Karena tadi terpotong teguran dari Pak Andrew, Jelita jadi penasaran ingin sekali mendengar cerita Tania mengenai Dexter Green yang kemarin mencarinya.
Dan ia juga berharap semoga hari ini Dexter datang lagi ke tokonya... yah, semoga saja.Tapi ketika hari mulai menjelang sore, belum juga tampak kedatangan lelaki itu, sementara Tania sibuk di ruang persediaan untuk mengatur bahan baku yang baru datang sehingga Jelita sulit bertemu dan menggali informasi dengan seniornya itu.Jelita pun hanya bisa menarik napas kecewa. Akhirnya ia memilih untuk mengerjakan PR Matematika saja saat pengunjung toko mulai sepi.Jelita masih larut dan serius dalam mengerjakan tugasnya, saat seseorang tiba-tiba menarik pensil dari tangannya.Gadis itu pun mendongak kesal, bersiap menyemprot orang iseng yang melakukan hal itu saat ia baru menyadari bahwa ternyata... orang yang diam-diam ia harapkan kedatangannya itulah yang melakukannya!"K-kak Dexter?" Jelita menggigit bibir bawahnya karena serangan gugup yang mendadak menyergapnya. "Halo...""Hai Jelita. Apa kabar?" Sapa Dexter seraya menyungging senyum jahil dengan sorot manik caramel-nya yang bersinar hangat.Jelita menatap lelaki yang membuatnya sulit memejamkan mata dalam dua malamnya kemarin, dan kemungkin juga akan terjadi malam ini.Mata caramel itu benar-benar menakjubkan. Menyorot lurus padanya, namun tidak dengan tajam. Jelita memang merasa sedikit terintimidasi, namun dengan cara yang lembut. Uh. Rasanya seperti mendadak meremang di sekujur tubuh."Kabar baik, Kak." Nah. Akhirnya kali ini Jelita bisa memaksakan suaranya keluar tanpa tergagap lagi. Syukurlah."Kemarin aku datang ke sini untuk mencari kamu," beritahu Dexter. "Ehm, mau beli cheesecake sih, tapi sekalian ingin ketemu kamu juga," imbuhnya sambil nyengir, yang sukses membuat debar jantung Jelita makin kacau tidak karuan."Oh. Kemarin saya ijin karena ada keperluan," sahut gadis itu malu-malu."Mm-hm. Tania juga bilang begitu." Dexter melirik buku tulis yang masih terbuka di hadapan Jelita. "Sedang mengerjakan tugas matematika?"Jelita mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Kak."Dexter tertawa kecil. "Sepertinya tiap kali bertemu kamu, selalu saja ada buku di antara kita, ya?"Jelita benar-benar tidak tahu harus bereaksi ataupun berkata apa untuk menjawab perkataan Dexter barusan, sehingga ia hanya bisa tertawa canggung dan menunduk."Kamu masih belum selesai mengerjakan PR?"Jelita kembali mendongak, untuk kembali bertemu dengan mata caramel indah itu."Sudah selesai kok," bohongnya sambil menutup buku. "Oh iya, ngomong-ngomong hari ini Kakak mau beli cheesecake apa?""Mmh... apa ya? Kamu ada ide nggak?""Gimana kalau red velvet cheesecake?" Jelita menawarkan sambil berdiri dan berjalan menuju refrigerator. "Tuh, yang itu. Ada taburan nougat renyah sama keju di atasnya."Dexter menatap kue berwarna merah yang ditunjuk Jelita, lalu tersenyum. "Boleh juga. Aku ambil dua ya."Jelita tertegun, lalu menatap Dexter yang berdiri di belakangnya. "Kakak mau beli dua kue?" ulangnya untuk meyakinkan apa yang ia dengar.Apa dia berniat membelikan satu kue untukku lagi? Bukannya kepedean sih. Tapi kata Tania kemarin si Dexter ini hanya membeli satu kue, saat Jelita kebetulan tidak masuk kerja.Tiba-tiba saja Dexter mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak sejengkal dari wajah Jelita, membuat irama jantung gadis itu pun semakin tidak karuan."Iya, kan satunya buat kamu," bisiknya pelan menggoda dengan satu sudut bibir yang menekuk ke atas.Jelita yakin sekali kalau saat ini pasti wajahnya merah merona dengan begitu ketara dan begitu polosnya."Ng-nggak usah, Kak. Jadi merepotkan Kakak saja," tolak Jelita sambil mendorong kaca matanya ke puncak hidung dengan gugup.Dexter menghela napas pelan sambil tersenyum masam. "Kenapa kamu selalu ditolak sih? Please jangan bikin aku malu, Jelita. Terimalah saja kue itu, oke?""Ta-tapi kenapa?""Anggap saja aku memberimu sebagai seorang teman. Kamu mau berteman denganku kan?"'YA, TAPI KENAPA?!' jerit batin Jelita dalam hati, kembali menanyakan hal yang sama yang membuatnya bingung setengah mati.'Kenapa si Dexter ini ingin berteman denganku? Aku cuma gadis cupu berkacamata yang tidak menarik!'"Kamu pulang jam berapa, Jelita?" tanya Dexter lagi tiba-tiba.Mata bening berlapis lensa itu melirik jam digital yang berada di atas pintu masuk toko. "Sebentar lagi waktu kerja selesai," sahut gadis itu pelan.Dexter pun menganggukkan kepalanya mendengar jawaban Jelita. "Oke. Kalau begitu aku tunggu, ya? Mau antar kamu pulang kalau boleh."Dan... Jelita pun tak bisa untuk tidak semakin melongo mendengarnya.***Jelita masih merasa seperti bermimpi ketika ia dibawa masuk oleh Dexter ke dalam mobil sport Maserati miliknya.Ia benar-benar gugup dan bingung harus berkata apa selama dalam perjalanan, sehingga akhirnya Jelita pun memilih untuk diam meskipun ribuan pertanyaan berputar-putar di dalam otaknya."Makan dulu, yuk?"Pertanyaan Dexter itu membuat Jelita tersadar dari lamunannya. Serta-merta ia pun menoleh pada lelaki yang masih sibuk mengemudi itu."Makan?" ulang Jelita linglung. Ia akan makan dengan Dexter?Dexter melirik Audemars Piguet yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih sore, terlalu cepat untuk makan malam. Tapi ia masih ingin bersama Jelita, dan sama sekali belum berniat untuk mengantar gadis ini pulang.Entah apa yang membuatnya begitu terpikat dengan gadis kecil ini. Apakah karena mata besar beningnya yang tertutupi oleh kaca mata?Atau kulitnya yang terlihat lembut dan merona?Atau...Dexter tersenyum samar tanpa melepaskan tatapannya ke jalanan di depannya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan kenyamanan seperti ini dengan seorang perempuan. Entah bagaimana, Jelita membuatnya nyaman dalam cara yang berbeda.Mata bening dan senyum polosnya membuat Dexter benar-benar terpikat, meskipun seharusnya tidak begini. Jelita masih enam belas tahun, masih di bawah umur baginya yang sudah dua puluh satu tahun.Maka Dexter pun akan menganggapnya sebagai adik. Ya, adik. Sepertinya itu lebih dekat daripada teman, kan? Karena Dexter memang berencana ingin lebih dekat lagi dengan Jelita.Jelita baru sekali ini makan di hotel bintang lima. Untung saja hari ini dia memakai dress bahan kaus lengan balon selutut berwarna salem lembut, bukan jeans dan T-shirt kumal dan kedodoran biasa.Meskipun bukan baju mahal, tapi penampilannya lumayan manis dengan tas selempang dan sepatu kets. Rambutnya yang panjang lurus dikuncir ke atas kepala. Kacamata besar berbingkai hitam bertengger di hidungnya yang mancung mungil."Selamat sore, Tuan Dexter." Seorang lelaki yang berpakaian jas formal menyapa Dexter dengan penuh hormat."Sore, Frans," sahut Dexter sambil tersenyum pada lelaki berjas formal itu. "Meja kami sudah siap?"Frans mengangguk dan mempersilahkan agar Dexter mengikutinya. Mereka dibawa ke meja paling sudut di samping jendela kaca besar, yang memperlihatkan suasana kota di sore hari dari ketinggian 22 lantai.Jelita pun seketika terpana melihatnya. Tatapannya tak henti memandangi jendela sambil tersenyum."Kamu suka di sini?" tanya Dexter yang dari tadi hanya memperhatikan ekspresi Jelita dengan seksama.Jelita mengangguk penuh semangat menatap Dexter. "Bagus sekali pemandangannya, Kak. Dari atas sini langitnya terlihat sangat indah!" serunya antusias.Dexter tersenyum kecil melihat Jelita yang kembali mengagumi pemandangan dari balik kaca. "Kamu mau makan apa?""Um.. apa ya? Apa aja deh. Aku ikut Kakak aja.""Burger mau? French fries? Spageti?" tanya Dexter lagi saat waiter berdiri di samping meja mereka untuk mencatat pesanan."Boleh, yang mana aja terserah Kakak.""Oke. Kalau begitu ditambah fresh salad, air mineral, dan jus jeruk," Derek menyimpulkan sambil tersenyum."Kak, banyak banget pesanannya," ucap Jelita dengan mata membola melihat makanan yang melimpah di meja. Seketika ia pun teringat adik-adik asuhnya di panti. Mereka pasti senang sekali jika bisa makan makanan seperti ini, pikirnya sedih."Pokoknya harus dihabiskan. Aku juga sudah pesan makanan untuk adik-adikmu di Panti Asuhan," terang Dexter sambil tersenyum.Jelita terhenyak mendengarnya. "Kakak... sudah tahu?"Lelaki itu mengangguk. "Kamu salah satu anak Panti Asuhan Cinta Kasih, kan?"Jelita hanya bisa mengangguk pelan sambil tertunduk malu. Dexter sudah tahu kalau ia yatim piatu yang miskin, dan itu membuat Jelita makin merasa insecure ketika berdampingan dengan Dexter saat ini."Hei," ucap Dexter lembut, sambil sambil mengulurkan tangannya dan menaikkan dagu lancip gadis itu."It's okay. Jangan jadi rendah diri begitu. Kamu itu perfect, Jelita." Dexter menatap Jelita dengan lembut, terlalu lembut hingga membuat gadis itu merasa meleleh karena ucapan serta sorot mata caramel-nya yang teduh."Kak? Boleh aku bertanya?" Jelita akhirnya bisa mengumpulkan keberanian untuk mengeluarkan suara yang terasa tercekat di tenggorokannya."Hm? Mau tanya apa?" Dexter masih asik memandangi wajah merona Jelita yang manis, tanpa sadar bahwa tangannya masih terus berada di dagu gadis itu.Bahkan sekarang ibu jarinya mulai bergerak perlahan untuk mengelus dagu Jelita, menimbulkan sensasi menggelitik yang terasa aneh di tubuh gadis polos itu."Kenapa Kak Dexter begitu baik padaku?"Dexter tersenyum. Kali ini tatapannya tertuju pada bibir Jelita yang penuh dan merah menggoda. Bagaimana mungkin gadis kecil dan polos ini memiliki bibir seperti itu?Bibir Jelita terlalu penuh, terlalu menggiurkan dan akan membuat pikiran pria normal sepertinya melayang membayangkan saat-saat yang sangat menyenangkan jika bisa memagutnya."I guess... I like you, Jelita. A lot."***"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita." *** Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed. Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me