Share

Chapter 3

Semalaman Bintang tidak bisa memejamkan matanya sepicing pun. Kalimat demi kalimat menyakitkan yang diucapkan oleh Tian terus saja terngiang-ngiang di benaknya. Air matanya mengalir lagi. Di sebagian besar masa kecil hingga di usianya yang ke lima belas tahun ini, cinta pertamanya adalah Tian. Bintang teringat saat ia main pengantin-pengantinan dulu. Ia tidak pernah mau dipasangkan dengan teman-teman laki-lakinya yang lain. Alex, Jordan, Wiliam bahkan Altan Wijaya Kesuma sekali pun. Altan adalah sahabat orok sekaligus tetangga terdekatnya. Selain itu Altan adalah anak dari Om Abyaz Wijaya Kesuma. Mantan atasan ibunya. Selama bertahun-tahun ia selalu menghayalkan Tian. Ia acap kali mengharapkan pertemuan-pertemuan tak terduga dengannya. Harap-harap cemas setiap kali menunggu balasan chatnya. Dua huruf balasan OK saja, sudah berhasil membuat jantungnya jumpalitan tidak karuan. Begitu besarnya rasa cintanya pada Tian.

Tapi ternyata semua itu hanyalah karena rasa kasihan semata. Kesadaran akan kesia-siaan atas waktu dan tenaga yang terbuang percuma, memang terasa amat sangat menyakitkan. Bintang tahu, butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menghilangkan kebiasaannya melamunkan Tian. Tapi ia telah bertekad untuk membuang semua masa lalu yang kelam. Ia akan melupakan seorang Christian Diwangkara Junior dan mencoba membuka lembaran baru.

Tian mengatainya buntelan jerawatan bukan? Baiklah, mulai hari ini, ia berjanji akan diet dan berolah raga mati-matian. Ia memang kelebihan berat badan sebanyak lima belas kilogram, dari berat badan idealnya. Ia berjanji dalam hati, akan merubah total penampilannya. Mulai besok pagi, ia akan menemani ayah tercintanya jogging tanpa harus disuruh-suruh lagi.

Mengenai jerawatnya, ia akan dengan senang hati mengikuti ibunya facial rutin sebulan sekali. Sebenarnya ia itu anti sekali dengan yang namanya facial. Membayangkan kalau jerawat-jerawat yang sangat disayanginya itu ditusuk-tusuk dengan jarum khusus secara brutal membuatnya keder. Belum lagi kalau semua komedonya dipencet-pencet sadis oleh para terapisnya. Air matanya sampai keluar saking sakitnya.

Ada satu pengalaman yang membuat Bintang ogah ikut ibunya facial. Waktu itu, ia sangat kesakitan karena jerawatnya terus saja dibombardir habis-habisan. Saking sakitnya tubuhnya sampai miring-miring ke samping, demi menghindari tangan-tangan haus darah terapisnya. Karena berat badannya yang di atas rata-rata, ia terjatuh dari bed pasien karena tidak seimbang. Sejak saat itu, ia trauma kalau diajak facial oleh ibunya. Tapi kali ini, ia bertekad untuk bertahan hingga akhir. Beauty is pain, isnt' it?

==================================

Jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Tapi ia sudah stand by di teras rumah, lengkap dengan sepatu joggingnya. Dia bahkan sudah melakukan beberapa gerakan pemanasan sebelum ayahnya tiba. Ayahnya keluar rumah satu jam kemudian. Saat melihat kehadirannya, ayahnya mengucek-ucek matanya. Pasti ayahnya tidak percaya saat melihat putri abegenya sudah melompat-lompat heboh pagi-pagi begini.

"Wah... wah... wah... Ada angin apa kamu pagi-pagi begini sudah bangun, Bi? Serius ini kamu mau ikut Ayah jogging?" Ayahnya membelai puncak kepalanya dengan sayang. Ayahnya pasti senang karena anak gadisnya sudah mau menjaga kesehatan, dengan kesadarannya sendiri. Tidak perlu di uber-uber lagi.

"Serius pangkat enam kalau meniru ucapan Ibu, Yah. Bantu Bintang supaya bisa cepet kurus ya, Yah? Bintang bosen tiap hari dikatain orang buntelan jerawatan. Bintang ingin langsing dan seksi, Yah." Ujar Bintang serius. Sabda menyipitkan sebelah matanya. Dia melihat kesungguhan dalam setiap kata-kata yang diucapkan oleh anak gadisnya ini. Pasti ada sesuatu hal yang merubah cara pandang Bintang. Dulu anak gadisnya ini selalu mengatakan kalau big is beautiful. Tapi kini sepertinya pepatah itu tidak berlaku lagi untuknya. Ada apa sebenarnya? Apa yang sudah menbuat putrinya ini mengubah semboyan? Sabda sebenarnya penasaran sekali. Namun ia sadar, itu adalah rahasia anaknya. Ia tidak boleh terlalu mencampuri urusan hati anaknya, kecuali yang bersangkutan memang meminta pendapatnya.

"Dengar ya sayang. Hakekatnya olah raga itu adalah untuk mendapatkan kesehatan dan kebugaran. Dan apabila hal tersebut bisa membuat tubuh kamu kurus dan seksi, itu adalah bonusnya, bukan tujuan utamanya. Ayah tidak mau kamu salah persepsi tentang arti olahraga yang sesungguhnya. Paham sayang?" Ujar Sabda. Bintang pun memberi jawaban dengan mengacungkan jempolnya ke udara seraya mulai berlari-lari kecil. Kegiatan pagi, jogging bersama ayahnya telah dimulai.

"Kamu nggak capek apa lari terus, Nak? Ayah perhatikan kamu sudah berlari sebanyak lima belas putaran. Apa tidak sebaiknya kamu istirahat dulu? Terlalu memaksakan diri itu juga nggak baik untuk kesehatan, Nak. Otot-otot tubuh kamu bisa kolaps nanti. Semuanya harus dimulai secara bertahap, Nak. Ayo istirahat dulu."

Sabda menghentikan laju tubuh putrinya yang seakan-akan tidak ada capeknya berlari. Ada semangat yang membara disana. Sabda melihat niat putrinya ikut jogging bukan hanya karena ingin kurus saja. Pasti ada tujuan lain lagi yang ingin dicapainya. Putrinya tampak kalap berolahraga. Jika tadi ia hanya menduga-duga, kali ini sepertinya sudah saatnya ia bertanya. Bagaimana pun Bintang itu adalah putrinya. Ia tidak ingin anaknya memendam sesuatu yang salah, tanpa ia bantu menguraikan masalahnya.

Sambil berjalan-jalan kecil untuk menetralisir jantung dan mendinginkan tubuhnya, Sabda berjalan bersisian dengan putrinya. Ada beberapa hal yang ingin ia pastikan. Ia tidak tenang melihat sinar mata anak perempuannya ini berubah. Bintang tidak terlihat santai dan easy going lagi. Tapi justru terlihat tegang dan gamang.

"Bi, boleh Ayah tahu kenapa kamu ingin sekali kurus? Apa karena bullyan teman-teman di sekolahmu?" Bintang dengan cepat menggeleng.

"Bukan, Yah. Selama tiga tahun ini Bintang bisa melewatinya. Tidak masalah. Memang ada satu kejadian yang membuat Bintang ingin berubah. Seseorang mengata-ngatai Bintang seperti buntelan jerawatan. Jadi Bintang ingin membuktikan padanya, kalau Bintang juga bisa kurus dan seksi seperti Cla--perempuan -perempuan yang lainnya." Bintang nyaris saja menyebut nama Clara. Untung ia bisa dengan cepat membelokkan kata-katanya. "Bintang ingin membuat ia menelan kata-katanya sendiri, karena Bintang bukanlah buntelan jerawatan lagi."

Saat mengucapkan kata-kata itu, entah mengapa dada Bintang rasanya sangat sesak. Bertahun-tahun ia mengidolakan seseorang, tapi ternyata orang itu malah menganggapnya seperti setumpuk kotoran yang menjijikkan. Ia merasa sangat sedih dan malu. Tanpa sanggup mengucapkan kata apa-apa lagi, Bintang memeluk tubuh kekar ayahnya dan menyembunyikan tangisnya di lengan kekarnya. Hanya laki-laki inilah yang tidak akan pernah menyakitinya, dan menerima apapun kekurangannya. Tangis tersengal-sengal Bintang membuat Sabda merasa hatinya bagai diiris-iris. Putrinya yang menangis tetapi malah hatinya yang terasa luar biasa sakit. Putrinya sedang patah hati rupanya. Dan siapa laki-laki brengsek yang tega menyinggung fisik anaknya? Laki-laki yang menghina perempuan itu bukanlah seorang laki-laki sejati. Dia boleh saja menolak anaknya, tetapi tidak jantan kalau ia sampai menghancurkan kepercayaan dirinya. Kalau saja ia tahu orangnya, ingin sekali ia mengajarinya tentang sikap seorang laki-laki sejati setelah terlebih dahulu membuatnya babak belur karena sikap tidak gentlemannya.

"Sayang, selama kita masih hidup, masalah pasti akan tetap ada. Karena memang seperti itulah aturan main kehidupan. Hidup ini tidak selalu indah-indah saja. Masalah akan selalu datang bertubi-tubi. Semua orang pasti akan mengalaminya. Tidak ada seorangpun yang bisa terbebas darinya. Tetapi karena itulah semua orang jadi belajar menghadapi tantangan. Berusaha menjadi lebih dewasa, lebih baik dan lebih kuat." Sabda mengusap puncak kepala putrinya.

"Mengenai orang yang telah membuatmu kecewa. Buat apa kamu izinkan perasaan itu singgah dan memburukkan hari-hari indahmu selama ini? Buang saja ke tempat sampah semua kata-kata tidak berfaedahnya itu. Untuk apa terus kamu ingat-ingat? Janji dulu pada Ayah untuk tidak lagi mengingat-ingatnya. Bisa?" Tegas Sabda. Dengan mata berair Bintang menganggukkan kepalanya.

"Bintang kecewa, Yah. Bintang sama sekali tidak menyangka kalau perasaannya pada Bintang hanya--" Bintang tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Terlalu sakit rasanya.

"Sebenarnya siapa yang membuat kita kecewa, Nak? Kita sendiri bukan? Kita tidak akan pernah kecewa jika kita mampu untuk mengendalikan perasaan kita. Mau sehebat apapun orang lain menyakiti perasaan kita, kalau kita sempurna dalam mengendalikan hati, no problem at all. Kita tidak akan gampang untuk kecewa dan sakit hati. Karena apa? Karena kita telah mampu mengendalikan diri kita sendiri. Mengerti, Nak?" Imbuh Sabda lagi. Putrinya kembali hanya mengangguk lesu. Sabda jadi penasaran tentang sosok yang telah mengata-ngatai putrinya ini.

"Eh ngomong-ngomong, siapa sih orang yang sudah berani mengata-ngatai anak ayah?" Sabda tidak tahan juga untuk tidak menanyakan jati diri orang yang sudah membuat anak gadisnya patah hati dan gundah gulana seperti ini.

"Rahasia dong, Yah. Tapi yang pasti orang itu sudah Bintang injek-injek sampai hancur!" Sabda tertawa. Akhirnya putrinya kembali normal juga. Sambil bergandengan tangan, mereka pun kembali pulang ke rumah. Ayahnya tidak tahu saja kalau sesungguhnya ia memang benar-benar sudah menginjak-injak orang yang menghinanya. Kemarin malam ia telah menempelkan photo Tian pada dua telapak sepatunya. Pasti saat ini wajah ganteng Tian sudah beset-beset semua terkena aspal pada saat ia jogging tadi. Puas banget Bintang rasanya.

Langkahnya terhenti saat melihat ada satu mobil mewah berplat B 714 N di teras rumahnya. Itu adalah mobil Tian. Ngapain pagi-pagi ia sudah ada di rumahnya? Ia pun memutar otak. Ia memang sudah tidak mau lagi menampakkan diri di hadapan Tian.

"Eh yah, Bintang ke rumah Mbak Sisi dulu sebentar ya? Kami janjian mau nonton soalnya. Oh iya, Bintang juga sekalian mau sarapan bersama Mbak Sisi aja di warung bubur depan kompleks. Boleh ya, Yah?" Bintang memasang wajah memelas. Mana tega ayahnya kalau ia sudah memasang ekspresi seperti ini. Ketika melihat ayahnya menganggukkan kepala, ia pun kembali berlari kearah belakang kompleks. Dia bukan ke rumah Mbak Sisi, tetapi kembali melanjutkan lari paginya.

Bintang merasa semakin lama gerakan kakinya semakin melambat saja. Kepalanya juga mulai terasa pusing. Mungkin ini akibat terlalu semangat berolah raga tanpa mempertimbangkan fisiknya yang belum terbiasa. Mana dia sama sekali belum sarapan lagi.

Brukkk!

Aduhhh!

"Astaga Dek bohay, mobil lagi parkir segede gaban begini kok bisa-bisanya lo seruduk juga. Lo mabok ya?" Kepala Bintang yang makin keliyengan membuatnya terpaksa memegang mobil yang ditabraknya tadi erat-erat. Keringat pun semakin bermanik-manik di keningnya.

Tiba-tiba saja Bintang merasakan satu lengannya dilingkarkan pada sebuah bahu yang bidang dan pinggangnya juga dirangkul erat-erat.

"Maap ya gue cuma bisa mapah lo doang. Gue nggak sanggup ngegendong lo ala ala bridal style. Takutnya ntar kita malah jatuh dua-duanya. Selamat kagak, benjol mah iya." Walaupun nafasnya cengap-cengap kecapean, Bintang mengenali suara galak kakak kelasnya ini, Bumi Persada Prasetya. Alamat dibully lagi lah ia pagi-pagi.

"Lo ngapain pagi-pagi udah sempoyongan kayak orang mabok? Duduk dulu yang bener, gue ambilin air minum gue dulu di mobil." Bintang merasa dia dididudukkan sebuah kursi taman kompleks.

"Nih minum dulu. Masih baru itu air mineralnya, belum gue minum." Bintang kaget saat Bumi menempelkan sebotol air mineral dingin ke pipi chubbynya. Kakak kelasnya ini memang suka sekali mengusilinya. Tanpa banyak bicara Bintang segera minum. Segar sekali rasanya setelah capek berlarian kesana kemari tiba-tiba di suguhi sebotol air dingin rasanya seperti di surga.

"Saya tadi habis jogging sama ayah saya, Kak."

"Berapa putaran emangnya?"

"Sama ayah tadi lima belas putaran, terus saya nambah delapan putaran lagi."

"Ahelah, pantes aja lo sempoyongan kayak orang mabok kalo lari nggak pake perhitungan dan sesuai kemampuan. Nih gue kasih tau ya Dek, orang olah raga itu harusnya bertahap. Misal nih, hari ini lima putaran, besoknya enam putaran dan seterusnya. Nah lo yang olah raganya cuma pas pelajaran Penjas aja, sok-sok kan jadi atlet sprint. Gimana kagak semaput lo." Bintang hanya diam saja. Tidak akan menang kalau berbalas kata dengan kakak kelasnya ini. Selalu saja ada bahan untuk membalikkan semua kata-katanya. Lebih aman kalau dia diam saja.

"Kakak sendiri ngapain ada di sini?" Gantian Bintang yang bertanya. Dia heran kenapa kakak kelasnya ini ada di kompleks perumahannya pagi-pagi begini.

"Kenapa? Emangnya ini kompleks punya lo? Jadi gue nggak boleh kesini gitu?" Eh si Bumi ditanya baik-baik malah nyolot.

"Bukan gitu Kak, kan saya cuma nanya."

"Nggak usah nanya-nanya hal yang bukan urusan lo. Ayo!" Bumi bangkit dan mulai memapahnya lagi.

"Ayo kemana, Kak?" Bintang bingung karena dipapah-papah mirip orang sakit stroke.

"Pake nanya lagi. Ya pulang lah. Lo emangnya mau seharian ngejogrok di sini? Ayo gue anterin. Mumpung besok puasa, gue mau memperbanyak amal ibadah. Ayo cepetan!"

"Kak, kalau niat nolong itu yang ikhlas. Jangan sambil membentak-bentak. Nanti pua--"

"Lo ngomong lebih panjang lagi gue sumpel ini sepatu basket gue ke mulut lo, mau?" Dan Bintang pun diam seribu bahasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status