Klara POV
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Mrs. Emily, membuatku dan Kak Nathaniel terkejut dan menghentikan kegiatan menyantap makan kami. Kak Nathaniel langsung menatap tajam Mrs. Emily kemudian melirik tajam ke arahku yang duduk di sebelahnya. Aku mendapat tatapan tajam dari Kak Nathaniel serta tatapan Mrs. Emily yang seolah-olah menuntutku untuk berbicara terus terang.
Aku merasa mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Sebenarnya, aku ingin berterus terang, tapi, aku tahu kalau hal itu akan merusak hubungan Kak Nathaniel dengan Mrs. Emily. Aku tidak ingin merusak hubungan antara ibu dengan anaknya, jadi aku terpaksa berbohong pada Mrs. Emily.
“Ohh, emm ... begini, sebenarnya ...,” ucapku dengan terbata-bata, bingung memilih kata-kata yang tepat.
“Sebenarnya ... aku resign karena aku merasa skill yang kumiliki belum cukup untuk bekerja di perusahaan sebesar itu. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendalami skillku terlebih dahulu, oh iya saat ini aku sedang mengikuti kursus secara online,” lanjutku berusaha meyakinkan Mrs. Emily.
“Hmm, jadi begitu ... baiklah kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu sendiri,” ucap Mrs. Emily yang terlihat percaya pada penjelasaanku.
.
.
Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat, Mrs. Emily memutuskan untuk pamit pulang.
“Ibu pulang dulu ya. Hari ini cukup menyenangkan, sampai berjumpa lagi lain waktu,” pamit Mrs. Emily yang sudah siap-siap, kemudian berjalan ke arah pintu keluar.
Beberapa saat setelah Mrs. Emily pergi meninggalkan unit apartemen, Kak Nathaniel membuka mulutnya.
“Aku tidak menyangka kalau kamu pintar berbohong,” ucapnya bermaksud menyindirku. Aku memilih untuk tidak menghiraukan ucapannya itu dan memutuskan untuk pergi ke kamarku lagi.
“Kenapa tidak mengatakan yang sebenarnya saja? Bukankah akan lebih mudah untukmu?” lanjutnya sembari berjalan mendekatiku.
Berada tepat di depan pintu kamarku, aku berhenti sejenak untuk mengambil napas lalu menghembuskannya.
“Kalau aku mengatakan yang sebenarnya apa akan membuat keadaan menjadi lebih baik?” tanyaku yang tetap berdiri menghadap pintu kamarku, “Aku hanya tidak ingin merusak hubungan baik antara ibu dengan anaknya,” lanjutku kemudian, berusaha untuk setenang mungkin.
“Hah, omong kosong macam apa itu?” ucapnya dengan nada sinis.
“Apa kamu tidak sadar kalau kamu sudah membuat hubunganku dengan kedua orang tuaku hancur?! Jadi, tidak usah bersikap seperti seorang malaikat di hadapanku, maupun kedua orangtuaku!” bentaknya sambil menarik lenganku dengan kasar agar bertatap wajah dengannya.
“Aku tahu kalau kamu sedang menekanku agar aku meminta untuk berpisah darimu,” ucapku sambil menatapnya tajam.
“Heh, kalau kamu sudah paham, kenapa tidak mengadukannya kepada kedua orang tuaku, hah? Bukankah tadi merupakan waktu yang sangat tepat?” tanyanya sambil mencengkram kedua lenganku dengan kuat.
“Aku bisa saja mengadukannya, kapan pun aku mau. Tapi aku tidak mau melakukan itu ...,” jawabku sambil menahan sakit akibat cengkramannya.
“Kenapa tidak mau, hah?” tanyanya dengan penuh amarah, “Apa karena orangtuaku membayarmu untuk menikah denganku!?” lanjutnya dengan penuh emosi.
“Aku tidak mau mengatakan alasanku mau menikah denganmu ...,” ucapku berusaha setenang mungkin, “tapi satu hal yang perlu kamu tahu. Orangtuamu tidak memberikan sepeser uangpun padaku. Orang tuamu adalah orang yang sangat baik dan bermartabat.”
“Lalu kenapa mereka menjodohkanku denganmu!?” tanyanya lagi dengan nada keras.
Aku tetap memilih untuk diam dan berusaha melepaskan cengkramanmnya. Namun, cengkramannya begitu kuat sehingga aku kesulitan melepaskannya. Melihatku tidak memberikan tanggapan apa-apa, membuatnya melepaskan cengkramannya. Ia menatapku dengan tatapan seolah-olah seperti mau menerkamku. Namun, ia mengurungkan niatnya dan lebih memilih kembali ke kamarnya.
Setelah itu, aku kembali pada rutinitasku seperti biasa yakni berdiam diri sembari menatap jendela kamarku. Langit sudah mulai berganti warna menjadi jingga, langit senja memang sangat indah seperti kata kebanyakan orang. Mereka bilang langit senja berarti suatu akhir yang indah.
Akhir yang indah ya? Kalau begitu, apakah aku dan Kak Nathaniel akan memiliki akhir yang indah?
Tanpa sadar aku menitikkan air mata.
Drrrt drrrt drrrt drrr—“Halo, ya ada apa Paman?” ucapku berusaha setenang mungkin.
“Klara, maafkan Paman kalau mengganggu waktumu. Apa kamu besok ada waktu kosong? Begini, saat tahu kalau kamu tidak hadir di hari ulang tahunnya, Andy menjadi tidak terkontrol emosinya, anak itu jadi sering mengamuk dan menangis histeris tiap kali ia menanyakan kapan kamu akan mengunjunginya,” ujarnya dengan suara yang terdengar panik.
Suara Andy yang sedang menangis histeris terdengar jelas dari balik teleponku, membuat dadaku sesak. Karena ini adalah pertama kalinya aku melewatkan perayaan ulang tahunnya. Sejujurnya aku ingin sekali mengunjunginya, namun apa daya aku tidak bisa ke mana-mana saat ini. Satu-satunya cara, aku harus membujuk Kak Nathaniel agar mengijinkanku pergi.
“Baiklah Paman, aku akan coba untuk berbicara dengan suamiku terlebih dahulu,” sahutku kemudian. Aku beranjak dari kamarku menuju ke kamar Kak Nathaniel. Mengetuk pintunya beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Kemudian aku mengetuknya lagi dengan cukup keras. Tak lama kemudian, ia membukakan pintunya, sembari memandangiku dengan ekspresi jengkel.
“Ada apa sih?!” bentaknya.
“Maaf, tapi aku mau minta ijin sama Kakak,” ucapku tanpa menunjukan kegugupanku.
“Kalau bukan hal penting, aku akan menghabisimu. Mengerti?” sahutnya kemudian. Jelas sekali kalau dia masih menyimpan amarah terhadapku.
“Ini sangat penting, setidaknya untukku ...,” ucapku lalu menghela napas pelan, “begini, pamanku bilang kalau salah satu anak panti mengamuk karena aku tidak datang ke pesta ulang tahunnya kemarin. Jadi, apa aku boleh pergi ke panti besok? Aku janji, cuma besok saja,” lanjutku lagi.
“Tidak boleh!” serunya singkat dan padat. Kemudian ia kembali menutup pintunya dengan kasar.
BRAK—
“A-apaa? Heii, ijinkan aku pergii!!” seruku sambil mengetuk-ngetuk pintunya dengan cukup keras.
End POV
.
.
Nathaniel POV
Kedatangan Ibu yang secara tiba-tiba siang ini benar-benar membuatku kesal. Ditambah lagi dengan sikap sok baiknya wanita itu di depan ibuku, semakin memperburuk moodku. Padahal hidangan siang ini merupakan makanan favoritku, namun, jadi tidak berselera bila makan bersama dengan wanita itu.
Lagipula apa gunanya berbohong, bilang saja terus terang kalau aku yang membuatnya keluar dari pekerjaannya. ‘Tidak ingin menghancurkan hubunganku dengan ibuku katanya’?
Benar-benar tidak masuk akal. Apa sih yang ada di pikirannya? Dia itu bodoh atau apa? Dia yang merusak hubunganku dengan wanita yang aku cintai, juga dengan kedua orang tuaku. Dan sekarang ... dengan beraninya dia bilang tidak ingin menghancurkan hubunganku dengan Ibu? Menjijikan.
Saat aku sudah mulai tenang di dalam kamarku, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku sengaja tidak menghiraukannya, namun lama-kelamaan bunyi ketukannya menjadi semakin keras dan mengganggu kensentrasiku.
‘Mau apa lagi dia kali ini?’ batinku.
Dengan kesal, aku membuka pintunya lalu membentaknya, "Ada apa sihh!?”
“Maaf, tapi aku mau minta ijin sama Kakak,” ucapnya.
“Kalau bukan hal penting, aku akan menghabisimu. Mengerti?” Tidak tahukah dia, kalau aku sangat tidak ingin berbincang-bincang lagi dengannya. Mendengar suaranya saja hampir membuat emosiku meledak.
“Ini sangat penting, setidaknya untukku ...,” ucapnya lalu menghela napas pelan, “begini, pamanku bilang kalau salah satu anak panti mengamuk karena aku tidak datang ke pesta ulang tahunnya kemarin. Jadi, apa aku boleh pergi ke panti besok? Aku janji, cuma besok saja,” sambungnya lagi. Aku tidak akan tertipu dengannya.
“Tidak boleh!” seruku singkat dan padat lalu kembali menutup pintuku dengan kasar.
“A-apaa? Heiii, ijinkan aku pergi!” teriaknya sambil mengetuk-ngetuk pintuku dengan cukup keras.
Beberapa menit berlalu, akhirnya wanita itu memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya. Saat aku mendengar suara pintu kamarnya yang telah tertutup rapat, timbul perasaan lega dalam hatiku. Aku kembali membuka PC ku, mengetik beberapa dokumen untuk keperluan hari Senin besok.
Setelah kurang lebih dua jam berkutat di depan PC, rasa haus tiba-tiba menyerangku. Dengan perlahan aku membuka pintu kamarku agar tidak menghasilkan bunyi sedikitpun. Aku berjalan menuju dispenser dan menuangkan air hangat ke gelas dan meminumnya.
Usai melepas dahaga, aku berniat kembali ke kamarku, namun ketika sampai di dekat pintu wanita itu, aku mendengar suaranya. Sepertinya ia sedang mengobrol dengan seseorang, dari nada suaranya terdengar cukup akrab. Rasa penasaran menghampiriku, oleh karena itu, aku memutuskan untuk mendekat ke kamarnya.
Setibanya di depan pintu kamarnya, aku sedikit mencondongkan telingaku. Dari sini terdengar suaranya yang sedang berbicara dengan seseorang. Namun, berbicara dengan siapa? Apa mungkin dengan pamannya via telepon?
“Bagaimana ini Mr. Pillow, aku harus gimana? Kak Nathaniel tidak mengijinkanku untuk mengunjungi anak-anak panti. Huuft, padahal aku kangen banget sama mereka semua. Apa kamu punya ide, bagaimana membujuknya?” ucapnya pada seseorang bernama Mr. Pillow.
Siapa pula itu?
“Andy membuatku khawatir karena jarang sekali anak itu tantrum. Kamu tahu, Mr. Pillow? Ini pertama kalinya aku melewatkan hari ulang tahun Andy, selama ini aku tidak pernah melewatkannya ... mungkin karena itu emosinya jadi meledak-ledak, Andy begitu menantikan kehadiranku di pesta ulang tahunnya ... tapi aku malah— hikss ...,” sambungnya lagi, kini suaranya seperti ingin menangis.
Kenapa aku jadi merasa kasihan padanya?
Keesokan harinya, seperti biasa wanita itu sudah berada di dapur dari pagi buta. Entah untuk apa dia melakukan itu, padahal dia tahu kalau aku tidak pernah mau memakan masakannya. Ketika aku baru keluar dari kamar mandi, secara tidak sengaja aku mendengar suaranya, yang lagi-lagi seperti sedang berbicara dengan orang lain. Rasa penasaran menghampiriku lagi, dengan perlahan aku mendekatinya dari belakang untuk mendengarnya lebih jelas.
“Mrs. Chilli, mohon kerja samanya yaa, biar rasa nasi gorengnya enak hehe ...,” bisiknya.
Aku mengamati pundak kecilnya bergerak naik turun saat ia tertawa. Aku tidak mengerti apa yang dia lakukan. Apa dia sedang berbicara dengan cabai? Kalau iya, kenapa dia berbicara dengan benda mati?
“Baiklah, aku masukkan kalian ke dalam penggorengan yaa,” lanjutnya lagi.
Tampaknya dia memang sedang asyik berbicara dengan bahan masakan, sampai tidak menyadari keberadaanku yang cuma beberapa sentimeter di belakangnya. Wanita ini bahkan bersenandung sambil menggorengnya. Selama ini aku tidak pernah memperhatikannya, jadi aku baru tahu kalau dia memiliki kebiasaan aneh.
“Lalalalaaaa—UWAAAA!!” teriaknya ketika berbalik menghadapku. Oke fix, dia memang tidak menyadari keberadaanku sejak awal.
”Se-sejak kapan Kakak ada di sini??” tanyanya dengan terbata-bata, dari raut wajahnya terlihat sekali kalau ia sedang menahan malu.
“Sejak Mrs. Chilli mau dimasukan ke dalam penggorengan,” ucapku singkat, bermaksud meledeknya. Seketika pipinya memerah seperti tomat. “Dasar aneh,” sambungku lagi, kemudian bergegas meninggalkannya.
Namun, saat baru beberapa langkah, dia memanggilku.
“Tu-tunggu dulu Kak, aku membuatkanmu nasi goreng. Kak Nathaniel pasti lapar, kan??” ucapnya sembari meletakan sepiring nasi goreng di atas meja makan, lengkap dengan sendok dan garpu.
Aku meliriknya sebentar, “Apa kamu bermaksud membujukku agar mengijinkanmu pergi? Kalau iya ... usahamu sia-sia,” ucapku lalu beranjak pergi ke kamarku. Namun, lagi-lagi sahutannya membuatku menghentikan langkahku.
“Ya sudah, kalau Kakak tidak mau, aku yang makan! Beneran nih tidak mau? Rugi lhoo!” sahutnya sembari memasang ekspresi meledek. Wanita itu langsung duduk dan menyantap nasi gorengnya dengan lahap. Aku mengernyitkan dahiku saat melihat caranya makan.
Bagaimana bisa dia dengan santainya menyilangkan kakinya di atas kursi? Apa dia tidak pernah mendengar istilah table manner?
“Apa kamu tahu kalau cara dudukmu itu benar-benar tidak sopan. Kamu harusnya meletakan kedua kakimu di lantai,” ucapku dengan nada kesal.
“Hmm, kenapa? Ini kan di rumah di mana aku ingin makan senyamanku, jadi jangan berkomentar apa-apa padaku. Urus saja urusanmu sendiri!” sahutnya sedikit ketus, sambil menyendokan nasi goreng ke dalam mulutnya.
Dia ini apa-apaan, sih? Aku bahkan rela membuang waktuku yang berharga hanya untuk memberitahunya tata cara makan yang benar. Ya sudah, terserah dia saja kalau begitu, lebih baik aku menghabiskan waktuku untuk mengerjakan pekerjaan kantorku.
“Tunggu! Apa Kakak benar-benar tidak mengijinkanku untuk pergi ke panti hari ini?” sambungnya lagi, membuatku lagi-lagi menghentikan langkahku untuk kesekian kalinya.
“Sekali tidak tetap tidak! Mengerti?” tegasku, kemudian bergegas menuju ke kamar tanpa mempedulikan protesannya.
End POV
.
.
KLARA POV
Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan untuk membujuknya lagi? Cara menyiapkan sarapan untuknya, ditolak mentah-mentah.
Apa aku perlu menawarinya jasa untuk mengerjakan pekerjaan kantornya? Tapi dia kan tidak membutuhkan bantuanku, lagipula aku tidak kompeten di bidang development software.
Apa aku harus mencuri access cardnya? Tapi kan mencuri itu perbuatan yang salah. Hmmm... tunggu dulu, di saat seperti ini bukan saatnya memikirkan benar atau salah 'kan? Yang terpenting aku harus bisa menemui Andy, bagaimana pun caranya. Namun tetap saja salah, setidaknya aku harus meminta ijinnya dulu 'kan. Tapi, dengan sifat kerasnya yang seperti itu, cara mengambil access cardnya secara diam-diam merupakan cara yang paling baik.
Ya, bagaimanapun caranya, aku tetap harus bisa bertemu dengan Andy.
.
.
“Kamu tidak tahu ya kalau aku bisa melaporkanmu ke polisi atas tindakan pencurian?” Suaranya yang datang dari belakangku sontak membuatku kaget, sampai tak sengaja menjatuhkan access cardnya dari genggamanku.
“Ka-kak Nathaniel ... ma-maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini ...,” sahutku terbata-bata, rasanya aku ingin secepatnya kabur dari sini.
Bukan karena ancamannya, namun, karena tatapan yang ia berikan padaku seperti ingin menelanku hidup-hidup.
Astaga, apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku rasa dia akan benar-benar membunuhku kali ini.
End POV
Author POV “Apa!? ... mereka berdua sekarang bersama Jonathan Hamilton? Sial!” umpat pria bernama Felix Kemp Elliot itu sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya. “Pokoknya kalian harus terus ikuti mereka, kalau perlu habisi mereka selagi ada kesempatan. Jangan biarkan mereka sampai membongkar rencana kita! Paham?” sambungnya dengan nada tegas. “Paham, Tuan.” Usai itu, beberapa asisten pribadinya langsung mohon pamit meninggalkan ruang kerjanya. Setelah semua asisten pribadinya meninggalkan ruangan, pria paruh baya itu kembali meninju mejanya, guna melampiaskan emosi. ‘Awas saja kamu Jonathan Hamilton, akan kuhabisi semua orang terdekatmu, bila berani menghalangi rencanaku!’ . . . “Na-Nathan?” Tidak ada respon apapun dari sang suami. Hingga setengah jam berlalu, sepasang suami istri itu tiba di unit apartemen. Sesaat setelah mereka masuk dan menut
Author POV “Selamat ulang tahun, Selly dan Senna!” Suasana gegap gempita amat dirasakan oleh semua anak panti yang bersorak sorai dengan gembira, mengiringi saudara kembar cilik tersebut meniup lilinnya secara bersamaan. Nathan, Klara serta yang lainnya langsung bertepuk tangan semeriah mungkin usai si kembar meniup lilin berbentuk angka sebelas yang terpasang di kue fruit tart dan black forest berukuran besar. Tak lupa juga Klara mengabadikan momen berharga ini melalui kamera ponselnya. Wanita itu memasang timer otomatis dan menyuruh Paman Martin, semua anak panti serta Nathan, Stefani dan Marcus untuk saling berdiri berdekatan. Setelah selesai berfoto bersama, Selly dan Senna langsung memotong kue tersebut, lalu membaginya masing-masing ke Paman Martin dan anak-anak panti. Juga ke Klara dan Nathan. Di saat semua anak panti masih menyantap kue ulang tahun di ruang tengah, Paman Martin meman
Author POV "Kalian sepertinya begitu harmonis. Syukurlah ...," ujar Stefani sembari tersenyum tipis. "Eh ...? Hmm ... terima kasih," ucap Klara dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah lebih baik?" Kini giliran Nathan yang bertanya padanya. Wanita bersurai merah muda itu hanya mengangguk lemah tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Kalian pasti sudah tahu. Tapi, aku ingin bilang langsung pada kalian," ujarnya kemudian. "Tahu tentang apa?" tanya Klara merasa bingung. Sambil tersenyum tipis, Stefani berkata, "Ayah kalianlah yang telah menolongku. Beliau jugalah yang memberiku tempat tinggal untukku usai aku pulih. Kalian beruntung punya Ayah sebaik beliau." Nathan dan Klara sama-sama membelakakan kedua matanya. "Ka-kami berdua sama sekali tidak tahu-menahu soal itu," sanggah Nathan. "Hah? Lalu, kenapa kalian tahu kalau aku di sini?" tanya Stefani sembari mengerutkan dahiny
Author POV Seminggu berlalu sejak hari itu ... Seperti sebelumnya, Mr. Jonathan datang menjenguk Stefani dan Marcus yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Ketika pria paruh baya itu membuka pintu kamar rawat inap milik Stefani. Ia melihat sosok wanita itu sedang duduk di kasurnya, sambil menatap ke jendela. "Stefani ...," panggilnya kemudian. Sosok yang dipanggil namanya langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan lesu. "Pak ... Jonathan ...," lirihnya. Pria paruh baya itu langsung menghampirinya dan berdiri di dekat tepi kasurnya. "Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanyanya. "Masih sama seperti sebelumnya ...," balas Stefani dengan suara pelan. "Istirahatlah. Kamu harus sembuh," pinta Mr. Jonathan. Tertawa miris, wanita bersurai merah muda itu membalasnya, "Untuk apa? Ayah saya sendiri bahkan menginginkan saya untuk mati. Kenapa Anda malah mengingin
Author POV "Sepertinya kita diikuti ...!" seru Stefani saat dirinya melihat sebuah mobil hitam mengikutinya dari belakang. "Baiklah, saya akan mengambil jalan pintas." Tanpa aba-aba, pria itu langsung membanting stir ke kiri dan masuk ke sebuah jalan komplek perumahan. Di situ terdapat banyak belokan. Pria itu ingin mengelabui mobil hitam tersebut. Setelah beberapa belokan, akhirnya mobil hitam tadi sudah tidak terlihat di belakang mereka lagi. Tampaknya sekarang mereka cukup aman. Akhirnya, mereka memutuskan keluar dari komplek perumahan itu dan kembali ke tujuan mereka. Namun, saat mereka baru keluar dari komplek perumahan itu. Tiba-tiba mobil hitam tadi muncul dan menghadang mobil mereka. Membuat Marcus menghentikan mobilnya secara mendadak. "Astaga ... mereka sedari tadi menunggu di sini ...?!" pekik Stefani dengan nada terkejut. Jantungnya berdegup dengan cepat ketika ia melihat pintu sebelah kanan mobil
Author POV Hampa ... sakit ... sedih ... kecewa ... marah ... Semua emosi itu bercampur aduk menjadi satu kesatuan yang utuh. Menghasilkan suatu emosi baru yang tidak diketahui namanya. Entah apa namanya. Mungkin memang tidak ada namanya. Meski tak memiliki nama, emosi tersebut tetap terasa menyakitkan. Teramat menyakitkan. Rasanya seperti ingin menghilang saja dari dunia ini untuk selama-lamanya. Tidak ada gunanya ... sia-sia belaka ... Semua emosi itu hanya menggerogoti tubuhnya saja. Bagaikan sebuah lintah yang berjalan lambat namun mampu menghisap banyak darah manusia. Mematikan secara perlahan. Hal itulah yang dirasakan oleh Stefani selama hidupnya. Sejak ibunya meninggal, tidak ada lagi kebahagian yang tersisa dalam hidupnya. Semuanya terenggut darinya. Ia bahkan tidak memiliki satupun teman dekat. Ia hanya seorang diri. Bukan karena mereka jahat, hanya saja ia sendirilah