Share

CHAPTER 4: FIRST CONFLICT

Klara POV

Hari ini merupakan hari pertama kami sebagai suami istri. Pagi ini aku sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk Kak Nathaniel. Aku memasakan makanan favoritnya, yaitu capcay. Aku diberitahu oleh Mrs. Emily, yang sekarang sudah resmi menjadi ibu mertuaku. Beberapa saat kemudian, dia keluar dari kamarnya, sudah berpakaian rapi dan bersiap-siap untuk berangkat.

"Kakak sudah mau berangkat? Tidak mau sarapan dulu?" tanyaku.

Namun, ia tidak menghiraukannya dan langsung berangkat tanpa pamit terlebih dahulu. Melihat perilakunya membuatku sedikit sedih. Akhirnya, aku membungkus makanannya untuk kubawa sebagai bekal di tempatku bekerja.

Tak terasa langit sudah kehilangan cahayanya, aku menunggu bus di halte dekat tempat kerjaku. Setiap berangkat maupun pulang aku selalu menggunakan bus, karena menghemat ongkos. Beberapa saat kemudian, bus tiba, kebetulan transportasi tersebut sudah penuh dengan penumpang. Mau tak mau aku harus mengalah dan menunggu bus selanjutnya.

Selang dua puluh menit, armada tersebut akhirnya tiba, saat aku naik dan duduk dikursi yang masih kosong, ponselku berdering panggilan masuk. Aku merogoh tasku, lalu mengangkatnya setelah melihat nama si penelepon.

"Halo Paman, iyaa aku baru saja jalan pulang ... sekarang sudah ada di bus. Ada apa?" ucapku.

[Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kok. Paman cuma mau kabarin kalo Sabtu besok hari ulang tahunnya Andy. Dia meminta kamu untuk datang bersama dengan suamimu. Apa kamu bisa?] sahutnya.

"Aa ... aku hampir lupa kalau Sabtu besok ulang tahunnya. Hmm, aku kabari nanti yaa Paman. Terima kasih, aku titip salam buat anak-anak di panti ya," jawabku kemudian mematikan sambungan telepon.

Sesampainya di apartemen, aku langsung masuk ke kamarku. Kami berdua tidur di kamar terpisah, tentu saja tanpa sepengetahuan Mr. Jonathan dan Mrs. Emily. Aku merebahkan diri di atas kasur dan menghela napas panjang. Saat ini, Kak Nathaniel belum tiba di rumah.

Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak ingin menyampaikan pesan dari Paman Martin, karena aku tahu pasti dia akan menolak. Namun, aku tetap harus menyampaikannya. Sementara itu, Kak Nathaniel pulang larut malam.

Tanpa sepengetahuanku, ia makan malam dengan Kak Stefani di restoran favorit mereka. Mereka berdua memutuskan untuk tetap menjalin hubungan secara diam-diam.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul dua belas tengah malam, aku memutuskan untuk pulang karena aku harus berangkat lebih pagi ke kantor nanti. Setibanya di unit apartemen, aku melihat sosok wanita itu sedang tertidur di sofa. Aku berhenti sejenak lalu berjalan ke arah sofa dan berlutut, aku amati wajahnya yang tertidur dengan pulas.

'Hmm ... kalau dilihat dari dekat, wajahnya cukup cantik,' batinku.

Tanpa sadar aku mengangkat tangan kananku untuk menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajahnya. Sentuhanku tanpa sengaja membuat wanita itu reflek membuka matanya, membuat kami berdua saling bertatapan selama beberapa detik sebelum wanita itu mengangkat wajahnya dari pinggiran sofa.

"Ah, Kakak baru pulang jam segini? Kakak habis dari mana?" tanya wanita itu sembari bangkit dari sofa.

"Bukan urusanmu!" bentakku sembari berdiri dan membalikkan badan menuju kamar.

"Tunggu, ada yang ingin aku sampaikan padamu," ujarnya saat masih berdiri di dekat sofa.

Aku pun terpaksa menghentikan langkahku, "Cepat katakan!" sahutku sedikit kesal.

"Apa hari Sabtu besok Kak Nathaniel sibuk? Begini, pamanku mengundang kita ke acara ulang tahun Andy-umm ... dia salah satu anak panti asuhan milik pamanku," ucap wanita itu dengan nada sedikit canggung.

Setelah menghela napas sedikit aku menyahutinya, "Aku sibuk! Kalau tidak ada yang mau dibicarakan lagi, aku mau tidur."

Setelah itu aku masuk ke kamar sambil sedikit membanting pintu kamarku.

End POV

.

.

Klara POV

Aku sudah memperkirakan respon dari Kak Nathaniel akan seperti itu, namun tetap tidak mengurangi rasa sakit di hatiku. Setelah beberapa saat terdiam, aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar untuk tidur. Tak terasa sudah hampir seminggu, Kak Nathaniel berangkat lebih pagi tanpa sarapan terlebih dahulu. Sebenarnya aku sudah mulai terbiasa dengan perilakunya itu, namun aku memilih untuk tetap menyediakan sarapan dengan harapan suatu saat nanti ia mau menyantap sarapan yang kubuat.

Hari Sabtu tiba, aku bersiap-siap untuk berangkat ke acara ulang tahun Andy. Namun saat aku menuju ke pintu keluar, tiba-tiba dia memanggilku, "Mau kemana kamu?" tanyanya saat ia duduk di sofa untuk menonton televisi.

"Aku mau ke acara ulang tahun Andy, bukannya aku pernah bilang padamu?" sahutku sembari membuka pintu.

Sepertinya aku tidak pernah bilang kalau kamu boleh pergi," ucapnya dengan nada tajam, pandangannya tetap fokus pada televisi. —DEG

"Tapi aku sudah berjanji pada Paman Martin kalau aku akan datang!" sahutku dengan sedikit kesal.

"Itu bukan masalahku," jawabnya dengan santai.

"Apa-apaan sih kamu!?" sahutku dengan kesal.

Tak lama kemudian, ia bangkit dari sofa dan menghampiriku, "Apa-apaan? Heh, asal kamu tahu, hidupku jadi menderita karena harus menikah denganmu, wanita sialan!" bentaknya dengan kasar sembari menunjuk wajahku dengan telunjuknya.

"Aku juga sama menderitanya denganmu, tahu! Tapi, Kakak tidak berhak mengatur hidupku, karena aku juga punya kehidupan!" seruku sama geramnya.

"Lalu? Selama kamu hidup bersamaku, kamu tidak akan punya kehidupan!" bentaknya sembari merebut kartu akses yang ada di genggaman tanganku.

"Hei kembalikan! Itu punyaku!" ucapku sembari berusaha merebut kartuku dari genggamannya.

"Tidak akan aku kembalikan. Aku tidak akan membiarkanmu bersenang-senang di atas penderitaan orang lain!" serunya sambil memasukan kartunya ke kantung celananya.

—PLAK—

Sudah di ambang batas kesabaran, tanpa pikir panjang aku pun langsung menampar wajahnya sehingga meninggalkan bercak merah di pipinya. Untuk beberapa saat ia tidak menunjukan reaksi apa-apa, ia hanya diam.

"Jangan pernah merasa bahwa dirimu adalah manusia paling menderita di dunia ini! Dan juga jangan pernah berpikir untuk mengurungku, karena aku berhak melakukan apa pun yang aku mau!" tegasku, kemudian bergegas pergi meninggalkan apartemen.

Namun, sebelum aku sempat menutup pintu apartemennya, ia menarik gagang pintu bagian dalam dan membuatku yang masih memegang gagang pintu bagian luar sedikit tertarik ke arah dalam apartemen. Ia langsung menarik tubuhku dan mengangkatku sembari berjalan menuju kamarku.

"Kyaaaa! Mau apa kamu?! Lepaskan akuu!" teriakku sambil meronta-ronta, namun tidak dihiraukan olehnya.

Sesampainya di dalam kamar, ia menaruhku di atas kasur dengan sedikit kasar. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, ia mengambil kartu dari dalam kantung celananya dan membuangnya ke dalam kloset kamar mandi.

"Apa yang kamu lakukan?!" teriakku sembari berusaha menghentikannya.

"Itu pelajaran buat kamu. Jangan pernah menjawab omonganku lagi!" bentaknya sembari keluar dari kamar mandi dan pergi menuju kamarnya sendiri.

Semenjak hari itu aku tidak bisa pergi ke mana-mana dengan leluasa, bahkan aku tidak bisa pergi ke tempat kerja seperti biasanya. Itu karena aku sudah tidak memiliki akses untuk masuk lagi bila aku keluar dari unit apartemen.

Kak Nathaniel sengaja berangkat lebih pagi dan pulang tengah malam. Oleh karena itu, aku terpaksa resign dari pekerjaanku via telepon dengan alasan sudah mendapat pekerjaan di tempat lain, padahal aku baru saja sebulan lebih bekerja di situ. Aku tahu kalau berbohong itu salah, namun, aku tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi, bukan?

Kegiatan yang bisa kulakukan hanya menyapu, mengepel, mencuci, menjemur dan menyetrika. Memasak pun hanya aku lakukan untuk diriku sendiri, karena Kak Nathaniel tidak pernah sekalipun makan masakanku. Hal tersebut malah membuatku terlihat seperti seorang asisten rumah tangga daripada seorang istri.

Aku selalu berharap suatu saat nanti ia akan melihatku sebagai seorang wanita dan sebagai seorang istri, lebih dari sekedar istri sah karena pernikahan tapi sebagai pendamping hidupnya. Aku paham alasannya berbuat begitu padaku, namun tidak bisa kupungkiri bahwa hati kecilku berharap suatu saat nanti ia mau menerima diriku dan membalas cintaku.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Sudah lebih dari dua bulan aku menjalani hidup sebagai suami dari seorang wanita sialan yang menjadi istriku.

Apakah aku memanggilnya istri?

Sepertinya aku salah menyebutnya. Maksudku sebagai orang asing yang tinggal serumah denganku. Karena aku tidak pernah menganggapnya sebagai istriku. Ya, mungkin aku terdengar kejam, tapi inilah caraku untuk membalas dendam. Aku tidak tahu bagaimana wanita itu tega menghancurkan hidupku dengan menghasut orang tuaku untuk menjodohkanku.

Selama dua bulan aku sengaja menguncinya di rumah. Aku ingin membuatnya tidak nyaman, sehingga dia akan segera meminta untuk berpisah dariku.

End POV

.

.

Klara POV

Sudah dua setengah bulan aku terkurung di apartemen ini. Untuk mengatasi rasa kesepianku, aku mengajak benda-benda di sekitar untuk berbicara. Hal itu sudah menjadi kebiasaanku sejak aku berusia empat belas tahun. Alhasil, tidak ada yang mau berteman denganku karena menganggapku aneh.

Kalau aku boleh jujur, sebenarnya aku sedikit menyesal karena setuju untuk menikah dengan Kak Nathaniel, karena aku sama sekali tidak mempertimbangkan dampak buruknya.

Aku menyetujuinya karena aku mencintainya, hanya itu. Aku ingin melindunginya. Meskipun tidak bisa kupungkiri kalau aku memiliki sedikit harapan kalau suatu saat nanti ia mau membalas perasaanku.

Tapi itu mustahil, karena ia sudah punya wanita yang dia cintai dengan sepenuh hati.

Aku tahu, baginya aku ini cuma seorang pengganggu yang harus disingkirkan, oleh karena itu dia sengaja menekanku agar aku mau berpisah dengannya. Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa melakukannya, karena aku sudah berjanji pada Mr. Jonathan dan Mrs. Emily kalau aku akan bertahan sampai masalah ini selesai. Janji adalah hutang, oleh karena itu suka atau tidak, aku harus bertahan sampai akhir, meski aku tidak tahu apa aku bisa bertahan sampai akhir.

Di hari Sabtu ini, Kak Nathaniel memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di kamarnya, dan cuma keluar untuk membeli makanan. Seperti biasa, ia tidak mau makan masakanku. Begitupun denganku yang juga berdiam diri di kamar, sibuk dengan kegiatanku sendiri. Semenjak tidak bisa ke mana-mana, aku menghabiskan waktu dengan menggambar, karena hal itu dapat membuat moodku bagus kembali.

Yaah, aku tidak memiliki masalah seputar bahan makanan, sabun cuci baju dan sebagainya, karena Kak Nathaniel tetap menyetoknya tiap bulan. Alasannya? Tentu saja tidak lain karena ia sendiri memerlukan semua itu. Saat aku mulai memotong sayuran, telepon di apartemenku tiba-tiba berdering. Aku pun menghentikan kegiatanku sejenak untuk mengangkat telepon tersebut.

"Halo, selamat siang," ucapku dengan nada sopan.

"Selamat siang, saya mau menginfokan kalau ibu mertua anda ingin menemui anda. Beliau bilang akan langsung ke unit anda," jawab petugas receptionist.

"Ohh, baik kalau begitu ... terima kasih, akan saya tunggu ...," jawabku sedikit terkejut.

Setelah menutup teleponnya, aku langsung menuju ke depan pintu kamar Kak Nathaniel, kemudian mengetuknya beberapa kali.

"Kak Nathaniel ... tadi ada telepon dari receptionist, katanya Ibu mau bekunjung kemari ...," ucapku setelahnya.

Setelah mendengar kalau Ibu akan berkunjung kemari, Kak Nathaniel tidak memberikan tanggapan apapun. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.

"Aah ... selamat siang Ibu," ucapku setelah membukakan pintu dan mempersilahkan Mrs. Emily masuk.

"Halo Klara, bagaimana kabarmu dan Nathan?" sapa Mrs. Emily sembari memelukku dengan erat.

"Baik kok Bu, bagaimana keadaan Ayah dan Natalie?" balasku sambil tersenyum.

"Mereka semua sehat kok," ucap Mrs. Emily seraya membalas senyumku, "Oh iya, Nathan ada di mana? Apa dia sedang keluar?" sambung Mrs. Emily sembari melihat ke sekeliling.

Mendengar suara Ibu, dengan ekspresi datar Kak Nathaniel memutuskan keluar dari kamarnya.

"Ooh ... ada di dalam kamar rupanya ...," ucap Mrs. Emily saat melihatnya keluar dari kamarnya.

"Ada apa Ibu kemari? Apa karena dimintai Ayah untuk memata-matai kami?" tanyanya dengan nada sinis.

Mendengar perkataannya barusan membuatku dan Mrs. Emily terkejut bukan main. Perkataan dan sikapnya bisa dibilang sangat tidak sopan. Namun, aku melihat Mrs. Emily tetap memasang ekspresi setenang mungkin, sepertinya beliau berpikir kalau tidak ada gunanya berdebat dengan Kak Nathaniel saat ini.

"Ibu kemari karena rindu padamu dan juga istrimu, apa seorang Ibu tidak boleh merindukan anak-anaknya, Nathan?" ucap Mrs.Emily dengan nada tenang namun tegas.

Mendengar jawaban Mrs. Emily, Kak Nathaniel hanya terdiam dan memalingkan wajahnya.

"Oh iyaa hampir saja lupa, Ibu bawakan kue untuk kalian ...," ucap Mrs. Emily seraya memberikan kantung yang berisi sekotak kue berukuran medium.

"Wahh, terima kasih banyak Ibu ... sampai repot-repot membelikan kue," ucapku setelah menerima kue tersebut kemudian meletakannya di atas meja.

Setelah itu, Mrs. Emily menghabiskan waktu bersamaku dengan memasak bersama untuk makan siang. Sementara kami berdua memasak, Kak Nathaniel duduk di ruang tengah membaca buku, bermaksud menyibukkan diri. Beberapa saat kemudian, hidangan matang lalu aku sajikan di meja makan. Mungkin karena merasa perkataanya tadi keterlaluan pada Ibu, Kak Nathaniel memutuskan untuk membantu menata hidangan di meja makan.

"Sini, biar aku bantu ...," ucapnya, kemudian mengambil piring kosong untuk diletakan di meja makan. Meski terkejut dengan perubahan mood Kak Nathaniel, Mrs. Emily memilih untuk tidak menunjukannya.

Pada akhirnya, kami makan siang bertiga. Tentu saja dengan menu sayur capcay dan ikan balado kesukaan Kak Nathaniel. Namun, masih tidak bisa menghindari suasana yang masih sedikit canggung ini karena tidak ada salah satu dariku dan Kak Nathaniel yang membuka pembicaraan. Kami berdua lebih memilih untuk menyantap makan siang dalam hening. Melihat hal ini membuat Mrs. Emily membuka suara bermaksud untuk mencairkan suasana.

"Ehem, sebenarnya Ibu kemari karena khawatir dengan keadaan kalian. Apa tidak ada yang ingin kalian ceritakan pada Ibu?" ucap Mrs. Emily dengan penuh rasa ingin tahu.

"Tidak, kami baik-baik saja kok Ibu ... tidak perlu khawatir," ucapku sambil tersenyum sedikit.

"Kenapa Ibu bertanya hal seperti itu?" tanya Kak Nathaniel dengan tatapan curiga.

"Hmm ... Ibu hanya penasaran saja," jawab Mrs. Emily dengan nada santai.

"Kami beneran baik-baik saja kok," ucapku berusaha meyakinkannya.

"Ohh ... kalau benar begitu, apa Ibu boleh tahu alasan kamu mengundurkan diri dari pekerjaanmu, Klara?"

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status