Share

CHAPTER 3: ARRANGED MARRIAGE

Nathaniel POV

Siang hari seperti biasa, Stefani mengajaku makan siang bersama di tempat yang biasa kami kunjungi. Tempat itu adalah tempat favorit kami untuk berkencan. Aku masih tidak mengerti alasan Ayah dan Ibu sangat menentang hubunganku dengan Stefani. Faktanya, dia adalah wanita yang sangat baik dan juga lembut. Dia juga sangat cantik dan berpendidikan.

Apa yang kurang darinya? Apakah Stefani tidak memenuhi standar mereka? Atau karena mereka tidak ingin aku menikah seumur hidupku?

Memikirkannya saja sudah membuatku sakit kepala.

"Ada apa? Kenapa kamu melamun? Makanannya tidak enak ya?” tanya wanita yang masih berstatus menjadi kekasihku itu sambil tersenyum lembut.

“Ah tidak, makanannya enak ... aku hanya memikirkan sesuatu ...," ujarku dengan sedikit terbata-bata.

“Memikirkan tentang apa? Sepertinya cukup penting untuk membuatmu melamun,” ujarnya penasaran.

“Erm, sepertinya aku tidak bisa memberitahumu sekarang, mungkin nanti ... di waktu yang tepat,” ucapku sedikit gugup.

“Hmm, baiklah kalau begitu. Ayo lanjutkan makan lagi,” ujarnya sambil tersenyum. Aku harus meyakinkan Ayah dan Ibu tentang Stefani.

End POV

.

.

Klara POV

Seminggu pun berlalu, dan aku mendapat kiriman email dari tempat aku melamar kerja. Ketika aku membaca kata demi kata, mataku membelakak tidak percaya dan ingin berteriak. Namun, aku menahannya, tidak lucu 'kan bila aku diusir dari kosan hanya karena aku berteriak histeris di siang bolong. Aku langsung bergegas menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan serta pakaian yang akan digunakan besok.

Aku benar-benar tidak sabar menanti hari esok!’ batinku.

Keesokan harinya, setelah aku selesai tanda tangan kontrak kerja dan pulang ke kosan, tiba-tiba Mr. Jonathan menghubungiku dan memintaku untuk menemuinya di sebuah restoran. Namun sebelum itu, asisten Mrs. Emily mengantarkan dress yang ia desain sendiri untuk kukenakan hari itu.

Aku bingung dan tidak paham akan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi aku hanya menuruti permintaan mereka tanpa berpikir yang macam-macam. Asisten Mrs. Emily mengantarku dengan mobilnya ke restoran yang dimaksud. 

Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat sosok yang ada di meja makan tersebut. Sosok pria yang aku cintai diam-diam selama bertahun-tahun.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Hari ini aku berencana untuk sekali lagi meyakinkan Ayah dan Ibu. Tapi, aku sedikit terkejut saat menghampiri mereka berdua. Pakaian yang mereka kenakan saat ini sangatlah formal. Sepertinya, mereka akan pergi ke suatu tempat.

Aku berniat untuk kembali ke kamarku, Namun, Ayah melihatku dan memanggilku.

“Nathan, bersiaplah ... kita akan makan malam di luar. Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan,” ucap ayahku datar.

Aku tidak menjawabnya, melainkan hanya mengangguk pelan kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam, tidak ada yang membuka percakapan. Beberapa waktu berselang, kami sampai di restoran keluarga kami. Selang beberapa menit, sosok tak terduga muncul di hadapanku dengan mengenakan gaun putih selutut tanpa lengan.

End POV

.

.

Klara POV

“Selamat malam Mr. Jonathan, Mrs. Emily, dan Kak Nathaniel. Maaf aku sedikit terlambat ...,” ucapku sembari duduk di kursi yang sudah disediakan, bersebelahan dengan Kak Nathaniel.

Entah kenapa, pria yang duduk di sebelahku ini menatapku dengan tatapan curiga. Sorot matanya penuh dengan tanda tanya sekaligus ketidaksukaan padaku. Terus terang saja, mendapat tatapan seperti itu darinya, membuatku sedikit gugup. Tapi aku harus berusaha supaya terihat setenang mungkin.

Suasana menjadi terasa sangat canggung bagi kami semua. Untuk mencairkan suasana, Mrs. Emily berinisiatif membuka obrolan ringan.

“Klara, bagaimana dengan wawancara kerjanya? Berjalan dengan lancarkah?” tanya Mrs. Emily sambil tersenyum ramah padaku.

“Aa ... iyaa berjalan dengan lancar Mrs. Emily. Sebenarnya pagi ini aku baru saja tanda tangan kontrak kerja, jadi mulai besok aku sudah bisa mulai bekerja,” jawabku dengan sedikit canggung.

“Waah, syukurlah kalau begitu. Kalau boleh tahu dalam bagian apa?” tanya Mrs. Emily lagi dengan semangat.

“Aku melamar sebagai 3D Illustrator di sebuah studio animasi. Besok akan jadi pengalaman pertamaku, jadi aku sangat tidak sabar menanti esok hari,” jawabku dengan nada yang tak kalah semangat.

“Kamu hobi menggambar ya?” sekarang giliran Mr. Jonathan yang bertanya.

“Hmm, sebenarnya bisa dibilang hobi. Aku sering menghabiskan waktu luang dengan menggambar,” jawabku sedikit canggung.

“Kalau boleh tahu, kamu paling sering menggambar apa?” tanya Mr. Jonathan sedikit penasaran.

“Biasanya aku lebih sering menggambar pemandangan kota, tempat-tempat makan, gedung-gedung pencakar langit ... aku suka mendesain bentuk bangunan. Bagiku itu sangat menyenangkan,” jawabku dengan antusias.

Di saat aku, Mr. Jonathan dan Mrs. Emily sedang berbincang-bincang ringan, Kak Nathaniel memandangi kami dengan jengkel dan berniat untuk kembali ke rumah.

“Maaf ... jika tidak ada hal penting yang akan dibicarakan, lebih baik aku pulang saja,” ucapnya seraya berdiri dari tempat duduk, masih memasang ekspresi jengkel.

“Nathanduduk,” perintah Mr. Jonathan tanpa menoleh ke arahnya. Kak Nathaniel tidak mengindahkan perintah Ayahnya dan tetap dalam posisi berdiri.

Merasa tak diacuhkan, Mr. Jonathan menoleh ke arahnya kemudian memberi tatapan tajam padanya. Melihat reaksi Mr. Jonathan membuat Kak Nathaniel mau tidak mau menuruti perintah beliau.

Aku sedikit terkejut dengan tatapan yang diberikan Mr. Jonathan kepadanya, namun, aku tetap memilih untuk diam. Tatapan Mr. Jonathan pada Kak Nathaniel terlihat cukup menyeramkan, yang tanpa sadar membuat jantungku berdebar keras.

Beberapa saat kemudian, makanan tiba di meja kami. Kami berempat pun makan dalam suasana hening, hanya ditemani alunan piano. Di sela-sela menyantap makanan, Mr. Jonathan mulai membuka topik tentang rencana pernikahan kami.

“Alasan kami mengajak kalian makan malam saat ini, karena kami ingin membicarakan suatu hal yang penting. Kami sudah memikirkan hal ini matang-matang,” ucap Mr. Jonathan sembari menarik napas perlahan, “kami memutuskan untuk menjodohkan kalian berdua dan acara pernikahan kalian akan dilaksanakan empat minggu lagi.”

Mendengar hal tersebut membuatku dan Kak Nathaniel terkejut bukan main. Ia pun bangkit dari kursinya dan menggebrak meja makan dengan keras.

“A-APA MAKSUD AYAH!? Kenapa kalian memutuskan hal sepenting ini tanpa mendiskusikannya denganku terlebih dahulu!??” bentaknya dengan keras dan penuh amarah.

“Maafkan kami Nathan, karena semua ini kami rencanakan sangat mendadak ...,” jawab Mrs. Emily.

“Ini demi kebaikanmu sendiri, Nathan,” ucap Mr. Jonathan dengan tegas.

“Hah? Apanya yang demi kebaikanku!? Kalian memaksaku untuk menikah dengan wanita yang bahkan tidak jelas asal usulnya seperti ini!” bentak Kak Nathaniel sembari menunjuk wajahku dengan sedikit kasar.

Melihat perilaku Kak Nathaniel padaku sontak membuat Mr. Jonathan marah, “Jaga perilakumu, Nathan!”

“Apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah sudi menikah dengannya!” seru Kak Nathaniel sambil menatap tajam ke arahku, kemudian bergegas pergi meninggalkan restoran.

“NATHAN!!” teriak Mr. Jonathan yang berusaha mencegah Kak Nathaniel pergi.

Mungkin karena merasa tidak enak hati padaku, Mrs. Emily mencoba untuk meminta maaf padaku. “Tidak apa-apa Mrs. Emily, Mr. Jonathan ... aku bisa memahaminya, saat ini Kak Nathaniel pasti masih syok dan belum bisa menerimanya. Kumohon beri dia sedikit waktu ...,” ucapku dengan nada sedih, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.

.

.

.

.

*SATU BULAN KEMUDIAN*

Di hari pernikahan, seluruh tamu undangan telah berada di dalam gereja. Begitu pun dengan Kak Nathaniel yang terihat gagah berdiri di altar memakai kemeja putih dan jas berwarna hitam, dengan dasi berwarna senada dan bersematkan bunga mawar di saku jasnya.

Tak lama setelah itu, acara pemberkatan nikah dimulai. Para tamu undangan pun turut berdiri dan menghadap ke arah pintu masuk gereja. Aku yang saat ini sebagai sang mempelai wanita pun mulai berjalan memasuki gereja didampingi oleh Paman Martin selaku wali dariku.

Alunan musik Bridal Chorus dimainkan untuk mengiringi perjalananku menuju altar. Kak Nathaniel yang menungguku di altar menatapku dengan tatapan kosong, karena bukan aku yang ia harapkan untuk menjadi pendamping hidupnya.

Saat ini aku mengenakan gaun model venus sleeveless berwarna putih yang memperlihatkan lekuk tubuhku, kalung perak dengan model sederhana melingkar di leherku. Bagian rambutku yang tertutup kain penutup kepala dirias membentuk sanggul modern, dengan hiasan mutiara di sisi kanan kepalaku. Penata rias meriasku senatural mungkin, karena beliau bilang kalau warna soft lebih cocok untukku daripada warna yang cerah.

Sesampainya di altar, Paman Martin tersenyum pada Kak Nathaniel kemudian menyerahkan tanganku padanya. Kak Nathaniel menerima tanganku lalu menuntunku ke hadapan Pastor. Setelah mengucapkan janji pernikahan dan pemasangan cincin, kami telah resmi menjadi suami istri. Sang pastor mempersilahkan kami untuk berciuman. Kak Nathaniel memandang tajam dan mulai mendekati wajahku, kemudian membisikan sesuatu ke telingaku.

“Bersiap-siaplah. Aku akan membuatmu menderita,” bisiknya, kemudian mencium pipi kananku dan memberi tatapan mencemooh padaku.

Mendengar bisikan dan melihat tatapannya padaku langsung membuat jantungku berdetak cepat dan diliputi rasa takut. Mr. Jonathan, Mrs. Emily dan Paman Martin beserta para tamu yang tentu saja tidak mengetahui perkataan Kak Nathaniel padaku barusan, memberikan tepuk tangan yang meriah.

Acara berlanjut ke resepsi pernikahan yang di gelar di hotel milik keluarga. Seusai acara resepsi, kami berdua menuju ke apartemen yang telah disediakan oleh Mr. Jonathan sebagai hadiah pernikahan kami. Ketika kami sudah hampir di pertengahan jalan, Kak Nathaniel menghentikan mobilnya secara mendadak dan langsung menoleh ke arahku. Pemuda yang saat ini sudah resmi menjadi suamiku kemudian menyuruhku untuk turun dari mobil. Aku langsung memandangnya dengan tatapan bingung.

“Kenapa suruh aku turun di sini, bukannya masih jauh ya?” tanyaku heran.

“Tidak usah banyak tanya, cepat turun di sini!” sahutnya dengan jengkel.

Setelah aku turun, Kak Nathaniel langsung menancap gas dan membawa mobilnya dengan kecepatan penuh, meninggalkanku sendirian di tengah jalan. Jam di tanganku sudah menunjukan pukul dua pagi lewat lima menit.

Pada akhirnya aku memutuskan melanjutkan perjalanan menuju apartemen dengan bertelanjang kaki. Tubuhku sudah penuh dengan keringat dan telapak kakiku sudah terasa panas karena sudah berjalan kaki sekitar satu setengah jam lamanya.

Sementara itu, Kak Nathaniel yang sudah tiba di apartemen satu setengah jam lebih awal saat ini sedang asyik menonton televisi setelah sebelumnya membersihkan diri. Saat tiba di lobi apartemen, para staf di situ menatapku dengan tatapan aneh. Namun, tidak kuhiraukan, karena aku sudah terlalu lelah. Beberapa saat kemudian, aku tiba di unit apartemen dan mengetuk pintu beberapa kali.

Pemuda itu membukakan pintunya dan melihat keadaanku yang basah kuyup karena keringat, dari ekspresi wajahnya aku tahu kalau ia merasa puas karena berhasil mengerjaiku. Aku pun segera masuk dan menuju ke kamar untuk mengambil pakaian ganti, kemudian pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

End POV

.

.

Nathaniel POV

Aku tidak mengerti apa yang Ayah dan Ibu pikirkan sampai mereka memutuskan secara sepihak untuk menjodohkanku dengan wanita itu.

Apakah mereka tidak mencintaiku? Kenapa mereka melakukan ini padaku?

Apakah karena aku memberi tahu mereka bahwa aku ingin menikahi Stefani. Mustahil.

Aku yakin semua ini pasti karena tipu daya dan sikap sok polos wanita itu yang berhasil meluluhkan hati orang tuaku. Wanita sialan itu menghancurkan hidup dan mimpiku untuk menikahi wanita yang sangat kucintai. Aku akan membuatnya menderita seperti dia membuatku menderita karena aku harus menikahinya seumur hidupku.

End POV

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status