Share

Chapter 8

"Ntar pulangnya lo mau gue jemput atau bagaimana?" Tanya Bumi setelah mereka sampai di sasana.

"Kalo mau, ntar lo WA gue aja. Gue nganterin nyokap gue dulu ke pasar, beli bahan-bahan kue untuk bukaan bentaran. Kalo kelarnya cepet, gue akan secepetnya balik lagi ke sini." Bumi membantu membukakan helm yang dipakai oleh Bintang karena melihatnya kesusahan untuk membuka kaitnya.

"Eh nggak usah, Kak. Nanti biar gue di jemput Kak Langit aja. Oh ya, Tante Intan dan Om Bayu apa kabar? Si tante masih demen aja ya belanja di pasar tradisional dari pada di pasar swalayan? Supaya hemat ya Kak, karena lebih murah?"

Bintang memang mengenal kedua orang tua Bumi yang juga berteman baik dengan ayah dan ibunya. Mereka sudah bersahabat sejak muda. Bumi adalah anak Om Bayu Persada Prasetya dan Tante Intan Ayu Raffardan. Makanya anak-anak mereka juga saling kenal dan cukup akrab. Angkasa Persada Prasetya, adik Bumi, malah sekelas dengannya.

"Bukan, Bi. Kata nyokap gue ada tiga keuntungan belanja di pasar tradisional. Pertama, sudah pasti harganya lebih murah. Tetapi itu bukanlah tujuan nyokap gue yang sesungguhnya. Menurut nyokap gue, pasar tradisional itu kan lebih banyak menjual hasil bumi negeri sendiri. Jadi kalo berbelanja di sana, itu artinya kita sudah ikut memajukan produk dalam negeri karena udah membantu mengembangkan usaha kecil.

Kedua, di sana juga kan nggak ada lemari pendingin. Jadi lebih gampang memilih mana bahan sayur dan buah yang masih bagus dan mana yang tidak. Kalau di supermaket kan suka saru antara yang masih segar dan udah lama karena efek freezer. Ketiga sih ini emang kesukaan semua emak-emak kayaknya. Nyokap gue suka berinteraksi dengan ibu-ibu yang ada di sana dan saling mendengar curhatan penjual maupun pembeli. Maklum aja, nyokap gue kan ketua ibu-ibu PKK." Terang Bumi panjang lebar.

"Ya udah gue cabut dulu. Inget, kalo kakak lo nggak bisa jemput, telepon aja gue." Bintang menganggukkan kepalanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Bintang bergegas masuk dalam sasana. Menukar pakaiannya dan bersiap-siap untuk memulai pemanasannya. Biasanya ia memulai  dengan berlari mengelilingi lapangan. Dia sekarang tidak perlu di suruh-suruh lagi. Dia sudah ikhlas lillahi ta'ala dalam mengikuti semua peraturan dari para trainernya.

"Apa Om Sabda tahu kalo anak gadisnya dibonceng motor oleh laki-laki yang bukan anggota keluarga? Apalagi sampai pelukannya kenceng banget begitu. Kakak lihat bagian depan tubuh kamu sampai nempel kayak kembar siam sama punggungnya Bumi." Bintang mengelus-elus dadanya karena kaget melihat kemunculan tiba-tiba Tian. Walaupun sebenarnya jantungnya jedag jedug tidak karuan, tetapi ia berusaha untuk bersikap acuh saja. Dia sudah tidak mau lagi nampak tergila-gila pada Tian. Ia mengabaikan kehadiran Tian dan langsung masuk ke dalam kamar ganti.

"Bintang, kakak belum selesai ngomong sama kamu. Sikapmu itu kakak lihat semakin lama semakin tidak punya tata krama. Di mana Bintang yang sikapnya sopan dan manis dulu?" Tian menarik lengan Bintang. Ia merasa empet sudah berbicara panjang kali lebar, tetapi sama sekali tidak disahuti. Padahal dulu kalau Bintang sudah berbicara dengannya, kalimatnya panjang-panjang  mengalahkan panjangnya kereta api. Tetapi sekarang dia sudah seperti makhluk invisible aja di mata ini bocah edan.

"Kakak ini maunya apa sih? Dulu aja waktu Bintang ngintilin Kakak kemana-mana, Kakak sebelnya bukan main. Ngata-ngatain buntelan jerawatanlah, inilah itulah. Nah giliran sekarang Bintang nggak mau mengusik Kakak lagi, Kakak malah kayak orang yang kebakaran seawak-awak. Maunya Kakak itu sebenarnya apa sih?" Bintang mengibaskan tangan Tian dan masuk ke dalam kamar mandi. Tapi dia tahu kalau Tian masih berdiri di depan pintu. Setelah menyelesaikan urusannya di kamar kecil, Bintang berjalan ke wastafel. Memilin kuncir kudanya dan mencepolnya ala ala girl band Korea. Karena pipinya sekarang sudah mulai tirus, model rambut seperti ini cocok juga untuknya. Padahal dulu ia sama sekali tidak berani mencepol rambutnya. Soalnya wajahnya akan menjadi selebar bandar udara jadinya.

"Kakak maunya kamu itu bisa bersikap sebagai seorang perempuan yang bermartabat. Jangan mau dimodusin sama si Bumi. Enak di dia rugi di kamu, Bi. Paham? Atau jangan-jangan memang kamu ya yang memang sengaja kegenitan melukin pinggang si Bumi itu sampe segitunya?" Omelan Tian berlanjut saat melihatnya keluar dari kamar mandi.

"Kegenitan apaan? Orang Bintang tadi takut jatuh karena Kak Bumi ngebut. Makanya Bintang peluk pinggangnya. Masalah kecil begitu saja kok di besar-besarin sih?" Bintang kini memasang hand wrap glove dan bersiap-siap latihan pemanasan terlebih dahulu agar otot-ototnya menjadi lentur dan tidak mudah cedera.

"Takut jatuh apa kamu emang kamunya yang demen meluk- melukin si Bumi?" Tian menyindir dengan kalimat menuduh yang begitu kentara.

"If no, so what? If yes, so what? Apa Kak Tian cemburu? Kalo cemburu bilang aja, Kak. Nggak usah ditahan-tahan. Nanti bisa bisulan lho, Kak." Bintang menjawab sambil lalu dan mulai berlari-lari kecil mengitari lapangan. Tian yang masih merasa penasaran karena pertanyaannya hanya dijawab ogah-ogahan oleh bocah cilik ini akhirnya malah ikut berlari di samping Bintang.

"Kakak bukannya cemburu sama kamu, Bi. Kakak hanya tidak mau kamu dimanfaatkan oleh orang lain. Karena bagaimana pun kedua orang tua kita bersahabat kan? Kamu jangan berfikir yang aneh-aneh." Tian masih saja berupaya untuk menasehati Bintang.

"Kamu ini udah besar, Bi. Tidak baik kalau kamu terlalu sering skinship dengan orang yang bukan apa-apa kamu. Sama Altan juga. Jangan mau dipeluk-peluk olehnya walau sekasual apapun hubungan kalian berdua. Laki-laki dan perempuan itu ibarat dua kutub yang saling bertolak belakang, tetapi saling tarik menarik. Jadi mau seperti apa pun akrabnya kalian berdua, tetap harus ada batasannya. Mengerti kamu, Bi?"

Hosh... hosh... hosh...

"Tolong ya Kak, Bintang ini lagi lari. Jadi jangan diajak bicara. Nanti nafas Bintang jadi boros dan cepet habis. Mending Kakak duduk ganteng aja di pojokan sana." Bintang dengan nafas ngos-ngosan mendorong Tian ke luar jalur garis putih area jogging track. Saat sedang serius berlatih begini, Bintang sama sekali tidak ingin diganggu. Tian akhirnya mengalah. Dia duduk di tribun dan memandangi Bintang berlari-lari kecil mengelilingi jogging track. Makin lama dipandang, Tian merasa bahwa wajah bocah montok ini sekarang sudah makin tirus. Tubuhnya juga makin langsing. Ternyata gadis kecil ini sungguh-sungguh ingin membuktikan kalau ia tidak ingin lagi dibully dengan kata-kata buntelan jerawatan.

Tian sedikit memicingkan mata saat melihat seperti ada sesuatu di telapak sepatu Bintang. Seperti sebuah kertas atau postcard bergambar yang ditempelkan pada kedua telapak sepatunya. Tepat ketika Bintang menyelesaikan joggingnya dan duduk di tribun. Tian menghampirinya. Tanpa aba-aba Tian langsung saja mengangkat kaki kiri Bintang dan memperhatikan kertas yang ditempel di telapak sepatunya. Si Empunya kaki kaget dan berusaha menarik kakinya. Tetapi lengan kuat Tian membuat Bintang sama sekali tidak bisa berkutik. Wajah Tian makin lama makin memerah saat ia menyadari bahwa photonyalah yang ternyata ditempelkan oleh Bintang pada kedua belah telapak sepatunya. Kurang ajar!

"Niat banget ya Bi, nginjek-nginjek muka Kakak sampai kayak gini." Tian masih juga tidak mau melepaskan tungkai kaki Bintang. Ia kemudian menarik photo wajahnya yang sudah beset-beset tidak karuan itu.

"Jadi sejak kamu marah sama kakak, terus kamu tempelin photo Kakak di sepatumu ya? Tahan juga ya sudah sebulan tapi photo Kakak masih bisa terlihat jelas di sini." Tian melihat photonya terakhir kali sebelum membuangnya ke tempat sampah.

"Siapa bilang itu photo udah sebulan yang lalu Bintang pasang? Orang setiap tiga hari sekali Bintang ganti kok dengan photo yang terbaru. Maksud Bintang sih, biar cepet habis gitu stok photo Kakak yang masih ada di Bintang." Bintang menjawab kalem-kalem pedes.

"Terus tujuan kamu berbuat seperti itu, apa? Saking bencinya ya sama, Kakak?" Tanya Tian penasaran.

"Supaya dalam setiap langkah Bintang, Bintang akan selalu teringat akan diri Kakak. Semua tentang diri kakak." Tegas Bintang seraya berlari masuk kembali ke dalam club. Sesi latihan sudah berjalan sekitar setengah jam, sebelum ada rombongan lain yang datang.

Pandangan Tian membentur sekelompok sugar daddy yang baru saya masuk ke dalam sasana, sambil tertawa-tawa. Mata tajam mereka memandangi Bintang dengan pandangan predator yang tidak wajar. Ketika kelima orang tersebut masuk ke dalam ruang ganti, Tian diam-diam mengekori.

"Lo liat itu abege montok, Sam? Udah hampir sebulan nih gue ngincer dia. Seksi beut kan bodynya? Berlekuk-lekuk semua euy! Yang model begini ini nih demenan gue. Kalo biasanya 'kan anak-anak abege itu bodynya pada tipis-tipis kayak triplek semua. Tapi yang satu ini," terdengar suara siulan genit. "Semok banget. Sesuai dengan fantasi-fantasi terliar gue. Cuma masalahnya, gue nggak pernah ada kesempatan buat menebar jala selama ini. Soalnya dia terus aja dijaga ketat sama si Saka. Tapi tadi gue nggak sengaja denger si Saka di telepon rumah sakit karena ada pasiennya yang mendadak mau ngelahirin. Akhirnya kesabaran gue berbuah manis juga. Hahahaha... pasti pawangnya lagi bersiap-siap ke rumah sakit ini. Ntar gue mau sparring one on one ah sama itu abege. Gue udah nggak tahan pengen ngemek-emek doi. Dia kan masih lugu banget, jadi gampang di modusin, mumpung pawangnya lagi nggak ada. Hehehehe. Setelah itu baru kita semua bergerak menebar jala. Kita pengaruhi dia pelan-pelan supaya dia mau jadi salah satu pelayan dalam komunitas kita. Hahahahaha."

Kepala Tian seakan-akan mengeluarkan asap, saking emosinya  mendengarkan rencana busuk mereka. Rombongan ini sepertinya adalah komunitas menyimpang yang suka menjerat para abege untuk memuaskan hasrat menyimpang mereka. Untung saja dia sudah merekam seluruh pembicaraan dan bahkan sempat mengambil photo-photo mereka secara candid.

"Dan lo semua tau kagak itu bocah anak siapa?" Sambung suara itu lagi.

"Anak siapa emang?" Teman-temannya terdengar menimpali.

"Halilintar Sabda Alam. Musuh abadi gue. Semua proyek-proyek yang biasanya bisa gue goal in, sekarang semua pada ketekel sama bajingan itu. Lo liat aja, mungkin dia puas selama ini ngalahin gue di setiap proyek-proyek raksasa. Tapi gue akan mengambil sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, anak gadisnya. Nangis darah nggak dia ntar. Hahahhaha."

"Ck! Lo dari dulu emang nggak berubah ya, Frans? Doyanan lo semua anak-anak abege. Dasar pedophile sinting. Pantes aja lo sama tiga dedengkot lo ini pindah latihan ke sini. Rupanya kalian lagi ada proyek inceran. Gue nggak mau ikut campur urusan lo lo pada ya? Gue cuma mau bilang, apapun masalah lo sama bokapnya, itu anak kagak salah. Kesian kalo masa depannya lo rusak. Tobat woi, tobat lo semua!" Orang yang di panggil Sam itu terlihat berusaha menasehati empat orang temannya.

Gigi Tian bergemelutuk. Bapak-bapak ini ternyata sakit jiwa semua karena bernafsu pada anak kecil yang bahkan lebih pantas menjadi anaknya. Dan yang lebih membuat Tian murka, adalah orang yang bernama Frans itu tega sekali berniat merusak anak kecil hanya karena dendam pada orang tuanya. Benar-benar biadab. Tian yang telah selesai berganti pakaian segera mematikan ponsel dan langsung berlari menghampiri Saka saat melihatnya terlihat meninggalkan sasana dengan langkah bergegas.

"Om Saka, Saya boleh nggak menggantikan Om menjadi trainer di sini selama Om di rumah sakit? Saya lihat semua muay nak di dalam sana laki-laki. Saya khawatir sama Bintang, Om." Saka menepuk keningnya. Saking paniknya dia sampai lupa akan kehadiran Bintang di club. Bisa di cincang Sabda dia kalau anak gadisnya sampai kenapa-napa.

"Astaga, Om lupa! Iya... Iya boleh banget, Yan. Oh ya Om Sabda hanya membolehkan Om dan Tria yang jadi partner one on onenya Bintang. Tapi kalau kamu sih pasti Om Sabda juga nggak keberatan. Kamu tolong jagain Bintang selama Om nggak ada ya? Om harus mengejar waktu. Kasihan ada ibu yang mau melahirkan. Om jalan dulu ya?" Saka menepuk pelan bahu Tian sebelum berlari menuju ke parkiran.

Pandangan Tian langsung tertuju pada satu kelompok kecil yang terlihat sedang mengelilingi Bintang. Para sugar daddies keparat tadi! Mata bernafsu mereka terlihat berusaha di samarkan para predator itu dengan mencoba menawarkan bantuan berlatih muay thai yang baik dan benar. Frans dan ketiga orang temannya mulai membuka baju atasan dan berusaha memikat Bintang dengan menunjukkan otot-otot liat mereka agar Bintang mempercayai kata-kata mereka semua. Sementara orang yang dipanggil dengan sebutan Sam itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus memukuli samsak.

"Bintang udah yakin belum sama kata-kata Om-Om ini semua? Lihat'kan hasilnya? Kalau Bintang mau mendapatkan tubuh sebagus Om-Om ini semua, Om Frans bersedia kok mengajari, Bintang. Gratis deh nggak usah bayar. Mau, sayang? Nanti Bintang bisa lebih cepet lho kurusnya. Percaya deh sama, Om."

"Bintang, kemari!" Bintang yang sedang mengobrol seru tentang tips and trik penurunan berat badan dan mengikis lemak dengan para muay nak senior, kaget saat mendengar teriakan Tian. Sepertinya ia marah sekali. Hadeh salah apalagi 'lah dia kali ini.

"Iya, Kak. Ada apa?" Bintang bergegas menghampiri sebelum telinganya pengeng karena diteriaki lagi.

"Pakai jaket ini." Bintang heran saat Tian tiba-tiba saja menyodorkan sebuah jaket yang tadi ia lihat dipakai oleh Tian.

"Bintang mau latihan, Kak. Kalau memakai jaket, gerakan jadi tidak leluasa."

"KAKAK BILANG PAKAI SEKARANG!"

Raphael Atharwa Al Rasyid

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Veean Ghiee
suka ... tapi sayang x beli koinnya susah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status