03 Februari 2030,
Burk’s Falls, Ontario
“Mommy,” panggil seorang gadis berpakaian terusan berwarna pink pastel dengan ornament bunga daisy tiruan yang disematkan ke rambutnya yang dikepang menyamping dan digulung menjadi gumpalan.
“Leyna, Mommy baru saja akan membangunkanmu.” kata sang wanita berpakaian formal dengan kemeja putih polos ditutup dengan jas pink pastel dipadukan dengan rok span berwarna senada dan high heels putih setinggi dua sentimeter, berdiri di belakang anaknya yang sibuk memoles wajahnya dengan berbagai alat di depan meja riasnya.
Wanita yang lebih muda menarik sheer lipstick variasi Plum Dandy dari tangan gadis tersebut dan memoleskan warna tersebut di bibir anak keduanya tersebut. Sang anak bernama Leyna menatap ibunya dengan mata berbinar senang, setelah merapikan lipstick-nya dia memeluk perut sang ibunda sebagai tanda terima kasih.
Lipstick yang tidak berpigmentasi kuat dan hanya menambah rona bibir serta menjaga kelembapan pada bibir tersebut sesuai dengan kulit putih tersebut menambah kecantikan gadis tersebut.
“Ayo, kita harus segera berangkat, pretty.” kata Aubrey -ibu kandungnya- setelah merapikan anak rambut yang terlihat sedikit berantakan. Wanita yang berada pada 42 tahun itu meninggalkan sang anak untuk menemui suaminya.
Leyna Olivia segera menarik sling bag berwarna putih polos yang diisi dompet, ponsel, face mist dan cherry lipbalm favoritnya, tidak lupa dengan sebuah reuse bag berisi pakaiannya. Dia menuruni tangga dan menuju meja makan yang terletak di belakang, meletakkan kedua tasnya di samping kursi yang akan dia duduki untuk mendapatkan sarapannya di jam tujuh pagi.
“Morning, Mom, Dad, Quinza.” sapa Leyna yang segera mengambil susu vanillanya untuk ditegak sampai separuh gelas. Ketiga insan manusia yang telah memulai sarapannya itu membalas sapaan anggota keluarga mereka.
“Leyna akan ke studio lagi hari ini?” tanya seorang anak perempuan yang duduk di samping Aubrey saat melihat tas berwarna coklat tersebut.
Leyna mengangguk, adik perempuannya perhatian terhadapnya, “Iya, nanti siang. Dua bulan lagi akan ada opera klasik di Ottawa. Quinza mau datang?”
Sesuai dugaan gadis tersebut, Quinza mengangguk ribut tanpa disadari mengetuk-ngetuk sendok dengan piringnya, “Yes, I want it. Daddy, Mommy, can we attend?”
“Quinza Oriel, eat properly.” sahut sang kepala keluarga yang akhirnya bersuara di tengah acara sarapan.
“Yes, Daddy.” jawab anak bungsu keluarga Grissham tersebut dengan nada pelan penuh penyesalan.
“We will come, love. But, first, let finish breakfast and go to school.” timpal sang ibu yang mengusap rambut sebahu kecoklatan muda anaknya. Quinza mengangguk dan kembali menyantap roti panggang berisi cheese and ham, sarapan yang sama dengan tiga orang di sana dari chef keluarga tersebut.
Suasana kembali hening dengan dua asisten rumah yang menunggu anggota keluarga menyelesaikan kegiatan mereka. Seseorang pria berpakaian formal berdiri di samping kepala keluarga, “Tuan, jam masuk sekolah Nona Quinza satu jam lagi.” katanya dengan sopan.
“Siapkan mobil, lima menit lagi kami akan ke depan, Mark.” kata Chayton Grissham selaku kepala keluarga dan pemimpin Burk’s Falls dengan tenang setelah menelan adonan tepung yang telah matang tersebut. Sekretaris Grissham itu mengangguk dan segera menyiapkan kebutuhan pimpinannya.
Leyna segera menghabiskan roti panggang yang tersisa seperempat dan langsung menegak susu vanillanya sampai titik terakhir. Alat makan kotor tersebut diangkat oleh asisten rumah dengan tangkas.
Hidup sebagai anak seorang pimpinan memang sedikit berat. Mulai dari penampilan dan tingkah laku haruslah diperhatikan sebaik mungkin, apalagi hidup dalam daerah yang masih mudah melihat padang rumput dan rumah sederhana dengan perkebunan luas di depan sebagai perkarangan. Setiap penduduk akan selalu mengagumi pemimpin dan anggota keluarganya.
Baik Leyna maupun Quinza termasuk anggota keluarga yang suka keluarga berjalan-jalan dan menepi di sebuah restoran sederhana untuk makan, serta tidak sungkan membantu penduduk sekitar. Aubrey -ibu daerah- lebih sering menemani suaminya. Mereka memiliki kakak laki-laki sebagai anak sulung, namun dia sedang disibukkan dengan mengejar gelas dokter spesialis di Ottawa.
“Anak bungsu Pak. Grissham sangat manis, dia lugu untuk seusianya dan tidak sungkan bermain dengan anak kecil.”
“Nona Leyna kemarin duduk dan makan di restoranku, memuji menunya yang enak dan mengatakan padaku kalau dia akan membantu dalam investasi.”
“Tuan Andrian sangat bertalenta, katanya dia sedang mengejar gelas spesialis bedah di Ottawa.”
“Mereka adalah keluarga sempurna.”
Kalimat tersebut bukan pertama kali disanjungkan kepada lima anggota keluarga Grissham, selama dua puluh tahun kepemimpinan Chayton, rakyat hidup dalam ketenangan dan sejahtera. Daerah asri itu selalu dikunjungi oleh pengunjung yang menginginkan suasana tenang dengan rakyat yang makmur.
Setidaknya itu lah yang mereka ketahui sejak lama.
Leyna tidak pernah menghakimi siapapun yang memuji mereka seperti biasanya. Dia senang berarti semuanya masih belum terungkap dan tidak akan terungkap.
Semoga saja sesuai dengan harapan gadis 24 tahun tersebut.
“Leyna, ayo, kita harus berangkat sekarang. Aku tidak mau terlambat.” sahut Quinza yang telah masuk ke dalam mobil yang didesain sebagai mobil keluarga, kaca mobil yang diturunkan sepenuhnya menunjukkan adiknya itu melambaikan tangan dari bagian tengah mobil.
“Iya, aku ke sana.” Leyna menuruni lima anak tangga untuk sampai ke permukaan tanah yang datar dan memasuki mobil dan duduk di belakang dengan adiknya, sedangkan di tengah ada kedua orangtua mereka.
Leyna melihat ke atas langit yang terasa mendung untuk pagi itu. Burk’s Falls terkenal dengan cuacanya yang terlihat berawan. Namun, untuk memasuki musim panas seperti ini membuat Leyna mengernyitkan dahi.
Terlalu mendung, batin Leyna yang sedikit kesal dengan keberadaan gumpalan kapas gelap di atas mereka. Lalu menghembuskan napasnya.
Tidak ada yang bisa dia lakukan jika tetesan air akan membasahi mobil, bangunan dan jalan raya. Sehingga gadis itu memilih untuk memejamkan mata sepanjang perjalanan mengantar Quinza ke sekolah sekaligus memulai hari.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
“Jadi, hari ini adalah harinya?” Dion memangku tangannya yang sedang menggenggam sebuah bungkusan protein bars, mengunyah sambil melihat layar ponsel yang ditegakkan bersandar pada botol minumannya di meja. “Iya. Makan malam dengan kolega Tuan Chayton,” katanya yang telah menelan makanannya tersebut. Makan siang dengan dua protein bars di ruang istirahat di gedung balet yang secara kebetulan sedang sepi, membuatnya berpikir untuk menghubungi kekasihnya itu sekarang. Well, kekasih … Dion rasa dia harus bisa beradaptasi dengan julukan tersebut sekarang. “Kalau memang cowo itu yang bakalan datang, bagaimana menurutmu?” tanya Leyna yang berada di ujung telepon sedang mengecek tumpukan buku anak-anak dengan sebelah telinga kirinya tersumpal dengan Bluetooth earphone. “Aku tidak bisa menerimanya, bukan?” tanya Dion balik yang disetujui oleh jiwa perempuan yang berada di tubuhnya yang asli itu. Terkadang Dion berpikir berapa lama lagikah dia akan bersemayam di tubuh seorang wanita yang
Setelah malam itu mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing, tidak ada lagi yang bertambah. Baik Dion maupun Leyna, keduanya sama-sama disibukkan dengan kegiatan sehari-hari dan Jumat sudah datang menjemput mereka. Dion sudah siap dengan balutan dress di bawah lutut dan duduk ke kursi meja makan yang sudah ditempati oleh tiga anggota lainnya. “Night, Dad, Mom, Quinza,” sapanya dengan binar riang di matanya. “Night, Leyna.” Sang Ibunda membalas sapaannya. Dia mengambil tempat di samping sang adik perempuan yang bermain dengan ponselnya daritadi. Sedangkan, laki-laki satu-satunya di keluarga inti tersebut sedang membaca berita dari ponselnya. “So, can we start?” tanya Aubrey yang melirik kedua anggota yang sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Dion memilih untuk tersenyum tipis ketika mengetahui kepada siapa yang dituju. Chayton dan putri bungsunya meletakkan alat komunikasi mereka di samping dan menjawab dengan kompak, “Sure.” Wanita tersebut mengangguk dan mulai meminta
[Dion POV] Aku yang baru saja bisa pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekalian merilekskan persendian yang rasanya kaku banget setelah duduk di meja makan mendiskusikan beberapa topik hangat dengan Tuan Chayton. Sedangkan, Quinza berada di kamarnya sendiri mengerjakan tugas sekolahnya di jam sebelas malam ini. Setelah berbelanja barang kebutuhan tadi, aku dan dia langsung menyimpan barang tersebut di dapur dan beberapa disisihkan untuk di simpan di tas yang khusus menampung pakaian ganti dan outfit latihan aku. Dan, ketika melihat namaku sendiri tertera di layar ponsel Leyna itu aku langsung mengangkatnya. “Hello?” Sejujurnya ntah kenapa malam ini terasa berbeda dari malam-malam sebelumnya yang pernah kami lewati dengan berbicara melalui telepon. Leyna menjawabnya, pembicaraan mulai terasa aneh ketika lawan bicaraku itu menanyakan situasi di sini. Namun, tidak berapa lama, aku mengetahui jawabannya. Jawaban mengapa aku merasa canggung dan aneh dalam pembicaraan kami k
[Leyna POV] Aku melangkah keluar dari gedung sekolah dan menaiki sepeda yang menemani semua kegiatanku semenjak menjadi sosok yang dipanggil Dion Addison. Langit yang hari ini terlihat mendadak begitu cerah tidak digubris olehku sama sekali. Karena rasanya dari dalam hatiku terbakar sejak siang tadi. Sialnya sampai sekarang masih belum padam. Efek yang luar biasa dahsyat setelah guru perempuan itu seenak jidat menawarkan ini dan itu kepadaku. Maksudnya kepada Dion, tentu saja. “Memangnya dia tahu kalau Dion itu suka sekali dengan oatmeal dan smoothies yang beragam variasi cara untuk menikmatinya,” celetukku sambil mengayuh sepeda. Beruntung aku bukan seorang puteri keturunan kepala pemerintah sekarang ini. Ada untungnya juga menjadi seorang warga biasa yang memiliki pekerjaan yang biasa-biasa saja. Tentu saja kebanyakan warga di sini menikmati kehidupannya dengan biasa-biasa saja, bangun pagi, menyiapkan sarapan, mandi, berpakaian, pergi bekerja, pulang dan menikmati makan malam
Dion meletakkan semua belanjaannya kepada kasir dengan tenang. Tidak, lebih tepatnya pura-pura untuk bersikap tenang dan biasa saja. Dia tahu Quinza daritadi melihatnya dengan tatapan yang menyiratkan untuk berbicara empat mata dengannya. Namun, dia bersikap tidak tahu-menahu. "Leyna," panggil Quinza yang berada di belakangnya berbisik mendekat sampai ke telinganya. Beruntung sekali dia sudah terbiasa dengan adik perempuan Leyna selama ini sehingga dia tidak lagi merasa terkejut. Sebuah dehaman menjadi jawabannya dan dia melihat ke arah monitor kasir yang sedang bergerak menghitung total pembeliannya. "Kamu serius sekarang? Si cowo yang kujelasin itu ada di belakang tahu," kata Quinza lagi, dia berbicara dengan bisikan meskipun terdengar seperti nada tinggi. "Dia orangnya? Charles, benarkan?" beo Dion yang melirik ke sosok di belakang anak bungsu keluarga kepala pemerintah ini. Lalu, kembali bertingkah seperti biasa. Yang lebih muda itu refleks menepuk pundak sang Kakak gemas. "
Pada satu waktu yang sama, Leyna juga sedang mengurusi nilai murid-muridnya di ruang guru. Dia tidak sendirian di ruangan tersebut, masih ada dua atau tiga guru yang juga duduk di sana melakukan tugas mereka masing-masing. Mengingat jam belajar-mengajar telah berakhir tiga jam yang lalu, Leyna dan guru-guru lainnya bisa beristirahat sejenak. "Sir. Dion," panggil seorang guru perempuan yang sering mengikutinya di setiap kesempatan yang ada. Maksudnya, mengikuti raga Dion, bukan jiwanya. Terkadang Leyna melamun dan berpikir bagaimana reaksi sekitar mereka kalau mengetahui bahwa orang yang di depan mereka bukanlah yang mereka kenali. "Ada apa, Miss?" tanya Leyna sesopan mungkin. Setelah mengetahui konsep dari kutukan aneh ini, Leyna berpikir untuk membatasi diri dengan dunia. Dia tidak bermaksud untuk besar kepala. Namun, siapa yang tidak akan jatuh hati ketika melihat raga seorang laki-laki yang tinggi jangkung, berpakaian rapi, dan bersikap lembut? Leyna mungkin adalah salah satun