Now it's back to the way we started
Bel pintu masih berdentang ketika pintu tiba-tiba terbuka dan Papa berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar.
“Adhela pulang, Pa,” aku tersenyum penuh kebahagiaan sekaligus lega karena bukan Mama atau Alena yang membuka pintu rumah.
“Hei Pumpkin,” Papa langsung memeluk dan memutar tubuhku dengan semangat. Kebiasaan yang selalu dilakukan oleh beliau sejak aku kecil dan berlangsung hingga sekarang, “Selamat ulang tahun!”
“Makasih Pa,” aku merapikan rambut dan pakaian setelah Papa melepaskan pelukannya.
Papa kembali tersenyum lebar dan mengacak rambut sebahuku. Biasanya aku akan pura-pura berdecak sebal tapi kali ini aku membiarkannya. Aku begitu merindukan Papa. Lebih dari aku merindukan Mama dan Alena.
“Mereka melakukannya lagi,” Papa berbisik sambil merangkul bahuku dengan lembut. Tanpa bertanya aku tahu apa yang dimaksud oleh Papa, pesta ulang tahun yang direncanakan oleh Mama dan Alena.
“Aku tahu,” menghela napas panjang, “Aku pulang karena Alena nelpon tadi pagi. Kalau nggak mungkin aku masih di Hong Kong dan lebih,” aku mengerutkan alis, “Bahagia.”
“Maaf Papa nggak berhasil menghentikan Mama kamu.”
“Bukan salah Papa. Kita sama-sama tahu kalau nggak ada yang bisa ngehentiin Mama. Sekalipun hujan badai dan tsunami. Mama mana, Pa?” Biasanya Mama tidak sabar menyapa dengan lusinan gaun tentu saja dengan model yang disukai oleh Mama dan Alena. Sayangnya, sama sekali bukan model favoritku.
Papa tergelak mendengar ocehanku, “Untungnya Mama dan kakak kamu lagi ke salon untuk penampilan paripurna nanti malam,” suara Papa penuh dengan candaan, “Bri yang nganter mereka ke salon.”
Bri atau Brian Pradana Wicaksana bisa dikatakan sebagai pribadi tanpa cela. Berasal dari keluarga baik-baik, mencintai Alena juga memiliki karir yang cemerlang. Tapi Papa tidak pernah berhasil menyukai Bri seutuhnya walau beliau tidak pernah benar-benar menunjukannya. Tidak ada yang salah pada diri Bri kecuali kenyataan kalau Bri meninggalkan tunangannya karena dia jatuh cinta pada Alena. Menurut Papa, laki-laki sejati tidak akan pernah menyakiti wanita terlebih dengan alasan karena bertemu dengan wanita lain yang menurutnya lebih baik.
“Lebih baik kamu bersiap, kamu nggak pengin Mama teriak histeris lihat penampilan kamu, kan?”
“Memangnya seberantakan itu, ya, Pa?”
Papa kembali tergelak, “Nggak cukup kalau untuk Mama. Kalau untuk Papa, kamu selalu sempurna, Adhela.”
Aku membuka pintu kamar sambil tersipu, “Aku siap-siap dulu, Pa,”
“Selamat ulang tahun, Sweet Pumpkin,” Papa mencium keningku dengan lembut lalu berlalu meninggalkanku. Memberi ruang untukku bersiap-siap sekaligus menahan Mama yang selalu ingin mengintervensi penampilanku.
Setelah merapikan tas dan menata isi koper yang tidak seberapa ke lemari juga meminta Teh Rina, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak aku masih remaja, menyetrika gaun yang akan aku kenakan, aku bergegas mandi. Tidak banyak waktu yang tersisa padahal aku membutuhkan mandi shower yang lama. Tapi siapa yang bisa menghentikan waktu?
Ketika bersiap untuk mandi, aku terpaku lama menatap bekas operasi yang masih tersisa samar di tubuhku. Sudah hampir tidak terlihat tapi hal itu tidak mengubah kenyataan kalau operasi itu membuat masa depanku jauh dari apa yang aku rencanakan. Tidak akan ada cinta, tidak akan ada pernikahan. Setelah berusaha sekuat tenaga aku berhasil menarik diriku menjauh dari cermin dan mulai bersiap untuk menghadapi pesta yang tidak aku inginkan. Jika sekarang aku memilih untuk bersiap itu hanya karena aku tidak ingin mengecewakan Papa dan Mama.
Tiga puluh menit kemudian, tepat ketika aku mengulaskan lipstick berwarna nude, ada yang mengetuk pintu kamarku dan sedetik kemudian kepala Papa muncul dari balik pintu, “Mama nyuruh Papa untuk mastiin kalau kamu udah siap.”
“Aku udah siap, Pa,” aku berdiri dan berputar di hadapan Papa, “Gimana?”
“Mama nggak akan senang, Kecil,” Papa tersenyum ketika mengucapkannya.
“Aku tahu. Tapi aku suka,” aku memperhatikan penampilanku melalui cermin. Midi dress berbahan sutra tanpa lengan berwarna blue black dengan motif floral di bagian bawah. Sepasang platform shoes berwarna biru elektrik dengan tas tangan berwarna sama serta stretch bracelet, tentu saja salah satu rancanganku, menghias lengan kiri bersama dengan charm bracelet yang selalu aku kenakan menyempurnakan penampilanku. Tidak ada yang salah dengan penampilanku tapi Papa benar, Mama tidak akan menyukainya. Mama tidak menyukai apa pun yang aku kenakan kecuali aku mengenakan gaun berwarna pastel dengan bahan flowy yang aku benci.
“Sejak kecil kamu memang selalu melakukan apa yang kamu suka. Kecilnya Papa.”
“Pa,” aku meletakkan sisir, rambutku sudah tertata rapi, “Pesta kali ini sama kayak tahun lalu? Alena ngundang teman-temannya Bri dan Mama ngundang entah anak dari kenalannya untuk dijodohkan denganku?”
“Dengan berat hati,” Papa menatapku dengan rasa bersalah memenuhi matanya, “Ya.”
“Sampai kapan Mama dan Alena ngelakuin ini, Pa?” Saat ini aku sudah benar-benar lelah menghadapi kelakukan Mama dan Alena, “Emangnya sulit banget ya, Pa, buat nerima keputusan aku untuk nggak nikah?”
“Pumpkin, hati-hati dengan omongan kamu. Kita nggak pernah tahu masa depan. Masa depan itu misteri. Jangan mendahuluinya.”
“Jangan bilang Papa mulai kena virus Mama dan Alena, deh,” Aku menatap Papa tidak percaya, “Cukup Mama dan Alena. Jangan nambah Papa, please.”
“Papa nggak akan maksa kamu nikah, sayang. Papa cuma berdoa dan berharap biar kamu segera ketemu sama pria yang baik hati dan bersedia menghabiskan usianya bareng kamu.
“Ayolah, Pa,” harus berapa kali aku menjelaskan hal ini sampai keluarga mengerti, “Nggak akan pernah ada pria baik hati yang bersedia menikah dengan wanita kayak aku. Nggak sempurna.”
“Pumpkin,” Papa menuntunku ke hadapan cermin, “Kamu sempurna, sayang. Kamu cantik, menarik, cerdas juga mandiri.”
“Bukan itu yang aku maksud, Pa.”
“Papa tahu,” beliau mengusap rambutku lembut, “Tapi menurut Papa itu bukan masalah besar, sayang. Ada banyak hal luar biasa di kamu dan Papa yakin di luar sana ada seorang pria luar biasa yang bisa melihatnya. Melihat kamu seutuhnya bukan ketidaksempurnaanmu.”
“Entahlah, Pa,” Aku menarik napas panjang, “Seandainya Mama kayak aku apa dulu Papa akan tetap nikah sama Mama?”
Papa menatapku. Beliau terdiam lama.
“Maaf. Aku…lupain aja pertanyaanku itu, Pa,” aku berusaha untuk tersenyum lalu berjalan menuju pintu.
“Kamu tahu, Papa nggak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Papa nggak pernah ada di posisi itu dan Papa nggak mau ngasih jawaban sekadar dugaan. Kamu juga pasti nggak percaya kalau Papa bilang Papa akan tetap nikah dengan Mama, kan? Kamu pasti bilang Papa bisa ngomong gitu karena kenyatannya Mama nggak kayak kamu.”
Aku tersenyum lemah, “Lupain aja, Pa. Aku nggak….”
“Tapi Papa tahu satu hal yang pasti. Papa cinta sama Mama, seutuhnya Mama kamu. Itu alasan Papa ingin menghabiskan kehidupan Papa dengan Mama. Dan keinginan itu bisa bikin Papa lihat kekurangan Mama jadi keindahan,” Papa menatapku dengan lembut, “Sampai sekarang Papa yakin suatu saat kamu akan ketemu dengan seseorang yang mencintai kamu seutuhnya.”
“Mungkin,” aku menjawab dengan penuh keraguan.
“Semoga saat waktu itu tiba, Papa cukup kuat untuk ngizinin kamu menikah, Pumpkin,” Papa memeluk bahuku, “Dan sekarang, sambil menunggu pria itu berani menghadapi Papa, kamu sebaiknya turun dan bersiap menghadapi Mama dan para tamu. Papa duluan.”
Setelah Papa meninggalkanku sendiri, aku berjalan lalu berdiam di samping jendela kamar. Kebetulan dari jendela kamar aku bisa melihat taman belakang yang sekarang terlihat meriah dengan lampu-lampu dan dekorasi pesta lainnya. Para tamu juga mulai memenuhi taman belakang, percaya atau tidak, hampir tidak ada yang aku kenal. Dan aku yakin pesta akan tetap berjalan meski tanpa kehadiranku.
Tiba-tiba smartphone-ku berdering. Tanpa perlu melihat layar aku tahu siapa yang menelponku. Kalau bukan Mama pasti Alena. Mereka pasti memintaku untuk bergabung. Aku mematikan dering lalu memasukkan smartphone ke dalam tas. Sama sekali tidak berniat untuk mengangkatnya. Kembali mengintip lalu mematut diri di depan cermin dan menarik napas panjang berkali-kali sebelum memutuskan untuk turun dan bergabung dengan Papa, Mama, Alena dan para tamu undangan yang lain.
Selamat ulang tahun, Dhe. Aku mengucapkan itu sambil mematikan lampu kamar dan menutup pintu kamar.
It’s always a lot easier to let something fall apart than to try to hold it together “Selamat ulang tahun, Adhela!”Seluruh tamu yang hadir berteriak menyambut kedatanganku. Dengan terpaksa aku berusaha untuk tersenyum dan menunjukkan kalau aku bahagia serta berterima kasih untuk kehadiran mereka. Bagi sebagian besar tamu yang hadir bukan hal mudah mengosongkan jadwal di malam Sabtu seperti sekarang.“Ma,” aku menghampiri Mama yang berdiri di di tepi panggung kecil yang dibangun di sudut taman lalu mencium kedua pipinya lembut.“Senyum, Dhe,” Mama berbisik ketika aku mencium pipi kirinya dan aku memilih untuk tidak memedulikan komentar Mama. Aku sudah berusaha tapi kalau menurut Mama itu tidak cukup, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.“Selamat ulang tahun, Dhe,” untuk kesekian kalinya Papa mengucapkan selamat ulang tahun dan aku masih merasakan ketulus
We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with realityTanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud.Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku
I'm slowly drowning and you won't even notice“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, mal
Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah,
I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui
Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi
Maybe if I fall in love with my depression it will leave me too“Halo, kamu Dhe, bukan?” seorang gadis berpenampilan tanpa cela bertanya sambil berdiri di samping mejaku dan aku refleks memutuskan sambungan telpon yang untungnya belum diangkat oleh Alena.Gadis berwajah sedikit oriental menatapku dengan penasaran. Rambut hitamnya tergerai sempurna seakan dia baru saja melangkah keluar dari salon. Gaun yang dikenakannya seakan memang dirancang dan dijahit khusus untuknya. Pas tanpa ada lipatan berarti yang menganggu. Melihat dari desainnya tebakanku gaun itu keluaran rumah mode Herve Leger. Sepasang sepatu dengan warna senada gaun dan oversized bag dari Bottega Veneta melengkapi penampilannya. Penampilannya membuatku sedikit terintimidasi tapi senyum yang terulas di bibirnya membuatku lebih rileks.“Hai. Iya, aku Dhe,” aku menjawab sambil berdiri dan mengelap ujung jariku menggunakan tisu.&ld