Hujan terus turun membasahi tubuh dua insan yang sedang saling memagut dengan penuh suka cita, seakan saling berlomba untuk menunjukkan gairah yang menguasai diri mereka.
Detik-detik yang berlalu terasa begitu sakral dan penuh keajaiban.Bahkan hujan pun terasa begitu manis, suara petir bagaikan alunan lagu merdu dan sambaran kilat bagaikan lampu temaram yang bersinar hangat di malam yang gelap.Entahlah dengan Dexter, namun Jelita tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.Berciuman seperti ini sebelumnya, meskipun di masa lalu dirinya dan Dexter adalah sepasang kekasih.Namun yang terjadi saat ini begitu berbeda, seakan Jelita mencium Dexter yang berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu.Meskipun tetap ada getaran yang familier, seperti aroma maskulin sesegar pegunungan yang menguar dari tubuh Dexter, sama seperti dulu.Tapi hanya itu. Hanya aromanya saja yang sama, selebihnya begitu berbeda.Ciuman dmakasi gems-nya, otot kasi bonus deh nih 2 bab Yeay ┌(・。・)┘♪***Selesai mandi, Jelita merasa tubuhnya jauh lebih segar. Dengan hanya mengenakan bath robe, ia menyisir pelan rambutnya yang panjang dan masih setengah basah. Biasanya Jelita selalu mengeringkannya dengan hair dryer, tapi ia takut suara mesin itu akan membangunkan anak kembarnya.Ia pun memutuskan untuk membalut rambutnya dengan handuk kering, sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang besar dari kayu rustic yang ditutup seprai putih halus dan bedcover coklat muda berbulu lembut.Ia sangat lelah, dengan tenaga dan emosi yang serasa terkuras habis. Sesaat ketika Jelita baru saja hendak terlelap dan menutup matanya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan dari arah luar pintu kamar. Haaah... sebenarnya ia sangat malas untuk membuka pintu, dan sedang mempertimbangkan untuk menutup telinga pura-pura tidak mendengarnya saja.Tapi jika dip
"Mari kita buktikan, apakah kelainanmu itu tidak kambuh karena euforia, ataukah... karena diri kita saja yang saling menginginkan!" Jelita terkesiap ketika Dexter meraih tengkuk dan lengannya lalu memagut bibirnya dengan keras dan menuntut, seakan Dexter benar-benar marah dan ingin menghukumnya.Untuk beberapa detik yang membingungkan, pikiran Jelita benar-benar tidak bisa diakses. Buntu. Blank. Kosong. Ia merasa gamang karena sentuhan tiba-tiba Dexter di bibirnya. Di satu sisi ia ingin sekali mendorong tubuh lelaki itu, tapi di sisi lain ia sebenarnya juga penasaran. Apakah ia tidak akan muntah?Dan ternyata... Jelita memang tidak muntah.Ciuman Dexter pun yang semula menekan keras bibirnya, kini mulai melembut. Lelaki itu menghirup napas Jelita, menyapukan ujung lidahnya di bibir bawah Jelita, hingga wanita itu pun tersentak kaget dan membuka mulutnya. Kesempatan itu pun tidak dis
*BEBERAPA SAAT SEBELUMNYA...Dexter berusaha menyelesaikan meeting mingguan dan penandatanganan berkas-berkas untuk hari ini dengan secepat mungkin karena ia ingin bertemu dengan Jelita. Damned it! Dexter benar-benar kesal karena wanita itu terus-menerus menghindarinya sepanjang hari ini. Dexter sengaja meminta Jason untuk datang ke Gedung Alpha Green dalam meeting yang membahas klausul perjanjian kerjasama dengan salah satu perusahaan. Hanya alasan, tentu saja. Dexter sudah paham semua poin-poin yang tertera di dalam perjanjian itu. Ia hanya ingin bertemu dengan Jelita, ingin memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Dexter tak bisa menampik perasaan was-was yang membuatnya resah atas keselamatan Jelita, pasca penculikannya semalam. Diam-diam, Ia juga menugaskan Nero dan beberapa bodyguard untuk mengikuti Jelita setiap hari, dan melaporkan semua aktivitasnya.Dexter tak peduli jika ia dianggap berlebiha
Jelita berlari secepat mungkin menuju lokasi dimana mobilnya terparkir. Ia benar-benar tidak berani menoleh lagi ke belakang, dan hanya fokus untuk melarikan diri dari Dexter.'Dexter sialan! Keluarga Green sialan! Kenapa aku harus kembali bertemu dengan mereka?! Selama sepuluh tahun ini hidupku begitu tenang dan damai tanpa keluarga Green, dan tiba-tiba sekarang aku harus menghadapi mereka lagi!'Jelita pun memacu mobilnya seperti kesetanan, sebelum akhirnya ia merasa aman dari Dexter. Ia menghentikan mobil di sebuah parkiran minimarket, lalu menangis sejadi-jadinya. Jelita bahkan tidak tahu alasan kenapa ia menangis, cairan bening itu tiba-tiba keluar begitu saja dari sudut matanya.Mungkin karena ia takut pada Dexter... dan Jelita tidak tahu harus berbuat apa untuk mengalahkan kekuasaan keluarga Green. Mereka sangat menakutkan!Farrel memang jahat, menculik dan berniat memperkosa Jelita. Tapi seharusnya dia diprose
"Ya, Mr. Green? A-ada apa?" suara seseorang yang terdengar takut-takut, menjawab sambungan video call Dexter. Suara yang familier itu pun membuat Jelita sontak membelalakkan matanya.Itu suara Farrel! Jelita tidak akan pernah melupakan suara berat yang menjengkelkan itu. Suara orang yang telah menculiknya!"Aku hanya ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja." Nada suara Dexter pun berubah menjadi dingin, dan pertanyaan selanjutnya malah tersirat seperti ada nada yang mengancam di dalamnya. "Apa ada masalah di sana?" "Tidak, Mr. Green. Semuanya baik-baik saja," jawab Farrel yang terdengar agak gugup. "Saya... saya mengerjakan semua tugas yang Anda berikan, Mr. Green." "Good. Bagaimana dengan Alaska? Betah?" tanya Dexter dengan seringai puas di bibirnya."Y-ya, saya betah di sini... Dingin, tapi suasananya tenang dan alamnya indah," sahut Farrel lagi. Jelita pun membelalak kaget. Apa dia tidak
*FLASHBACK ENAM TAHUN YANG LALU(Melbourne, Australia)Dexter terlihat masih sibuk berkutat dengan materi-materi presentasinya. Besok malam ASX (Australian Stock Exchange / Bursa Efek Australia) kembali memintanya menjadi pembicara mengenai saham dalam sebuah seminar dengan durasi selama tiga jam. Sebagai pialang saham sukses dan cukup dikenal dengan sepak terjangnya yang luar biasa di usia yang masih muda, Dexter memang beberapa kali diminta oleh beberapa bursa efek untuk membagikan ilmu serta tips spekulasi seputar trading dan investasi di dunia saham. Sedikit lagi materi presentasinya akan segera selesai, namun suara dering ponselnya membuat Dexter berpaling dari laptop ke samping meja kerja, dimana ponsel itu tergeletak.Ada nomor tidak dikenal tertera di layar ponsel, namun Dexter tetap menerimanya karena bisa jadi itu adalah perwakilan dari ASX yang menanyakan kesiapan materi untuk seminar malam ini.Karena
"Aku hanya berandai-andai. Jika saja sesuatu terjadi padaku di masa depan, maukah kamu mendampingi Jelita sebagai tempatnya untuk bersandar, Dexter?"--Zikri Gerhana Sutomiharjo--***Jelita pun tercenung. Zikri... berkata seperti itu? Zikri suaminya? Tapi... kenapa? Kenapa dia masih saja tidak percaya bahwa Jelita hanya mencintainya? Hati yang belum sembuh dari rasa kehilangan kini makin terasa nyeri, seakan luka baru telah tumbuh di atas luka lama itu. Jiwanya pun kembali terkoyak hanya dengan mengingat Zikri, suaminya, cinta terakhirnya. Jelita memejamkan matanya yang mulai terasa lembab itu sambil mendesah. Rasanya masih sama meskipun lima tahun telah berlalu. Selalu ada rasa sesak di dada yang tak tertahankan saat rindunya tak terbalaskan. Zikri berada begitu dekat di hati dan pikiran Jelita, tapi wanita itu tak akan dapat lagi menyentuhnya.Apa yang diceritakan oleh Dexter barusan tak pelak m
Makan malam di rumah keluarga Sutomiharjo hari ini terasa begitu berbeda dengan kehadiran Dexter Green yang satu meja dengan Dirga, Jelita dan kedua anak kembarnya. Aura seorang CEO yang terpancar dari lelaki itu terasa amat jelas saat berbincang santai dengan Dirga Sutomiharjo mengenai seluk-beluk dunia bisnis. Diam-diam Jelita pun melirik papa mertuanya itu, dan seketika hatinya mencelos. Melihat betapa berbinarnya sorot mata Dirga saat berdiskusi dengan Dexter tentang segala hal, membuat Jelita merasakan hatinya tercubit dan nyeri karena sedih. Ia tahu bahwa lelaki berusia lima puluh tahun itu sebenarnya merindukan Zikri, anaknya. Berbincang santai, menceritakan seluruh kegiatan hari ini sambil makan di meja makan adalah salah satu kebiasaan Dirga dan Zikri dulu. Mungkin sekarang Dirga bahkan sedang membayangkan bahwa dirinya sedang berbincang dengan Zikri, bukan Dexter.Dan beda Dirga, beda pula halnya dengan Axel, anak