Share

-Fragment 3-

Now it's back to the way we started

Bel pintu masih berdentang ketika pintu tiba-tiba terbuka dan Papa berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar.

“Adhela pulang, Pa,” aku tersenyum penuh kebahagiaan sekaligus lega karena bukan Mama atau Alena yang membuka pintu rumah.

“Hei Pumpkin,” Papa langsung memeluk dan memutar tubuhku dengan semangat. Kebiasaan yang selalu dilakukan oleh beliau sejak aku kecil dan berlangsung hingga sekarang, “Selamat ulang tahun!”

“Makasih Pa,” aku merapikan rambut dan pakaian setelah Papa melepaskan pelukannya.

Papa kembali tersenyum lebar dan mengacak rambut sebahuku. Biasanya aku akan pura-pura berdecak sebal tapi kali ini aku membiarkannya. Aku begitu merindukan Papa. Lebih dari aku merindukan Mama dan Alena.

“Mereka melakukannya lagi,” Papa berbisik sambil merangkul bahuku dengan lembut. Tanpa bertanya aku tahu apa yang dimaksud oleh Papa, pesta ulang tahun yang direncanakan oleh Mama dan Alena.

“Aku tahu,” menghela napas panjang, “Aku pulang karena Alena nelpon tadi pagi. Kalau nggak mungkin aku masih di Hong Kong dan lebih,” aku mengerutkan alis, “Bahagia.”

“Maaf Papa nggak berhasil menghentikan Mama kamu.”

“Bukan salah Papa. Kita sama-sama tahu kalau nggak ada yang bisa ngehentiin Mama. Sekalipun hujan badai dan tsunami. Mama mana, Pa?” Biasanya Mama tidak sabar menyapa dengan lusinan gaun tentu saja dengan model yang disukai oleh Mama dan Alena. Sayangnya, sama sekali bukan model favoritku.

Papa tergelak mendengar ocehanku, “Untungnya Mama dan kakak kamu lagi ke salon untuk penampilan paripurna nanti malam,” suara Papa penuh dengan candaan, “Bri yang nganter mereka ke salon.”

Bri atau Brian Pradana Wicaksana bisa dikatakan sebagai pribadi tanpa cela. Berasal dari keluarga baik-baik, mencintai Alena juga memiliki karir yang cemerlang. Tapi Papa tidak pernah berhasil menyukai Bri seutuhnya walau beliau tidak pernah benar-benar menunjukannya. Tidak ada yang salah pada diri Bri kecuali kenyataan kalau Bri meninggalkan tunangannya karena dia jatuh cinta pada Alena. Menurut Papa, laki-laki sejati tidak akan pernah menyakiti wanita terlebih dengan alasan karena bertemu dengan wanita lain yang menurutnya lebih baik.

“Lebih baik kamu bersiap, kamu nggak pengin Mama teriak histeris lihat penampilan kamu, kan?”

“Memangnya seberantakan itu, ya, Pa?”

Papa kembali tergelak, “Nggak cukup kalau untuk Mama. Kalau untuk Papa, kamu selalu sempurna, Adhela.”

Aku membuka pintu kamar sambil tersipu, “Aku siap-siap dulu, Pa,”

“Selamat ulang tahun, Sweet Pumpkin,” Papa mencium keningku dengan lembut lalu berlalu meninggalkanku. Memberi ruang untukku bersiap-siap sekaligus menahan Mama yang selalu ingin mengintervensi penampilanku.

Setelah merapikan tas dan menata isi koper yang tidak seberapa ke lemari juga meminta Teh Rina, asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak aku masih remaja, menyetrika gaun yang akan aku kenakan, aku bergegas mandi. Tidak banyak waktu yang tersisa padahal aku membutuhkan mandi shower yang lama. Tapi siapa yang bisa menghentikan waktu?

Ketika bersiap untuk mandi, aku terpaku lama menatap bekas operasi yang masih tersisa samar di tubuhku. Sudah hampir tidak terlihat tapi hal itu tidak mengubah kenyataan kalau operasi itu membuat masa depanku jauh dari apa yang aku rencanakan. Tidak akan ada cinta, tidak akan ada pernikahan. Setelah berusaha sekuat tenaga aku berhasil menarik diriku menjauh dari cermin dan mulai bersiap untuk menghadapi pesta yang tidak aku inginkan. Jika sekarang aku memilih untuk bersiap itu hanya karena aku tidak ingin mengecewakan Papa dan Mama.

Tiga puluh menit kemudian, tepat ketika aku mengulaskan lipstick berwarna nude, ada yang mengetuk pintu kamarku dan sedetik kemudian kepala Papa muncul dari balik pintu, “Mama nyuruh Papa untuk mastiin kalau kamu udah siap.”

“Aku udah siap, Pa,” aku berdiri dan berputar di hadapan Papa, “Gimana?”

“Mama nggak akan senang, Kecil,” Papa tersenyum ketika mengucapkannya.

“Aku tahu. Tapi aku suka,” aku memperhatikan penampilanku melalui cermin. Midi dress berbahan sutra tanpa lengan berwarna blue black dengan motif floral di bagian bawah. Sepasang platform shoes berwarna biru elektrik dengan tas tangan berwarna sama serta stretch bracelet, tentu saja salah satu rancanganku,  menghias lengan kiri bersama dengan charm bracelet  yang selalu aku kenakan menyempurnakan penampilanku. Tidak ada yang salah dengan penampilanku tapi Papa benar, Mama tidak akan menyukainya. Mama tidak menyukai apa pun yang aku kenakan kecuali aku mengenakan gaun berwarna pastel dengan bahan flowy yang aku benci.

“Sejak kecil kamu memang selalu melakukan apa yang kamu suka. Kecilnya Papa.”

“Pa,” aku meletakkan sisir, rambutku sudah tertata rapi, “Pesta kali ini sama kayak tahun lalu? Alena ngundang teman-temannya Bri dan Mama ngundang entah anak dari kenalannya untuk dijodohkan denganku?”

“Dengan berat hati,” Papa menatapku dengan rasa bersalah memenuhi matanya, “Ya.”

“Sampai kapan Mama dan Alena ngelakuin ini, Pa?” Saat ini aku sudah benar-benar lelah menghadapi kelakukan Mama dan Alena, “Emangnya sulit banget ya, Pa, buat nerima keputusan aku untuk nggak nikah?”

“Pumpkin, hati-hati dengan omongan kamu. Kita nggak pernah tahu masa depan. Masa depan itu misteri. Jangan mendahuluinya.”

“Jangan bilang Papa mulai kena virus Mama dan Alena, deh,” Aku menatap Papa tidak percaya, “Cukup Mama dan Alena. Jangan nambah Papa, please.”

“Papa nggak akan maksa kamu nikah, sayang. Papa cuma berdoa dan berharap biar kamu segera ketemu sama pria yang baik hati dan bersedia menghabiskan usianya bareng kamu.

“Ayolah, Pa,” harus berapa kali aku menjelaskan hal ini sampai keluarga mengerti, “Nggak akan pernah ada pria baik hati yang bersedia menikah dengan wanita kayak aku. Nggak sempurna.”

“Pumpkin,” Papa menuntunku ke hadapan cermin, “Kamu sempurna, sayang. Kamu cantik, menarik, cerdas juga mandiri.”

“Bukan itu yang aku maksud, Pa.”

“Papa tahu,” beliau mengusap rambutku lembut, “Tapi menurut Papa itu bukan masalah besar, sayang. Ada banyak hal luar biasa di kamu dan Papa yakin di luar sana ada seorang pria luar biasa yang bisa melihatnya. Melihat kamu seutuhnya bukan ketidaksempurnaanmu.”

“Entahlah, Pa,” Aku menarik napas panjang, “Seandainya Mama kayak aku apa dulu Papa akan tetap nikah sama Mama?”

Papa menatapku. Beliau terdiam lama.

“Maaf. Aku…lupain aja pertanyaanku itu, Pa,” aku berusaha untuk tersenyum lalu berjalan menuju pintu.

“Kamu tahu, Papa nggak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Papa nggak pernah ada di posisi itu dan Papa nggak mau ngasih jawaban sekadar dugaan. Kamu juga pasti nggak percaya kalau Papa bilang Papa akan tetap nikah dengan Mama, kan? Kamu pasti bilang Papa bisa ngomong gitu karena kenyatannya Mama nggak kayak kamu.”

Aku tersenyum lemah, “Lupain aja, Pa. Aku nggak….”

“Tapi Papa tahu satu hal yang pasti. Papa cinta sama Mama, seutuhnya Mama kamu. Itu alasan Papa ingin menghabiskan kehidupan Papa dengan Mama. Dan keinginan itu bisa bikin Papa lihat kekurangan Mama jadi keindahan,” Papa menatapku dengan lembut, “Sampai sekarang Papa yakin suatu saat kamu akan ketemu dengan seseorang yang mencintai kamu seutuhnya.”

“Mungkin,” aku menjawab dengan penuh keraguan.

“Semoga saat waktu itu tiba, Papa cukup kuat untuk ngizinin kamu menikah, Pumpkin,” Papa memeluk bahuku, “Dan sekarang, sambil menunggu pria itu berani menghadapi Papa, kamu sebaiknya turun dan bersiap menghadapi Mama dan para tamu. Papa duluan.”

Setelah Papa meninggalkanku sendiri, aku berjalan lalu berdiam di samping jendela kamar. Kebetulan dari jendela kamar aku bisa melihat taman belakang yang sekarang terlihat meriah dengan lampu-lampu dan dekorasi pesta lainnya. Para tamu juga mulai memenuhi taman belakang, percaya atau tidak, hampir tidak ada yang aku kenal. Dan aku yakin pesta akan tetap berjalan meski tanpa kehadiranku.

Tiba-tiba smartphone-ku berdering. Tanpa perlu melihat layar aku tahu siapa yang menelponku. Kalau bukan Mama pasti Alena. Mereka pasti memintaku untuk bergabung. Aku mematikan dering lalu memasukkan smartphone ke dalam tas. Sama sekali tidak berniat untuk mengangkatnya. Kembali mengintip lalu mematut diri di depan cermin dan menarik napas panjang berkali-kali sebelum memutuskan untuk turun dan bergabung dengan Papa, Mama, Alena dan para tamu undangan yang lain.

Selamat ulang tahun, Dhe. Aku mengucapkan itu sambil mematikan lampu kamar dan menutup pintu kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status