Share

5

Author: Reez
last update Last Updated: 2021-08-27 11:13:03

Tinggi badanku bahkan tidak mencapai setengah dari tinggi cermin. Kuperhatikan wajahku yang berpipi “tembem”, badanku yang berisi, kenyal jika kupegang. Jemariku kecil, rambutku tipis dan acak-acakan.

Kupegangi cermin di depanku dengan kedua tangan mungilku.

Ya Tuhan... Apa yang sedang terjadi?

“Ferre, kamu ngapain?” Mama sudah duduk di samping tempat tidur.

Diriku tidak lagi bertanya-tanya, karena memang tidak lagi ada gunanya. Hanya sebagian kecil dari pikiranku yang masih mempertanyakan apakah aku sedang bermimpi. Bagaimanapun ini semua masih mustahil, ini pasti mimpi.

Tapi tidak, karena ketika kucubit, pipiku terasa sakit.

“Ma?”

“Ya, kamu ngapain, sayang? Kamu kenapa?”

Tatapannya yang teduh, hangat, membuatku merasa aman. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Apa pun yang saat ini sedang kuhadapi, melihat dirinya aku merasa tenang. Ia memang mamaku.

Aku memanjat ke ranjang, lalu menghambur ke pelukannya. Air mataku pun mengalir, kucoba untuk  menyembunyikannya. Meskipun itu percuma.

“Mama....”

“Oh, sayang, tiba-tiba kok nangis, kamu mimpi buruk, ya?”

Aku mengangguk dalam dekapannya. Ingin kuceritakan semuanya, tapi aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Lagipula aku tidak yakin bahwa ia akan mempercayainya.

Sayup-sayup kudengar pintu depan rumah dibuka. Sepertinya seseorang masuk, mengucapkan salam. Dari suaranya, ia seorang pria.

Suara itu, suara yang tidak pernah berubah hingga kapan pun.

Si pemilik suara masuk ke kamar, badannya penuh peluh, mengenakan kaus tenis.

Papa...

Papaku dengan rambut yang masih hitam legam sepenuhnya. Tidak ada sehelai pun uban, berbeda dengan terakhir kali aku bertemu dengannya.

“Lho, kenapa?”

“Mimpi buruk kayaknya,” jawab Mama.

“Ooh,”

Aku menenggelamkan diriku dalam pelukan Mama.

Entah berapa lama aku seperti itu, tahu-tahu suara adzan maghrib sudah berkumandang di televisi.

Papa dan Mama segera beranjak dari kamar, meninggalkanku dan mulai berwudlu, kemudian menggelar sajadah. Aku tidak pernah ingat bahwa mereka selalu sembahyang di ruang tengah, tempat televisi berada. Televisi pun dimatikan, seperti kebiasaan kami setiap kali waktu sembahyang tiba.

Semuanya persis seperti yang dulu pernah kualami. Toples-toples berisi kue kering di meja depan televisi, selalu terisi minimal setengahnya, tidak pernah dibiarkan kosong. Majalah-majalah di ruang bawah meja, yang pasti hanya berupa Femina atau Tempo.

Dari luar terdengar suara bocah-bocah kampung sebelah komplek perumahanku yang memanggil teman-temannya untuk pergi ke masjid untuk salat magrib. Terdengar jelas suara sendal jepit mereka beradu dengan jalanan. Sebagian suara langkah kaki yang berlari hanya berupa debuman, yang berarti mereka tidak memakai alas kaki.

Tanpa sadar aku pergi ke kran air tempat kami biasa mengambil air wudlu, hingga rumah ini direnovasi saat aku masuk sekolah menengah. Tanpa perasaan apa pun, aku mengikuti Papa yang telah menyelesaikan surat Al Fatihah.

Mama langsung menghambur ke arahku, dan memelukku usai menuntaskan salam akhir. Begitupun dengan Papa, ia menghampiri kami dan mengusap-ngusap kepalaku.

“Kamu, sejak kapan bisa sholat?” kata Mama.

“Papa kaget waktu ada orang lain yang bilang “aamiin” selain Mama,” timpal Papa.

Aku diam dan memaksakan senyum. Entah mereka sadar atau tidak dengan keanehanku. Aku sendiri mulai menyadari bahwa yang sedang terjadi ini memang benar-benar terjadi. Namun sekali lagi, ini pasti bukan mimpi.

Setelahnya, aku berjalan ke arah ruang tamu. Kubuka pintu depan, dan berjalan ke arah teras.

“Ferre, mau ke mana?” tanya Mbok Jah yang juga baru selesai salat.

“Di sini saja, Mbok,” jawabku lirih sambil berdiri di teras depan rumahku.

Pagar rumah kami yang masih berupa pagar kawat, halaman depan pun masih kosong. Tidak ada satu pun pohon kecuali rumput-rumput gajah.

Matahari mulai hilang dari langit, namun pendar cahayanya masih samar terlihat. Perlahan ia mulai tenggelam sedikit demi sedikit, sampai tidak lagi menyisakan cahayanya.

Komplek perumahan kami berangsur gelap. Beberapa rumah mulai menyalakan lampu. Tapi tidak seterang yang biasa kulihat. Karena penerangan rumah-rumah di sini, termasuk rumahku, hanya menggunakan bohlam bercahaya kuning.

Suara orang mengaji dari mikrofon masjid mulai terdengar, namun sangat samar. Belum banyak masjid yang ada. Mungkin hanya satu untuk seluruh kompleks.

Bulan mulai muncul.

Ia begitu jelas kulihat, tidak seperti di tahun 2020.

Hatiku berdesir.

Rita... sepertinya aku pergi terlalu jauh, gumamku.

Angin malam pun mulai bertiup. Tubuhku terasa menggigil. Aku pun segera masuk ke rumah. Walau aku berusaha memahami apa yang sedang terjadi, ini masih jauh di luar jangkauan akal sehatku.

Waktu makan malam pun tiba. Aku diberi piring bergambar Mickey Mouse.

“Aku mau piring kaca,” kataku.

Papa dan Mama memandangku lagi, tertegun.

Lalu Papa mengangguk sebagai isyarat kepada mama untuk memberikan keinginanku.

“Hati-hati ya,” kata Mama.

Aku mengangguk.

Ingin rasanya berkata, “Ayolah Ma, aku sudah tiga puluh empat tahun!”

Kata-kata yang hanya sampai di tenggorokanku saja.

Saat mengunyah nasi, aku kembali tertegun.

Ini gila, gigiku pun masih gigi susu!

Usai makan malam, Papa dan Mama menyalakan televisi. Film Oshin telah dimulai. Aku termenung mengamatinya. Film Oshin yang telah diputar ulang di tahun 2020, tapi kini kusaksikan lagi di masanya. Kupandangi televisi yang masih dihiasi semut-semut pada layarnya.

Satu jam berlalu, Mama membuatkan segelas susu Dancow untukku, pertanda aku harus segera pergi tidur setelah menghabiskannya. Ritual yang berlangsung hingga aku duduk di Sekolah Dasar. Tidak ada pilihan selain menurut saat waktu menunjukkan pukul sembilan. Mama menggandengku masuk ke kamar.

Seiring pintu ditutup, kudengar dimulainya siaran Dunia Dalam Berita.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Time Replayers   55

    Starla memang jarang menunjukkannya, tapi aku tahu bahwa dia juga memikirkan masa depan Adam. Butuh waktu cukup lama bagiku meyakinkan dirinya sampai ia setuju metode pendidikan yang akan kami terapkan pada Adam.Saat ini aku menikmati masa-masa Adam bermain dengan ceria. Kulitnya yang ditimpa sinar matahari pagi dan sore. Keringatnya saat bermain sepakbola, juga caranya meneguk air putih dalam jumlah banyak usai lelahnya bertanding.“Gimana permainanku, Ayah?”“Kamu melakukannya dengan sangat baik, Adam. Kamu hebat,”“Ayah selalu bilang gitu,” Adam tertawa.“Itu kenyataannya, Ayah nggak mengada-ada,” kataku sambil mengacak-acak rambutnya.Lalu kami pulang, seiring adzan magrib yang mulai berkumandang.Adam memantul-mantulkan bolanya ke jalanan selama kami menuju rumah.Mobil-mobil mulai berdatangan dari mereka yang baru saja menyelesaikan harinya.Aku membiarkan Adam masuk terlebih dahulu dan menyuruhnya untuk segera mandi, sementara kusaksikan matahari terbenam dengan indah.Sebenta

  • The Time Replayers   54

    Alarm ponselku.Perlahan kubuka mata.Starla masih ada dalam dekapanku.Ini masih kamar kami. Bukan kamar Mama dan Papa.Ini masih 2020, bukan 1989.Kuperhatikan sekujur tubuhku, tak puas, lalu aku beranjak menuju cermin.Aku, masih diriku, diriku yang berusia tiga puluh empat tahun.“Sayang?” suara lembut Starla memanggilku.Aku menoleh, tanpa sadar air mataku telah berlinang.“Kamu...kenapa?”Jawabanku adalah menghambur ke arahnya, dan memeluknya.“Re?” katanya sambil balas memelukku.“Sayang...”“Apa yang sudah terjadi? Apakah yang kamu bilang semalam....?”“Nggak..nggak sayang! Nggak!”“Maksudmu?”“Aku nggak tahu apa yang harus kubilang. Nggak ada yang harus kuceritakan. Yang pasti adalah...semua baik-baik saja,”“Jadi semua misterimu masih akan menjadi misteri?”“Kuharap selamanya,”Starla menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.Kami melanjutkan hidup kami.Aku membeli sejumlah bangunan di Selatan ibu kota, tempat kami tinggal sekarang. Kuratakan mereka dan kudirikan kom

  • The Time Replayers   53

    Pesawat Starla telah tiba, aku menjemputnya, lalu membawakan bagasinya, setelah sebelumnya memeluknya erat-erat.Kugenggam tangannya sambil kami berjalan, jauh lebih erat daripada biasanya.Ia adalah hartaku yang paling berharga.Lalu di sanalah kulihat sosok itu. Di tengah keramaian bandara, ia berdiri, menatapku.Sosoknya seperti tidak terpengaruh oleh orang lain yang berlalu-lalang di sekitarnya. Semula otakku masih berusaha memproses tentang sosok ini.Lama kelamaan aku mulai menyadarinya.Rambut dan janggutnya yang putih sangat kuingat.Ia adalah bapak tua yang membelaku saat aku disidang karena menghajar Dimas. Dan dia tidak tampak berubah sama sekali, bahkan pakaian yang dikenakannya pun masih pakaian yang kulihat puluhan tahun silam.Yaitu saat ia muncul di depan kelas.Kurasa ia tersenyum ke arahku.Kupercepat langkahku untuk menghampirinya. Aku yakin ia bukan orang biasa. Bahkan aku punya firasat bahwa ia memiliki jawaban atas banyak pertanyaan yang berputar di benakku. Ten

  • The Time Replayers   52

    2023Pandemi virus Corona telah berakhir satu tahun silam. Keadaan dunia telah kembali seperti semula. Pemandangan orang-orang yang mengenakan masker di jalanan telah lama hilang.Aku dan Starla juga bisa leluasa pergi ke mana pun kami mau. Karena aku menjadi orang yang memberi petunjuk kepada Dr. Hobson untuk vaksin virus Corona, maka aku dan keluargaku mendapatkan prioritas pertama untuk mendapatkan vaksin.Kubawa Starla menyaksikan El Classico, Derby De La Madonnina, dan Derby Manchester. Kami mengenakan seragam AC Milan saat pertandingan di Milan. Aku mengamatinya berteriak, meniup peluit ejekan kepada tim lawan, dan menyanyikan lagu Curva Sud. Kami pergi berkeliling dunia, beberapa kali dengan sistem backpacking. Namun lebih sering kami menginap di hotel mewah. Walaupun demikian, kami menyusuri jalan-jalan di Paris, Munich, Madrid, Barcelona, dan Zurich. Trotoar demi trotoar kami lalui, dan kami hanya menggunakan satu buah payung jika hari hujan.Starla sendiri tidak ingin berg

  • The Time Replayers   51

    Tidak cukup banyak hal menarik yang terjadi setelah 2010, karena semua fenomena di dunia bisnis yang terjadi setelah tahun itu telah kuambil alih. Telah kukuasai dunia, dan kusebar semuanya di berbagai perusahaan. Hanya sedikit orang yang tahu bahwa kekayaanku hanya bisa didekati oleh Bill Gates.Dekade setelah tahun 2010 adalah waktu untuk bermunculannya perusahaan-perusahaan startup. Semua telah kuantisipasi.Kudirikan inkubator bisnis di setiap kampus papan atas dunia. Ide-ide dan inovasi bermunculan dari sana.Para pegiat startup pun berbondong-bondong mengajukan proposal.Kuseleksi semua dokumen yang mereka berikan, dan kukucurkan dana berdasarkan kualitas bisnis yang menurutku paling baik.Bagi proposal yang kurang menarik, kuminta mereka untuk mengembangkan diri dan menerima pelatihan. Bagaimanapun aku yakin bahwa tidak ada ide inovasi mereka yang akan sia-sia.Aku belajar dari penyesalan para konglomerat yang menolak membiayai Whatsapp, Instagram, dan lain sebagainya. Tidak a

  • The Time Replayers   50

    Aku dan Starla telah lulus di tahun 2008 ini.Krisis akibat kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat mulai merambah ke seluruh dunia. Tahun-tahun mencekam melanda hampir semua negara. Ini adalah krisis yang sangat buruk, bahkan bisa disetarakan dengan Great Depression pada tahun 1930-an.Bank-bank di Amerika Serikat bertumbangan, disusul oleh bank-bank di negara G-8. Begitupun dengan pasar saham. Banyak orang kehilangan pekerjaan akibat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sudah kubeli saham-saham dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan keadaan ini. Di masa depan, harga-harga saham ini akan kembali naik.Starla sedang berdinas ke Amerika Serikat untuk pelatihan awal pekerjaannya.Aku pun memutuskan untuk berlibur ke Eropa.Seorang perempuan Inggris yang dikabarkan merupakan pemandu wisataku menyambut kedatanganku di bandara.Ia seorang perempuan berwajah Kaukasian berambut pendek blonde pixie. Ia jenjang, tapi tidak kurus.“Halo Mr. Praditya, perkenalkan, saya Rachel Arlington dar

  • The Time Replayers   49

    Aku dan Starla telah lulus di tahun 2008 ini.Krisis akibat kredit perumahan yang macet di Amerika Serikat mulai merambah ke seluruh dunia. Tahun-tahun mencekam melanda hampir semua negara. Ini adalah krisis yang sangat buruk, bahkan bisa disetarakan dengan Great Depression pada tahun 1930-an.Bank-bank di Amerika Serikat bertumbangan, disusul oleh bank-bank di negara G-8. Begitupun dengan pasar saham. Banyak orang kehilangan pekerjaan akibat perusahaan-perusahaan gulung tikar. Sudah kubeli saham-saham dalam jumlah banyak untuk memanfaatkan keadaan ini. Di masa depan, harga-harga saham ini akan kembali naik.Starla sedang berdinas ke Amerika Serikat untuk pelatihan awal pekerjaannya.Aku pun memutuskan untuk berlibur ke Eropa.Seorang perempuan Inggris yang dikabarkan merupakan pemandu wisataku menyambut kedatanganku di bandara.Ia seorang perempuan berwajah Kaukasian berambut pendek blonde pixie. Ia jenjang, tapi tidak kurus.“Halo Mr. Praditya, perkenalkan, saya Rachel Arlington dar

  • The Time Replayers   48

    Aku tidak pernah memberi Starla hadiah apa pun. Ini adalah karena aku tahu karakternya bukanlah perempuan yang terkesan dengan hadiah.Starla perempuan yang lebih menghargai pembuktian.Selama dua tahun terakhir aku telah melatih kemampuanku memainkan raket, dan hasilnya tidak memalukan. Sesekali aku bermain dengannya, bahkan menjadi pasangannya di ganda campuran.Dan ada yang tidak berubah dari kehidupanku, yaitu para sahabat sejati.Mereka yang menjadi teman dekatku di kehidupan sebelumnya, kembali menempati ruang mereka di kehidupanku kali ini. Bagaimanapun persahabatan kami tanpa pamrih. Mereka tidak ternilai dengan uang. “Jadi, gimana Starla?” tanya Adri, salah satu dari mereka.“So far good,”“Udah jadian belum?”“Belum,” aku tersenyum.“Lah, terus tiap malem Minggu itu ngapain?”“Dri, hangout di malem Minggu bukan berarti pacaran, kan?”“Normalnya sih pacaran,”“Normalnya, tapi lo tau kalo gua bukan orang normal kan?”“Sejak kali pertama gua ketemu lo,”“Jadi, nggak usah aneh

  • The Time Replayers   47

    Jumat malam, aku dan Nova telah berada di Stasiun Bandung. Percaloan tiket masih marak. Pedagang kaki lima masih bisa memasuki peron kereta. Pemandangan ini tidak akan lama lagi berlangsung. Dalam beberapa tahun ke depan, PT KAI akan menertibkan semuanya melalui direktur utama mereka yang baru.Setiba di Stasiun Yogyakarta, kami hanya perlu berjalan sekitar empat menit untuk mencapai Wake Up Homestay. Harga hotel ini hanya lima puluh ribu rupiah untuk satu malam. Aku dan Nova masing-masing mengambil satu kamar.“Beneran, aku nggak nyangka bisa dapet penginapan kayak gini. Mana udah termasuk sarapan lagi.”“Enak kan? Lalu di tiap kota wisata juga ada yang kayak gini.”“Luar biasa.”“Ya udah kita istirahat dulu. Nanti agak siangan kita jalan sambil foto-foto ya.”“Oke, selamat istirahat.”Kami masuk ke kamar masing-masing.Esok siangnya, Yogyakarta memberikan cuaca panas dan terik. Itu yang kami rasakan saat kami pergi ke luar. Di sekitar kami tercium aroma segar dedaunan dan harum bung

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status