"Permisi? Mau pesan apa?" suara seorang pelayan resto yang tiba-tiba datang ke arah mereka sambil membawakan buku menu yang tersedia di sana.
"Ah. Kebetulan banget, Gue udah laper. Dari jam istirahat di sekolah Gue kan belum makan," batin Liana kemudian langsung mengambil buku tersebut dan mulai memilih makanan yang akan di pesan.Hal serupa juga dilakukan Alan. Pria itu mulai mencari menu yang cocok untuk dinikmati saat siang terik begini."Spagheti aja, mbak?" jawab Liana dan Alan kompak.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sementara sang pelayan hanya menahan senyum sambil menuliskan pesanan mereka."Untuk minumnya?""Orange jus aja, Mbak?" sahut Liana cepat."Kalau masnya?""Samain aja, Mbak?""Baiklah. Mohon ditunggu sebentar ya?"Mereka mengangguk, setelahnya membiarkan pelayan itu pergi. Suasana mendadak canggung seketika, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.Alan melirik arlojinya sekilas, sudah jam dua siang. Seharusnya dia sudah kembali ke kantor, tapi dia juga tak mungkin akan meninggalkan Liana sendirian. Apalagi dirinyalah yang telah mengajak pergi.Drt-drt!Ponsel Alan bergetar. Satu pesan masuk dari Kevin yang tak lain sahabatnya masuk.[Di mana, Elo? Dicariin bos tuh?]Tanpa pikir panjang, Alan langsung membalas pesan tersebut cepat.[Gue lagi sama Liana. Cewek yang sering Gue ceritain sama Elo. Kasih alasan terbaik versi Elo kalau Gue akan telat kembali ke kantor.] Tulis pesan Alan di ponselnya.Send."Sibuk banget keknya," celetuk Liana tiba-tiba.Alan hanya terkekeh. "Enggak terlalu. Btw, Gue boleh tanya sesuatu enggak sama Elo?""Bukannya harusnya Gue yang nanya duluan ke Elo? Siapa Elo? Tiba-tiba datang mau nolongin Gue? Padahal niat Gue udah hampir berhasil kalau Elo enggak datang.""Liana? Elo tuh kenapa, sih? Ada masalah apa? Memangnya enggak ada cara lain selain bunuh diri? Elo lupa? Ada akhirat setelah kehidupan dunia berakhir. Enggak gampang, lho! Semua perbuatan Elo akan dimintai pertanggung jawaban di sana.""Kok malah jadi nyeramahin Gue, sih? Gue kasih tau Elo ya? Kalau mau ceramah tuh di masjid, enggak di sini.""Hadeh! Ini anak satu susah banget di bilangin. Gue enggak nyangka, Li? Setelah dua tahun terpisah sama Elo, ternyata sikap dan sifat Elo enggak pernah berubah. Elo masih tetap seperti Liana yang Gue kenal dulu." Batin Alan dengan pandangan intens ke arah gadis itu.Selang beberapa menit, pesanan mereka datang. Pelayan langsung menyajikan hidangan di atas meja.Liana yang sudah merasa cukup lapar, dengan cepat langsung menggerakan sendok dan garpunya dan menyantap makanan tersebut."Makan yang banyak ya, Li? Kalau kurang entar nambah. Tenang aja, Gue yang traktir, kok!" ujar Alan kemudian. Nada kalimatnya terdengar lembut.Tak munafik, Liana mengakui kalau Alan adalah anak yang santun dan memiliki budi pekerti yang baik. Namun tetap saja, bagi Liana, Arifinlah sosok laki-laki sempurna di dunia ini. Meski cenderung dingin dan irit bicara, namun hal itulah yang membuat Liana semakin tertantang untuk mendapatkan hatinya.Di sela-sela makan mereka, Liana mencoba bersikap tenang dari sebelumnya. Dia masih penasaran, siapa sosok Alan sebenarnya.Sampai akhirnya, gadis itu memberanikan diri bertanya sekali lagi dengan nada yang lebih santai dan rileks."Elo mau jujur enggak sama Gue?" tanyanya.Mata Alan langsung membulat tak percaya dengan ucapan Liana barusan. "Kayaknya dia bakal interogasi Gue, nih! Duh, Gue harus jawab apa lagi?" batin Alan mulaicemas."Bo-boleh. Emangnya apa yang mau Elo tau dari Gue?"Liana menghela nafas panjang setelah menghabiskan satu suapan terakhirnya ke mulut. Kemudian meneguk minumannya hingga hampir setengah dari gelas tersebut."Gue mau Elo jujur. Sejak awal, Gue curiga kalau Elo sebelumnya kita memang pernah kenal. Entah Gue yang lupa atau karena apapun itu, Gue mau Elo bilang sama Gue!" pinta Liana kepada Alan."Bener kan dugaan Gue, dia pasti mau bahas ini," batin pria itu."Elo itu siapa sebenernya?"Jangan lupa vote dan komen ya? Dukungan kalian sangat berarti untukku. Pastinya buat aku semangat untuk update babnya😉👌🏻
Wanita itu berteriak, langkahnya tergesa hanya untuk menyusul putrinya agar mau bicara. Sampai kemudian Adilla berhasil mencekal erat pergelangan Liana hingga membuat gadis itu berbalik menatap ibunya."Mami mau menjelaskan apalagi?""Mami sama Om Firman itu tidak punya hubungan apa-apa, Li. Hubungan kami tidak lebih dari seorang rekan kerja di kantor." Wanita itu berusaha menjelaskan. Namun, sayangnya Liana sudah tidak mau percaya lagi mendengar kalimat yang dilontarkan oleh maminya.Bukan tanpa alasan, selama ini dia berusaha untuk mendengarkan kata maminya meskipun itu sult. Dia berusaha menjalankan apa yang diperintahkan olehnya dan tidak melanggar larangannya. Hingga suatu pesta perayaan ulang tahun temannya yang bahkan sangat ia inginkan untuk hadir di sana. Semuanya gagal karena dia harus menuruti nasihat maminya yang melarang ia keluar malam.Namun, bukankah semua itu harus ada keseimbangan antara satu sama lain. Jika Adilla menuntut anaknya melakukan sesuatu yang menjadi kehe
Seseorang membuyarkan lamunan Alan ketika Kevin terlihat memunculkan kepalanya untuk melihat ke arah sahabatnya. Sementara yang diajak bicara hanya terkekeh pelan tanpa rasa berdosanya sama sekali. Alan pun segera menemuinya di ambang pintu. "Kenapa kau kembali lagi?" "Seharusnya aku yang bertanya padamu kenapa masih di sini. Bos sudah menunggu." Ingatnya seketika membuat pria itu membulatkan mata sempurna sembari menepuk pelan jidatnya dengan tangan. "Astaga? Aku bahkan bisa melupakan hal sepenting ini." Buru-buru Alan pergi menemui bosnya di ruangan. Firasatnya berkata akan terjadi hal buruk mengenai pekerjaannya di kantor. "Oh Tuhan, lindungilah aku." *** Di sisi lain, Liana masih larut dalam kekesalannya. Dia mengurungkan diri di kamar dan tidak membiarkan seorang pun bisa masuk ke ruangannya. Tak terkecuali Adilla, wanita itu kebingungan bagaimana membujuk putrinya agar mau keluar dan makan. "Li?" panggil maminya dari balik pintu kamar Liana. "Makan dulu, gih! Dari sian
Kevin menghela napas setelah memutuskan panggilannya dengan seorang perempuan asing yang tidak dikenalnya. Pandangannya mengedar menatap ke segala arah."Siapa yang menelponmu?" tanya Alan penasaran. Tapi bukannya menjawab, Kevin hanya mendengus kesal. Dia tidak kenal siapa perempuan yang sudah menghubunginya baru saja. dari mana dia mendapatkan nomornya? "Aku tidak tau.""Mengapa begitu?" tanya Alan dengan kedua alisnya yang terangkat karena pensaran."Dia tidak menyebutkan nama.""Sungguh?"Kevin mengangguk."Lalu bagaimana dia mengetahui nomormu?""Itulah yang membuatku bingung.""Dia bilang apa?""Dia menyuruhku untuk bertemu di kafe depan sekolah Tunas Bangsa. Dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan denganku."Mendengar jawaban Kevin, seketika membuat Alan beranjak dari duduknya. Pria itu berjalan mendekat ke arah sahabatnya yang masih diliputi kebingungan."Sepertinya kau akan terlibat dengan masa laluku, Lan.""Menyebalkan! Dia bahkan sama sekali tidak menyebutkan kapan wak
Liana mendengus kesal saat dirinya sudah sampai di rumah. Dia masuk ke kamarnya setelah melepas sepatu sekolah dan meletakannya di atas rak."Gue kakak kelas elo dulu sewaktu SMK." Kalimat Alan terus terngiang-ngiang di telinganya. Jika benar ucapannya, lantas kenapa Liana merasa asing dengannya? Batin gadis itu penasaran.Liana membanting tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamar yang bernuansa kebiruan. Tak hanya itu, dia juga menyalakan AC di ruangan tersebut untuk mendinginkan suasana."Liana?????"Teriakan mama Adila terdengar riuh memecah kesunyian rumah itu. Liana yang baru saja memejamkan mata berniat untuk tidur, seketika langsung terbangun sambil beranjak dari tempat tidur."Pasti bentar lagi mami gedor-gedor pintu," Liana membatin dalam hati.Tok-tok!Nah kan, "Gue bilang juga apa," sungutnya dengan wajah kesal lalu berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya.Ceklek!"Ya ampun, Liana? Kamu ke mana aja, sih? Mami khawatir dari tadi nyariin kamu tadi enggak kete
Alan menghela nafas panjang, dia sudah tak bisa lagi mencari alasan untuk menghindar. “Mungkin emang udah saatnya Gue jujur sama dia,” batinnya. Tak lama kemudian, pria itu berbicara.“Apa susahnya sih tinggal ngomong? Gue enggak mau salah paham sama Elo apalagi salah nuduh. Entar yang ada—.”Belum selesai bicara, Alan buru-buru memotong ucapannya. “Gue Alan, kakak kelas Elo dulu sewaktu masih di SMK Tunas Bangsa,” sahut pria itu cepat.Seketika membuat kedua bola mata Liana membulat sempurna.“Apa?” pekiknya lagi. “Elo kakak kelas Gue?” ulang kalimat Alan barusan. “Jangan ngaku-ngaku, deh!”“Kok Elo enggak percaya, sih?” heran Alan melihat sikap Liana. “Apa perlu Gue tunjukin kartu pelajar Gue dulu waktu masih sekolah?”Kedua sudut bibir Liana terangkat, ia tersenyum kecil dengan menampakkan raut wajah bersalahnya. “Enggak perlu, kok! Gue percaya sama Elo,” ucapnya kemudian dan langsung meneguk minumannya
"Permisi? Mau pesan apa?" suara seorang pelayan resto yang tiba-tiba datang ke arah mereka sambil membawakan buku menu yang tersedia di sana."Ah. Kebetulan banget, Gue udah laper. Dari jam istirahat di sekolah Gue kan belum makan," batin Liana kemudian langsung mengambil buku tersebut dan mulai memilih makanan yang akan di pesan.Hal serupa juga dilakukan Alan. Pria itu mulai mencari menu yang cocok untuk dinikmati saat siang terik begini. "Spagheti aja, mbak?" jawab Liana dan Alan kompak.Keduanya saling menatap satu sama lain. Sementara sang pelayan hanya menahan senyum sambil menuliskan pesanan mereka. "Untuk minumnya?""Orange jus aja, Mbak?" sahut Liana cepat."Kalau masnya?""Samain aja, Mbak?""Baiklah. Mohon ditunggu sebentar ya?" Mereka mengangguk, setelahnya membiarkan pelayan itu pergi. Suasana mendadak canggung seketika, keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.Alan melirik arlojinya