Share

4. Be Mine

"Kenapa Kak Dexter begitu baik padaku?"

Wajar kan jika Jelita bertanya seperti itu?

Maksudnya begini, mereka kan memang baru bertemu dua kali... namun dalam dua kali pertemuan singkat mereka, Jelita merasa sikap Dexter kepadanya sangatlah... aneh.

Uhm, koreksi. Bukan aneh sih... hanya saja tidak seperti dua orang asing yang baru dua kali bertemu.

Lihat saja, sekarang lelaki itu malah menyentuh lembut dagu Jelita dan memberikan tatapan teduh yang membuatnya jantungnya jumpalitan dan dadanya berdesir.

Jelita tidak mau ia jadi salah sangka. Ia takut berharap terlalu tinggi, karena Dexter Green tidak mungkin menyukai gadis polos dan miskin sepertinya.

Lagipula, jarak umur mereka terlalu jauh. Jelita masih enam belas tahun, sementara Dexter dua puluh satu tahun. Ia terlalu dewasa untuk Jelita yang masih remaja.

Tidak mungkin lelaki maha sempurna ini memiliki perasaan padanya.

Benar kan?

Namun ketika Dexter memberikan senyum memukaunya, seketika Jelita kembali terpana... dan berharap akan sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi.

"I guess... I like you, Jelita. A lot," ucap Dexter dengan mata caramel indahnya yang menyorot lembut pada wajah Jelita.

Jelita mengerjap-kerjapkan matanya dari balik lensa, serta berusaha untuk bernapas normal saat seorang malaikat tampan mengatakan bahwa dia menyukai dirinya.

Dan sekarang gadis itu pun baru menyadari bahwa mukjizat itu ternyata nyata dan benar ada di dunia ini.

Jelita tertawa dengan canggung. "Sa-saya juga suka sama Kak Dexter. Uhm... Kakak baik sekali, sudah membelikan kue dan mentraktir makan... belum lagi membawakan oleh-oleh untuk adik-adik saya di panti..."

Sekarang Dexter yang malah terbahak, menampakkan gigi putih dan rapinya yang menawan. "Jelita, aku tahu kamu masih enam belas tahun, tapi kamu pasti tidak sepolos itu untuk mengartikan jenis rasa suka yang baru saja kuungkapkan kepadamu, kan?"

Jelita pun langsung tertunduk malu. Jadi... Kak Dexter benar-benar menyukainya sebagai seorang lelaki kepada perempuan?

"Tapi.. kenapa Kakak bisa suka padaku? Aku ini kan yatim-piatu, miskin, tidak cantik dan belum dewasa seperti teman-teman Kak Dexter yang lain." Akhirnya Jelita sanggup juga menyuarakan pertanyaan yang terasa mengganggu di benaknya.

"Jangan berkata begitu, Jelita. Aku sudah pernah bilang kalau kamu perfect, kan?"

Jelita hanya menanggapi ucapan Dexter dengan senyuman miris. Perfect? Perfect dimananya ya?? Kayaknya cowok ini perlu diperiksa lagi matanya deh!!

"Mau tahu rahasia? Aku sudah tertarik padamu sejak pertama kali melihat seorang gadis manis berkaca mata yang menunduk serius di atas buku tebalnya," bisik Dexter dengan senyum yang terpantul di dalam matanya.

Itu benar. Percuma saja Dexter berusaha berpura-pura menganggap Jelita adalah adiknya, jika perasaan tertarik ini terlalu besar untuk diabaikan begitu saja.

Kali ini ia hanya akan membiarkan semuanya mengalir, meskipun ia belum mendapatkan jawaban dari gadis itu. Namun Dexter yakin, Jelita pun pasti merasakan ketertarikan yang sama dengan dirinya.

Jelita menggigit bibir bawahnya dengan wajah yang sudah semerah tomat. Kalau saja ia bisa menghentikan waktu saat ini, pasti dia sudah meloncat-loncat kegirangan mendengar perkataan Dexter.

"Aw!!"

"Kamu kenapa?" tanya Dexter kaget saat mendengar jeritan tertahan yang keluar dari mulut gadis itu.

Jelita meringis sambil menunjukkan kulit tangannya yang memerah. "Tadi barusan nyubit tangan sendiri, cuma mau mastiin aja kalau ini bukan mimpi..." cengirnya polos.

Dexter sempat mematung selama sedetik, sebelum tawa lepas lolos dari mulutnya. Buru-buru ia berdiri dan pindah ke tempat duduk di samping Jelita yang membuat wajahnya terasa semakin panas karena kini posisi tubuh mereka yang sangat dekat.

"Siniin tangan kamu," tukasnya sambil menarik tangan Jelita yang tadi ia cubit sendiri. Dexter mengelus bagian kulit yang memerah itu sekilas sebelum kemudian menempelkan bibirnya dengan sangat lembut di sana.

"Daripada dicubit, lebih baik dicium. Sama-sama valid kan sebagai pembuktian?" Dexter masih mengelus kulit tangan Jelita sambil tersenyum pada gadis itu.

Jelita hanya bisa menelan ludahnya sendiri mendapatkan perlakuan manis dari lelaki itu. Rasanya merinding ketika merasakan elusan tangan Dexter yang terasa hangat di kulitnya.

Ia menunduk malu, lalu perlahan melepaskan tangannya dari Dexter.

"Udah nggak sakit lagi kok," ucapnya pelan.

Dexter tersenyum, menyadari bahwa yang ia hadapi ini adalah gadis berusia enam belas tahun yang masih sangat polos, bukan perempuan berpengalaman yang biasa ia temui.

Bahkan gombalan ringan seperti tadi bisa membuat Jelita sangat tersipu-sipu. Ya ampun, menggemaskan sekali.

"Yuk makan lagi," ajaknya, yang dibalas dengan anggukan Jelita.

Tapi Dexter tidak bisa fokus pada hidangan di depannya. Ia terlalu menyukai pemandangan di sampingnya saat ini, yaitu Jelita yang sedang melahap makanan dengan nikmat.

Seakan tersadar dengan tatapan Dexter yang sejak tadi terarah padanya, Jelita pun menoleh.

"Kakak kok nggak makan?" tanyanya heran. Ada begitu banyak makanan di meja, Jelita tidak akan sanggup jika menghabiskannya sendiri.

Dexter tersenyum dan menggeleng. "Nanti saja, aku lebih suka melihat bidadari daripada makan," godanya sambil nyengir.

Jelita pun tergelak mendengar Dexter yang masih saja menggombalinya. "Kaaaak!! Udah kek gombalnya! Nih, makan. Aaaaa..." Jelita menyorongkan sesendok spageti ke depan wajah Dexter, memaksanya untuk membuka mulut.

Dexter menangkap cepat tangan Jelita yang terulur kepadanya dan langsung mencium jemari lentik itu sebelum memasukkan sesendok spageti ke dalam mulutnya.

"Enak," ucapnya dengan mulut penuh dan senyum terkulum. "Suapin lagi, dong. Makanannya jadi enak kalau disuapin kamu..."

Gombal.

***

Jelita kini sudah kembali berada di dalam Maserati milik Dexter. Tadinya lelaki itu hendak mengajak Jelita jalan-jalan dulu sebelum pulang, namun gadis itu teringat pada Bu Dira yang akan marah jika ia pulang terlalu larut.

Mereka bersenda gurau selama di dalam perjalanan, bercerita apa saja, bahkan sama-sama menertawakan lelucon yang receh.

Jelita tidak pernah merasakan senyaman itu bersama seorang lelaki sebelumnya.

Uhm, sama Kevin juga nyaman sih. Tapi kan tidak ada rasa diantara mereka, meskipun Jelita tidak tahu kalau Kevin sebenarnya menyukainya.

Saking serunya mengobrol dan bercanda dengan Dexter, Jelita sampai lupa bahwa ia tidak seharusnya membiarkan mobil Dexter berhenti tepat depan pintu pagar Panti Asuhan karena Bu Dira akan sangat murka jika ia tahu Jelita habis kelayapan dengan seorang lelaki.

Sadar-sadar, mobil Dexter sudah berhenti di depan pagar panti!

Jelita celingukan, dan bernapas lega saat tidak melihat Bi Dira atau siapapun di depan rumah panti. Haaah... syukurlah.

"Kak, terima kasih banyak untuk hari ini dan traktirannya ya," tukas Jelita riang sambil mengangkat dan menunjukkan dua bungkusan paperbag yang berisi cheesecake dan makanan berat dari hotel tadi.

"Adik-adikku pasti senang sekali," tambahnya lagi dengan wajah yang ceria membayangkan adik-adik asuhnya yang pasti bahagia melihat makanan enak.

"Aku boleh turun, nggak? Mau menyapa ibu yang jagain Panti," pinta Dexter tiba-tiba, membuat Jelita terkejut mendengarnya.

"Ha? Mmm... jangan sekarang ya Kak? Bu Dira nggak suka kalau aku dekat dengan laki-laki..." ujar Jelita polos. "Sebenarnya Bu Dira juga nggak memperbolehkanku pacaran sebelum lulus sekolah."

"Oh ya?"

Jelita mengangguk pelan. "Tadi juga aku lupa bilang, seharusnya mobil Kakak jangan berhenti di sini tapi yang agak jauhan aja. Soalnya kalau Bu Dira lihat, beliau bisa marah besar," tukas Jelita sambil meringis takut..

Dulu Mbak Sesa, salah satu anak panti yang empat tahun usianya di atas Jelita pernah ketahuan pacaran dengan teman sekelasnya, dan ketahuan Bu Dira.

Mbak Sesa pun didiamkan oleh wanita itu hampir selama seminggu, hingga akhirnya Mbak Sesa menangis sambil bersimpuh di kaki wanita yang sudah membesarkannya itu. Barulah sejak itu Bu Dira agak luluh, meskipun sejak saat itu sikap Bu Dira terhadap Mbak Sesa agak berbeda dari sebelumnya.

Bu Dira seperti kurang peduli pada Mbak Sesa, hingga akhirnya kakak asuh Jelita itu pergi merantau untuk bekerja di Bandung setelah lulus sekolah.

"Kalau Bu Dira marah sama kamu, bilang aja sama aku. Nanti biar aku yang bicara dengan beliau," tukas Dexter santai.

"Oh iya, aku hampir lupa." Dexter mengambil sebuah paperbag kecil dan menyerahkannya pada Jelita. "Buat kamu," ucapnya sambil tersenyum.

Jelita terkesiap kaget saat melihat isi paperbag itu. Dexter memberinya sebuah ponsel keluaran terbaru yang harganya belasan juta!

"Kak? Ini..."

"Please jangan menolak, Jelita. Aku ingin agar kamu bisa menghubungi aku kapan pun, oke? Dan aku juga jadi nggak bingung dan kalang-kabut nyariin kamu seperti kemarin," sungut Dexter.

"Aku kaget banget waktu nanyain nomor ponsel kamu ke Tania. Dia bilang kamu nggak punya ponsel!"

Jelita tertawa pelan. Ia pernah menabung untuk beli ponsel beberapa bulan yang lalu, tapi terpaksa dijual lagi untuk keperluan adik-adik asuhnya di panti.

"Nomorku sudah ada di phonebook ya. Mulai sekarang, kita pacaran kan? Meskipun di depan Bu Dira bukan," goda Dexter sambil mencubit pipi Jelita gemas.

Jelita cemberut sambil mengusap-usap pipinya yang dicubit Dexter. "Ya udah Kak, aku pulang dulu ya. Bye." Jelita pun turun dari mobil Dexter dan melambaikan tangannya pada lelaki yang sekarang telah resmi menjadi pacarnya.

Namun manik bening gadis itu pun membulat, saat melihat Dexter yang malah ikut turun dari mobil dan malah menghampirinya.

"Kak? Ada apa~~"

Jelita terkesiap kaget saat merasakan satu tangannya ditarik, lalu sebuah kecupan sekilas pun mendarat di pipinya.

"Sampai ketemu besok," ucap Dexter sambil tertawa kecil melihat wajah merona Jelita yang polos. "Nanti malam aku telepon ya? Pastikan ponsel kamu menyala."

Jelita hanya bisa mengangguk kaku dengan satu tangannya memegangi pipi yang tadi dikecup oleh Dexter.

Baik Jelita maupun Dexter tidak sadar, bahwa ada sosok gelap yang dari tadi memperhatikan mereka berdua, serta bersiap untuk memberikan hukuman yang pantas untuk Jelita.

***

Hujan deras turun membasahi tubuh kecil itu yang belumur darah. Namun ia tak peduli lagi dengan rasa nyeri di tubuhnya, karena nyeri di hatinya yang jauh lebih mendominasi.

Gadis itu menyeret koper kecil berisi sedikit pakaian dan tas berisi buku pelajaran, dan ia terus berjalan menuju halte bis terdekat untuk berteduh. Bis terakhir telah lewat beberapa jam yang lalu, begitupun angkot terakhir.

Ia tak tahu mau kemana hendak pergi, karena tidak memiliki seorang pun untuk bersandar selain di panti.

Akhirnya dia sampai juga di halte. Gadis itu pun menghempaskan tubuhnya ke kursi besi yang keras, dan menumpahkan tangisnya di sana.

Setengah jam kemudian tangisnya pun mulai berhenti, diganti dengan lamunan dalam suara gemelatuk giginya karena menahan dingin.

Ia ingin ke rumah Kevin sahabatnya, tapi bingung mau naik apa karena jam segini sudah tak ada kendaraan umum yang lewat. Sedangkan naik taksi dia tidak punya uang.

Ke rumah Tania? Sayangnya dia juga tidak tahu alamatnya yang pasti.

Satu-satunya jalan adalah menghubungi Dexter.

Tapi... ia terlalu malu.

Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu jika ia tahu bahwa Jelita telah diusir dari panti.

Seketika gadis itu kembali terisak, saat mengingat ucapan Bu Dira yang menyakitkan hatinya.

Jelita tersentak saat tiba-tiba mendengar suara ponselnya berbunyi, dan makin terkesiap melihat sebuah nama yang tertera di sana.

"MY BLUEBERRY CHEESECAKE"??

Rasanya Jelita ingin menangis sekaligus tertawa.

Dexter sendiri yang memasukkan nomor dan namanya di ponsel untuk Jelita, dan dia benar-benar tidak menyangka kalau lelaki itu menamai dirinya sendiri seperti makanan kesukaan Jelita.

"Jelita? Kamu lagi di luar? Kok kedengeran suara hujan?" Suara pria di balik sambungan telepon itu semakin membuat Jelita terisak dan air matanya kembali jatuh bercucuran.

"Kak Dexter... aku... diusir dari Panti..."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status