Share

Bang Jerry Sakit

Bang Jerry dirawat. Ini pertama kalinya aku melihat kakak yang lahir tepat dua tahun di atasku itu masuk ruang perawatan rumah sakit, ia tampak terkulai tak berdaya dengan selang infus di pergelangan tangan kirinya.

Lama-lama aku kasihan juga, apalagi ketika deru nafasnya terdengar berat, bukan dengkuran tidur pulas, tetapi karena merintih kesakitan.

Mama dan Papa kini sedang makan siang di kantin rumah sakit, setelah berkonsultasi dengan dokter tentang Bang Jerry yang ternyata positif tifus, ia mesti dirawat inap setidaknya tiga hari ke depan karena demamnya tinggi, dan kesadarannya menurun hingga tadi pingsan di mal.

Bang Chandra dan Mas Doni pulang ke rumah untuk mengambil pakaian ganti Bang Jerry.

Aku dan Juna di kamar, setia menunggui Bang Jerry sadar dari pingsannya.

"Ha-haus ... a-air ... Ma. Mau air ... minta minum." Suara lemah Bang Jerry dengan mata terpejam. Ia mengigau.

Aku mengambil segelas air di nakas samping tempat tidurnya, kuberi sedotan agar Bang Jerry bisa meminumnya dengan perlahan.

Bang Jerry perlahan membuka matanya, ia mencoba bangun, tetapi tak bisa.

"Ini di mana? Kok, ada kamu, Sur? Mama mana?" tanyanya dengan suara parau. Wajahnya pucat, matanya melihat sekeliling.

"Bang Jerry jatuh pingsan tadi, sekarang kita di rumah sakit," jawabku.

"Pingsan???" tanya Bang Jerry seakan tak percaya.

"Duh, pusing banget." Bang Jerry mengelus kepalanya.

"Iya, Suri tahu banget pusingnya kayak apa. Kayak dibogem batu lebih dari lima kilo. Mending tidur aja, Bang. Bedrest sebanyak-banyaknya. Obatnya emang cuma itu. Banyak istirahat." Aku jadi teringat waktu SMP dulu aku pernah tifus juga, dirawat inap empat hari. Kerjaanku benar-benar hanya tidur, makan dan minum obat selama di rumah sakit.

Aku mengganti kompresan handuk basah di kening Bang Jerry yang memang terasa panas. Tadi sesampainya di UGD rumah sakit, perawat memeriksa panas badan Bang Jerry yang hampir empat puluh satu derajat celcius.

"Tapi, Abang mau ... mau ... hmmm ...," ujar Bang Jerry tampak ragu.

"Mau apa? Mau makan? Mau minum? Mau jalan-jalan?" tanyaku.

"Eh, iya, kita nggak jadi ngemol, dong, ya?" katanya seakan mengalihkan pertanyaanku tadi. Raut wajahnya salah tingkah.

"Nggak jadi, laaah. Gagal makan enak juga. Abang, sih. Udah tau nggak enak badan, malah maksa ikut jalan. Tuh, beneran sakit 'kan. Mana pingsan," kataku pura-pura kesal.

"Iya, ya. Maafin Abang, ya. Nggak keren amat ini pake pingsan di mol. Harusnya pingsannya di hotel biar sekalian liburan, ya, Sur." Bang Jerry tertawa walau bibirnya masih pucat.

"Hmm, Juna tidur, ya?" tanya Bang Jerry sambil melirik Juna yang tertidur pulas di kasur khusus penunggu pasien.

"Jun, Junaaa. Bangun!" panggil Bang Jerry ke teman sekamarnya itu.

"Jun, bantuin Abang, Jun," bisik Bang Jerry sambil berusaha membangunkan Juna dengan suaranya yang serak.

"Bantuin apa, Bang? Sini, Suri aja yang bantuin," kataku menawarkan bantuan.

Bang Jerry tampak ragu. Matanya menghindari tatapanku.

"Anu. Hmm, bangunin Juna aja. Abang mau pipis, suruh Juna bangun buat pegangin infusan di kamar mandi," kata Bang Jerry seraya menguatkan diri untuk bangkit dari tempat tidur.

Aku bergidik. Seketika membangunkan Juna agresif dengan menepuk lengannya kencang. Juna duduk terkesiap, ia bangun dengan mata merah dan nyawa yang baru kumpul sebagian.

❤️

Rumah terasa sepi tanpa Bang Jerry. Biasanya ada dia yang suka buat orang rumah teriak kesal atau tertawa kegirangan. Namun, semenjak Bang Jerry dirawat dua hari ini, rumah benar-benar terasa hampa.

Biasanya, laki-laki berusia dua puluh tahun itu selalu enerjik, pecicilan, dan tak bisa diam. Sekarang melihat penampakannya saja di video call begitu menyedihkan dengan selang infus yang masih setia menempel di tangan, dan wajah pucat tak bersemangat. Kasihan.

"Besok, Papa, Chandra dan Doni ke kementerian, kemungkinan bisa sampai malam. Kalian sendirian di rumah nggak apa-apa, 'kan?" tanya Papa kepadaku dan Juna ketika sarapan.

"Mama jaga sendirian dari tadi malam. Nanti Suri dan Juna sepulang sekolah bisa ke rumah sakit bareng Mas Doni," kata Papa lagi seakan mendengar kerinduanku pada sosok Bang Jerry.

Juna mengambil roti yang sudah diberi selai coklat oleh Mas Doni.

"Kalau besok Doni yang jaga Jerry aja gimana, Pa? Papa dan Bang Chandra bisa pergi berdua saja, 'kan? Kasihan Mama, pasti badannya juga capek jagain Jerry semalaman," saran Mas Doni.

"Hmmm, sebenarnya Papa ingin kamu belajar komunikasi bisnis langsung besok, tapi kondisi saat ini memang mengharuskan keluarga kita untuk lebih solid." Papa menepuk bahu Mas Doni, ia tampak berpikir.

"Baiklah, besok Doni bertugas jaga Jerry di rumah sakit. Gantian sama Mama, biar Mama istirahat. Papa kemungkinan baru bisa ke rumah sakit nanti malam. Seharian ini, Papa dan tim EO sibuk persiapan untuk meeting dengan staf Pak Menteri besok. Jaga kesehatan kalian. Jangan sampai sakit," nasihat Papa.

Kami berangkulan sejenak setelah merapikan meja makan bersama-sama. Rangkulan yang dapat mengumpulkan energi positif keluarga kami yang sejak kecil Papa ajarkan.

Setelah mengantarku dan Juna ke sekolah, Papa berangkat ke kantornya. Bang Chandra menyusul siang nanti, ia mesti ke kantornya dulu.

Mas Doni yang sedang sibuk menyusun skripsinya pagi ini juga ke kampus untuk menemui dosen pembimbingnya.

Sesampainya di kelas, aku melihat sesosok murid duduk di bangku yang biasanya kosong depan meja guru.

"Siapa?" tanyaku pada Andre sang ketua kelas yang juga sahabatku sejak kecil.

"Anak baru pindahan dari Bandung," jawabnya tanpa mengalihkan matanya dari sosok murid baru itu.

"Jilbabnya panjang, kayaknya anak solehah. Nggak kayak lo, Sur. Pake jilbab tapi garang kayak lelaki," celoteh Rendi yang wajahnya mengingatkanku pada artis Indra Herlambang.

Bel berbunyi. Wali kelas kami masuk dan memperkenalkan murid baru pindahan itu.

"Assalamu'alaikum, teman-teman. Perkenalkan, nama saya Ayana. Saya baru pindah dari Bandung kemarin siang." Gadis berlesung pipi itu tersenyum manis memperkenalkan diri.

"Halo, Ayanaaa." Koor teman sekelas laki-laki dipimpin Rendi.

Setelah jam pelajaran pertama berakhir, teman-teman sekelas yang mayoritas laki-laki mengerubungi bangku Ayana. Sudah pasti mereka sedang mengantre meminta nomor ponsel gadis itu.

Andre menepuk bahu dan duduk di samping tempat dudukku. "Tumben, lo diem aja dari tadi. Sakit?" tanyanya khawatir.

"Bukan gue yang sakit, tapi Bang Jerry. Tipes, dirawat," jawabku.

"Wah, baru tahu Bang Jerry yang nggak bisa diem gitu bisa sakit juga." Andre tampak tak percaya dengan pendengarannya barusan, ditambah dia cukup dekat dengan Bang Jerry dan keluarnggaku karena sejak TK kami hampir selalu satu kelas.

"Betewe, Ayana itu kayaknya tinggal dekat rumah lo, Sur. Gue lihat formulir pindahannya tadi di ruang guru, alamat perumahannya sama dengan nama perumahan lo," kata Andre sebelum pindah ke bangkunya.

Aku melihat Ayana sekilas. Wajahnya tampak familiar, mungkinkah ia tetanggaku?

Seperti biasa, aku pulang sekolah dengan ojek motor langganan, Mang Karna namanya. Biasanya setelah mengantarku pulang, ia akan kembali ke sekolah dan menjemput Juna.

Sebenarnya, aku dan Juna sudah lumayan mahir mengendarai roda dua maupun roda empat yang ada di garasi rumah. Namun, Papa belum mengizinkan kami berdua pergi mengendarainya di jalan raya tanpa pengawasan orang dewasa. Kami hanya boleh mengendarainya sendiri jika Papa, Bang Chandra, Mas Doni atau Bang Jerry menemani. Itu pun harus tanpa sepengetahuan Mama, karena Mama paling tidak membolehkan anaknya yang masih sekolah menyetir sendirian. Mama trauma karena sahabatnya semasa SMA dulu meninggal dalam kecelakaan lalu lintas saat mengendarai motor menuju rumahnya.

Aku memasuki gerbang perumahan dan melihat Ayana berkendara dengan motor maticnya keluar dari jalan buntu perumahan. Wajah yang sebagian tertutup helm itu tampak kebingungan.

Sesampainya di rumah, setelah mengucap salam dan membuka pintu, aku melihat Ayana berhenti tepat di depan rumahku. Dia tersenyum lebar setelah membuka helmnya, lalu menghampiriku setelah memarkirkan motornya.

"Suri, ya? Alhamdulillah. Tadi aku tersasar dan baru menyadari ternyata rumahku persis di depan rumahmu. Kemarin siang kami baru pindah ke sini, tetapi sepertinya rumahmu kosong seharian," kata Ayana tersenyum ramah.

Ia menjabat tanganku erat seraya berkata, "Semoga kelak kita bisa bersahabat, ya. Nama lengkapku Ayana Sakura"

Aku mengangguk, tersenyum sungkan. Benar kata Andre, Ayana salah satu tetanggaku, tetapi apa aku bisa bersahabat dengannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status