelpon pamanku"
"Baiklah, dan jangan takut aku akan menemanimu disini"
Tak berapa lama terlihat mobil paman memasuki pekarangan rumah. Setelah aku mengabarinya tadi paman langsung memutuskan untuk kembali ke rumah. Paman turun dari mobil dan langsung berhambur memeluku.
"Kau tidak apa apa nak?," tanyanya penuh kekhawatiran.
"Aku baik baik saja paman, tidak usah khawatir"
"Kau pergilah sekolah, aku akan mengurus semua ini, dan ada dua orangku yang akan mengawalmu mulai hari ini"
"Apa itu tidak terlalu berlebihan paman? Kurasa aku bisa menjaga diriku sendiri"
"Tidak nak, aku tidak mau kecolongan lagi, sudah cukup aku kehilangan kakakku, aku tidak mau lagi kehilangan anggota keluargaku yang lain"
"Ehm.. maaf menyela kalian, tapi jika kau ijinkan aku bersedia untuk menjaga keponakan anda Mr Anderson"
Suara Alex menginterupsi kami, aku menepuk dahiku sendiri, bahkan aku lupa bahwa ada Alex disana.
“Oh Alex, maaf aku melupakan kehadiranmu,” ucapku.
Paman Taylor menoleh dan tersenyum. "Kurasa kau anak baik ALex, kalau begitu aku bisa tenang sekarang, dan kau jangan cemaskan untuk kejadian hari ini Vaness aku akan membereskan semua ini, kau tenang saja, lebih baik kau pergilah ke sekolah"
Aku terkejut mendengar perkataan Paman Taylor, bagaimana mungkin paman menerima tawaran Alex? Aku kembali membuka mulut hendak memprotes keputusan paman, namun Alex menginterupsi lebih dulu.
"Mungkin pamanmu benar Vaness, lebih baik kita berangkat sekolah, mumpung masih ada waktu, kita belum terlambat kalau berangkat sekarang"
Akhirnya aku menuruti saran paman untuk tetap berangkat sekolah, dengan syarat aku tidak mau ada bodyguard.
Sebelum kami masuk ke dalam mobil, Alex menawarkan diri untuk membantu paman menjagaku, dan akan mengantar jemputku sekolah setiap hari, untuk yang terakhir itu aku menganggapnya sebagai modusnya Alex, tapi biarlah daripada kemana mana dikawal bodyguard. Memalukan..!
Alex benar, kami masih belum terlambat masuk sekolah, meskipun disaat Alex selesai memarkirkan mobilnya bel tanda masuk berbunyi. Alex membukakan pintu untukku, saat itu aku merasa beberapa pandangan mata siswa siswi yang belum masuk kelas mengarah kepadaku, apalagi disaat tangan Alex melingkar di pinggangku.
"Alex, apa yang kau lakukan? Kau membuat kita jadi pusat perhatian"
"Aku hanya menjagamu sweety, sesuai janjiku pada pamanmu"
Aku memutar kedua bola mataku mendengar jawabanya, apanya yang menjaga? Sedangkan menjaga tanganya sendiri saja dia tidak bisa. Aku mendengkus sebal dan berjalan lebih cepat meninggalkan Alex.
Kami memasuki kelas yang sama, kebetulan hari ini jadwal mata pelajaranku sama dengan Alex, dan kelas pertama kami adalah kelas Miss Martha, konon kabarnya beliau adalah guru killer di sekolah ini, itulah sebabnya suasana kelas sedikit tegang.
Beberapa saat setelah aku duduk, masuklah Miss Martha, seorang wanita yang aku perkirakan usianya sama dengan Paman Taylor, cantik, anggun dan sorot mata birunya tajam dan dingin.
Setiap kata-katanya adalah mutlak di kelas ini, tak terbantahkan. Seperti saat ini, beliau menyuruh para siswanya merangkum 4 bab sekaligus dan menyerahkan kepadanya. Kami hanya di beri waktu tiga hari paling lambat, dan siapa yang mengumpulkan paling cepat akan diberikan nilai tambahan. Miss Martha juga mengumumkan minggu depan beliau akan mengadakan quiz.
Memang sih beliau meminta kami mengerjakanya secara berkelompok, tapi tetap saja itu jadi tekanan mental, apalagi untuk aku si murid baru.
Alex pun mengajaku bergabung di kelompoknya bersama Susan dan Liam, yang langsung ku iyakan karena di kelas Miss Martha hanya mereka yang aku kenal.
Kami berempat akhirnya sepakat mengerjakanya esok hari sepulang sekolah di rumahku. Entahlah mengapa mereka sangat terkesan memaksa untuk hal itu, padahal aku tidak keberatan jika mengerjakan tugas di rumah Susan ataupun yang lainya.
Aku berjalan terburu buru keluar kelas menuju kantin, sebelum Alex kembali mengekoriku, aku mengambil jalan memutar, meski harus melewati ruang guru, bukan apa apa, aku hanya risih dengan tatapan siswa lain akan kedekatanku dengan Alex, walaupun Alex sendiri bukanlah termasuk the most wanted boy di sekolah, atau mungkin akunya saja yang belum terbiasa, dan masih ada ganjalan di hatiku tentang telpon yang diterimanya saat kami makan malam.Saat sedang melintas depan ruang guru tepatnya depan ruang Miss Martha tiba tiba sang pemilik ruangan keluar dan menyapaku."Vanessa? Kamu Vanessa kan? Keponakanya Taylor?""Iya miss? Ada yang bisa saya bantu?""Ahh bukan apa apa, bagaimana kabar pamanmu?""Ohh paman, dia baik"Aku teringat Paman Taylor pernah bercerita bahwa dia punya teman yang mengajar di sekolahku. Aku langsung memberikan senyum manisku padanya."Ohh begitu, apa kamu mau ke kantin?""Iya miss, saya mau makan siang di kantin""Bagaimana kalau makan siang di ruangan saya? Kebetulan
Sepulang sekolah sesuai rencana kami semua berkumpul di rumahku untuk mengerjakan tugas yang di berikan Miss Martha, seperti kemarin aku berdua Alex di mobilnya dan Susan di mobilnya Liam, kami berpisah di persimpangan karena Susan hendak membeli bahan bahan untuk memasak di rumahku, tadi dia bilang selain belajar kami juga akan makan malam bersama dan Susanlah yang akan menjadi chefnya.Sesampainya di rumah aku melihat jendela kaca yang tadi pagi pecah telah utuh kembali, dan keadaan rumah juga sudah rapih kembali, tidak ada pecahan kaca seperti saat aku meninggalkan rumah untuk berangkat sekolah tadi pagi, mungkin paman yang sudah membereskan semua kekacauan yang terjadi tadi pagi.“Kita istirahat saja dulu sambil menunggu Liam dan Susan”Alex merebahkan tubuhnya di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minuman dan snack untuk kami berempat, sambil menunggu Susan dan Liam aku dan Alex ngobrol santai .Alex masih di sofa namun kali ini sudah
Sesampainya didalam kamar aku tak henti hentinya bertanya pada Susan, aku sungguh sangat heran dan penasaran kenapa sikap mereka bertiga sangat aneh, dan seperti penuh kekhawatiran. Sebelum sempat mendapat jawaban dari Susan tiba tiba aku mendengar suara lolongan serigala, itu terdengar sangat dekat. "Susan, apa kau dengar itu? Itu seperti suara serigala." Aku langsung melompat kaget dan terduduk di sofa kamar. "Dimana? Aku tidak mendengarnya" Jawaban Susan membuatku sangat heran karena aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi. "Buka telingamu Susan, itu terdengar jelas sekali, sepertinya mereka sangat dekat dengan kita" "Tapi tidak terdengar apa apa olehku, kau tenanglah semua akan baik baik saja" Susan mengusap usap pelan bahuku dan tersenyum. Bagaimana mungkin Susan dengan santainya meminta aku untuk tenang, semua ini tidak masuk akal olehku, ditambah lagi sikap mereka, aku berusaha mencari cari celah untuk lari keluar kamar dan melihat apa yang terjadi di bawah, namun s
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Susan dan Liam kembali, mereka membawa tukang untuk membetulkan pintu rumahku yang rusak, entah mereka dapat dari mana, dan karena acara masak memasak kami tadi sempat rusak, akhirnya kami memesan pizza dan makan dalam diam, aku memberikan satu box besar pizza kepada Max, diapun makan dengan lahap. "Aku akan membereskan ini semua, dan dapur juga" Susan tiba tiba bersuara memecah keheningan. "Aku akan membantumu" sahutku. "Tidak Vaness, biar aku membereskan semuanya, kau tenang saja, lebih baik kau ke kamarmu" "Susan benar Vaness, kau istirahatlah biar tenang, sekarena kau terlihat tegang sekali, tapi kau tenang saja kali ini tidak akan ada kekacauan lagi" Liam menimpali sambil terkekeh. Jika kedua pasangan itu sudah berkolaborasi, susah sekali untuk ditentang, dan akupun akhirnya membawa Max keatas, ke kamarku untuk beristirahat dan membiarkan kekacauan di bawah di urus oleh Liam dan Susan. Karena aku terbiasa mandi sebelum tidur aku pun be
Saat pagi menjelang, aku terbangun dengan mendapati diriku yang sedang memeluk Alex. Aku terkejut melihatnya terbaring disisiku, terlebih aku memeluknya. Lalu ingatanku melayang pada kejadian semalam, saat badai turun.Lalu potongan memory bermain di kepalaku, akhirnya aku mengingat apa yang terjadi semalam. Wajahku memerah dan perlahan melepaskan tanganku yang sedang memeluk Alex. Akupun turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar, kulihat salju masih turun, dan pepohonan serta rumah-rumah sudah tertutup salju tebal. Udara begitu dingin, aku bermaksud menyalakan pemanas yang ada di kamarku. Saat itulah aku tersentak kaget, teringat sesuatu.“Semalam turun salu disertai badai, dan pemanas di kamarku dalam keadaan mati, jadi bagaimana mungkin tubuhku tidak membeku?”Aku bergumam sendiri merasa heran, lalu aku menoleh ke arah Alex yang masih tertidur pulas, kulihat dia masih bertelanjang dada. Karena terkejut dan juga penasaran, aku pun menghampirinya, dan sedikit menyibakan se
“Wow woa.. tunggu dulu! Aku belum menyatakan kesediaanku atas usulan kalian”Aku heran mengapa Alex terkesan ingin buru-buru membawaku pindah ke rumahnya? Apa yang dia rencanakan? Aku harus berhati-hati, dengan semua kejadian ini aku merasa semua perlu meningkatkan kewaspadaanku dan juga tida mau gampang percaya pada semua orang, walaupun itu Alex sekalipun.“Baiklah, jika kau tidak bersedia tinggal di rumahku, tapi kau harus mengijinkan kami untuk tinggal disini, agar kami bisa menjagamu”Akhirnya kamipun sepakat dengan usulan Alex yang terakhir. Kami berempat akan tinggal di rumahku sampai Paman Taylor ditemukan.Hari berganti minggu, Paman Taylor masih belum juga di temukan, beberapa kali aku datang ke kantor polisi ditemani Alex untuk menanyakan hasil pencarian mereka, namun belum juga aku mendapatkan kabar baik.Liam dan Susan sesekali pulang ke rumah mereka, hanya Alex yang selalu menemaniku setiap hari. Namun hari ini, aku tidak menemukan Alex dimanapun, aku sudah mencarinya k
“Bagaimana jika werewolf itu sebenarnya ada di dunia nyata?”Aku tertawa mendengar pertanyaan Susan. “Ayolah Susan, kau lahir dan dibesarkan di negara maju, bagaimana mungkin kau menganggap kalau werewolf itu ada?”“Well... sejujurnya, aku memang percaya” Susan tersenyum penuh arti, membuatku menggelengkan kepala.Sangat lucu jika aku yang hidup di negara kecil saja tidak tau bahwa itu hanyalah mitos, sedangkan Susan yang hidup di negara adikuasa yang serba modern itu malah percaya akan keberadaan werewolf.“Sudahlah, itu terserah saja jika kau ingin mempercayainya, tetapin aku tetap pada pendirianku. Aku tidak percaya!”“Bagaimana jika memang werewolf benar-benar ada?”“Susan please! Dewasalah, hanya anak kecil yang mempercayai hal seperti itu”“Oh ya? Bagaimana jika suatu hari nanti kau bertemu dengan seorang werewolf?”Aku memutar bolamataku mendengar pertanyaan konyol dari Susan. “Jika aku bertemu dengan werewolf aku akan menikahinya! Kau puas?”Kali ini gantian Susan yang tertaw
“Ppfffff...” Susan menyemburkan air yang baru saja diminumnya. “Apa?! kau mandi bersama Max? Apa kau serius Vaness?” tanyanya dengan mata melebar, seolah sedang menonton film horor.Saat ini Susan dan Liam sudah datang dan malam ini mereka akan menginap di rumahku. Mereka terkejut saat aku menceritakan keseruanku bersama Max tadi sore. Kini mereka menatapku bergantian dengan Max.“Apa itu benar Max?” Liam memicingkan matanya pada Max.“Sudah hentikan! Kalian berdua ini bersikap seolah-olah Max mengambil keuntungan dariku saja”Aku berdiri dan mengajak Max untuk beristirahat dalam kamar, karena Susan dan Liam selalu menolak untuk naik ke atas, dan mereka lebih sudah tidur di lantai bawah. Alasanya adalah biar sekalian berjaga kalau-kalau ada orang yang mau berniat jahat.Alasan yang dibuat-buat menurutku. Karena aku yakin mereka pasti lebih memilih tidur di kamar bawah, berdua.Baru saja aku menutup dan mengunci pintu kamarku saat aku mendengar kembali suara lolongan serigala."Kau de