Cassandra menatap layar laptopnya sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Berkas-berkas kasus Lily masih terbuka, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman yang ia terima.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah panjang. Elias Rowe. Cassandra menekan tombol jawab. "Jika kau menelepon hanya untuk menggangguku, aku akan memblokirmu sekarang juga." "Cassie, kau sungguh kejam. Aku menelepon karena rindu, tapi kau malah mengancamku," Elias merajuk, terdengar dramatis seperti biasa. "Elias, kalau kau rindu, aku bisa mengirimmu sekotak batu bata supaya kau bisa membenturkan kepalamu sendiri." "Astaga, betapa manisnya kau." Cassandra memutar matanya. "Katakan saja apa maumu, Elias." "Baiklah, baiklah," suara Elias berubah sedikit lebih serius. "Aku ingin kau membuka laptopmu dan periksa folder baru yang muncul di desktopmu." Cassandra mengernyit dan segera mengecek layar laptopnya. Benar saja, ada folder baru berjudul "For My Favorite Pain in the Ass." "Sialan, Elias! Kau meretas laptopku lagi?" "Bukan meretas. Menyelamatkan. Aku seperti malaikat pelindung digitalmu." "Malaikat pantatmu." "Ah, pantat yang luar biasa, aku yakin," Elias terkekeh. "Tapi serius, Cassie. Lihat isinya." Cassandra mendecak kesal tetapi tetap mengklik folder itu. Di dalamnya, ada beberapa rekaman CCTV. Matanya melebar saat melihat salah satunya. Lorong apartemennya. Dalam rekaman itu, seorang pria berjaket hoodie hitam berdiri di depan pintu apartemennya beberapa jam yang lalu. Ia mencoba memasukkan sesuatu ke dalam lubang kunci—mungkin alat untuk membobolnya. Tetapi sebelum pria itu sempat melakukan apa pun, layar rekaman mendadak glitch selama beberapa detik. Ketika gambar kembali stabil, pria itu sudah menghilang. Seolah-olah dia terhapus dari rekaman itu sendiri. Cassandra merasakan bulu kuduknya meremang. "Apa yang terjadi di sini?" "Mari kita katakan bahwa aku memastikan kau tetap aman," jawab Elias ringan. "Orang itu mencoba membobol apartemenmu. Sayangnya, dia mengalami ‘gangguan teknis’ sebelum sempat berhasil.” "Gangguan teknis?" "Kau tidak perlu tahu detailnya. Hanya saja, mari kita sepakati bahwa dia tidak akan mengulangi hal yang sama lagi." Cassandra menutup matanya, menarik napas dalam. "Elias. Apa yang kau lakukan?" Elias terkekeh, tetapi kali ini ada sesuatu dalam suaranya—sesuatu yang dingin, berbeda dari sikap tengil biasanya. "Aku hanya memastikan mereka tahu satu hal, Cassie." "Dan apa itu?" "Bahwa jika mereka menyentuhmu, maka mereka berurusan denganku." Cassandra terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku bisa menangani diriku sendiri, Elias." "Tentu saja bisa. Tapi aku tidak suka membiarkan orang-orang bodoh itu berpikir bahwa mereka bisa menyentuhmu tanpa konsekuensi." Cassandra menghela napas. "Elias, aku tidak mau kau ikut terseret terlalu jauh." "Cassie, Cassie... kau tahu aku sudah berada dalam permainan ini lebih lama dari yang kau sadari, bukan?" Cassandra menggigit bibirnya. Dia ingin menyangkal, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu Elias bukan orang yang hanya muncul ketika dibutuhkan. Dia selalu ada. Selalu mengawasi. "Kau tahu," lanjut Elias santai, "kalau Paman Kurcaci tahu ada orang mencoba masuk ke apartemenmu, dia pasti sudah menyusun strategi perang." Cassandra tersenyum kecil. "Kau tahu aku benci saat kau membicarakan ayahmu dengan julukan itu, kan?" "Oh, aku tahu. Tapi aku juga tahu kau menyayanginya. Dan sejujurnya, aku lebih suka dia marah padamu daripada padaku." Cassandra tertawa kecil. "Pengecut." "Realistis," Elias mengoreksi. "Sudahlah, Cassie. Tidurlah. Aku akan tetap mengawasi, dan kalau ada sesuatu yang mencurigakan, aku akan memastikan mereka menyesali keputusan hidup mereka." Cassandra menghela napas tetapi tidak membantah. "Baiklah. Tapi jangan pikir aku akan membiarkan ini begitu saja." "Aku tidak pernah meragukan itu." Elias menutup telepon lebih dulu. Cassandra menatap layar laptopnya, mendesah pelan. Elias memang tengil dan menyebalkan. Tetapi di saat yang sama, dia adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkan saat keadaan menjadi kacau. Namun, ada satu hal yang mengganggunya. Elias selalu lebih dulu tahu. Dan Cassandra bertanya-tanya… Seberapa dalam dia sebenarnya sudah masuk ke dalam permainan ini? Di Tempat Lain – Apartemen Elias Rowe Elias meletakkan ponselnya di meja, senyum masih tersisa di wajahnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar cangkir kopinya perlahan. Di hadapannya, layar komputer masih menyala, menampilkan beberapa data penting. Salah satunya adalah informasi tentang orang-orang yang terlibat dalam kasus Lily. Nama-nama. Lokasi. Transaksi mencurigakan. Elias menatap layar itu dengan ekspresi berubah dingin. Sistem sudah busuk. Dan ini baru permulaan. Tangannya kembali bergerak di atas keyboard, membuka akses ke jaringan yang lebih dalam. Dia bukan hanya mencari siapa yang mengancam Cassandra—dia mencari siapa yang menarik tali di balik semua ini. Elias menyeringai kecil. Jika mereka pikir bisa bermain di bayang-bayang... mereka belum tahu apa artinya hidup dalam kegelapan yang sebenarnya. Elias menatap layar komputernya, cangkir kopi di tangannya sudah kosong. Matanya masih fokus pada data yang terpampang di layar. Salah satu nama yang muncul dalam penyelidikannya membuatnya menghela napas. "Tsk. Dasar bodoh, kau benar-benar memilih lawan yang salah." Tangannya kembali bergerak di atas keyboard, memanipulasi sistem dengan cepat. Dalam hitungan detik, akun bank seseorang kembali dibekukan, akses digitalnya hilang, dan riwayat transaksinya dihapus. Lihatlah siapa yang panik besok pagi. Ponselnya bergetar. Cassandra mengiriminya pesan. Cassandra: Aku tahu kau belum tidur. Jangan bertindak terlalu jauh, Elias. Elias tersenyum kecil. Dia tahu Cassandra cerdas, tetapi dia juga tahu kapan harus mengabaikan peringatannya. Elias: Aku? Bertindak terlalu jauh? Cassie, aku hanya pria sederhana yang menikmati hiburan kecil. Cassandra: Elias, aku serius. Elias: Aku juga. Tapi kau harusnya tahu, Cassie... Elias menatap layar sebentar sebelum mengetik kalimat terakhir. Elias: Mereka memulainya lebih dulu. Aku hanya memastikan mereka mengerti bahwa mereka telah memilih musuh yang salah. Cassandra tidak membalas, tetapi Elias tahu dia sedang menahan kekesalannya. Ia tertawa kecil dan menutup laptopnya. Saat ia bangkit dari kursi dan meregangkan tubuh, matanya menangkap pantulan dirinya di kaca jendela apartemennya. Elias Rowe, si pemuda tengil, hacker genius, dan... sesuatu yang lebih dari itu. Ia menatap dirinya sendiri sebentar sebelum menyeringai. “Kita lihat siapa yang bertahan lebih lama.” Lalu, dengan santai, ia berjalan menuju dapur, membuka kulkas, dan bergumam, "Sial. Aku kehabisan es krim." Ia mengeluarkan ponselnya lagi, menekan satu kontak yang hanya memiliki ikon mahkota sebagai nama. "Queen, aku butuh pasokan es krim. Segera." Suara di seberang sana menghela napas panjang. "Elias, ini sudah hampir jam tiga pagi." "Dan aku hampir mati kehausan karena krisis es krim ini. Prioritas, Queen. Prioritas." Hening sebentar sebelum suara itu terdengar lagi, kali ini lebih lembut. "Apa kau baik-baik saja?" Elias berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil. "Aku selalu baik-baik saja." Sambungan terputus. Elias menatap ponselnya sesaat sebelum meletakkannya di meja, lalu bersandar ke kursinya dengan ekspresi sulit ditebak. Di luar jendela, kota New York tetap terang benderang, tetapi di dalam apartemen, hanya ada satu bayangan yang terus bergerak dalam gelap.Cassandra menatap layar laptopnya sambil menyesap kopi yang sudah dingin. Berkas-berkas kasus Lily masih terbuka, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman yang ia terima.Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah panjang.Elias Rowe.Cassandra menekan tombol jawab. "Jika kau menelepon hanya untuk menggangguku, aku akan memblokirmu sekarang juga.""Cassie, kau sungguh kejam. Aku menelepon karena rindu, tapi kau malah mengancamku," Elias merajuk, terdengar dramatis seperti biasa."Elias, kalau kau rindu, aku bisa mengirimmu sekotak batu bata supaya kau bisa membenturkan kepalamu sendiri.""Astaga, betapa manisnya kau."Cassandra memutar matanya. "Katakan saja apa maumu, Elias.""Baiklah, baiklah," suara Elias berubah sedikit lebih serius. "Aku ingin kau membuka laptopmu dan periksa folder baru yang muncul di desktopmu."Cassandra mengernyit dan segera mengecek layar laptopnya. Benar saja, ada folder baru berjudul "For My Favorite Pain in the Ass."
Suasana kantor The New York Tribune terasa lengang saat malam semakin larut. Hanya suara ketikan keyboard yang memenuhi ruangan. Cassandra duduk di depan laptopnya, matanya fokus menelusuri berkas-berkas kasus Lily, gadis yang berani melaporkan pelecehan tetapi diabaikan oleh sistem.Ponselnya bergetar, memecah keheningan. Tanpa melihat layar, Cassandra meraihnya dan mengangkat panggilan itu."Halo?"Tidak ada suara di seberang. Hanya napas berat, panjang, seperti seseorang yang sedang mengawasi."Cassandra," suara berat itu akhirnya terdengar. Dingin. Terukur. "Kau masih belum belajar, ya?"Cassandra menegang sesaat, tetapi tidak menunjukkan tanda ketakutan. "Kalau kau ingin aku takut, kau harus mencoba lebih keras."Orang itu tertawa kecil, tawa tanpa emosi. "Kau berani bicara seperti itu setelah apa yang terjadi pada Gallagher? Kau ingin jadi korban berikutnya?"Cassandra mengangkat alis, meski ia tahu pria itu tidak bisa melihatnya. "Ancaman yang sama lagi? Kalian benar-benar keha
Cassandra melangkah santai memasuki lobi The New York Tribune, senyumnya mengembang saat matanya menangkap sosok pria yang tampak gelisah menunggu di dekat resepsionis. Alexander Carter. Pengacara itu berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya, rahangnya mengeras seolah menahan emosi.Ia bahkan tidak perlu menebak alasan pria itu datang. Sudah jelas.Dengan tawa kecil, Cassandra berjalan mendekat, tatapannya penuh percaya diri. "Kau terlihat tidak sabar, Alexander. Apa aku harus merasa tersanjung?"Alexander langsung menoleh, matanya tajam menatap Cassandra. Meski nada suaranya tetap tenang, Cassandra bisa merasakan kemarahan yang tertahan di balik kata-katanya."Kita perlu bicara," ucapnya singkat.Cassandra mengangkat alis, masih mempertahankan senyumnya. "Tentu. Kau ingin wawancara eksklusif?"Alexander mendengus, jelas tidak terhibur. "Jangan bercanda, Cassandra. Ini bukan soal permainan kata-kata di media."Cassandra melipat tangan di depan dadanya. "Lalu apa? Ji
Cassandra masih duduk di ruangannya, jari-jarinya mengetuk meja dengan ritme pelan. Pikirannya masih tertuju pada berita yang baru saja dipublikasikan, membayangkan bagaimana reaksi orang-orang yang merasa terusik olehnya.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menunjukkan nomor yang tidak dikenal. Tanpa ragu, Cassandra mengangkatnya dan mendekatkan ke telinga."Cassandra," suara di seberang terdengar dalam dan berat, "kau telah melangkahi batas. Tarik beritamu sebelum kau menyesal."Cassandra mengangkat alisnya, tidak sedikit pun terkejut. Dia sudah menduga ini akan terjadi."Dan jika aku tidak mau?" tanyanya santai, menyandarkan tubuh ke kursinya.Hening sejenak. Kemudian suara itu berbicara lagi, lebih dingin dari sebelumnya. "Aku yakin kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak bicara."Cassandra tersenyum tipis. Ancaman ini terlalu klise. Dia sudah mendengarnya berkali-kali sebelumnya."Oh, jadi aku akan 'menghilang secara misterius' seperti mereka?" ucapnya den
Cassandra mendorong pintu kaca kantor The New York Tribune dan melangkah masuk dengan cepat. Redaksi masih ramai meski malam sudah mulai larut. Suara ketikan cepat dari rekan-rekannya bercampur dengan dering telepon dan diskusi singkat antar reporter yang berlalu-lalang. Tapi Cassandra tak memedulikan semua itu. Pikirannya masih tertuju pada kasus Thomas Gallagher—dan ekspresi frustasi Alexander Carter saat persidangan tadi.Ia melempar tasnya ke meja, menyalakan laptop, lalu mulai mengetik dengan cepat.**“Ketika hukum berpihak pada yang berkuasa, siapa yang melindungi mereka yang tak punya suara? Thomas Gallagher hanya seorang pria biasa, seorang petani kecil yang tanahnya diambil begitu saja oleh korporasi raksasa yang berlindung di balik celah hukum. Hari ini, pengadilan menolak tuntutannya—bukan karena kurangnya bukti, tetapi karena sistem yang lebih mengutamakan keuntungan daripada keadilan.Ini bukan hanya tentang Thomas. Ini tentang kita semua. Tentang bagaimana mereka yang pu
Lorong luar ruang sidang terasa berat dengan keheningan yang mencekam. Thomas Gallagher duduk di bangku panjang, bahunya merosot, matanya masih menatap kosong ke lantai. Kekalahan yang baru saja ia alami membuatnya kehilangan segalanya—tanahnya, rumahnya, dan keyakinannya terhadap keadilan.Alexander Carter berdiri di sampingnya, berusaha memberikan penghiburan meskipun ia tahu kata-kata tidak akan cukup. Kliennya telah menjadi korban permainan kotor, dan ia tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikannya.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang dengan penuh percaya diri berjalan ke arah mereka.“Tuan Gallagher?”Suara seorang wanita membuat Alexander mendongak. Seorang wanita muda berdiri di depan mereka, mengenakan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, dipadukan dengan jeans gelap yang memberikan kesan santai namun profesional. Rambut cokelat keemasannya tergerai dengan rapi, dan sorot matanya tajam, penuh determinasi.“Saya Cassandra Sinclair, jurnalis dari The Ne
“Yang Mulia,” Alexander Carter berdiri tegap di balik meja pengacara. Setelan hitamnya rapi, dasinya terikat sempurna, namun sorot matanya tajam dan penuh determinasi. Suaranya bergema di dalam ruangan, tenang namun penuh penekanan. “Kasus ini bukan sekadar sengketa kepemilikan tanah. Ini adalah bukti nyata bagaimana hukum sering kali berpihak kepada mereka yang memiliki kekuatan dan uang, sementara rakyat kecil dipaksa menyerah tanpa perlawanan.” Ruang sidang dipenuhi atmosfer tegang. Deretan kursi dipenuhi oleh wartawan, pengamat hukum, dan beberapa orang yang memiliki kepentingan dalam kasus ini. Lampu-lampu kristal di langit-langit aula pengadilan memancarkan sinar redup yang terasa dingin, mencerminkan ketegangan yang menggantung di udara. Di bagian depan, ia menatap hakim dengan percaya diri sebelum kembali memfokuskan pandangannya pada berkas di tangannya. “Klien saya, Thomas Gallagher,” Alexander melirik ke arah seorang pria tua yang duduk dengan wajah penuh harapan, “tela