Share

-Fragment 4-

It’s always a lot easier to let something fall apart than to try to hold it together

“Selamat ulang tahun, Adhela!”

Seluruh tamu yang hadir berteriak menyambut kedatanganku. Dengan terpaksa aku berusaha untuk tersenyum dan menunjukkan kalau aku bahagia serta berterima kasih untuk kehadiran mereka. Bagi sebagian besar tamu yang hadir bukan hal mudah mengosongkan jadwal di malam Sabtu seperti sekarang.

“Ma,” aku menghampiri Mama yang berdiri di di tepi panggung kecil yang dibangun di sudut taman lalu mencium kedua pipinya lembut.

“Senyum, Dhe,” Mama berbisik ketika aku mencium pipi kirinya dan aku memilih untuk tidak memedulikan komentar Mama. Aku sudah berusaha tapi kalau menurut Mama itu tidak cukup, aku tidak tahu lagi harus melakukan apa.

“Selamat ulang tahun, Dhe,” untuk kesekian kalinya Papa mengucapkan selamat  ulang tahun dan aku masih merasakan ketulusan yang sama. Sebagai jawaban aku memeluk Papa erat.

Setelah melepaskan pelukan aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut halaman belakang. Bagian tengah taman penuh dengan meja dan kursi yang ditata dengan rangkaian bunga lily Casablanca, baby breath dan mawar kuning di setiap meja. Seluruh kursi dilapisi dengan kain berwarna putih. Lampu-lampu kecil menggantung, selain sebagai alat penerang juga untuk menambahkan kesan hangat. Aku tahu tidak mudah merencanakan ini semua tapi tetap saja itu tidak berhasil membuatku merasa lebih ringan atau terlarut dalam suasana bahagia. Terlalu banyak wajah yang tidak aku kenal.

“Suka?” Mama sudah berpindah berdiri di sampingku.

“Dekorasinya cantik,” aku mengusap kedua telapak tangan ke gaun, “Tapi Dhe mohon tahun depan nggak ada pesta ulang tahuan lagi. Dhe nggak suka,” aku sengaja tidak menutupi nada mengeluh dalam suaraku.

“Masih belum berubah, Dhe? Ulang tahun itu lebih menyenangkan kalau dirayakan bersama orang yang kamu sayang,” Mama menepuk punggungku sambil menaikkan dagunya.

Orang yang aku sayang? Aku bahkan tidak mengenal sebagian besar tamu yang datang. Selain itu aku juga bukan Alena yang dekat dengan hampir seluruh keluarga besar Papa dan Mama. Aku tidak dekat dengan sepupu, kecuali Ahsan. Dengan saudara Papa dan Mama aku selalu menjaga jarak agar tidak saling mengusik. Aku tidak suka kehidupan pribadiku diusik. Sekalipun ada hubungan darah yang mengikat, bukan berarti mereka berhak mengatur dan mengetahui segalanya. Cukup Mama yang berusaha melakukannya.

Dan sahabat. Aku tidak pernah memiliki yang namanya sahabat. Tidak seorang pun. Aku tidak membutuhkan seseorang yang selalu ingin tahu dan mengikutiku ke manapun.. Walau aku tahu alasan sebenarnya bukan itu. Aku takut dikasihi seandainya mereka tahu kenyataan sebenarnya tentangku. Aku memilih untuk berjalan seorang diri. Saat ini dan selamanya.

“Dan gaun hitam untuk pesta ulang tahun? Ini bukan pemakaman,” sepertinya Mama tidak bisa menahan kritikannya lebih lama lagi.

“Aku suka dan aku rasa nggak ada masalah dengan gaun pilihanku,” aku berusaha untuk tidak melemparkan tatapan tidak senang ke arah Mama walau itu membutuhkan usaha ekstra keras.

“Papa setuju, Dhe kelihatan cantik,” Papa meremas bahuku lembut dan Mama melemparkan tatapan penuh kritik ke arahku dan Papa.

Untung saja sebelum Mama melancarkan serangan lanjutannya, Alena menghampiri kami dan langsung menarikku, “Waktunya tiup lilin dan potong kue, Dhe. Kamu nggak mau bikin semua orang menunggu sampai malam, kan?”

Merasa tidak memiliki pilihan lain, aku mengikuti Alena ke bagian depan panggung dan berdiri tepat di balik kue ulang tahunku. Kue itu terlihat sangat cantik dan menggugah selera dengan cokelat yang membalur sempurna dan hiasan berbentuk perhiasan dan pantulan cahaya darilampu dekorasi membuatnya perhiasan itu seakan terlihat nyata membuat kue itu terkesan mewah. Alena dan perhatiannya.

Segera seluruh perhatian para tamu beralih kepadaku. Suara percakapan perlahan menghilang begitu juga dengan denting peralatan makan. Mereka berkumpul di depan panggung dan menatapku. Menunggu dengan tidak sabar.

Aku memilih untuk tidak membalas tatapan seorang pun. Aku menatap api lilin yang baru dinyalakan oleh Alena. Api yang membakar sumbu lilin terlihat bergoyang tertiup angin. Aku melakukan ini untuk menguatkan diri. Tidak mudah melakukan ini. Menjadi pusat perhatian seluruh tamu dan tatapan mereka seakan berisi satu pertanyaan yang sama tentang apakah kali ini aku akan memperkenalkan calon suamiku. Pertanyaan yang jawabannya tidak akan pernah aku miliki.

Kesadaranku kembali ketika Alena menggoyang lenganku lembut. Ternyata mereka sudah selesai menyanyikan lagu ulang tahun untukku dan sekarang waktunya aku mengucapkan harapan dan meniup lilin. Melompati bagian mengucapkan harapan, aku langsung meniup lilin ulang tahun bertuliskan 25. Padamnya lilin diikuti dengan tepuk tangan dari seluruh tamu. Tepukan mereka terdengar begitu bersemangat sangat bertolak belakang denganku.

“Potong kuenya,” Alena mengulurkan pisau kue ke arahku.

Tanpa mengucapkan sepatah kata aku menerimanya. Setelah mencabut lilin dan hiasan lainnya aku menggoresnya. Hanya menggores lapisan cokelat untuk formalitas. Sama sekali tidak bermaksud untuk memotongnya.

“Potong, potong,” Alena dan Mama yang pertama kali berseru dan tidak lama kemudian itu diikuti oleh seluruh tamu undangan. Lagi-lagi aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti kemauan mereka.

Aku segera memotong kue ulang tahunku, sebuah potongan berbentuk segitiga sempurna lalu meletakkan pada piring kertas yang sudah disediakan oleh Alena. Setelah itu aku memutar pandanganku dengan cepat. Sama seperti ulang tahunku di tahun-tahun sebelumnya, saat ini seluruh tamu sedang menatapku dengan penasaran dan menunggu siapa yang akan mendapatkan suapan dari potongan pertama.

Siapa yang memulai tradisi potongan pertama harus diberikan kepada mereka yang istimewa?

“Dhe, kita nungguin, lho. Siapa, nih, yang beruntung dapatin potongan pertamanya?” Alena. Kadang sikapnya membuatku tidak punya pilihan selain membencinya.

“Mama sama Papa,” aku mendekati Papa dan Mama yang berdiri tidak jauh dariku, “Nggak ada yang lebih pantas selain kalian, orang tua terbaik di dunia untuk Dhe dan Alena. Makasih Ma, Pa,” Aku memberikan piring kue itu kepada Mama lalu mencium pipi mereka bergantian.

“Potongan kedua. Kali ini pasti buat seseorang yang istimewa, kan?” Alena masih berusaha dan kali ini terlalu keras.

“Buat kamu, Alena, kakak terbaik di dunia walau kadang-kadang suka bikin aku kesal,” sambil tersenyum aku memberikan piring itu kepada Alena.

“Makasih, Dhe,” Alena menerima piring itu kemudian menyerahkannya kepada Bri sebelum memelukku erat, “Selamat ulang tahun.”

“Makasih,” aku balas berbisik di telinganya. Dan sebelum Alena menambah masalah dengan usaha yang berikutnya aku segera menyapa para tamu, “Terima kasih untuk kehadirannya dan selamat bersenang-senang!”

Kemudian dengan tergesa aku menuruni panggung kecil itu. Sekarang saatnya untuk menghilang di tengah keriuhan tamu sebelum para tante, sahabat lama Mama, menemukanku dan mulai memberondongku dengan pertanyaan yang paling menyebalkan.

Terlambat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status