Share

Chapter 6

"Ha--hallo Bang Rasya. Apa kabar, Bang? Abang nyari Om Saka ya? Si Om baru aja pulang. Coba susulin deh, pasti masih terkejar." Melihat anak sulung Saka berdiri tepat di depan matanya Bintang berusaha ngeles dan merubah arah topik pembicaraan sealami mungkin.

"Lo nggak usah capek-capek menggunakan tehnik pengalihan issue sama gue. Nggak mempan, Bi. Lo lupa kalo gue ini anak hukum heh?" Rasya sekarang memelototinya dengan galak. Kadang Bintang mikir apa semua anak hukum bawaanya galak dan ketus-ketus begini ya? Mana itu muka ketet beut lagi kayak kolor baru. Hadeeehhhh.

"Nah berhubung Abang ini mahasiswa hukum, harusnya Abang tahu dong azas praduga tak bersalah? Jangan main asal tuduh aja dong, Bang. Itu namanya fitnah. Orang gue belum selesai ngomong juga." Bintang tidak mau kalah ngemop juga.

"Eh Bi, nih kuping gue masih sehat walafiat ya fungsinya. Gue denger semua waktu tadi lo bilang suka sama bokap gue. Lo kira gue budek apa?" Rasya mulai memasang wajah Jaksa Penuntut Umum padanya. Ayo mikir Bi, mikir!

"Ck! Makanya Bang, jangan suka menguping pembicaraan yang cuma sepotong-sepotong. Karena terkadang apa yang didengar selintas, bisa berbeda jauh dari kebenaran yang sesungguhnya. Memang tadi gue bilang kalo gue itu suka sama bokap lo. Suka liat bodynya yang keren bingits maksudnya. Apalagi kalo, tolong garis bawahi kata kalonya ya? Dibandingkan dengan dua orang makluk species teori Charles Darwin ini." Celetuk Bintang seraya menunjuk Akbar dan Rapha.

"Begitulah maksud sebenarnya yang tadi pengen gue bilang Bang. Sungguh!" Bintang memasang wajah lugu tidak berdosa sementara wajah Akbar dan Raphael berubah ungu karena udah dua kali dikata-katai sebagai dua ekor kera olehnya.

"Jadi gue tegesin sekali lagi ya, Bang Rasya. Gue ini cuma mengagumi bentuk tubuh keren bokap lo. Bukannya gue naksir bokap lo apalagi mau jadi ibu tiri lo. So, udah jelas kan semuanya? Jangan ntar tetiba nyokap lo dateng lagi mau ngebotakin rambut gue. Ya udah gue cabut dulu ya semuanya." Tanpa memberi kesempatan Rasya untuk berbicara, Bintang dan Tria langsung ngibrit ke kamar ganti. Mereka berdua tidak mau lagi berlama-lama didekat Rasya. Bisa dua hari dua malam ntar mereka di ceramahi soal pasal-pasal dalam KUHP.

Seusai mengganti pakaian, mereka bergegas menuju ke tempat parkir. Hari sudah mulai gelap. Mereka harus secepatnya kembali ke rumah masing-masing. Rapha dan Akbar juga sudah tidak terlihat batang hidungnya. Mereka mungkin sudah pulang. Lima belas menit kemudian, mereka telah berkendara di jalan raya.

"Bi, kita motong jalan tikus aja ya biar cepet sampe rumahnya? Soalnya gue ada janji mau ngetrack nih sama anak-anak. Ntar nggak enak kalau gue nyampenya kemaleman." Tria berbicara separuh berteriak karena kencangnya suara motor yang digas kandas olehnya. Bintang yang duduk di boncengan sampai merasa lemak-lemak di tubuhnya mencair semua tanpa perlu treatment lagi. Seluruh tubuhnya bergetar semua saking kencangnya Tria berkendara.

"Gue sih nggak apa-apa. Asal jangan gelap dan ada hantunya aja. Gue serem kalau ada hal yang berbau-bau mistis begitu. Bisa kebawa mimpi gue, Tri." Bintang balas berteriak demi mengimbangi suara Tria dan deruman motornya.

"Ck! Tenang aja, aman itu. Gue kalau buru-buru juga selalu lewat jalan itu kok. Aman surahman dah pokoknya. Nah, lo sekarang pegangan yang kenceng ya, gue mau ngebut!"

Saoloh, tidak mengebut saja cara Tria berkendara sudah mirip dengan Valentino Rossi, bagaimana kalau si Tria ini balap coba? Beda tipis dengan Marc Marquez sepertinya. Dalam hati Bintang berdoa semoga saja tulang dan lemak-lemak di tubuhnya tidak berserakan semua setibanya mereka berdua di rumah masing-masing aamiin.

Sementara itu, dalam hati Tria, ia merasa bersalah juga karena sudah membohongi sahabatnya. Bintang tidak tahu saja kalau sebenarnya jalan tikus yang akan ia lalui itu harus melewati kuburan tua yang seram sekali karena tidak terawat. Belum lagi gelapnya sisi kanan dan kiri jalan yang sama sekali tidak memiliki penerangan. Jalan tikus itu semakin horror saja kelihatannya. Makanya ia bermaksud mengebut agar Bintang tidak menyadari kalau mereka akan melewati tanah kuburan.

Tepat ketika Tria membelokkan motor kearah kiri, perasaan Bintang langsung saja tidak enak. Sempitnya jalan yang mereka lalui dan tidak adanya penerangan sama sekali membuatnya ngeri. Satu-satunya penerangan yang mereka miliki hanyalah lampu motor Tria. Bulu kuduknya meremang seketika. Sepertinya sahabat oroknya ini membohonginya. Adrenalin Bintang meninggi saat motor Tria semakin jauh memasuki jalan sempit yang sangat gelap. Bintang menelan salivanya sendiri saat matanya secara tidak sengaja mendapati banyak sekali batu nisan di sebelah kanannya. Suasana gelap dan rintik hujan yang mulai turun membuat suasana semakin menyeramkan saja.

Bintang memejamkan matanya saat mendengar suara tawa samar sekaligus rintihan tangisan pilu. Bintang refleks memeluk tubuh Tria erat-erat sambil terus memejamkan matanya. Suara tawa lirih nyaris seperti meringkik itu membuat rasa takut sekaligus penasaran Bintang bangkit. Dengan perlahan matanya membuka dan disambut dengan bayangan putih yang menjuntai di atas dahan. Wajah Bintang memucat seketika.

HUAAAAAA!

Teriakan kencang Bintang membuat kaget Tria yang seketika kehilangan keseimbangannya. Motor pun oleng ke sebelah kanan dan mereka berdua terlempar ke sisi tanah basah yang lembek karena terkena air hujan. Pandangan Bintang kembali mengarah pada sisi dahan menjuntai dengan sosok putih yang melambai-lambai dan berayun-ayun dengan gemulai.

"T--Tri, lo nggak apa-apa? I--itu apa sih Tri yang ngegantung di atas dahan pohon sebelah kanan lo?" Bintang nyaris tidak bisa berdiri. Kakinya selemas jelly saking ketakutannya. Ia juga melihat Tria kesusahan untuk menegakkan kembali motor gedenya. Lembeknya tanah menyebabkan motor selalu oleng hingga hampir saja menimpa tubuhnya. Suara tawa tertahan mulai kembali terdengar. Bintang terduduk di tanah basah sambil merangkul Tria erat-erat. Sumpah! Bintang ketakutan. Ia bahkan tidak memperdulikan rasa sakit di siku dan kedua lututnya. Rasa takutnya terhadap makhluk halus lebih mendominasinya.

"Mana? Gue kok kagak ngeliat apa-apa? Itu perasaan lo aja kali yang emang penakut. Lepasin dulu gue dong Bi, gue mau berdiriin motor. Kalo nggak, ntar makin lama kita di sini. Lo mau?" Bintang dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya, tetapi dia juga tidak mau melepaskan Tria.

Samar-samar terdengar suara motor dan cahaya lampu yang menyilaukan menerangi lokasi tempat mereka terjatuh.

"Bi, lepasin gue dulu. Itu kayaknya ada beberapa motor yang lewat ke sini. Kita minta bantuan mereka aja yuk?" Tria mulai berdiri dan bermaksud untuk meminta pertolongan.

"Kalau mereka ternyata begal motor bagaimana, Tri?" Otak cerdas Bintang memikirkan segala kemungkinan.

"Ahelah lo bikin gue suntuk aja. Lho itu... itu Kak Tian boncengan sama Rapha, Akbar sama Altan juga, Bi. Alhamdullilah ya Allah, akhirnya ada kera eh orang juga yang nolongin kita. Ayo berdiri, Bi." Tria berusaha memapah tubuh semok Bintang, karena Bintang memang benar-benar tidak mau membuka matanya dan juga tidak mau melepaskan pelukannya pada Tria. Dia benar-benar ketakutan.

Bintang memang trauma dengan tempat gelap dan menyeramkan. Dulu para pembullynya pernah menguncinya di gudang sekolah yang lembab dan memperdengarkan suara tawa kuntilanak yang menyeramkan di sana. Bintang yang terus saja menjerit ketakutan membuat para pembullynya tertawa-tawa kesenangan. Tepat pada saat Bintang nyaris kehilangan kesadaran, Bintang melihat Altan menererobos masuk ke gudang diiringi dengan kakaknya Langit dan beberapa orang guru. Altan memeluknya dan mengatakan tidak apa-apa karena ada dia di sini. Itulah kalimat terakhir yang diingatnya sebelum kegelapan menggulungnya dalam lorong gelap yang membuatnya kehilangan kesadarannya sepenuhnya.

"Kalian kenapa? Jatuh? Makanya kalau jalan licin dan ujan itu hati-hati bawa motornya. Jangan maen balap aja. Dijalan tikus lagi. Begini nih akibatnya!" Bintang mengenali suara Akbar yang sedang mengomeli Tria. Bintang masih saja tidak mau membuka matanya.

"Eh badak jawa, lo ngapain nemplok gitu sama si Tria? Kagak ada pantes-pantesnya tahu. Mirip anak gajah nemplok sama kangguru. Geli gue liatnya." Suara Raphael menimpali. Bintang tetap diam dengan dan menghapus air matanya cepat-cepat. Dia tidak mau nanti dibully lagi karena ketahuan ketakutan sampai nangis-nangis kejer segala.

"Bi, ayo sini Kakak bantu. Lepaskan dulu, Tria." Tanpa membuka mata pun Bintang tahu kalau itu adalah suara yang selalu ia rindukan siang malam. Suara Tian. Tian meraih tangan dan pinggang Bintang bermaksud untuk menggendongnya. Tanpa mau memandang Tian, Bintang menepis lengan yang ingin meraih tubuhnya. Dia tidak sudi berbicara apalagi di sentuh oleh Tian.

"Ck! Jangan keras kepala Bintang. Ayo kita pulang. Mobil Kakak ada di depan jalan sana, nggak bisa masuk ke sini. Ini kakak juga minjem motor anak-anak club. Nanti kamu sakit. Ayo!" Semakin kuat Tian menarik lengannya, semakin erat pula Bintang memeluk Tria. Dia tidak mau ikut dengan Tian,  dan ia juga tidak mau berbicara pada nya.

"Kamu sekarang penyandang disabilitas bisu tuli atau bagaimana? Nggak dengar apa kata-kata kakak hah? Kok kamu sekarang nggak sopan banget sama kakak?" Bintang tetap diam seribu bahasa. Ia tidak menjawab sepatah kata pun pada Tian.

"Udah biar bayi gajah ini sama gue aja. Kak Tian kan tadi naik mobil. Lanjut aja perjalanan Kakak. Bintang udah biasa sama gue. Dari du--"

"Altan!" Saat mendengar suara Altan Bintang langsung saja mengalungkan kedua lengannya ke leher Altan  memeluknya erat-erat. Ada kelegaan yang memenuhi jiwanya. Kalau bersama sahabat oroknya ini hatinya langsung tenang. Ia sudah mengganggap Altan sebagai bagian dari keluarga. Akan halnya Tian, ada sedikit rasa tidak terima dihatinya saat melihat gadis cilik yang biasanya menjadikan dirinya sebagai pusat hidupnya, tiba-tiba saja mendadak mengabaikannya. Istimewa melihat Bintang nemplok seperti anak koala pada tubuh kekar anak SMP rasa anak kuliahan itu. Cara bersahabat mereka norak dan terlalu berlebihan bukan? Childish sekali! Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Tian kembali naik ke boncengan Rapha dan kembali ke mulut gang tempat mobilnya di parkir.

"Kalian kenapa sih bisa sampai jatuh begitu? Tria kan bukan amatir. Masa bisa tetiba bisa jatuh nggak ada sebab?" Altan membantu Akbar menegakkan motor Tria.

"Abis Bintang tetiba aja jejeritan di kuping gue. Kan gue kaget. Ya jadi jatuh lah!" Tria tidak sudi kalau kemampuannya sebagai seorang pembalap diragukan. Makanya ia menceritakan saja seluruh kronologis kejadiannya.

"Lah lo kenapa tetiba jejeritan gajah semok?" Bintang tidak berani menjawab. Dia hanya menunjuk pada suatu arah. Akbar, Altan dan Tria berusaha memusatkan pandangan pada arah yang di tunjuk Bintang.

"Itu ada pocong pakai baju putih berayun-ayun si dahan, Tan. Gue takut." Bintang otomatis memeluk lengan Altan lagi.

"Lo bilang apa, Bi? Pocong? Itu cuma baliho caleg, bayi gajah. Noh liat yang bener! Itu baliho sebelah kirinya copot, jadinya menjuntai kebawah gitu. Saoloh, lo bacul amat sih jadi orang, Bi? Percuma juga body segede gaban tapi nyali cuma sebesar kacang ijo. Ya udah, ayo kita pulang." Altan menggeleng-gelengkan kepalanya melihat ketakutan tidak berdasar Bintang. Ada-ada saja.

"Tri, lo ikut gue aja. Itu motor lo biar ntar montir gue yang bawa. Gue udah nelpon ke bengkel. Kita boncengan bertiga aja ya?" Ujar Altan. Tanpa banyak bicara Tria bermaksud untuk duduk di belakang Bintang sebelum sebuah lengan kuat tiba-tiba menarik keras lengannya.

"Apaan boncengan bertiga! Ntar bukannya selamat nyampe di rumah, malah nginep lagi di rumah sakit. Udah lo ikut gue aja, Tri. Kita balikin ini motor ke club dulu, baru gue anter lo pulang naik mobil."

"Tapi..."

"Udah jangan kebanyakan ngebacot. Naik cepat!" Mau tidak mau Tria naik juga ke atas motor. Saat Akbar menggas secara tiba-tiba, Tria kaget dan refleks memeluk pinggang Akbar. Sementara yang dipeluk cuma menyeringai sambil mesem-mesem kesenangan. Bintang yang masih penasaran mulai menginterogasi Altan.

"Tan, lo lo pada kok bisa ngumpul di mari? Mana pada naik motor lagi. Motor siapa emangnya?"

"Gue tadi ke club karena nyokap lo bilang kalo lo latihan di sini. Kak Tian juga singgah karena janjian sama Rapha. Terus ada anak club yang ngeliat kalian masuk jalan tikus. Karena khawatir, kami nyusul ke sana dan minjem motor anak-anak club. Jelas gajah semok? Kita ini sekarang balik ke club dulu balikin motor ya, Bi? Ntar gue di massa orang lagi di bilang maling motor, gimana coba?"

"Ya, nggak gimana-mana juga. Paling gue cuma bilang kalo gue nggak kenal sama lo."

"Bajirut lo!!!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status