"Jacob. Jacob. Ada burung kedasih datang, lo tahu sesuatu?" tanya Marzuki yang sedang duduk atap sekolah bersama dengan dua orang lagi.
"Ayu mengikuti Yongki, sepertinya urusan ga jelas. Namun di arah yang bersamaan gue melihat Kida mengekor anak baru," jawab orang yang dipanggil Jacob itu. Penampilannya rapi dan tubuhnya wangi. Meski kulitnya agak gelap, namun dengan padanan yang tepat, ia tampil sangat menawan untuk ukuran seorang remaja putra.
"Jimi Bandri?".
"Sepertinya begitu," jawab Jacob yang kemudian bersiap menerima pendaratan burung Kedasih. namun belum mendarat, burung tersebut berkicau dengan nadanya yang khas.
"Mobilisasi.. Total.. Stasiun.. Jatinegara.. Delapan.. Malam.. Kuk kuk kukukuuukk" ciut burung kecil itu di udara. Jacob dan Marzuki terkejut mendengar berita itu.
"Jacob, Advance. Gue siapin seluruh brigade dan beberapa anggota penolong," ucap Marzuki seraya berdiri dan bersiap pergi.
"Juk, ga perlu bawa ge
***"Namamu Ayu bukan, sini kubantu,"Ajakan itu ga bakal saya lupakan, setelah 2 tahun bersama-sama di SMP. Meski kami sangat minim berbincang, namun akhirnya dia memanggil namaku. Kak Indri, majikanku di toko kelontong memberi tahu jalan menuju SMK yang saya tuju tidak melulu aman. Kadang-kadang ada begundal yang anti dengan pengidap sindrom ludens seperti saya.Setelah mengajukan cuti untuk mendaftar ulang, Kak Indri memeluk saya erat. Ia mengucapkan lagi ucapan selamat karena berhasil diterima di sekolah yang baik dengan beasiswa. Saya tidak akan lupa pertemuan pertama kali di depan toko itu saat saya masih kecil. Kak Indri datang dengan sebuah handuk."Kamu sakit dan dengan matamu yang kuning itu, tidak akan ada rumah sakit yang akan merawatmu," katanya waktu itu dengan wajah serius. Saat itu karena ketakutan, saya memilih berlari.Saya tidak tahu berapa lama saya berada di jalan, dipikul, dihina dan didera. Saya tidak sendiri namun mereka tid
[gerbong masinis] "Gila! itu binatang apa!?" Jimi terkejut yang melihat dari kejauhan perubahan bentuk Contus menjadi besar. "Jimi. Tunggu sebentar, mari kita pikirkan strategi," ajak Hanuman, namun kali ini tangannya menepuk pundak Jimi. "Hanuman, kamu sudah mau melihat ke arah gue?" Jimi senang merasakan ada perubahan dalam hubungannya dengan Hanuman. "Kita kesampingkan itu dulu, anggap dengan kekuatanmu, keberadaan saya semakin tebal dan makin mudah dirasakan," balas Hanuman. "Kita berhasil mengulur waktu, tapi kereta ini membawa banyak sandera. Contus pintar dengan menempatkan seluruh sandera di gerbong depan," sambung Hanuman. Jimi menidurkan Kani yang rupanya pingsan karena kelelahan, dahinya berkeringat namun nafasnya stabil. ia juga melihat gerbong depan yang memang dipenuhi cukup banyak penumpang yang seluruhnya tertidur atau pingsan. "Contus tahu jika kita memotong gerbang depan, maka gerbong di belakangnya akan berhe
"Panas banget!" ucap Ayu yang tidak terasa membakar sedikit maskernya. Yongki dengan cepat merangkul dan menutupi wajah Ayu. Kida juga merasakan rasa panas namun memilih menahannya karena ada tugas yang perlu ia lakukan saat semburan api ini berkurang."Jimi! tangkap ini!" Ayu melempar sebuah kapak besar yang tadi ia gunakan untuk mengalahkan Mustang. Ia tidak tahu di mana Jimi berada karena saat ia melihat ke arah gerbong dimana Contus berada, ruangan itu masih diselimuti api yang membara.Berkat serangan Ayu terakhir, Contus masih bergerak sangat lambat dalam merespon serangan api Jimi. Namun sepertinya serangan api Jimi tidak berpengaruh pada Contus."Dapat! Terima kasih mba Kida!" teriakan Jimi terdengar jelas oleh Kida, menghapus kekhawatirannya seketika."Yuda!" Teriakan Jimi terdengar kembali, kali ini disusul oleh suara tebasan yang membelah daging dan erangan Contus."Teriakan Contus!? Jimi mampu melukai Contus!" seru Yongki. Ia kemudian m
Yongki menunjukkan kapasitasnya dalam mengatur strategi. Meski kemampuan Contus yang masih misterius pasca serangan terakir, Ia berusaha merakit informasi yang dimiliki seluruh pihak. Seluruhnya memperhatikan secara serius, Ayu sesekali melirik melihat kepulan asap yang sesekali bergerak di arah Contus."Mba Kida, engga lebih baik kamu ikut bergabung di sini?" tanya Jimi yang memperhatikan Kida malah asik mengeluarkan dan menginvetarisasi bermacam senjata yang ia bisa keluarkan entah dari mana."Tinggalkan dia, Jimi. Kida mungkin adalah sangat sedikit dari mangata yang mampu melakukan banyak hal secara sekaligus," ucap Yongki. Jimi terpukau dengan pernyataan itu, namun ia mencoba meledek."Baik bang. Saya perhatikan wajah Mba Kida yang sedang serius sangat cantik juga.." celetuk Jimi. Tiba-tiba sebuah pisau besar terjatuh dari pegangan Kida, membuat seluruh orang menoleh kecuali Ayu yang membuang muka dan menahan tawa."Haah.. Sudah, jangan ganggu seniorm
Setelah mendudukan Kani kembali, Jimi mencari sebuah kotak berisi mesin atau sejenisnya. Ia menemukan sebuah kotak panel di kabin masinis. Dengan sekali tarikan, kotak panel tersebut terputus dari kabel yang mengikatnya. Jimi juga mematahah sebuah batang besi pegangan."Ok! sudah siap semua. Ini harusnya cukup," pikir Jimi. Keringat membasahi keningnya, ia paham waktu dan momennya semakin kritis. Jimi membopong kembali Kani yang masih lemas dan memapahnya hingga melintasi satu gerbong di belakang gerbong yang berisi sandera."Obor!" dengan dipusatkannya semburan api pada tangan, tongkat besi yang digenggam Jimi kini diselimuti api hitam, namun tidak melelehkan benda tersebut."Jimi, sebelum gue pingsan lagi. Dengarkan ini baik-baik," ucap Kani dengan nada bicara yang pelan dan lirih."Simpan untuk nanti saja. Bang Yongki juga sudah berpacaran dengan Mba Ayu," ucap Jimi ringan. Kani terbelalak mendengar ucapan Jimi, ia tidak menyangka mendengar hal tersebu
"Gue juga ada teman yang seperti batu di kelas, Ayu," celetuk Yongki. Ayu mengangguk dengan wajah sok serius. "Benar juga, di kelas saya juga ada. Tapi apa orang seperti itu bisa ditaklukan hatinya?" balas Ayu. Yongki menggeleng pelan seperti hilang harapan. "Mungkin bisa, tapi sulit. Bisa jadi wanita itu harus menunggu bertahun-tahun. Tapi siapa yang tahu." kini giiran Jimi yang manggut-manggut. "Jadi memang menjadi seorang perempuan itu sulit apalagi kalau pria yang ia sukai.." belum selesai Jimi bicara, Kida sudah terlanjur emosi. "Berisik! kalian semua berisik! Gue ga mau ikut penugasan bareng kalian lagi!" omel Kida dengan kedua tangan yang terkepal. Bukannya takut, namun Yongki dan Ayu malah terkekeh. "Ok, ok. Gue minta maaf. Gue engga ngomong lagi. Hi hi. Ayu, sekarang kita fokus," ucap Yongki dengan nafas yang berusaha ia atur agar tawanya bisa hilang. Ayu masih membuang muka dan cekikikn kecil. Jimi menunduk berusaha menghindari mata
[Stasiun Mangga Besar] "Gue harus menyusul ke Monas, semoga mereka sudah menemukan letak into terak Contus," batin Kani. Ia sedang berlari menyusuri tangga untuk keluar dari stasiun. Walaupun ia telat, Kani masih bisa memberitahu yang lain soal inti terak tersebut. Saat ia sampai di di depan stasiun ada pengendara motor yang mengebut dan berhenti tepat di depannya. Seluruh yang sedang menunggu mendadak menjauh. Pengendara motor dengan pakaian serba gelas itu menawarkan helm kepada Kani, namun Kani enggan menerimanya. Sadar ada yang salah, pengendara itu membuka kaca helmya dan melihat Kani dengan mata kuningnya. Kani segera menyambar helm itu dan naik di jok belakang. Tanpa basa-basi pengendara itu memacu motornya dengan sangat cepat meninggalkan Stasiun Mangga Besar. "Kita kemana?!" tanya pengendara itu. "Gambir bang! Contus akan menyerang tempat penyimpanan mineral galian di ruang bawah tanah Monas!" balas Kani, ia kemudian mengelua
Tidak ada waktu, Contus menaruh kepercayaan diri yang tinggi pada daya tahan tubuhnya. Ia mengayun tubuh Ayu dan dan memukulnya kepalanya. Sekejap guncangan keras di kepala membuat perempuan itu setengan pingsan, kesadaran hampir hilang total. "Ayu!!" Teriakan Yongki semakin samar di telinga Ayu. Contus belum juga tenang karena ia harus berkonsentrasi penuh menerima serangan harpoon Yongki. "Yong.. ki? Ah, sebentar lagi efek merpati akan hilang. Saya harus membantu Yongki.." gumam Ayu. Kesadarannya sudah makin hilang, darah mulai mengalir dari hidungnya. Yongki sudah terbebas dari injakan Contus namun hanya salah satu lengannya yang dapat ia gunakan. Ayu memperhatikan dengan baik bagaimana Yongki berusaha keras mengerahkan kekuatanya untuk menggerakan harpoon itu menembus dada Contus. Nama Ayu terus diteriakan Yongki berulang-ulang, padahal saat Yongki melepas nafasnya kembali, darah kembali memuncrat dari dalam mulutnya. "S