Leyna Olivia’s POV
"Aku ke sekolah dulu, Leyna, Mommy, Daddy. Jemput aku jam tiga sore nanti."
"Tidak ada kegiatan di art club?" tanyaku yang menyempil ke jendela mobil yang terbuka sepenuhnya. Mommy Aubrey yang duduk di depan sedikit memajukan badannya untuk memberiku akses melihat Quinza yang telah berdiri depan gedung sekolah sambil mengeratkan tasnya.
Quinza menggeleng, "Eung ... eung ... no. Mereka sedang persiapan untuk perlombaan minggu depan. Jadi, yang tidak latihan diminta untuk tidak datang."
Aku hanya membulatkan mulutku tanpa suara, selalu ikut mengantar Quinza membuatku sedikit banyak mengetahui jadwal pulang adik satu-satunya. "Ya sudah. Belajar yang bahagia, kami akan menjemputmu jam tiga sore." kataku dan melambaikan tangan sebelum kembali duduk di posisiku sebelumnya.
Jendela mobil perlahan menaik beriringan dengan Quinza yang memasuki gerbang sekolah dan masuk ke dalam bangunan berbentuk kastil tersebut bersama teman sekolahnya. Aku tersenyum samar saat gedung sekolah yang pernah kutempuh perlahan menghilang digantikan dengan lapangan luas yang milik sekolah tersebut.
Melihat Quinza yang masuk sekolah dengan bahagia, membuatku ingin kembali menduduki bangku sekolah. Rasanya aku lebih rela duduk di kelas berjam-jam sembari mendengar penjelasan guru yang terkadang tak dimengerti dan bisa melantur bak air dan minyak daripada mengikuti Daddy Chayton yang selalu ke kota.
"Kita ke Hun's Restaurant, ya, Pak." ucap Daddy setelah kuda besi yang ditumpangi menjauhi sekolah dimana kami bertiga mengenyam pendidikan. Daddy adalah tipe ayah yang tidak mau ribet, lebih suka jika ketiga anaknya bersekolah di sekolah yang sama sampai lulus. Selain itu, kata Daddy, kita juga bisa saling menjaga.
"Baik, Tuan." kata sang supir yang telah menjadi supir pribadi Daddy sejak aku berusia sepuluh tahun.
"Ada masalah dengan yang di sana?" tanya Mommy lagi, menjadikan aku sebagai anak satu-satunya di antara mereka sekarang ini mendengar jelas permasalahan orang tua.
Ya, tidak sekarang, tapi nanti. Lihat saja.
"Sepupu Lancelot membuat kerusahan di sana. Katanya ayahnya memiliki dana investasi dan meminta dirinya untuk diangkat menjadi manajer karena hal itu semenjak ayahnya memilih pensiun dari direktur keuangan."
Apa kubilang?
Sudah pasti akan selalu ada masalah orang tua yang seharusnya tidak boleh didengar. Tetapi aku juga tidak bisa menutup telinga yang selalu terbuka ini.
"Karena kamu tidak berniat bekerja padahal Daddy sudah memberikan banyak lowongan pekerjaan bagus untukmu. Kamu juga tidak ingin menyambung pendidikan seperti Andrian. Kamu mau tidak mau harus ikut Daddy dan Mommy kemanapun."
Ultimatum dari Daddy dua tahun yang lalu di ruang kerja pemimpin Burk's Falls itu mengikatku untuk mendengar segala masalah yang dialami oleh Daddy maupun Mommy. Untuk enam bulan pertama, Daddy hanya membiarkanku mengikutinya bak anak ayam tak berdaya. Setelah itu, Daddy berusaha bertanya padaku solusi ataupun pendapat yang kupikirkan atas masalah yang terjadi.
Memang bukan salah Daddy atau Mommy juga aku seperti ini. Satu sisi, juga bukan sepenuhnya kesalahanku yang tidak ingin bekerja ataupun melanjutkan pendidikan. Padahal kalau aku atau saudaraku yang lain bersekolah kembali, Daddy tidak akan memaksa kami untuk bekerja.
"Sepupumu yang dari pihak Papa?" tanya Mommy, aku di belakang berusaha memainkan ponsel walaupun aku tahu tidak ada yang bisa dimainkan. Alhasil, aku hanya membuka tutup layar ponsel.
"Yes, honey. Ingat Paman Malvin? Anak sulungnya sedang ribut di sana." kata Daddy yang menutup phone case dan menyakukannya. "Padahal, Uncle Malvin sudah memiliki bakery dan berdasarkan yang kulihat toko itu sukses. Uncle Malvin juga tidak pernah meminta bantuan untuk memasukkan Sepupu Lancelot ke kantorku."
"Lancelot yang dua bulan yang lalu juga menganggu perusahaan adikmu, kan? Kalau aku tidak salah, yang bekerja sebagai florist sekaligus membuka cafe dan toko buku."
"Iya. Katanya, karena ayahnya memberikan bantuan dana, jadi dia minta bunga dana tersebut. Bantuan dana dengan bunganya sudah dibayar lunas setahun yang lalu."
Aku hanya mengangguk sendirian di belakang. Uncle Lancelot. Begitulah aku dan saudaraku memanggilnya setiap saat bertemu. Dalam ingatanku, dia adalah paman yang bertubuh tinggi melebihi Daddy, berpakaian selalu formal atau sopan, paling jauh hanya semi-formal, cara bicaranya yang terkesan memudahkan semua hal di dunia. Namun, yang kusuka darinya adalah ... dia cukup royal.
Dia selalu mentratir kami makanan mahal seperti steak, spaghetti di kawasan elit. Tidak jarang restoran Italia maupun Prancis kami kunjungi berkat keroyalannya.
Tapi, sisi Uncle Lancelot yang satu ini nampaknya sesuai dengan peragainya. Bukan sekali ini aku mendengar keluhan Daddy terhadap sepupunya itu.
"Kalau keuangan Grandpa Malvin baik-baik saja. Kenapa dia menginginkan sesuatu yang bukan miliknya?" celetukku tanpa sadar.
It's okay. Aku sudah cukup dewasa untuk bertanya tentang hal tersebut. Lagipula sejak aku kecil, aku sering menguping pembicaraan kedua orangtuaku diam-diam tanpa bisa bersuara lebih jauh.
"Karena, pamanmu yang satu itu memang rakus. Daddy tahu jelas wataknya. Sebenarnya, dulu Daddy juga ragu untuk membuka bisnis bersama Paman Kakekmu itu karena anaknya yang bisa berulah. Tapi, mau bagaimana, saat itu hanya dia yang paling dekat dengan kita."
"Kenapa tidak fokus dengan bakery yang Daddy katakan saja? Jika memang sesukses itu, harusnya mereka bisa memikirkan untuk membuka cabang, bakery-nya juga sudah berdiri setengah tahun." kataku lagi dengan nada sedikit sinis karena geram dengan kelakukan pamanku satu itu.
"Cantik, nanti sampai sana jangan bersikap seperti itu, ya. Tetap-"
"Sopan dan berlaku baik di depan Uncle Lancelot. Okay, I understand, Mom. I'll hold that as much as I can." ucapku dengan malas setelah memotong perkataan Mommy. Mommy memang selalu mengawasi gerak-gerikku jika bertemu dengan kolega Daddy atau keluarga. Karena dari kami bertiga, hanya aku seorang yang lebih cenderung blak-blakan berbicara tanpa peduli lawan bicara.
Kulihat Mommy diam-diam tersenyum. Tapi, tetap saja aku belum puas tanpa pertanyaanku belum dijawab.
"Bakery tersebut masih dibawah kendali Uncle Malvin, Leyna. Jadi, dia tidak bisa berkutik. Setidaknya kamu hari ini belajar kalau tidak semua kerabat keluarga memiliki niat seputih bulu angsa."
Aku berdengung sebagai balasan dari perkataan Daddy. Aku masih ingin bertanya tetapi kurasa untuk sekarang, sudah cukup melemparkan dua pertanyaan yang kelewat batas itu.
Aku lagi-lagi melihat langit yang mulai menangis, membuat jalanan basah beruntung tidak sampai macet.
Melihat langit sambil mengembalikan mood-ku yang nyaris terbang karena perkataan Mommy ..., sounds not bad, right?
_The Stranger's Lust_
To Be Continue
Suara bel yang berdering karena pintu didorong masuk, Hun’s Restaurant sedang sepi di jam setengah sepuluh itu. Leyna masuk ke depan dengan Aubrey setelah Chayton masuk dengan gagah. Seorang sekretaris yang mengikutinya dari Red House berdiri di samping Leyna. Leyna merangkul lengan kanan sang ibu di belakang dalam diam, berusaha menekan dirinya untuk tidak menerobos dan memaki orang yang lebih tua darinya puluhan tahun itu. Bukan hanya ada sang paman sendiri di sana, ada lima pegawai restoran yang sedang hilir mudik membersihkan meja dan sebagainya, dua orang kasir sedang beroperasi di depan meja di sebelah standee, Leyna yakin masih ada tiga chef yang sedang sibuk menumis sayur atau memanggang daging di belakang. Tentu saja masih ada store manager berdiri di sana menjalani shift kerjanya, wanita muda itu jelas mengetahui nama sang manajer yang tengah menenangkan sang paman. Leyna lebih suka memanggil ‘Uncle Mark’
“Kau sungguh membawaku? Bukan aku pelakunya!” “Diam! Aku tidak ingin menyuntikmu dengan bius yang kubawa sekarang di kantongku. Jangan banyak bergerak dan ikuti aku.” Sepasang mata hitam itu memutar malas, tentu saja dia akan mengikuti pria bertubuh kekar nan tinggi ini. Karena kedua lengannya dikaitkan dan terlihat diseret menuju sebuah bangunan yang terletak cukup dekat dengan kawasan pepohonan. Siapapun yang tinggal di Burk's Falls pasti tahu bangunan tersebut. Bangunan yang menjadi tempat tinggal pemimpin dan keluarga kecilnya dimana siap dilayani oleh belasan pekerja di sana. Namun, jika ke sana dengan diseret oleh kedua pria berlengan kekar ini, maka Dion hanya bisa menghembuskan napasnya dengan gusar. Semoga saja ada yang bisa meloloskannya dari sini. Karena dia masih ditunggu oleh murid-murid manis di hari esok. Dion dipaksa untuk berlutut di sebuah ruangan dimana ada kursi besar tak berpenghuni. Siap tak siap dia harus disidang. Karen
“Hey! Bangun! Tuan Mark telah berada di sini!” Dion melenguh beberapa detik ke depan, matanya berusaha mengerjap dan melakukan perenggangan tangan yang merasa kebas sebagai bantalan. Sinar mentari yang diam-diam menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup sempurna, membiaskan warna jingga kekuningan. Sudah sore, batin pria muda yang masih memakai kemeja biru laut yang sedikit berantakan, celana kain dan pentofel-nya masih terpasang dengan rapi di tubuhnya. Pria itu menaikkan sebelah alisnya, seorang pria bersetelan formal rapi walaupun akan menjelang sunset sebentar lagi. Otaknya menjelajah ke masa lalu tepatnya dua jam yang lalu, seingatnya yang akan datang adalah seorang wanita yang merupakan anak kedua Tuan Grissham. “Nona Muda Leyna tidak bisa datang. Jadi, saya yang menggantikannya karena kegiatannya di luar belum bisa ditinggal.” kata pria yang Dion rasa berada di umur tiga puluhannya itu. “Saya Mark Helius. Sekretar
Sinar mentari yang mulai menyusup dari ventilasi udara membuat seseorang yang tinggal ruangan tersebut berbalik dan terjatuh dari tempat tidurnya yang keras. Matanya yang terasa berat, mau tidak mau harus terbuka melihat sekitar yang terasa asing. "Ini dimana?!" Sepasang mata itu segera kembali fokus melihat sekitar, ruangan sempit yang jelas bukan tempat tidurnya, sebuah tempat tidur sederhana yang terbuat dari kayu tak berkaki dan digantung rapat ke dinding tepat di belakangnya. Pantatnya yang terasa nyeri karena terjatuh dari alas keras itu mendarat di lantai beraspal dengan beberapa lubang serta lumut. Dia tahu Red House punya penampungan tahanan sementara sebelum kembali dieksekusi lebih jauh oleh ayahnya. Jelas dia tahu kalau dia berada di bawah tanah. Leyna hanya tak habis pikir, kenapa putri pemimpin dijebloskan ke dalam pernjara? Semalam tidak ada peristiwa mengerikan yang hinggap di benaknya, tidak ingat kapan dia masuk ke
"Good morning." sapa Dion yang berjalan kaku menuruni tangga, area lutut ke bawah terasa dingin dan itu membuatnya risih karena sabrina berbentuk floral yang ketat dan menunjukkan lekuk tobuh molek tersebut. Banyak umpatan yang mengarah pada pemilik sejati raga ini, tetapi dia juga merasa bersyukur. Jam telah menunjuk setengah tujuh saat itu, dia masih berkeliling kamar luas yang membuatnya bingung. Tangannya menyortir dinding yang mungkin saja mengarah pada lemari pakaian Leyna, setelah berkeliling sepuluh menit dia mendapatkannya, mendorong pelan bagian dinding yang berbeda dengan kawanannya. Ini lebih mirip butik daripada lemari pakaian, batin jiwa pria tersebut yang menggeleng tak percaya, kabinet yang mengelilingi ruangan tersembunyi tersebut dengan sebuah kursi panjang di tengah dan dua kaca panjang meninggi untuk membantu melihat penampilan anak kedua Grissham. Tungkai kakinya mengelilingi satu ruangan dan berhenti di kabinet s
Sesuai dengan kesepakatan -begitu Dion anggap- dengan Chayton saat sarapan setengah jam yang lalu. Sekarang dia tengah bersiap untuk menuju café tersebut. Setahunya café bergaya klasik itu dibuka lima menit lagi. Karena penduduk di sini yang tidak lebih dari seribu orang, usaha bisa dibuka lebih lambat dari jam biasanya. Kembali lagi dia di kamar pribadi Leyna dengan tubuh yang sama. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, dia sudah lelah dengan ini. Inginnya untuk kembali ke raga aslinya. Lebih rela disidang oleh siapapun daripada terperangkap dalam tubuh langsing nan molek seorang gadis. Tangannya meraih sebuah tabung kecil warna pink sakura. “Ini apa?” tanya Dion kepada semilir angin yang menggesek dedaunan pohon di luar kamar. Membuka tutup tabung tersebut dan mengernyit dahi saat melihat kalau itu ternyata ada sebuah lip tint. Seorang guru berusia sepertinya sering kali membawa benda seperti ini dan mengoles ke bibirnya. Setidaknya dia tahu fungsi dicip
“Hey! Hey! Hati-hati bawanya!” “Kami tidak akan seperti ini jika Anda bekerja sama, Tuan.” ucap pria bertubuh kekar yang menahan lengan Leyna sembari menaiki tangga. Leyna menepis pemikirannya tersebut, ini bukan lengannya, tubuh ini juga bukan miliknya. Bagaimana bisa pinggang rampingnya lenyap tergantikan dengan pinggang yang lebih lebar dan punya perut yang samar punya garis. Swear God! Dia tidak melihat, hanya menyentuh tanpa sadar untuk memastikan. Leyna tidak menyangka kalau seluruh bagian tubuhnya berganti dan sekarang dia dibawa ke ruang rapat. Sungguh, dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan dan pasrah didudukkan ke kursi. Bukan itu pusatnya, matanya melotot melihat tubuhnya berdiri di samping jendela yang terbuka setengah menikmati sinar mentari pagi. Tubuhnya, tubuh yang sebenarnya. Ada di sana. “Bisa tinggalkan kami berdua?” ucap suara halus miliknya. Benar miliknya tapi keluar dari raga yang tengah berjalan menghampirin
[Leyna POV] Aku menatap tubuhku yang masih duduk di depan meja bundar, lalu kembali melihat pemandangan pepohonan yang dibarengi dengan tempat tinggal burung di ranting pepohonan. “Jadi, kau juga tidak tahu penyebabnya?” Kulihat Stranger Soul -panggilan dariku- menggeleng. Aku kangen mengikat rambut, biasanya aku tidak akan menggerai rambutku seperti itu. Aku juga tidak bisa mengikat rambut yang pendek ini. "Dan, bisa dibilang kita sekarang bertukar raga?" Stranger itu kembali mengangguk, tanpa melihat diriku sama sekali. Aku yakin sekali kalau dua penjaga itu masih berdiri di depan pintu ruangan menunggu sesi kami selesai, aku tidak tahu akan kapan selesainya. "Berapa lama?" tanyaku lagi. Stranger yang mengaku bernama Dion Addison itu menggeleng tidak menahu dengan bahunya yang terangkat. "Kau lebih mirip wartawan daripada anak pemimpin. Daritadi, bertanya.," kata