Sienna membawa Adrian ke sebuah gedung tua yang tampak tidak terpakai dan membukakan sebuah pintu kecil.
Pintu kecil itu terbuka dan Adrian mengikuti Sienna masuk ke dalam. Pemandangan di dalamnya menghantamnya seperti gelombang kejut. Bau alkohol yang tajam dan asap rokok tebal memenuhi udara. Beberapa orang tergeletak di lantai, tak sadarkan diri, sementara yang lain tertawa histeris di pojokan. Ini bukanlah markas, melainkan kandang binatang. Namun, meski di luar tampak seperti bangunan tua, tapi di dalam bangunannya terlihat jauh lebih bagus. Tiba-tiba, tawa dan obrolan mereka berhenti. Semua mata tertuju pada Sienna dan Adrian. Sienna tidak punya waktu untuk menjelaskan. Beberapa orang menghampiri, bukan untuk menyerang Adrian, melainkan untuk melampiaskan kemarahan mereka pada Sienna. Salah satu dari mereka menarik rambut Sienna, membuatnya terhuyung dan jatuh ke lantai. Yang lain mulai memukuli dan menendangnya. Sienna hanya melindungi kepalanya, tidak mengeluarkan suara. "Sialan kau, Sienna!" teriak salah seorang dari mereka. "Siapa pria menjijikan yang kau bawa ke markas kita?" "Beraninya kau membawa orang asing ke sini?! Bagaimana jika dia mata-mata?!" Adrian merasa darahnya mendidih, tapi ia tahu ia harus mengendalikan diri. Ia tidak bisa menyelamatkan Sienna dengan cara yang sama seperti yang ia lakukan pada misi-misi sebelumnya. "Aku bukan siapa-siapa," kata Adrian. "Aku hanya seorang gelandangan yang mencari pekerjaan." Adrian mengeluarkan kartu identitasnya dari dalam jaketnya dan menunjukkannya pada mereka. Salah satu dari mereka merebut kartu itu, melihatnya, dan melemparkannya kembali ke Adrian. "Dia bukan mata-mata," katanya. "Dia benar, hanya seorang gelandangan." Para pemukul mundur, meninggalkan Sienna yang terbaring di lantai. Adrian mengulurkan tangannya pada Sienna. Sienna meraih tangannya dan bangkit. Gadis itu sibuk membersihkan bajunya yang kotor. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Adrian, suaranya lembut. Sienna hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Ini sudah biasa," akunya. "Mereka akan memukulku, tapi mereka tidak akan membunuhku. Mereka tidak akan berani melakukan itu." Adrian menatap Sienna. Setidaknya Sienna jauh lebih waras daripada yang lainnya. "Kau tahu kenapa mereka tidak bisa membunuhku meski mereka begitu membenci ku?" tanya Sienna, meminta Adrian menebak. Adrian menggelengkan kepalanya. Sienna mendekat ke arahnya. "Sini, aku bisikkan kebenaran yang tak disukai oleh orang-orang di sini," bisik gadis itu. "Aku disukai oleh pimpinan kami karena aku orang yang paling banyak penjualannya dan tidak pernah terjerat masalah apapun. Dan mereka tidak bisa melakukan itu, jadi mereka iri padaku yang diistimewakan oleh pimpinan." "Apa hal istimewa itu? Mungkin nanti aku juga akan berusaha agar seperti mu." "Nah, itu..., aku diberikan uang saku yang lebih banyak dari mereka dan tempat tidur ku lebih layak dari mereka yang hanya tidur di lantai dingin seperti itu." "Mari, kita temui pimpinan sekarang!" Sienna memimpin Adrian melewati kerumunan orang-orang yang mabuk, naik ke lantai atas. Di lantai dua, koridornya lebih bersih, dan bau alkohol tidak begitu menyengat. Sienna mengetuk pintu di ujung koridor, lalu masuk. Adrian mengikutinya dari belakang. Di dalam ruangan, seorang pria duduk di sebuah kursi kulit. Asap rokok mengepul dari bibirnya yang tipis. Pria itu tampak tenang, namun matanya memancarkan kecerdasan yang tajam dan berbahaya. Ia menoleh saat Sienna masuk, dan senyum tipisnya mengembang saat melihat Sienna. "Sienna," kata pria itu. Suaranya terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang kejam di dalamnya. "Aku senang melihatmu kembali." Sienna menyerahkan uang hasil penjualannya. Pria itu mengambilnya, menghitungnya, lalu mengangguk puas. "Kau selalu bisa diandalkan," katanya, suaranya terdengar hangat. Sienna memperkenalkan Adrian, "Tuan Elias, dia adalah Lucas. Pembeli baru ku dan dia ingin bekerja untukmu." Elias alias pemimpin itu, ia menatap Adrian dengan curiga, matanya menyipit. Adrian berdiri dengan postur tubuh yang membungkuk, mencerminkan sekali seorang gelandangan yang kehilangan arah, membiarkan pria itu menilainya. "Bagaimana kau bisa tahu tempat kami?" tanya Elias serius. "Dan bagaimana seorang gelandangan punya cukup uang untuk membeli barang kami?" tanyanya, curiga. Adrian menatap mata pria itu supaya pria itu yakin bahwa ia tidak berbohong. "Aku punya teman gelandangan yang menjadi pelanggan di sini. Dia sering mengemis dan mendapat banyak uang. Sore tadi dia memberiku uang untuk membeli barang dari kalian." "Aku tahu, narkoba akan membuat kita kecanduan. Jadi, aku butuh pekerjaan supaya aku bisa membeli lagi dan lagi," jawabnya. Setelah beberapa saat, Elias mengangguk. "Aku akan memikirkan tentang ini," katanya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Sienna, karena dia dibawa oleh mu, untuk saat ini dia jadi tanggung jawab mu, dan berbagi lah tempat tidur bersama dia." Sienna mengangguk patuh meski keputusan itu tak disukainya. "Kalian berdua bisa pergi sekarang." Sienna dan Adrian berbalik, meninggalkan ruangan ini. Adrian bisa merasakan tatapan pria itu yang mengikuti mereka. Ia tahu bahwa pria itu masih mencurigainya, tapi ia juga tahu bahwa pria itu telah memberinya kesempatan. Setelah keluar dari ruangan Elias Thorne, Sienna tidak menoleh. Ia kembali berjalan menyusuri koridor dan Adrian mengikutinya. Di sana, Sienna membuka pintu kayu yang sudah usang dan mempersilakan Adrian masuk. Adrian terkejut melihat apa yang ada di dalamnya. "Ini kamar ku. Memang kecil, tapi cukup untuk kita berdua malam ini. Toh, aku yakin kau akan bergabung bersama mereka yang ada di bawah nantinya," ucap Sienna. Adrian menatap Sienna. "Aku tidak suka bersama mereka." Sienna menatap ke kiri dan kanan, senyumannya pun datar, gadis itu tidak tahu harus berkata apa lagi. "Ini yang kau sebut istimewa?" tanya Adrian, suaranya parau. Ia melihat sebuah ruangan yang hanya diterangi oleh lampu bohlam redup. Di sudut ruangan, ada kasur tipis yang hanya muat satu orang saja. Kamar kumuh dan tak layak pakai. Bagaimana mungkin Sienna menganggap ini istimewa? "Ya," jawab Sienna. "Orang lain tidak memiliki ini. Di rumah pun dulu aku selalu tidur di gudang. Meski usang, ini lebih baik." Adrian terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa melihat betapa menyedihkannya hidup Sienna. Mereka duduk di lantai, bersila, dan saling berhadapan. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tapi mereka masih terjaga. "Paman," kata Sienna, suaranya terdengar serius. "Aku percaya kau orang baik." Adrian terkejut. "Kau tidak tahu siapa aku." "Aku tidak butuh penjelasan mu," jawab Sienna. "Hatiku yang memberitahu bahwa kau pria baik." Sienna memandang Adrian, matanya dipenuhi dengan kejujuran. "Aku yakin kau tidak akan menyentuhku saat aku tidur." Adrian tersenyum tipis. "Aku tidak tertarik pada anak kecil," katanya. Sienna tertawa kecil. "Tapi aku berusia dua puluh satu tahun." Sienna naik ke atas ranjangnya yang usang dan Adrian naik ke atas alas yang tipis. Mereka berdua berbaring, tapi tidak ada yang tidur. Suasana di kamar ini terasa hening, meski di luar sana masih terdengar obrolan yang tak terlalu ramai. Sienna berguling, kepalanya keluar dari ranjang. Ia menatap Adrian yang masih terjaga. "Paman, bagaimana dengan keluargamu? kerabat mu? saudara mu? Istrimu? anakmu? " tanyanya penasaran. "Aku tidak punya mereka," jawab Adrian singkat. Sienna menatap Adrian cukup lama tanpa berkedip. "Kita bisa jadi keluarga kalau kau mau," katanya. Adrian terkejut. Ia menatap mata Sienna dan ia melihat kejujuran dan ketulusan di dalamnya. "Maksud mu, menjadi istri ku?" godanya. Sienna seketika memukul dada Adrian. "Maksudku, aku jadi putrimu," ralatnya cepat membuat Adrian terkekeh.Saat semua orang tidur, Adrian keluar, langkah kakinya tidak terdengar di antara dengkuran orang-orang yang mabuk. Ia mendengar suara bisikan dari balik pintu ruangan Elias, dan ia berhenti. Ia berdiri di tembok, di sisi pintu, berusaha mendengar apa yang sedang dibicarakan, barangkali itu hal penting yang harus ia ketahui. "Kau yakin tentang ini?" tanya suara yang Adrian kenal, itu adalah suara Elias. "Bagaimana jika kita salah?" "Tidak," jawab suara lain. "Aku tahu bahwa ada penyusup di markas kita. Aku akan menemukannya." "Aku mengerti. Jadi, pesta nanti adalah jebakan. Pemimpin membuat kompetisi ini agar penyusup itu menjual banyak narkoba demi mendapat jabatan baru sehingga bisa menyusup lebih dalam ke The Serpent's Coil. Begitu?" "Benar. Jangan lupa bawa semua anak buah mu ke pesta." "Tentu," sahut Elias. Adrian terkejut. Sial. Tangannya mengepal. Ia telah memakan jebakan musuh. Sebelum ketahuan, Adrian segera pergi dari kamar Elias ini. Pagi harinya, Adrian langsu
Sore hari, Adrian kembali ke markas the serpent's coil setelah menyimpan uang Sienna di apartemennya. Di sana jauh lebih aman dan tidak akan ada yang mencuri lagi. "Lucas, ayo kita makan di luar!" ajak Sienna, tanpa embel-embel paman lagi. Adrian pun mengangguk. "Um, aku tidak suka memanggil mu paman. Tidak papa jika aku hanya memanggil nama mu?" tanya Sienna di perjalanan. "Tentu. Kau boleh memanggilku siapa pun." Mereka berhenti di sebuah restoran kecil yang sepi, terletak di ujung gang. Restoran itu sederhana dengan beberapa meja dan kursi kayu. Tidak ada pelanggan lain dan Sienna terlihat lega. "Kau yakin di sini?" tanya Adrian. Sienna mengangguk. "Ya," jawabnya, suaranya pelan. "Aku sering makan di sini. Meski tempatnya biasa-biasa saja, tapi aku jamin makanannya enak kok. Kalau di tempat yang lebih mewah dari ini, belum tentu mereka mau menerima kita yang memakai pakaian lusuh seperti ini." Setelah memesan, mereka duduk di sebuah meja kecil, dan Sienna melihat ke luar je
"Bagaimana jika sebagai imbalannya kita membeli gadis itu dari mereka?" tanya Adrian. Alex menentang. "Tidak. Itu sama saja seperti kau membunuh dirimu sendiri, Adrian. Rencana kita akan gagal. Kita harus tetap pada rencana awal. Kau harus menjadi bagian dari mereka dan gadis bernama Sienna itu akan membantumu." Adrian terdiam. Ia tahu Alex benar. "Kau jangan pernah melibatkan perasaan dalam misi mu, Adrian. Kau masih ingat itu? Jika kau terjerat dalam sebuah hubungan asmara maka misi kita akan hancur dan sia-sia." Adrian menghela napas pelan. "Siapa juga yang melibatkan perasaan? Sienna hanyalah gadis muda yang polos. Aku hanya merasa kasian, bukan karena suka atau hal lainnya," sangkalnya. Alex pun terdiam, mengerti dengan maksud Adrian. "Bagaimana dengan 1 kg narkoba itu?" tanya Adrian. "Aku hanya punya dua hari." Alex tersenyum tipis. "Jangan khawatirkan itu," katanya. "Kami akan mengurusnya." Dengan misi 1 kg narkoba yang kini berada di bawah kendali Komandan Alex
Pagi hari Sienna dan Adrian tengah sarapan bersama di kamar, tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan keras dan seseorang menarik rambut Sienna dan menyeretnya keluar. Adrian bangkit, rasa penasaran mendorongnya. Ia mengikuti Sienna dan orang itu dari belakang. Saat ia keluar, pemandangan di depannya membuat jantungnya berdebar. Di ruang utama, ada sebuah pesta sedang berlangsung, tapi bukan pesta seperti yang Adrian kenal. Itu adalah pesta s3ks. Orang-orang mabuk dan telanjang, tergeletak di lantai, berteriak dan tertawa. Bau alkohol, keringat, dan asap rokok membuat Adrian merasa mual. Ia melihat Sienna berdiri di sudut, matanya memandang kosong ke arah orang-orang itu, tanpa emosi. Adrian mendekatinya, "Sienna," bisiknya, suaranya parau. Sienna menoleh. "Kau melihatnya?" Dan Adrian pun mengangguk. "Ini adalah pesta yang hampir sering dilakukan. Pesta yang diadakan oleh atasan untuk para kurir." "Kau tidak ikut? Aku pikir kau ditarik ke sini untuk melakukannya juga," tanya
Adrian terkekeh sambil memegangi dadanya yang bekas di pukul Sienna. "Bagaimana pun, Nak, kau jangan terlalu baik dan mudah percaya pada orang lain," katanya. "Aku tahu," jawab Sienna. "Aku yakin aku lebih banyak bertemu dengan orang asing daripada kau, Paman. Tapi, hatiku entah kenapa sangat yakin bahwa kau adalah pria yang baik." "Hatiku yang menuntun aku supaya lebih dekat denganmu," bisik Sienna. "Pada yang lain, aku selalu menghindar. Sebenarnya, hanya kau satu-satunya orang yang berani aku ajak bicara. Biasanya aku hanya diam." Adrian memandang Sienna yang tengah berbicara itu. "Aku senang karena punya teman berbicara," kata Sienna, matanya dipenuhi dengan kebahagiaan. "Tapi mungkin kau bisa sedikit mencukur janggut mu agar tidak terlihat begitu menyedihkan." Adrian hanya membalas dengan senyum tipis. Jam pun mulai menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Di kamar sempit ini, keheningan terasa begitu pekat, hanya sesekali diselingi suara napas mereka yang teratur. Mata Adrian t
Sienna membawa Adrian ke sebuah gedung tua yang tampak tidak terpakai dan membukakan sebuah pintu kecil.Pintu kecil itu terbuka dan Adrian mengikuti Sienna masuk ke dalam. Pemandangan di dalamnya menghantamnya seperti gelombang kejut. Bau alkohol yang tajam dan asap rokok tebal memenuhi udara. Beberapa orang tergeletak di lantai, tak sadarkan diri, sementara yang lain tertawa histeris di pojokan. Ini bukanlah markas, melainkan kandang binatang. Namun, meski di luar tampak seperti bangunan tua, tapi di dalam bangunannya terlihat jauh lebih bagus.Tiba-tiba, tawa dan obrolan mereka berhenti. Semua mata tertuju pada Sienna dan Adrian. Sienna tidak punya waktu untuk menjelaskan. Beberapa orang menghampiri, bukan untuk menyerang Adrian, melainkan untuk melampiaskan kemarahan mereka pada Sienna.Salah satu dari mereka menarik rambut Sienna, membuatnya terhuyung dan jatuh ke lantai. Yang lain mulai memukuli dan menendangnya. Sienna hanya melindungi kepalanya, tidak mengeluarkan suara."Sial