Share

Bab 8_Gagal Bicara

Alan menghela nafas panjang, dia sudah tak bisa lagi mencari alasan untuk menghindar.

“Mungkin emang udah saatnya Gue jujur sama dia,” batinnya. Tak lama kemudian, pria itu berbicara.

“Apa susahnya sih tinggal ngomong? Gue enggak mau salah paham sama Elo apalagi salah nuduh. Entar yang ada—.”

Belum selesai bicara, Alan buru-buru memotong ucapannya. “Gue Alan, kakak kelas Elo dulu sewaktu masih di SMK Tunas Bangsa,” sahut pria itu cepat.

Seketika membuat kedua bola mata Liana membulat sempurna.

“Apa?” pekiknya lagi. “Elo kakak kelas Gue?” ulang kalimat Alan barusan. “Jangan ngaku-ngaku, deh!”

“Kok Elo enggak percaya, sih?” heran Alan melihat sikap Liana. “Apa perlu Gue tunjukin kartu pelajar Gue dulu waktu masih sekolah?”

Kedua sudut bibir Liana terangkat, ia tersenyum kecil dengan menampakkan raut wajah bersalahnya. “Enggak perlu, kok! Gue percaya sama Elo,” ucapnya kemudian dan langsung meneguk minumannya yang masih tersisa setengah gelas itu.

Alan yang menyadari hal tersebut, refleks menawarkan minuman miliknya untuk Liana.

“Mau nambah punya Gue enggak? Belum aku minum, kok! Punya Elo udah mau abis,” ujar pria itu menawarkan.

Hal itu semakin membuat Liana merasa tak enak hati. Sejak awal dia sudah membentak-bentak Alan dengan sikapnya. Bahkan sampai harus marah-marah enggak jelas.

“Enggak perlu, makasih. Lagian makanan Gue juga udah mau abis, kok!”

“Yakin?” tanyanya memastikan.

“Ehm,” Liana bergumam seraya menganggukkan kepala pelan. “Btw, Elo kenapa mau nolongin Gue tadi?” tanya Liana penasaran.

Alan menghela nafas sejenak, tetapi belum sempat menjawab. Lagi-lagi Liana cepat memotong.

“Apa Elo juga akan nglakuin hal yang sama kalau itu bukan Gue?”

Deg. Seketika Alan terbungkam. Pertanyaan jebakan. “Apa maksudnya?”

Tetapi dia harus bersikap tegas. “Mau itu Elo atau bukan, kalau melihat orang yang berbuat salah mestinya diingetin. Bukan dibiarin gitu aja. Lagian Gue paling benci liat orang yang seenaknya aja ngambil celah buat bunuh diri, semua manusia juga punya masalah, jadi stop merasa jadi manusia paling tak berdaya di dunia ini,” jelas Alan. Dia rasa jawaban ini terdengar logis dan tidak memihak siapa pun.

Liana terdiam, dia memilih pergi ke toilet setelah meminta ijin untuk pergi sebentar.

Sementara Alan hanya mengangguk kecil sambil bertopang dagu, sembari menunggu pria itu memutuskan mengambil sebatang rokok sebagai teman duduknya.

“Sialan! Kenapa cowok itu selalu bersikap seolah dialah yang paling benar,” umpat Liana seraya membanting tas ranselnya di atas wastafel.

Dia berdiri menatap cermin, kemudian melihat wajahnya sendiri dengan lekat.

“Gue enggak suka diatur-atur, dan Gue paling benci sama orang yang mau ikut campur urusan Gue,” tandas Liana berbicara sendiri.

Tak lama kemudian, seorang perempuan tak dikenal datang di tempat yang sama. Wanita itu duduk tepat di sampingnya sambil membenarkan rambut yang sedikit berantakan.

“Kamu kenapa liatin saya begitu?” ujar wanita itu. Sepertinya dia menyadari tatapan Liana sejak tadi melalui cermin.

Liana menggeleng. “Enggak apa-apa, mbak?” jawabnya.

“Jangan lama-lama di sini, kasihan cowoknya udah nungguin,” kata wanita itu kemudian berlalu pergi.

“Hah?” Liana tertawa kecil mendengar tuduhannya. Mungkin cowok yang dimaksud perempuan itu adalah Alan. Pria yang tak lain baru saja menolongnya.

Setelah memastikan perempuan itu pergi, Liana mengambil ponselnya di dalam ransel. Dia berniat menghubungi Rifa. Dugaannya tak mungkin salah bahwa sahabatnya pasti sedang mencarinya sampai pusing tujuh keliling.

Tak mau buat khawatir, Liana langsung menghubungi Rifa dengan menelepon.

“Liana???” teriak Rifa dengan suara melengking dan memaksanya harus menjauhkan ponsel dari telinganya.

“Elo ke mana aja, sih? Dari tadi Gue nyariin Elo tapi enggak ketemu. Telpon Gue juga kenapa enggak Elo angkat. Seneng banget bikin orang panik. Kasih tau Gue sekarang, di mana Elo sekarang?” tanya Rifa sambil mengomel di telepon.

“Sorry, enggak bermaksud buat Elo panik. Tapi Gue baik-baik aja, kok!”

“Astaga, Li? Tau enggak sih, nyokap Elo tuh sampai bela-belain datang ke rumah Gue buat nyari Elo tau. Dan sekarang, dengan santainya Elo bilang baik-baik aja? Sumpah ya, Li? Gue bener-bener enggak ngerti sama apa yang ada di pikiran Elo sekarang.”

“Tenang dulu, Fa? Gimana Gue bisa ngomong kalau Elo aja ngomel terus begini.”

Rifa menghela nafas. “Oke, sekarang katakan! Di mana Elo?” tanyanya dengan nada yang terdengar lebih tenang dari sebelumnya.

“Gue lagi di Kafe deket sekolah.”

“Ngapain Elo ke sana. Biasanya kalo beli makan cukup di warteg aja,” ujar Rifa penasaran. Enggak seperti biasanya Liana keluyuran di tempat itu.

“Ehm, Gue enggak bisa jelasin sekarang. Karena Gue enggak sendirian. Jadi—.”

Rifa buru-buru memotong ucapannya, “Enggak sendiri? Terus sama siapa?” sergahnya cepat. Dia tak yakin Liana punya teman lain di SMK Tunas Bangsa selain dirinya.

“Nanti aja Gue jelasin, sekarang Gue harus balik buat nemuin pria itu.”

“APA???” Rifa memekik heran. “Gue enggak salah dengar, Li? Elo barusan bilang apa?”

“Enggak usah ngeles deh, Fa? Gue tau Elo juga denger.”

“Li, please! Kasih tau gue sekarang atau—.”

Tut tut tut!

Panggilan terputus, Liana mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Tak lama setelah itu, dia keluar dari toilet dan kembali menemui Alan.

“Pria itu..., benar-benar membuatku semakin penasaran. Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia seperti mengenalku lebih?” batin Liana penuh tanya.

Langkahnya terhenti saat sudah hampir sampai di meja makan mereka sebelumnya. Gadis itu berdiri lima meter di belakang Alan.

“Kayaknya dia sedang ada urusan penting,” gumamnya kala menatap Alan yang sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon.

“Kali ini aja, Vin? Gue enggak akan mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini. Bertahun-tahun aku menahan rindu dengan gadis itu. Dan ketika takdir kembali mempertemukan lagi, kenapa Gue harus menundanya untuk waktu yang lebih lama?” ucap Alan terdengar memohon.

“Tapi resikonya besar, Lan? Gue enggak mau cuma karena Elo bela-belain ketemu gadis itu. Elo kehilangan pekerjaan Elo,” ujar Kevin melalui ujung telepon.

“Apa maksudnya?”

“Bos mengancam Elo, Lan. Kalau sampai jam setengah tiga Elo enggak balik ke kantor. Elo bakal di pecat,” tandas Kevin menjelaskan.

“Dipecat?” Alan mengulang kalimat itu dengan cukup keras. Bahkan tak sedikit orang yang menoleh ke arahnya tak terkecuali Liana.

Tanpa pikir panjang, Liana langsung menghampiri Alan.

“Sorry, Gue mendadak ada urusan. Mami Gue minta Gue pulang sekarang. Mungkin lain waktu kita bisa ngobrol lagi,” ucap Liana. Dia sudah mendengarkan semua obrolan Alan dengan seseorang di balik telepon.

Ponsel Alan yang masih terhubung dengan Kevin, dengan cepat dia memutuskannya lalu memasukkan ke dalam saku.

“Kok buru-buru. Makanannya belum abis, lho.”

“Enggak apa-apa. Tinggal sedikit juga. Gue duluan.” Pamitnya kemudian pergi.

Namun baru selangkah Liana berjalan meninggalkan tempat itu, Alan buru-buru mencegahnya dengan menahan pergelangan tangan gadis itu supaya tidak pergi.

“Lepasin!” perintah Liana dan langsung menepis tangan pria itu.

“Gue anter Elo pulang, ya?”

“Enggak perlu, Gue bisa pulang sendiri. Lagian jarak rumah Gue enggak jauh-jauh amat dari sini,” tolak Liana dengan sinis. Tanpa menghiraukan Alan, gadis itu langsung pergi begitu saja.

“Sialan! Semua gara-gara si Bos, jangan-jangan dia tau obrolan Gue sama Kevin barusan,” pikir Alan sembari mengacak rambutnya frustrasi.

Dengan cepat, Alan langsung bergegas keluar untuk menyusul Liana. Namun sayang, gadis itu berjalan lebih cepat darinya.

Dengan lemas, Alan kembali menuju parkiran untuk kembali ke kantor sesuai instruksi dari si Bos.

“Jangan berpikir, Gue enggak tau apa-apa tentang Elo, Alviano?” gumam seorang gadis yang berdiri di balik pohon dengan bersembunyi.

note: Jika dirasa ada kesalahan alur mohon maaf ya temen-temen, karena dari bab 1 sampai 7 sudah revisi. Namun masih dalam peninjauan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status