Share

Chapter 5

"Lo beruntung beut hari ini Bi, karena yang melatih para muay nak farang itu Om Saka sendiri. Jarang-jarang lo Om gue mau jadi trainer. Pasti latihan lo akan makin maksimal nantinya. Tapi yaitu, lo siap-siap capek lahir bathin aja. Om gue kalo ngelatih itu mah all out. Nggak ada istilah setengah-setengah bagi si Om. Ayo kita ganti baju dulu." Tria membawanya menuju ruang khusus untuk mengganti pakaian.

"Nih, lo pake aja dulu hand wrap glove gue. Lo kan pemula, gue takut kalo lo cedera. Ntar kalo lo udah jago, baru lo boleh one on one sama muay nak farang yang lain pake tangan kosong. Sekarang begini aja dulu ya? Ayo Bi." Bintang mengekori langkah cepat Tria menuju sasana. Dari jauh saja Bintang sudah terpesona melihat betapa kekar dan bagusnya tubuh Om Saka. Om Arshaka Abiyaksa ini sebenarnya adalah seorang dokter kandungan. Dokter Saka juga yang menolong kelahirannya dan Langit. Orang yang tidak mengenal Om Saka pasti tidak akan percaya kalau ia adalah seorang dokter kandungan hebat negeri ini. Kalau kata ibunya, dokter rasa petinju. Hehehe. Dulu, sewaktu ibunya mengandungnya dan Langit, ibunya selalu mengelus-elus otot-otot Om Saka. Ngidam ibunya memang anti mainstream.

"Lho Bi, nggak salah kamu ke sini?" Om Saka menaikkan satu alisnya saat melihat kehadirannya di sasana. Pasti si om tidak menyangka kalau kaum rebahan seperti dirinya tiba-tiba ingin berolahraga. "Apa ayahmu sudah tahu kalau kamu akan bertarung di sini?" Tanya si om lagi. Om Saka pasti heran karena ia yang biasanya cuma ngemall dan nonton, tiba-tiba saja ada di Green Hill Muay Thai Club.

Ia seketika gelagapan. Dia memang tidak minta izin pada ayahnya secara langsung karena takut tidak diizinkan. Makanya ia hanya memberitahukan ibunya saja. Ayahnya itu paling tidak suka melihat anak perempuan banting-bantingan. Ngeri katanya. Belum lagi sempat ia menjawab pertanyaan Om Saka, ponsel si Om sudah berbunyi.

"Panjang umur ayahmu, Bi. Baru aja disebut namanya, ayahmu sudah langsung menelepon aja." Om Saka tertawa.

"Ya Sabsab, ada apa?" Bintang tertawa dalam hati. Para sahabat ayahnya memang suka sekali memanggil ayahnya dengan panggilan lucu, SabSab. Imut banget kan kedengarannya? Hehehehe...

Anak gue ada di situ, Sak? Ya udah kalo lo trainernya, gue izinin Bintang latihan di situ dengan satu syarat;  setiap one on one hanya boleh sama lo atau Tria aja. Yang lainnya nggak boleh! Gue nggak mau anak gadis gue dipeluk-peluk orang dengan alasan sparring partner. Basi banget alasannya!

"Ahelah SabSab. Lo posesif amat jadi Bapak? Kalo nggak sparring one on one, kapan anak lo bisa jago? Lo liat noh si Tria, dua orang pencopet aja bisa dia bikin babak belur. Lo nggak pengen anak lo sejago itu?"

Lo bedain dong siapa ibunya, Sak. Si Lia itu 'kan praktisi bela diri dan pembalap. Ya wajarlah keturunannya kayak Naratama dan Naratria. Garang dan gahar. Nah Bintang itu 'kan ibunya guru matematika. Jadi nggak usah begitu-begitu amatlah. Serem banget gue ngeliat cewek ngebanting-banting orang. Pokoknya lo inget-inget pesen gue ya Sak? Kalo lo ngelanggar aturan gue, gue ratain itu Green Hill pake traktor!

Saka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menatap Bintang. Siapapun yang akan menjadi calon suaminya, maka bersiap-siaplah dibantai oleh si bapak posesif Sabda. Saka mendadak mengasihani siapapun laki-laki itu.

"Itu tadi ayahmu yang menelepon, Bi. Ayo sekarang kita semua mulai latihan." Saka bertepuk tangan tiga kali dengan kencang. Semua muay nak farang muncul dan berbaris rapi menunggu instruksi dari Saka.

"Ayo sekarang semuanya berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh putaran. Setelah itu skipping selama tiga puluh menit. Bila sudah selesai, kembali ke sasana dan kita akan mulai dengan latihan shadow boxing dan circuit training. Jelas? 1, 2, 3 mulai!" Dan Bintang pun mulai ikut berlari dengan semangat. Dalam hati ia berjanji akan mengikuti semua peraturan yang menjadi standard Om. No pain, no pain!

Dua jam kemudian, sesi warming up maupun latihan inti usai sudah. Bintang merasa napasnya tinggal separuh saja. Baru sehari latihan saja, capeknya sudah seperti ini. Bagaimana besok-besok coba? Ternyata mau kurus itu cobaannya berat, Kapten! Ia kini terduduk lemas di atas karpet sasana. Mencoba mengatur ulang napasnya kembali. Tria mengekori Bintang dan duduk di sebelahnya. Melihat Bintang cengap-cengap, Tria ngakak. Ekspresi Bintang mirip dengan kuda nil yang nyasar di tengah kota.

"Lo jangan ngetawain gue dong, Tri? Sumpah, gue capek banget! Saolohhh badan gue udah kayak dipukulin massa sekampung. Mau kurus itu kok kayaknya susah banget ya  Tri?" Ia meraih air mineral di sampingnya. Meneguknya beberapa kali dengan nikmat. "

Gue inget banget. Dulu pas gue kecil, gue pernah nonton drakor yang judulnya apa gitu. Kalo nggak salah yang ceritanya cewek dari gendut banget bisa jadi langsing dalam sekejab karena operasi. Enak banget ngeliatnya. Tau-tau cling, eh udah kurus aja. Lah ini gue baru sehari udah berasa kayak jadi budak zaman romusha. Kurus kagak, masuk rumah sakit mah iya, Tri." Ia cengap-cengap kecapean. Mulutnya sampai tidak bisa ditutup. Terus mangap. Mirip sekali dengan ikan mas koki yang filternya mati.

"Namanya juga pengen cakep, pengen kurus, perfect. Ya susahlah, Bi. Kudu disiplin dan konsisten dan displin. Lo mau kurus kan?" Tanya Tria. Bintang menganggukkan kepalanya. "Kalo gitu mulai hari ini lo kudu olahraga yang rajin, banyakin makan sayuran ijo biar makin cepet kurus. Terus usa--"

"Lo nggak usah dengerin nasehat ini preman pasar ya, Bi? Kata-katanya nggak ada yang valid. Dia nyuruh lo olahraga ya? Lo jangan percaya. Ikan paus aja tiap saat berenang tapi nggak kurus-kurus juga kan? Terus dia nyuruh lo apa lagi tadi? Makan sayuran ijo? Noh itu panda tiap hari makan bambu di China sana juga nggak bisa kurus-kurus kan? So, lo jangan percaya sama kata-kata preman pasar jadi-jadian ini."

Akbar tiba-tiba saja sudah duduk ganteng di belakang mereka berdua. Tongkat firaun pun terlihat menyusul duduk di sebelahnya. Sepertinya mereka berdua sudah cukup lama berdiri di sana dan mendengarkan pembicaraan mereka berdua. Tria yang sudah kehilangan kesabarannya berusaha menghajar Akbar dengan sebuah sikutan tajam kearah rusuknya. Dan sayangnya Akbar malah dengan begitu mudah menangkap lengan Tria serta menariknya kuat ke depan hingga Tria terjatuh ke dalam pelukannya.

Tria mengamuk dan berusaha untuk meninju wajah Akbar. Tapi lagi-lagi Akbar dengan mudah menangkap tinju Tria dan memutar pergelangan tangannya kearah yang berlawanan. Bintang tahu kalau Tria itu sebenarnya kesakitan. Semakin dia meronta maka otomatis tangannya semakin tertarik-tarik. Tetapi si keras kepala itu tetap tidak mau mengalah. Ia justru terus memelototi Akbar walau matanya mulai berkabut karena kesakitan.

"Udah dong, Bang. Lepasin tangan Tria. Sakit itu, Bang." Bintang yang kasihan melihat Tria, berusaha menarik tangan Akbar agar mau melepaskan Tria. Tetapi Akbar tetap keras kepala dan tidak mau melepaskan cengkramannya.

"Minta maaf dulu, karena udah nyerang gue tiba-tiba. Kalo nggak, sampai kapan pun lo nggak akan gue lepas." Tria tetap diam dengan mulut yang terkunci rapat. Terlihat sekali kalau sahabatnya ini tidak mau untuk meminta maaf. Akbar juga tetap dengan posisi yang sama. Yaitu memegangi pergelangan tangannya. Bintang menghela napas panjang. Bisa menunggu sampai lebaran kuda ini kalau menunggu Tria minta maaf. Tanpa banyak bicara lagi Bintang langsung saja menarik lengan kekar Akbar dengan sekuat tenaganya. Akbar yang memang akhirnya tidak tega juga melihat Tria kesakitan, bermaksud untuk melepaskan tangannya. Tepat pada itulah Bintang menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik tangan Akbar. Akibatnya cukup fatal, tubuh Bintang terjengkang cukup keras dan terancam menabrak kursi stainlessteel yang dipasang memanjang dipinggir sasana. Beruntung, sebelum tubuh Bintang menabrak kursi-kursi, Raphael melompat ke depan dan menahan laju tubuh Bintang. Punggung Bintang hanya menabrak bagian depan tubuh Rapha, sementara bagian belakang tubuh Raphalah yang menghantam keras kursi-kursi di ruang tunggu.

"Shittt! Badan lo berat banget sih kuda nil. Patah-patah nih kayaknya tulang punggung gue. Lo makan apaan sih sampe berat begini? Batu?" Rapha meringis kesakitan sembari terus mengomeli Bintang. Tetapi tangannya dengan cekatan mendudukan Bintang ke kursi terdekat.

"Lo pengen banget kurus ya, Bi? Gue kasih tips ampuh deh kalo lo emang niat banget pengen kurus. Listen, dari pada lo susah-susah diet dan olah raga, lebih baik lo pacarin aja cowok yang sering buat lo itu sakit hati sampai depresi. Karena hati yang tersakiti itu lebih efektif untuk menurunkan berat badan. Percaya deh lo sama kata-kata gue, badak jawa." Ejek Raphael lagi. Bintang memandang Rapha dengan geram. Si tongkat firaun ini seperti bahagia sekali karena bisa menambahi garam pada luka-lukanya. Cukup sudah!

"Memangnya gue punya salah apa sih sama Bang Rapha? Abang tau nggak kalau menjadikan fisik orang lain sebagai bahan bercandaan itu disebut sebagai body shaming? Bang, di dunia ini nggak ada manusia yang 100% sempurna. Ada orang yang gendut, kurus, hitam, putih, kecil, besar semua beragam, Bang!" Semburnya ganas. Ia benci sekali dengan orang yang suka membully fisik orang lain.

"Satu hal yang gue tahu, kata ibu gue semua wanita itu pada dasarnya terlahir cantik dan cantik itu relatif. Semua orang pasti punya daya tariknya sendiri. Entah bakat, skill, atau kebaikan hatinya. Oleh karena itu, bentuk tubuh bukanlah suatu parameter dalam hal kecantikan. Faham bang?" Cetusnya lagi.

"Kalo menurut lo begitu, kenapa sekarang lo niat banget pengen kurus sampe lo bela-belain badan lo memar-memar dan kepala lo benjut-benjut begini? Ayo jawab?" Kini gantian Rapha yang ngegas. Bintang terdiam. Ia berusaha menepis tangan Rapha yang geratil menelusuri memar-memar di lengan dan sedikit benjolan di kepalanya.

"Kenapa lo nggak menjawab pertanyaan gue?" Cecar Rapha lagi.

"Itu karena... karena..."

"Karena Tian sukanya sama cewek seksi dan langsing kayak Clara 'kan? Makanya lo ngebet pengen kurus? Bintang... Bintang. Tian itu nggak pernah suka sama lo. Mending lo lupain aja itu bajingan ganteng. Kayak cowok di dunia ini cuma dia doang. Buka mata lo lebar-lebar!" Rapha kembali mengejeknya.

"Diam nggak lo, Bang!" Bintang dengan kesal membekap mulut Raphael dengan telapak tangannya. Dia sedang lelah lahir bathin. Rasa-rasanya dia belum sanggup untuk baku mulut dan membalas semua kata-kata hinaan yang keluar dari mulut adiknya Tante Ibell ini. Dan entah Bintang salah menduga atau bagaimana, dia sempat merasa kalau Raphael sepertinya mengecup telapak tangannya. Makanya Bintang buru-buru melepaskan bekapannya karena kaget.

"Lho, kalian belum balik lagi Tri, Bintang? Ini sudah mau jam setengah tujuh. Sebentar lagi gelap. Nggak baik anak gadis naik motor pulang malam-malam. Cuma berdua lagi. Cepat ganti baju dan segera pulang ya? Om jalan dulu." Saka mengelus kepala keponakannya dan Bintang sekaligus seraya berjalan ke arah parkiran. Mata Bintang tidak berkedip saat menatap Om Saka yang sudah mengganti pakaiannya dengan kemeja putih dan celana bahan. Otot-otot lengannya tampak bersembulan di lengan baju yang digulungnya hingga ke siku. Om Saka nampak ehm seksih bingits.

"Astaga Tri, Om Saka laki banget ya?" Tatapan Bintang terus saja mengikuti Saka hingga mobilnya melaju perlahan dan meninggalkan tempat parkir. Mendengar ucapan Bintang, Tria memandang wajah sahabatnya ini ngeri.

"Astaga Bi, lo nggak jatuh cinta sama om gue kan ya? Gue peringatin lo ya, Bi. Tante Dara itu cinta banget sama suami brondongnya. Lo tahu nggak, minggu lalu si tante nyaris ngebotakin rambut pasien keganjenan yang ngajakin om gue itu ONS. Tante gue itu sadis kalo lakinya diusik, Bi. Lo jangan nyari masalah sama Tante Dara." Tria berusaha menasehatinya. Bintang menjelingkan matanya. Tria ini mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu. Ia hanya mengagumi Om Saka, bukan mencintai. Aya-aya wae.

"Lagian yang nolong nyokap lo ngebrojolin lo ke dunia itu juga Om Saka kan? Saoloh, lo kira-kira dong kalo mau jatuh cinta. Sekalinya moved on, kok selera lo jadi anti mainstream begini sih? Eh lo denger ya Bi, Gue nggak mau kalo lo sampe berseteru sama Tante gue sendiri. Gue nggak tau harus nolongin siapa soalnya." Tria menatap Bintang dengan ngeri. Masa sih Bintang moved on dari Tian malah jadi suka sama omnya? O amang oi, hancurlah dunia!

"Lo kecil-kecil maenannya om-om ya Bi? Lah lo jadi pelakor cilik dong kalo gitu. Lo beneran suka sama Om Saka, Bi? Raphael menatap Bintang dengan sorot mata ngeri.

"Kenapa emangnya? Om Saka 'kan bukan bokapnya Bang Rapha. Jadi Abang nggak berhak ngelarang-ngelarang gue harus suka sama siapa." Bintang sengaja memanas-manasi Raphael. Gila aja dia suka dengan suami orang. Temen baik ayahnya lagi. Padahal dia mah cuma mengagumi bentuk tubuh si om yang kayak tatakan es batu, dan lengannya yang pas banget buat gelayutan main ayunan. Itu doang kok. Asumsi nih orang-orang aja yang pada berlebihan.

"Jadi lo suka sama bokap gue, Bintang Sabda Alam?"

Alrasya Abiyaksa. Anak sulung Dokter Saka. Mati gue kali ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status