We are all like fireworks, rising, shinning, scattering and finally, fading
Sepanjang penerbangan dari Hong Kong menuju Jakarta aku tertidur. Biasanya ini merupakan anugerah karena berarti aku bisa beristirahat setelah atau sebelum menghadapi peristiwa besar. Sebagian besar perjalanan yang aku lakukan sekarang adalah perjalanan bisnis. Tapi kali ini tidak. Bagaimana bisa aku menyebutnya anugerah jika tidurku dihantui mimpi buruk? Memang bukan jenis mimpi buruk yang membuatku berteriak atau meronta dalam tidur melainkan jenis mimpi buruk yang ketika terbangun aku merasa letih dan ada jejak air mata samar di pipiku.
Aku terbangun tepat ketika ban pesawat menyentuh landasan. Seketika berdecak kesal karena tidak memiliki waktu untuk menyegarkan diri dan membenahi penampilanku di toilet. Sedikit tergesa aku mengambil travel kit yang dibagikan oleh flight attendant dan memanfaatkan semua yang ada di dalamnya sebisa mungkin.
Menyegarkan wajah dengan tisu basah, mengulaskan pelembab ke seluruh wajah, mengoleskan lipbalm, menggunakan hand cream di kedua tanganku lalu merapikan rambut dengan jari.
“Sudah secantik foto Anda, lha.” pria paruh baya yang duduk di sampingku berujar sambil tersenyum tulus. Sama sekali tidak ada kesan ingin menggoda atau iseng. Jika dilihat dari penampilannya yang menggunakan balutan suit tanpa cela kemungkinan besar beliau adalah seorang pengusaha dan dari logatnya aku berani mempertaruhkan seluruh koleksi terbarudari labelku kalau beliau banyak menghabiskan waktu di Singapura.
“Maaf?” Ketulusan yang tersirat dalam senyumnya membuatku memutuskan untuk meladeni basa-basinya. Beliau sedikit mengingatkanku pada Papa.
“Ah, maaf, maaf,” beliau mengambil majalah yang ada di pangkuannya, “Ini Anda, bukan?”
Mataku membulat ketika melihat sampul majalah yang ditunjukan olehnya. Aku lupa kalau beberapa minggu yang lalu aku diwawancarai oleh majalah tersebut terkait dengan perjalanan karirku. Menurut mereka, aku termasuk salah seorang perancang perhiasan di Asia Tenggara yang sedang menjadi sorotan dan menarik perhatian khalayak. Tentu saja mereka menginformasikan kalau artikel tersebut akan dimuat di edisi terbaru mereka yang terbit kemarin. Keriuhan penandatanganan kontrak dan ulang tahun membuatku melupakannya. Aku segera membuat mental notes untuk membeli majalah ini.
“Maaf boleh saya pinjam majalah Anda sebentar?”
“Silakan,” beliau mengulurkan majalah tersebut sambil berkomentar, “Cantik, sukses dan mandiri,”
Komentarnya membuatku tersipu. Walau sejak dulu sering mendengar komentar serupa mengenai wajah dan penampilanku tetap saja aku tidak pernah terbiasa dengan pujian. Sebagian besar yang mengenalku mengatakan kalau Tuhan sedang santai dan senang ketika menciptakanku. Mata bulat dengan jarak yang tepat, bola mata berwarna hijau gelap yang sekilas terlihat seperti hitam, hidung mancung dan tulang pipi tinggi menyempurnakan wajahku yang dibingkai dengan rambut hitam pekat yang sedikit ikal. Tidak ada yang kurang pada wajah dan penampilanku. Walau begitu Alena selalu menjadi yang tercantik bagiku.
“Anak perempuan saya sangat menyukai karya Anda. Beberapa bulan lagi dia akan menikah, apa masih memungkinkan untuk menggunakan jasa Anda?” Pertanyaan yang tidak pernah aku duga. Aku pikir beliau hanya basa-basi, “Perhiasan rancangan Anda tentu akan menyempurnakan pernikahannya.”
Tidak ingin mengecewakan karena beliau pria paruh baya yang ramah aku berusaha mengingat jadwal pekerjaanku selama beberapa bulan ke depan. Seharusnya tidak terlalu padat walau ada beberapa perhiasaan permintaan klien yang harus aku selesaikan. Tapi aku tidak berhasil mengingat detailnya. Pikiranku sedang tidak ingin diajak bekerja sama karena dipenuhi dengan ketakutan kalau aku akan mengecewakan Mama dan Alena seandainya terlambat sampai di rumah. Selain itu flight attendant juga sudah mempersilakan penumpang kelas bisnis, termasuk aku, untuk turun dari pesawat.
Dengan cepat aku mengambil kotak kartu nama dari tas lalu mengulurkan selembar kepadanya sambil mengembalikan majalah yang aku pinjam, “Silakan hubungi nomor telepon saya,” aku tersenyum untuk meyakinkan beliau kalau ini bukan penolakan, “Banyak yang harus diperbincangkan sebelum saya bisa memutuskannya. Dan kita tidak mungkin membicarakannya sekarang karena,” aku menunjuk ke arah pintu pesawat, “Sudah waktunya untuk turun.”
Beliau tertawa salah tingkah, “Tentu saja. Tentu saja, silakan,” dia bangun dan mempersilakan aku melaluinya, “Saya masih harus merapikan barang bawaan saya.”
“Senang berkenalan dengan Anda,” aku melemparkan senyum terakhir sebelum menyampirkan tas laptop lalu mengambil koper ukuran kabin kemudian bergegas turun dari pesawat.
Untungnya tidak ada bagasi yang harus aku tunggu. Ketika penumpang yang lain sedang mengantre untuk mengambil bagasi aku sudah duduk nyaman di mobil yang akan membawaku ke Bandung secepat mungkin. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, pesta akan dimulai tepat pukul tujuh. Aku tidak ingin menghadirinya tanpa persiapan yang memadai. Tepat ketika mobil keluar dari kawasan bandara aku menarik napas panjang lalu tanpa sungkan aku meluruskan kaki. Berusaha untuk mengumpulkan tenaga.
Nanti malam akan menjadi malam yang melelahkan.
Aku melemparkan pandangan ke luar jendela. Pemandangan perkotaan mulai berganti menjadi hamparan hijau yang menyejukkan mata. Pemandangan yang sangat aku kenal karena aku sering melewatinya. Sejak SMA aku memilih untuk menetap di Jakarta. Berbagi apartemen dengan Ahsan, sepupu terbaikku, yang ketika itu sedang menyelesaikan kuliah arsitekturnya di salah satu universitas ternama di Indonesia.
Bukan tanpa alasan. Aku sengaja menjauh dari rumah dan Alena. Sejak itu pulang menjadi sesuatu yang tidak aku sukai. Bukan berarti aku memiliki masalah atau tidak menyayangi orang tuaku dan Alena, hanya saja… sejak kejadian itu hubungan kami tidak pernah benar-benar kembali seperti dulu. Aku, Alena dan Mama seakan berjalan di atas lapisan es tipis. Salah melangkah sedikit saja maka lapisan itu akan pecah berderai dan hubungan kami seketika akan karam, tidak terselamatkan.
Sebelum kejadian itu hubunganku cukup dekat dengan Alena. Sejak aku bisa mengingat Alena selalu menjadi kakak terbaik untukku. Dan aku terbiasa untuk mengikuti semua yang dilakukan oleh Alena untuk membahagiakan Mama dan memenuhi harapan orang-orang di sekitarku, para keluarga dan guru.
Aku bayangan Alena, bayangan yang sempurna. Hanya beberapa hal yang tidak bisa aku ubah. Aku mencintai dunia desain khususnya perhiasan. Aku juga sangat suka bintang. Aku tidak pernah berhasil menahan diri untuk berjam-jam mendesain perhiasan dan menatap langit malam penuh bintang hanya untuk menunggu bintang jatuh. Itu kegiatanku hampir setiap malam. Walau menurut Alena itu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang disebut kaum minoritas di sekolah, aku terlanjur jatuh cinta pada dunia itu.
Ketika aku berusia tiga belas tahun aku mulai lelah menjadi bayangan Alena. Aku berhenti berusaha untuk menjadi seperti Alena. Dan mungkin, tanpa aku sadari, aku mulai membenci Alena juga lingkungan yang mengharuskan menjadi Alena. Rasanya semua yang aku lakukan, seberhasil dan sesempurna apa pun aku tetap saja itu tidak ada artinya dibandingkan Alena.
Bahkan sampai sekarang, di saat aku sudah menjadi perancang perhiasan yang cukup punya nama, baik di Indonesia maupun internasional, rancanganku dipakai oleh banyak perancang kelas dunia di pagelaran mereka serta berulang kali masuk majalah dan mendapatkan penghargaan aku masih merasa kalau aku tidak lebih baik dari Alena. Alena yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan melepaskan karir cemerlangnya di sebuah bank nasional. Jadi, ya, menjauh dari rumah adalah keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Walau itu berarti aku harus jauh dari Papa.
Aku baru ingat kalau aku belum memberitahukan kepulanganku ke Papa. Tepat ketika mobil yang aku tumpangi memasuki Bandung melalui pintu tol Pasteur, aku mengambil smartphone dan mengirimkan pesan melalui aplikasi chat ke Papa. Sambil menunggu balasan, aku membuka aplikasi email dan mengetik cepat sebuah email pendek ke Ahsan, mengabarkan kalau untuk kesekian kalinya aku terjebak dalam pesta ulang tahun yang direncanakan oleh Mama dan Alena.
“Mbak, sudah sampai,” ucapan itu membuyarkan lamunanku. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberikan tip kepada supir aku bergegas turun dan berjalan menyusuri halaman rumah. Tidak ada perubahan yang berarti dari rumah Papa. Begitu juga dengan suasana dan nuansanya. Waktu seakan membeku di sini.
Setelah memeriksa smartphone, pesanku hanya dibaca oleh Papa tanpa balasan dan emailku belum dibalas oleh Ahsan, aku mengantonginya. Butuh beberapa helaan napas panjang sebelum aku berhasil mengumpulkan keinginan untuk menekan bel pintu bukannya berbalik dan menjauh dari rumah. Ulang tahun membuat kepulangan kali ini terasa lebih berat dan lebih tidak menyenangkan.
Now it's back to the way we startedBel pintu masih berdentang ketika pintu tiba-tiba terbuka dan Papa berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar.“Adhela pulang, Pa,” aku tersenyum penuh kebahagiaan sekaligus lega karena bukan Mama atau Alena yang membuka pintu rumah.“Hei Pumpkin,” Papa langsung memeluk dan memutar tubuhku dengan semangat. Kebiasaan yang selalu dilakukan oleh beliau sejak aku kecil dan berlangsung hingga sekarang, “Selamat ulang tahun!”“Makasih Pa,” aku merapikan rambut dan pakaian setelah Papa melepaskan pelukannya.Papa kembali tersenyum lebar dan mengacak rambut sebahuku. Biasanya aku akan pura-pura berdecak sebal tapi kali ini aku membiarkannya. Aku begitu merindukan Papa. Lebih dari aku merindukan Mama dan Alena.“Mereka melakukannya lagi,” Papa berbisik sambil merangkul bahuku dengan lembut. Tanpa bertanya aku tahu apa yang d
It’s always a lot easier to let something fall apart than to try to hold it together “Selamat ulang tahun, Adhela!”Seluruh tamu yang hadir berteriak menyambut kedatanganku. Dengan terpaksa aku berusaha untuk tersenyum dan menunjukkan kalau aku bahagia serta berterima kasih untuk kehadiran mereka. Bagi sebagian besar tamu yang hadir bukan hal mudah mengosongkan jadwal di malam Sabtu seperti sekarang.“Ma,” aku menghampiri Mama yang berdiri di di tepi panggung kecil yang dibangun di sudut taman lalu mencium kedua pipinya lembut.“Senyum, Dhe,” Mama berbisik ketika aku mencium pipi kirinya dan aku memilih untuk tidak memedulikan komentar Mama. Aku sudah berusaha tapi kalau menurut Mama itu tidak cukup, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.“Selamat ulang tahun, Dhe,” untuk kesekian kalinya Papa mengucapkan selamat ulang tahun dan aku masih merasakan ketulus
We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with realityTanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud.Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku
I'm slowly drowning and you won't even notice“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, mal
Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah,
I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui
Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi