Share

Chapter 7

Sebulan telah berlalu. Bintang hari ini kesenangan setengah mati karena telah berhasil menurunkan lima kilogram dari bobot tubuhnya yang biasa. Berat badan awalnya adalah 68 kilogram dengan tinggi 158 cm. Dan kini berat badannya sudah turun menjadi 63 kilogram. Menurut dokter gizinya berat badannya idealnya adalah 48 atau maksimal 50 kilogram saja. Tetapi Bintang memberi target 45 kilogram. Agar ia memiliki body goals, gitu lho maksudnya.

Sebulan penuh berdiet dan berolah raga maksimal itu sungguh sangat tidak mudah saudara-saudara. Di saat orang-orang masih bergelung dengan selimut yang hangat pagi-pagi buta, ia sudah lelarian keliling kompleks untuk jogging. Seminggu tiga kali ia juga harus saling baku hantam one on one dengan Om Saka atau pun Tria. Walaupun sebenarnya Bintang kadang suka berlaku curang apabila sparring partnernya itu Om Saka. Ia suka berpura-pura kelelahan sehingga Om Saka akan memapahnya untuk beristirahat sebentar di pinggir sasana. Dan saat itulah ia bisa berpura-pura tidak sengaja mengelus roti sobek si om. Ssstt! Itu rahasia ya? Hehehe.

Namanya juga secrect admirer.

Satu hal yang paling membuatnya merana bin sengsara lahir batin adalah, pada saat makan malam bersama. Perutnya bergemuruh hebat saat melihat makanan yang berlemak dan berkarbohidrat tinggi, seperti nasi padang yang terus saja membisikinya untuk menghabisi mereka semua. Ayo makan ambo. Tambo ciek, Uni. Onde mande, itu adalah cobaan terberat yang harus bisa ia taklukkan. Ususnya makin melilit-lilit saat melihat puding, coklat atau ice cream yang berjejer manjah di lemari es. Niat banget minta diicip-icip olehnya. Tapi semua pengorbanannya itu sepadan dengan hasilnya. Baju-baju lamanya bukan hanya muat tapi malah ada beberapa yang longgar. Kalau ia terus konsisten menjaga mulutnya yang kecil tapi bermuatan besar itu dengan disiplin, mudah-mudahan tiga bulan lagi semua impiannya akan tercapai, insya allah.

Tapi untuk mencapai semua itu sudah pasti tidak akan mudah. Saat makan malam ini saja contohnya. Semua makanan itu seolah-olah mengejeknya dan benar-benar menggoda imannya.

"Loh Bi, itu rendang padangnya kok nggak dimakan, Bi? Biasanya 'kan kamu paling doyan?" Sabda heran melihat Bintang yang sama sekali tidak menyentuh rendang daging yang begitu menggoda. Dendeng pedas cabe ijo pun diangguri saja oleh anak gadisnya. Sama sekali tidak di lirik. Anak gadisnya yang kini pipinya mulai tampak tirus ini hanya makan urap dan dan tiga sendok nasi merah saja.

"Bintang lagi diet, Yah. Biar nampak langsing kayak Lisa Blackpink dan bilang dan bilang hit you with that du du du... ah yeah ah yeah..." Bintang menjawab sambil menyanyikan lagu dududunya Blackpink.

"Ohhhh... anak gadis Ayah lagi diet toh. Kalau gitu, nih! Makan yang banyak ya, sayang. Biar kuat nanti dietnya. Hahaha..." Sabda menggoda gadis kecilnya yang sekarang sudah mulai memperhatikan penampakan fisiknya. Waktu sepertinya cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin ia menyaksikan anak kembarnya itu lahir ke dunia. Dan  ternyata kejadian itu sudah berlalu lima belas tahun lamanya.

"Ah, Ayah jangan menggagalkan tekad Bintang untuk kurus dong. Bintang sekarang punya kegiatan baru yang bermanfaat lho, Yah. Yaiyu ; diet sambil ibadah di bulan puasa. Perhitungannya adalah, menyapu menghilangkan 100 kalori. Mengepel 110 kalori. Mengelap-elap sambil mengeser-geser perabotan 120 kalori. Lari pagi sama Ayah 740 kalori, dan lari dari kenyataan 150.000 kalori. Bagaimana dengan program Bintang, Yah? Hebat sekaligus mengharukan bukan Yah?" Sabda terbahak. Bintang kecilnya ini memang istimewa. Ia selalu saja bisa menyelipkan humor bahkan pada setiap kejadian yang seharusnya membuat orang menangis menggerung-gerung karena kecewa. Istimewa sekali bukan anak gadisnya ini?

"Bintangnya Ayah, dengar ya? Berhentilah memikirkan pandangan orang lain jika itu membuat kamu tidak nyaman. Hingga dunia kiamat pun akan selalu ada orang yang suka bertepuk tangan saat melihat kita susah dan selalu ada orang yang tersenyum dibalik topeng kedengkian saat melihat kita bahagia. Jadi pointnya di sini adalah, buatlah dirimu sendiri bahagia, bukan orang lain. Kamu ingin kurus? Tidak masalah. Asal kurusmu itu karena kamu ingin tampil cantik misalnya, dan bukan karena kamu ingin minta pengakuan dari orang lain. Itu pemikiran yang salah, Sayang."

"Wokeh, Yah. Bintang akan selalu inget-inget nasehat Ayah kalau tidak lupa. Eh becanda ding. Peace, Yah." Bintang nyengir sambil menunjukkan dua jarinya. Setelah makan malamnya selesai, ia pun masuk ke dalam kamar untuk memulai ritual perawatan wajahnya. Bintang mengoleskan masker Glamglo* yang membuat wajahnya menghitam semua hingga menyerupai film horor tahun 80an. Bosan di kamar terus Bintang melangkahkan kakinya ke taman. Semilir angin malam pasti akan membuat maskernya lebih cepat kering.

Huaaaa!

"Astaghfirullahaladzim Bintang, lo ngapain sih berdiri di antara pepohonan begitu? Gue kira kuntilanak tadi. Kaget gue!" Langit yang baru saja selesai bermain basket bersama Altan mengelus-elus dadanya karena kaget melihat wujud dan penampakan Bintang. Bintang yang masih menggunakan mud mask tentu saja tidak bisa menjawab. Kalau ia berbicara, bisa retak-retak semua ini maskernya. Mana belinya mahal lagi. Rugi bandar dong, cuy!

"Eh Lang, di mana-mana yang namanya kuntilanak itu mah kurus tinggi langsing, biar bisa nangkring di atas dahan. Lah ini anakan gajah mana cocok jadi kuntilanak? Begitu mau nangkring di dahan, yang ada dahannya malah patah lagi. Hantu semok begini mah benernya namanya wewe gombel!" Altan yang ikut menyusul duduk di taman, seperti biasa mulai membullynya. Sehari aja si brondong borju ini tidak mengusilinya, mungkin badannya bisa gatal-gatal semua.

"Lo jangan ikut-ikutan orang-orang pada ngebully adek gue ya, Tan? Ntar bisa rata itu idung lo gue beri. Paham lo!" Langit mendorong bahu kekar Altan sambil berjalan masuk ke dapur. Satu setengah jam bermain basket membuat tenggorokannya haus luar biasa. Ia mengeluarkan sebotol air dingin dari dalam lemari es dan meneguknya nikmat.

"Elah cuma becanda gue mah. Gitu aja lo ngamuk, Lang. Nggak seru ah!" Altan juga mengikutinya masuk ke dapur, dan menuang botol air dingin pada gelas baru saja ia ambil.

"Becanda lo nggak lucu!" Langit berdecih seraya memasukkan kembali botol air dingin ke dalam lemari es. Bintang menyusul masuk setelah memberi kata-kata sukurin pada Altan melalui gerakan abjad jari jemarinya. Selain itu Bintang juga mengusirnya pulang. Dengan bahasa isyarat yang artinya hush hush, seperti mengusir ayam. Bintang, Altan dan Tria memang suka berbicara dengan bahasa isyarat yang mereka ciptakan sendiri. Bahasa isyarat itu kerap kali mereka gunakan apabila ingin menghibahi orang-orang. Dengan bahasa yang hanya merupakan gerakan jari jemari, sudah barang tentu tidak akan di mengerti oleh orang yang mereka ghibahi. Hehehe.

Merasa kesal karena di kacangin oleh dua orang saudara kembar itu, Altan merogoh sakunya. Di dalam sakunya memang ada beberapa petasan yang sedianya akan ia mainkan di kala iseng sendirian di rumah. Sambil bersiap-siap untuk lari, ia melemparkan sebuah petasan ke arah samping taman. Bintang yang sedang melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan maskernya, menjerit kaget.

DHUARRRR!

HUAAAAAA!

"Sialan lo, brondong borju. Lain kali kalo lo mau maen petasan, beli yang ada earphonenya dong. Kaget 'kan gue jadinya? Gegara lo, jadi retak 'kan ini masker gue, sialan!" Bintang kesal sekali pada Altan yang telah membuatnya kaget, sehingga maskernya rusak. Sedari tadi ia menahan-nahan diri untuk tidak berbicara, eh sekarang gagal total. Teriakan kagetnya telah membuat maskernya retak-retak semua.

"Eh lo kata itu petasan kayak handphone, ada lobang buat nyolokin earphone? Dasar anakan gajah! Lagian kalau udah jelek, ya jelek aja. Mau lo maskerin itu muka sampe setebel cat tembok juga nggak bakal ngaruh kali, Bi." Dan lemparan sendal Bintang akhirnya sukses menbuat Altan balik ke rumahnya sendiri. Heran, namanya aja tetangga, tapi perasaan seringan si brondong borju itu ada di mari dari pada di rumahnya sendiri!

==================================

TriaF1 : Bi, gue hari ini nggak latihan ya? Gue mau balapan sama anak-anak. Lo di anter Mang Diman atau mau ikut Kak Tama aja? Abang gue ntar bakalan lewat rumah lo katanya. Tapi ya itu, Mbak Karin ikut. Lo kan tau sendiri gimana cemburuannya Mbak Karin. Kak Tama melangkah kemana, dia juga ikut kemana.

BintangKecil: Nggak usah deh, Tri. Ada Mang Diman kok. Ya udah, lo balapan aja sana. Semoga lo menang ya, Tri.

Bintang menutup aplikasi LINEnya sambil menyandang tas besarnya. Bersiap-siap ke sasana. Sebenarnya Mang Diman izin tidak masuk kerja hari ini. Mang Diman sedang membawa anaknya ke rumah sakit. Kedua orang tuanya juga sedang menjenguk opa dan omanya. Langit masih les dan belum pulang ke rumah. Apa dia naik taksi online aja ya? Altan! Saat ia sedang berpikir-pikir, satu ide muncul di kepalanya. Ia segera keluar gerbang dan melirik garasi si brondong borju. Halah mobilnya nggak ada. Berarti Altan juga sedang tidak ada di rumah.

"Lo ngapain celingukan di rumah orang Dek bohay? Ntar lo dibawa ke pos SATPAM dikira maling, baru tau rasa." Bumi Persada Prasetya. Entah mengapa akhir-akhir ini Bintang sering sekali bertemu secara tidak sengaja dengan kakak kelasnya eh mantan kakak kelasnya ini. Disebut mantan kakak kelas karena Bumi sudah kuliah tahun ini.

"Gue cuma ngecek Altan aja kok, Kak. Mau nebeng ke Green Hill."

"Ya udah, naik." Bumi menyodorkan sebuah helm padanya. Eh tumben hari ini Bumi naik motor. Biasanya dia mah naik mobil mulu kayak anak horang kayah. Eh emang dia anak orang kaya ding, bukan kayak. Hehehehe.

"Naik kemana, Kak?" Bintang bingung. Ia tidak mengerti maksud kalimat sepotong-sepotong Bumi. Apakah Bumi berbaik hati bermaksud untuk mengantarnya atau bagaimana. Kalau dia salah pengertian 'kan tengsin. Disangka ke ge-eran pula nanti. Mana itu muka nggak ada manis-manisnya sama sekali lagi. Nggak kayak le minera*.

"Ya naik ke atas motor guelah, Bi. Masa naik-naik ke puncak gunung, elahhhh. Cepetan, bengong mulu! Eh wait... wait... Lo kok kurusan sih, Dek bohay? Lo diet? Diet itu banyak efek sampingnya tahu kalo nggak dilakukan secara benar. Lagian ntar lama-lama lo jadi nggak bohay lagi dong?" Bumi memperhatikan Bintang dari atas ke bawah. Persis seperti para pembeli sapi untuk daging kurban. Teliti pake banget.

"Eh Kak, gue udah diet selama sebulan penuh, masa sih nggak ada hasilnya sama sekali? Lagian Kakak ini jadi orang kok jahat bener? Nggak seneng amat kalo liat orang bahagia. Nggak baik Kak, kalo suka liat orang susah dan susah kalo liat orang senang." Gerutu Bintang kesal. Orang pengen kurus, eh si Bumi malah seneng ia kayak gajah bengkak terus.

"Nah ini nih salah satu efek samping  dari diet yang gue bilang tadi. Membuat orang jadi sensitif dan gampang uring-uringan, akibat efek dari kelaparan yang berakumulasi. Yang bilang gue nggak senang siapa? Gue cuma bilang lo agak kurusan. Asumsi lo malah udah melebar kemana-mana. Naik cepetan!" Tanpa banyak bacot lagi Bintang pun segera naik ke boncengan Bumi. Lumayan juga ada tebengan gratis.

"Pegangan yang kuat, gue mau ngebut." Bintang hanya diam dan tidak mau menyentuh Bumi sama sekali. Bumi tidak kehilangan akal. Dia menggas motornya sekali hingga membuat tubuh Bintang terdorong ke belakang. Karena takut jatuh, ia pun refleks meraih pinggang Bumi dan memeluknya erat-erat. Entah Bintang salah lihat atau bagaimana, dia seperti melihat Bumi tersenyum dari kaca spion di sebelah kanannya. Setelah setengah perjalanan, Bintang baru ingat kalau ia lupa membawa termos air minumnya. Gawatlah kalau nanti dia kehausan sehabis mukulin orang di sasana.

"Kenapa? Kok kayak orang kaget gitu gerakan lo?" Bumi melihat dari kaca spion kalau Bintang tiba-tiba menepuk keningnya.

"Gue lupa kalau termos air minum gue ketinggalan di rumah, Kak." Bumi diam saja dan tiba-tiba berhenti setelah kira-kira lima menit ia mengatakan masalahnya. "Lho kok berhenti di sini sih kak? Kan belum nyampe ke Green Hillnya. Nggak ikhlas amat sih nganterinnya setengah-setengah begini?" Bintang turun seraya melepas helmnya.

"Gue mau beliin air minum lo dulu, Bohay. Eh, lo nggak puasa ya?" Alis Bumi menungkik menatap tajam menatap wajah Bintang.

"Lagi libur puasanya, Kak."

"Libur apaan? Lo kira puasa itu kayak kalender, ada tanggal merahnya? Bilang aja kalo lo nggak puasa karena nggak tahan laper. Gilingan besar dan lambung jumbo kayak lo mana bisa puasa. Udah lo ngaku aja!" Sembur Bumi lagi. Belum juga ia membalas ejekan Bumi, sudut matanya melihat gang para putri populer di sekolahnya ini berjalan menghampirinya dan Bumi. Sepertinya mereka juga ingin berbelanja di mini market ini. Deswita, Ribka dan Nadya. Kakak-kakak kelas paling cantik di sekolahnya.

"Lo kok mau sih deket-deket sama ini gentong air, Bum? Kemarin-kemarin gue ajakin lo nonton, lo nggak mau. Ini sama kuda nil dekil, lo malah gandeng-gandengan. Mata lo sehat, Bum?" Nadya mulai cari perkara. Bintang sebenernya males beut ngeladenin orang-orang tidak bahagia seperti ini. Makanya dia memilih mengunci mulutnya rapat-rapat saja. Malas debat sama cucakrawa.

"Gue heran lo bertiga ini mulutnya terbuat dari sih? Kok hobby banget ya ngatain orang? Sono cuci dulu mulut lo semua pake wipo*. Biar ilang semua kuman-kuman busuknya." Bumi meraih lengan Bintang, mengajaknya masuk ke dalam mini market. Sepertinya Bumi ingin menghindari percakapan tidak berfaedah dengan gang cantik ini. Dan tiga keong racun itu pun bergegas mengekori. Sepertinya mereka tidak puas karena Bumi tidak bereaksi seperti yang mereka inginkan.

"Kayaknya mata lo bener-bener nggak sehat deh, Bum. Buktinya lo nggak bisa ngeliat, mana cewek seksi dan mana ikan lumba-lumba." Usik gang cantik itu lagi.

"Justru mata gue sehatlah makanya gue milih jalan sama Bintang. Gue kasih tau ya, gue hanya mau jalan sama orang yang sesuai umur. Paham lo?" Bumi menjawab malas sambil meraih dua botol air mineral dan memasukkannya kedalam keranjang belajaan.

"Hah? Sesuai umur? Maksud lo?" Kali ini Deswitalah yang maju.

"Maksud gue, mukanya sesuai umur. Misal, nih si bohay 'kan umurnya lima belas tahun. Nah sesuai 'kan dandanan dia pas kayak anak umur lima belas tahun. Nah lo bertiga, umur delapan belas tahun tapi dandanan lo malah lebih menor dari tante gue yang umurnya tiga puluh delapan tahun. Ntar gue disangka jalan sama tante-tante girang lagi. Bisa jatuh harga gue!" Bumi menjawab lugas sambil memasukkan lagi sebotol minuman pencegah sakit perut pada saat datang bulan ke dalam keranjang. Tiga gadis cantik yang disindirnya meradang. Wajah ketiganya memerah.

"Eh Bumi, dasar mata lo aja yang picek!Orang gila aja juga tahu kali, kalo kami semua ini lebih cakep dari ini gajah bengkak. Ngerti lo!" Ribka gantian maju mewakili dua temannya yang shock karena dikatai mirip tante-tante oleh Bumi.

"Ya iyalah, lo nanyanya sama orang gila. Coba lo nanya sama orang waras, pasti mereka bilang cakepan Bintang berkali-kali lipat daripada lo lo semua yang bodynya kayak tusuk gigi. Gue mah sukanya sama yang bodynya semok-semok montok begini kayak kurva dan jam pasir. Squishy dan anget kalo dipeluk."

Bintang langsung mendelik mendengar vulgarnya kalimat yang dilontarkan oleh kakak kelasnya ini. Mulut si Bumi ini perlu direndam pakai air keras juga sepertinya. Biar bersih dan semua kumannya pada ikut mati!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status