Share

CHAPTER 5: FEW MOMENTS

Klara POV

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mrs. Emily, membuatku dan Kak Nathaniel terkejut dan menghentikan kegiatan menyantap makan kami. Kak Nathaniel langsung menatap tajam Mrs. Emily kemudian melirik tajam ke arahku yang duduk di sebelahnya. Aku mendapat tatapan tajam dari Kak Nathaniel serta tatapan Mrs. Emily yang seolah-olah menuntutku untuk berbicara terus terang.

Aku merasa mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Sebenarnya, aku ingin berterus terang, tapi, aku tahu kalau hal itu akan merusak hubungan Kak Nathaniel dengan Mrs. Emily. Aku tidak ingin merusak hubungan antara ibu dengan anaknya, jadi aku terpaksa berbohong pada Mrs. Emily.

“Ohh, emm ... begini, sebenarnya ...,” ucapku dengan terbata-bata, bingung memilih kata-kata yang tepat.

“Sebenarnya ... aku resign karena aku merasa skill yang kumiliki belum cukup untuk bekerja di perusahaan sebesar itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendalami skillku terlebih dahulu, oh iya saat ini aku sedang mengikuti kursus secara online,” lanjutku berusaha meyakinkan Mrs. Emily.

“Hmm, jadi begitu ... baiklah kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu sendiri,” ucap Mrs. Emily yang terlihat percaya pada penjelasaanku.

.

.

Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat, Mrs. Emily memutuskan untuk pamit pulang.

“Ibu pulang dulu ya. Hari ini cukup menyenangkan, sampai berjumpa lagi lain waktu,” pamit Mrs. Emily yang sudah siap-siap, kemudian berjalan ke arah pintu keluar.

Beberapa saat setelah Mrs. Emily pergi meninggalkan unit apartemen, Kak Nathaniel membuka mulutnya.

“Aku tidak menyangka kalau kamu pintar berbohong,” ucapnya bermaksud menyindirku. Aku memilih untuk tidak menghiraukan ucapannya itu dan memutuskan untuk pergi ke kamarku lagi.

“Kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya saja? Bukankah akan lebih mudah untukmu?” lanjutnya sembari berjalan mendekatiku.

Berada tepat di depan pintu kamarku, aku berhenti sejenak untuk mengambil napas lalu menghembuskannya.

“Kalau aku mengatakan yang sebenarnya apa akan membuat keadaan menjadi lebih baik?” tanyaku yang tetap berdiri menghadap pintu kamarku, “Aku hanya tidak ingin merusak hubungan baik antara ibu dengan anaknya,” lanjutku kemudian, berusaha untuk setenang mungkin.

“Hah, omong kosong macam apa itu?” ucapnya dengan nada sinis.

“Apa kamu tidak sadar kalau kamu sudah membuat hubunganku dengan kedua orang tuaku hancur?! Jadi, tidak usah bersikap seperti seorang malaikat di hadapanku, maupun kedua orangtuaku!” bentaknya sambil menarik lenganku dengan kasar agar bertatap wajah dengannya.

“Aku tahu kalau kamu sedang menekanku agar aku meminta untuk berpisah darimu,” ucapku sambil menatapnya tajam.

“Heh, kalau kamu sudah paham, kenapa tidak mengadukannya kepada kedua orang tuaku, hah? Bukankah tadi merupakan waktu yang sangat tepat?” tanyanya sambil mencengkram kedua lenganku dengan kuat.

“Aku bisa saja mengadukannya, kapan pun aku mau. Tapi aku tidak mau melakukan itu ...,” jawabku sambil menahan sakit akibat cengkramannya.

“Kenapa tidak mau, hah?” tanyanya dengan penuh amarah, “Apa karena orangtuaku membayarmu untuk menikah denganku!?” lanjutnya dengan penuh emosi.

“Aku tidak mau mengatakan alasanku mau menikah denganmu ...,” ucapku berusaha setenang mungkin, “tapi satu hal yang perlu kamu tahu. Orangtuamu tidak memberikan sepeser uangpun padaku. Orang tuamu adalah orang yang sangat baik dan bermartabat.”

“Lalu kenapa mereka menjodohkanku denganmu!?” tanyanya lagi dengan nada keras.

Aku tetap memilih untuk diam dan berusaha melepaskan cengkramanmnya. Namun, cengkramannya begitu kuat sehingga aku kesulitan melepaskannya. Melihatku tidak memberikan tanggapan apa-apa, membuatnya melepaskan cengkramannya. Ia menatapku dengan tatapan seolah-olah seperti mau menerkamku. Namun, ia mengurungkan niatnya dan lebih memilih kembali ke kamarnya.

Setelah itu, aku kembali pada rutinitasku seperti biasa yakni berdiam diri sembari menatap jendela kamarku. Langit sudah mulai berganti warna menjadi jingga, langit senja memang sangat indah seperti kata kebanyakan orang. Mereka bilang langit senja berarti suatu akhir yang indah.

Akhir yang indah ya? Kalau begitu, apakah aku dan Kak Nathaniel akan memiliki akhir yang indah? 

Tanpa sadar aku menitikkan air mata.

Drrrt drrrt drrrt drrr—“Halo, ya ada apa Paman?” ucapku berusaha setenang mungkin.

“Klara, maafkan Paman kalau mengganggu waktumu. Apa kamu besok ada waktu kosong? Begini, saat tahu kalau kamu tidak hadir di hari ulang tahunnya, Andy menjadi tidak terkontrol emosinya, anak itu jadi sering mengamuk dan menangis histeris tiap kali ia menanyakan kapan kamu akan mengunjunginya,” ujarnya dengan suara yang terdengar panik.

Suara Andy yang sedang menangis histeris terdengar jelas dari balik teleponku, membuat dadaku sesak. Karena ini adalah pertama kalinya aku melewatkan perayaan ulang tahunnya. Sejujurnya aku ingin sekali mengunjunginya, namun apa daya aku tidak bisa ke mana-mana saat ini. Satu-satunya cara, aku harus membujuk Kak Nathaniel agar mengijinkanku pergi.

“Baiklah Paman, aku akan coba untuk berbicara dengan suamiku terlebih dahulu,” sahutku kemudian. Aku beranjak dari kamarku menuju ke kamar Kak Nathaniel. Mengetuk pintunya beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Kemudian aku mengetuknya lagi dengan cukup keras. Tak lama kemudian, ia membukakan pintunya, sembari memandangiku dengan ekspresi jengkel.

“Ada apa sih?!” bentaknya.

“Maaf, tapi aku mau minta ijin sama Kakak,” ucapku tanpa menunjukan kegugupanku.

“Kalau bukan hal penting, aku akan menghabisimu. Mengerti?” sahutnya kemudian. Jelas sekali kalau dia masih menyimpan amarah terhadapku.

“Ini sangat penting, setidaknya untukku ..., ucapku lalu menghela napas pelan, “begini, pamanku bilang kalau salah satu anak panti mengamuk karena aku tidak datang ke pesta ulang tahunnya kemarin. Jadi, apa aku boleh pergi ke panti besok? Aku janji, cuma besok saja,” lanjutku lagi.

“Tidak boleh!” serunya singkat dan padat. Kemudian ia kembali menutup pintunya dengan kasar. 

BRAK—

“A-apaa? Heii, ijinkan aku pergii!!” seruku sambil mengetuk-ngetuk pintunya dengan cukup keras.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Kedatangan Ibu yang secara tiba-tiba siang ini benar-benar membuatku kesal. Ditambah lagi dengan sikap sok baiknya wanita itu di depan ibuku, semakin memperburuk moodku. Padahal hidangan siang ini merupakan makanan favoritku, namun, jadi tidak berselera bila makan bersama dengan wanita itu.

Lagipula apa gunanya berbohong, bilang saja terus terang kalau aku yang membuatnya keluar dari pekerjaannya. ‘Tidak ingin menghancurkan hubunganku dengan ibuku katanya’?

Benar-benar tidak masuk akal. Apa sih yang ada di pikirannya? Dia itu bodoh atau apa? Dia yang merusak hubunganku dengan wanita yang aku cintai, juga dengan kedua orang tuaku. Dan sekarang ... dengan beraninya dia bilang tidak ingin menghancurkan hubunganku dengan Ibu? Menjijikan.

Saat aku sudah mulai tenang di dalam kamarku, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku sengaja tidak menghiraukannya, namun lama-kelamaan bunyi ketukannya menjadi semakin keras dan mengganggu kensentrasiku.

Mau apa lagi dia kali ini?’ batinku.

Dengan kesal, aku membuka pintunya lalu membentaknya, "Ada apa sihh!?”

“Maaf, tapi aku mau minta ijin sama Kakak,” ucapnya.

“Kalau bukan hal penting, aku akan menghabisimu. Mengerti?” Tidak tahukah dia, kalau aku sangat tidak ingin berbincang-bincang lagi dengannya. Mendengar suaranya saja hampir membuat emosiku meledak.

“Ini sangat penting, setidaknya untukku ...,” ucapnya lalu menghela napas pelan, “begini, pamanku bilang kalau salah satu anak panti mengamuk karena aku tidak datang ke pesta ulang tahunnya kemarin. Jadi, apa aku boleh pergi ke panti besok? Aku janji, cuma besok saja,” sambungnya lagi. Aku tidak akan tertipu dengannya.

“Tidak boleh!” seruku singkat dan padat lalu kembali menutup pintuku dengan kasar.

“A-apaa? Heiii, ijinkan aku pergi!” teriaknya sambil mengetuk-ngetuk pintuku dengan cukup keras.

Beberapa menit berlalu, akhirnya wanita itu memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya. Saat aku mendengar suara pintu kamarnya yang telah tertutup rapat, timbul perasaan lega dalam hatiku. Aku kembali membuka PC ku, mengetik beberapa dokumen untuk keperluan hari Senin besok.

Setelah kurang lebih dua jam berkutat di depan PC, rasa haus tiba-tiba menyerangku. Dengan perlahan aku membuka pintu kamarku agar tidak menghasilkan bunyi sedikitpun. Aku berjalan menuju dispenser dan menuangkan air hangat ke gelas dan meminumnya.

Usai melepas dahaga, aku berniat kembali ke kamarku, namun ketika sampai di dekat pintu wanita itu, aku mendengar suaranya. Sepertinya ia sedang mengobrol dengan seseorang, dari nada suaranya terdengar cukup akrab. Rasa penasaran menghampiriku, oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendekat ke kamarnya.

Setibanya di depan pintu kamarnya, aku sedikit mencondongkan telingaku. Dari sini terdengar suaranya yang sedang berbicara dengan seseorang. Namun, berbicara dengan siapa? Apa mungkin dengan pamannya via telepon?

“Bagaimana ini Mr. Pillow, aku harus gimana? Kak Nathaniel tidak mengijinkanku untuk mengunjungi anak-anak panti. Huuft, padahal aku kangen banget sama mereka semua. Apa kamu punya ide, bagaimana membujuknya?” ucapnya pada seseorang bernama Mr. Pillow.

Siapa pula itu?

“Andy membuatku khawatir karena jarang sekali anak itu tantrum. Kamu tahu, Mr. Pillow? Ini pertama kalinya aku melewatkan hari ulang tahun Andy, selama ini aku tidak pernah melewatkannya ... mungkin karena itu emosinya jadi meledak-ledak, Andy begitu menantikan kehadiranku di pesta ulang tahunnya ... tapi aku malah— hikss ...,” sambungnya lagi, kini suaranya seperti ingin menangis.

Kenapa aku jadi merasa kasihan padanya?

Keesokan harinya, seperti biasa wanita itu sudah berada di dapur dari pagi buta. Entah untuk apa dia melakukan itu, padahal dia tahu kalau aku tidak pernah mau memakan masakannya. Ketika aku baru keluar dari kamar mandi, secara tidak sengaja aku mendengar suaranya, yang lagi-lagi seperti sedang berbicara dengan orang lain. Rasa penasaran menghampiriku lagi, dengan perlahan aku mendekatinya dari belakang untuk mendengarnya lebih jelas.

Mrs. Chilli, mohon kerja samanya yaa, biar rasa nasi gorengnya enak hehe ...,” bisiknya.

Aku mengamati pundak kecilnya bergerak naik turun saat ia tertawa. Aku tidak mengerti apa yang dia lakukan. Apa dia sedang berbicara dengan cabai? Kalau iya, kenapa dia berbicara dengan benda mati?

“Baiklah, aku masukkan kalian ke dalam penggorengan yaa,” lanjutnya lagi.

Tampaknya dia memang sedang asyik berbicara dengan bahan masakan, sampai tidak menyadari keberadaanku yang cuma beberapa sentimeter di belakangnya. Wanita ini bahkan bersenandung sambil menggorengnya. Selama ini aku tidak pernah memperhatikannya, jadi aku baru tahu kalau dia memiliki kebiasaan aneh.

“Lalalalaaaa—UWAAAA!!” teriaknya ketika berbalik menghadapku. Oke fix, dia memang tidak menyadari keberadaanku sejak awal.

”Se-sejak kapan Kakak ada di sini??” tanyanya dengan terbata-bata, dari raut wajahnya terlihat sekali kalau ia sedang menahan malu.

“Sejak Mrs. Chilli mau dimasukan ke dalam penggorengan,” ucapku singkat, bermaksud meledeknya. Seketika pipinya memerah seperti tomat. “Dasar aneh,” sambungku lagi, kemudian bergegas meninggalkannya.

Namun, saat baru beberapa langkah, dia memanggilku.

“Tu-tunggu dulu Kak, aku membuatkanmu nasi goreng. Kak Nathaniel pasti lapar, kan??” ucapnya sembari meletakan sepiring nasi goreng di atas meja makan, lengkap dengan sendok dan garpu.

Aku meliriknya sebentar, “Apa kamu bermaksud membujukku agar mengijinkanmu pergi? Kalau iya ... usahamu sia-sia,” ucapku lalu beranjak pergi ke kamarku. Namun, lagi-lagi sahutannya membuatku menghentikan langkahku.

“Ya sudah, kalau Kakak tidak mau, aku yang makan! Beneran nih tidak mau? Rugi lhoo!” sahutnya sembari memasang ekspresi meledek. Wanita itu langsung duduk dan menyantap nasi gorengnya dengan lahap. Aku mengernyitkan dahiku saat melihat caranya makan.

Bagaimana bisa dia dengan santainya menyilangkan kakinya di atas kursi? Apa dia tidak pernah mendengar istilah table manner?

“Apa kamu tahu kalau cara dudukmu itu benar-benar tidak sopan. Kamu harusnya meletakan kedua kakimu di lantai,” ucapku dengan nada kesal.

“Hmm, kenapa? Ini kan di rumah di mana aku ingin makan senyamanku, jadi jangan berkomentar apa-apa padaku. Urus saja urusanmu sendiri!” sahutnya sedikit ketus, sambil menyendokan nasi goreng ke dalam mulutnya.

Dia ini apa-apaan, sih? Aku bahkan rela membuang waktuku yang berharga hanya untuk memberitahunya tata cara makan yang benar. Ya sudah, terserah dia saja kalau begitu, lebih baik aku menghabiskan waktuku untuk mengerjakan pekerjaan kantorku.

“Tunggu! Apa Kakak benar-benar tidak mengijinkanku untuk pergi ke panti hari ini?” sambungnya lagi, membuatku lagi-lagi menghentikan langkahku untuk kesekian kalinya.

“Sekali tidak tetap tidak! Mengerti?” tegasku, kemudian bergegas menuju ke kamar tanpa mempedulikan protesannya.

End POV

.

.

KLARA POV

Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan untuk membujuknya lagi? Cara menyiapkan sarapan untuknya, ditolak mentah-mentah.

Apa aku perlu menawarinya jasa untuk mengerjakan pekerjaan kantornya? Tapi dia kan tidak membutuhkan bantuanku, lagipula aku tidak kompeten di bidang development software.

Apa aku harus mencuri access cardnya? Tapi kan mencuri itu perbuatan yang salah. Hmmm... tunggu dulu, di saat seperti ini bukan saatnya memikirkan benar atau salah 'kan? Yang terpenting aku harus bisa menemui Andy, bagaimana pun caranya. Namun tetap saja salah, setidaknya aku harus meminta ijinnya dulu 'kan. Tapi, dengan sifat kerasnya yang seperti itu, cara mengambil access cardnya secara diam-diam merupakan cara yang paling baik.

Ya, bagaimanapun caranya, aku tetap harus bisa bertemu dengan Andy.

.

.

“Kamu tidak tahu ya kalau aku bisa melaporkanmu ke polisi atas tindakan pencurian?” Suaranya yang datang dari belakangku sontak membuatku kaget, sampai tak sengaja menjatuhkan access cardnya dari genggamanku.

“Ka-kak Nathaniel ... ma-maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini ...,” sahutku terbata-bata, rasanya aku ingin secepatnya kabur dari sini.

Bukan karena ancamannya, namun, karena tatapan yang ia berikan padaku seperti ingin menelanku hidup-hidup.

Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku rasa dia akan benar-benar membunuhku kali ini.

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status