LOGINAdrian terkekeh sambil memegangi dadanya yang bekas di pukul Sienna. "Bagaimana pun, Nak, kau jangan terlalu baik dan mudah percaya pada orang lain," katanya.
"Aku tahu," jawab Sienna. "Aku yakin aku lebih banyak bertemu dengan orang asing daripada kau, Paman. Tapi, hatiku entah kenapa sangat yakin bahwa kau adalah pria yang baik." "Hatiku yang menuntun aku supaya lebih dekat denganmu," bisik Sienna. "Pada yang lain, aku selalu menghindar. Sebenarnya, hanya kau satu-satunya orang yang berani aku ajak bicara. Biasanya aku hanya diam." Adrian memandang Sienna yang tengah berbicara itu. "Aku senang karena punya teman berbicara," kata Sienna, matanya dipenuhi dengan kebahagiaan. "Tapi mungkin kau bisa sedikit mencukur janggut mu agar tidak terlihat begitu menyedihkan." Adrian hanya membalas dengan senyum tipis. Jam pun mulai menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Di kamar sempit ini, keheningan terasa begitu pekat, hanya sesekali diselingi suara napas mereka yang teratur. Mata Adrian terpejam, tapi kepalanya terus bekerja tanpa henti. Ia sudah masuk the serpent's coil, sekarang tinggal mencari ide supaya dirinya bisa mengetahui semua rahasia mereka. "Sienna," bisik Adrian, "sebenarnya, seperti apa The Serpent's Coil itu?" "Mereka lebih dari sekadar geng. Mereka seperti... keluarga, tapi dengan aturan yang sangat kejam. Jika kau tidak mematuhinya, kau akan dihukum. Mungkin tidak ada kata TAPI di kamus mereka. Setiap alasan tak didengar dan setiap penolakan sama saja dengan menyerahkan diri untuk dibunuh." Sienna menjelaskan bahwa The Serpent's Coil bekerja seperti perusahaan, dengan struktur yang jelas. Mereka memiliki pengedar di setiap sudut kota, dan mereka semua bekerja sama untuk mendapatkan keuntungan. "Berapa banyak yang mereka dapatkan?" tanya Adrian. "Aku tidak tahu," jawab Sienna, "tapi yang aku tahu, mereka mendapatkan sangat banyak. Karena dari rumor yang beredar mereka tidak hanya menjual narkoba. Mereka katanya juga menjual senjata,." Dan ternyata dugaan Alex benar. Namun, ia belum tahu, sebesar apa penjualan mereka dan sebesar apa pengaruh mereka di dunia bawah. Ia harus lebih berhati-hati. "Dua orang tertinggi di The Serpent's Coil adalah Dante dan Isabella," kata Sienna. "Tapi sebenarnya, ada orang lain di atas mereka yang bekerja seperti bayangan. Tidak ada yang pernah melihatnya, tapi semua orang tahu mereka ada." Adrian menyimak semua informasi baru dari Sienna. Tidak salah ia memilih mendekati gadis polos sepertinya. Sedikit mempermudah pekerjaannya. Sienna juga mengungkapkan fakta yang mengejutkan. "Sebenarnya, mereka memiliki banyak gudang dan markas tapi hanya ada satu gudang utama dan terbesar yang mereka miliki. Gudang itu hanya diketahui segelintir orang. Katanya, di sana mereka menyimpan semua narkoba, senjata, dan uang. Jika kau bisa menemukan gudang itu, kau akan menemukan segalanya. Itu sih kata orang lain yang tak sengaja aku dengar. Aku tidak tahu fakta sebenarnya. Tidak mungkin juga, kan organisasi sebesar mereka mau memberitahu hal besar seperti itu pada kurir kecil seperti kami." "Intinya, saat kau bekerja di sini, cukup lakukan saja tugas mu, jangan mencoba mencari tahu hal lainnya atau mereka akan curiga dan tidak akan segan membunuh mu," peringat Sienna. Adrian tersenyum tipis. Ia tahu bahwa informasi ini cukup berguna untuk menghancurkan The Serpent's Coil. Ia harus mendapatkan kepercayaan Sienna dan mungkin ke depannya akan banyak memanfaatkannya. Jarum jam menunjukkan pukul 03.00 pagi. Keheningan yang menenangkan di kamar Sienna tiba-tiba pecah oleh suara keroncongan dari perut Sienna. Sienna melihat ke bawah sana dan matanya langsung bertemu dengan Adrian. Ia menunjukkan deretan giginya. "Aku lapar," bisik Sienna. "Ayo, Paman kita cari makanan!" Sienna memimpin Adrian keluar dari kamar, menyusuri koridor yang dipenuhi oleh orang-orang yang mabuk. Ia mengikuti Sienna ke dapur, sebuah ruangan yang kotor dengan piring-piring kotor berserakan di atas meja. Sienna mengambil beberapa potong roti dan lauk-pauk yang sudah dingin. Ia mengambil dua piring, satu untuknya dan satu untuk Adrian. Beberapa orang yang masih makan di meja makan hanya memperhatikan saat Sienna mengambil makanan. Adrian bisa merasakan tatapan mereka yang penuh dengan ketidaksukaan, tapi ia tidak peduli. Ia hanya mengikuti Sienna kembali ke kamar. Di dalam kamar, Sienna duduk di lantai berhadapan dengan Adrian. Mereka berdua makan dalam diam. "Kenapa kau makan di kamar?" tanya Adrian. "Jika bergabung bersama mereka, mereka pasti meludahi makanan ku," jawab Sienna. "Selain itu, makan di sini jauh lebih baik daripada di sana." Adrian mengambil lauk-pauknya dan memberikannya pada Sienna. "Makanlah yang banyak. Anak muda masih ada kesempatan untuk tumbuh lebih baik." Sienna kembali memberikan makanan itu. "Tapi pria tua akan cepat mati jika menahan lapar," jawabnya. Adrian menatap Sienna dan akhirnya mereka berdua makan bersama. Adrian tetap makan meski makanannya jauh dari kata enak. Ia melihat Sienna yang makan dengan lahap. Ia tidak menyangka di era kehidupan ini akan bertemu dengan seorang gadis yang dijual oleh keluarganya ke neraka seperti ini di saat biasanya gadis-gadis muda di sekitarnya menjual dirinya sendiri ke para pria hidung belang. Entah seberat apa kehidupan yang telah dialaminya sampai saat ini. Namun, ia tidak akan peduli. Malam beranjak semakin larut dan jam dinding usang menunjukkan pukul 04.00 pagi. Adrian yang berbaring di atas alas tipis, seharusnya memanfaatkan waktu singkat ini untuk tidur. Namun, suara berisik dari luar kamar membuat matanya kembali terbuka. Ia bangkit, keluar dari kamar, dan melihat Sienna. Sienna tidak tidur. Gadis itu membersihkan dapur yang kotor seorang diri. Ia menyeka piring-piring kotor, membersihkan lantai yang lengket, dan mengumpulkan botol-botol kosong yang berserakan. Ia bekerja dengan cepat dan teliti, seolah-olah dia adalah seorang pelayan yang profesional. Adrian hanya mengamati dari pintu kamar. Tidak ada rasa iba yang berlebihan, hanya sedikit rasa heran yang mengganggu istirahatnya. Dia melihat bagaimana Sienna yang terlihat lelah, tapi tetap bekerja dengan begitu keras. "Kenapa kau tidak tidur?" tanya Adrian saat Sienna kembali ke kamar untuk mengambil piring dan baju kotornya. Sienna menoleh. "Karena ini sudah siang," jawabnya. "Aku sudah terbiasa membersihkan tempat ini. Jadi, mungkin aku akan tidur setelah selesai." Adrian tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya kembali ke dalam kamarnya, dan membiarkan Sienna sendirian. Suara berisik itu masih terdengar, tetapi Adrian tidak lagi peduli. Ia hanya memejamkan mata, dan mencoba untuk tidur. Namun, ia tidak bisa. Entah kenapa kepalanya malah melenceng dari misi. Kenapa juga Sienna harus memenuhi kepalanya. Bukan, bukan rasa suka atau apa, hanya saja ia salut pada gadis itu yang begitu tegar di kehidupannya yang seperti ini. Ia merasa seperti melihat dirinya sendiri saat masih muda dulu. Meski bukan sama-sama penjual narkoba, tapi rasa lelahnya seperti sama sepertinya. Adrian menggelengkan kepalanya, membuang semua pikiran yang tak seharusnya itu, dan fokus kembali pada tugas utamanya.Sekoci penyelamat kecil itu melaju di tengah kegelapan selama hampir satu jam, menghindari lampu sorot kapal patroli yang mulai beraksi setelah sinyal flare gun Petrov. Mereka berlayar menjauh dari area pelabuhan, menuju garis pantai yang dipenuhi hutan bakau.Dimitri memegang kemudi, wajahnya tegang tetapi lega. Sienna diam, matanya memindai garis pantai. Adrian, bersandar di lambung sekoci, menekan bahunya yang terluka, menahan rasa sakit dan menatap Zara yang terus memberikan arahan dari jauh."Titik ekstrak kedua," bisik Zara. "Gubuk nelayan tua, tepat di selatan Mercusuar Hijau. Tim medis dan transportasi sudah menunggu."Lima belas menit kemudian, mereka tiba di pantai tersembunyi. Tiga sosok muncul dari bayangan—dua pria berpakaian serba hitam dan seorang wanita dengan rompi medis. Itu adalah Tim Delta, unit pendukung logistik AEGIS."Adrian. Dimitri. Selamat datang," sapa wanita medis itu dengan suara yang tenang dan berwibawa, langsung menilai luka Adrian. Ia tak menyapa Sien
Bau kotoran, air limbah, dan karat tebal memenuhi saluran beton tempat mereka meluncur. Adrian bergerak di belakang, antara Dimitri di depan yang memimpin, dan Sienna yang di tengah. Bahunya terasa perih, tetapi adrenalin membuat rasa sakit itu menjadi detail yang jauh.Mereka bergerak melawan arus air yang deras, yang menyamarkan suara langkah mereka. Pengejaran di dalam saluran pembuangan adalah taktik yang putus asa, tetapi Adrian tahu ini adalah satu-satunya rute yang tidak dipatroli oleh Petrov."Zara, beri kami gambaran keamanan. Seberapa cepat mereka menyusul?" bisik Adrian, suaranya teredam oleh gema saluran."Mereka masih lambat. Petrov mengerahkan tim besar ke Sayap Timur, memblokir lorong atas. Tapi mereka baru saja membuka lubang inspeksi darurat di sekitar Gudang Utama. Mereka mengirim tim pencari ke bawah. Aku perkirakan lima menit sebelum mereka mencegat jalurmu," lapor Zara. Suaranya terdengar cemas di eardphone.Dimitri dengan sigap menunjuk ke sebuah belokan tajam di
Terowongan utilitas itu sempit, berbau debu lama dan kehangatan kabel listrik. Adrian merangkak, menggunakan peta termal di jam tangannya untuk menavigasi. Ia berada tepat di bawah lantai Kantor Eksekutif—area paling dijaga di seluruh markas.Di atasnya, ia bisa mendengar resonansi langkah kaki yang berat, jauh lebih dekat dari sebelumnya. Mereka pasti menyadari sensor gerak di Sayap Timur baru saja di-reboot."Adrian, ada tiga penjaga bersenjata yang baru masuk ke lorong Sayap Timur. Mereka mencari keanehan," bisik Zara melalui eardphone.""Aku di bawah mereka. Kirimkan aku blueprint ruangan. Tunjukkan area kurungan Sienna," balas Adrian.Dalam sekejap, tampilan di jam tangan Adrian berubah, blueprint kantor mewah itu muncul, memperlihatkan meja besar, rak buku, dan sebuah pintu baja tersembunyi di balik lukisan."Dia di ruangan rahasia itu, di balik lukisan," kata Adrian, mengonfirmasi dugaannya. "Dimitri, siap-siap. Setelah aku masuk, aku butuh jalur keluar yang bersih."Adrian mer
Di ruang bawah tanah yang dirancang khusus oleh markas AEGIS. Dindingnya dipenuhi peta digital dan peralatan militer yang sunyi.Adrian memasuki ruangan. Di sana, sudah menunggunya dua sosok. Dimitri, si pria berpostur tegap. Wajahnya selalu dingin dan dia selalu memegang tablet yang memantau keamanan jaringan.Dan Zara. Mata-mata yang lebih muda, ramping, dengan tatapan mata yang tajam dan tenang. Spesialisasinya dalam menyusup ke sistem digital dari jarak jauh.Mereka berdua mengenakan seragam taktis hitam tanpa tanda pengenal, menunjukkan bahwa misi ini tidak resmi."Adrian" sapa Dimitri dengan anggukan singkat, suaranya berat. "Alex bilang kau butuh kami. Dan ini harus 'senyap seperti kejatuhan bulu'.""Justru tidak," potong Adrian, berjalan langsung ke dinding yang menampilkan proyeksi satelit Markas Petrov. "Misi ini tidak akan senyap. Ini akan menjadi pengalihan besar untuk menyamarkan ekstrak kecil. Petrov sudah menunggu serangan senyap."Adrian menunjuk peta The Serpent's Coi
Adrian melompat keluar dari lubang got di area pasar ikan yang sepi, dua blok jauhnya dari Markas The Serpent's Coil. Ia telah menghabiskan dua puluh menit mengerikan merangkak melalui ventilasi kotor dan saluran pembuangan, menghindari senter dan teriakan anjing penjaga. Seragam "Toni" kini basah, robek, dan berbau amis. Ia bergerak cepat melintasi kota, menghindari semua jalan raya utama. Satu jam kemudian, ia tiba di Markas AEGIS. Adrian menerobos pintu baja ruang kontrol utama. Di dalamnya, suasana terasa tenang, kontras dengan neraka yang baru saja ia lewati. Layar-layar monitor yang memantau pergerakan jaringan global bersinar remang-remang. Di balik konsol utama, duduk Alex. Pria itu dengan tatapan mata yang tajam dan wajah tanpa emosi yang dingin, khas seorang perencana perang yang sempurna. "Kau berdarah," adalah sapaan pertama Alex, tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada data feed yang ia analisis. "Itu hanya goresan," balas Adrian, suaranya serak dan menahan emosi.
Tangan Adrian masih mencengkeram erat USB drive, jantungnya berdebar kencang seirama langkah cepat kakinya menuruni tangga mezzanine. Ia meninggalkan kegelapan total di ruang server dan meninggalkan dua penjaga yang masih meraba-raba mencari senter.Ia harus keluar dari gedung melalui ventilasi sisi barat yang telah ia identifikasi.Ia melompat dari tiga anak tangga terakhir, mendarat dengan lutut ditekuk. Di bawah, Gudang Utama masih diselimuti remang-remang lampu darurat.Adrian berlari di antara rak-rak, menghindari jalur tripwire yang ia netralkan sesaat tadi. Ia hanya butuh tiga puluh detik lagi untuk mencapai saluran ventilasi.Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku dalam jaket samaran Toni.Adrian mendesah frustrasi. Ia mengabaikannya.Lima detik kemudian, ponsel itu bergetar lagi. Dan lagi. Dan lagi. Panggilan beruntun yang tidak masuk akal.Nama itu muncul di layar kecilnya, menyala seperti suar. SIENNA.Rasa dingin yang lebih tajam daripada udara gudang menjalar di punggung A







