Share

Standar Esensi

Oktober 2004, Presiden ke-enam Republik Indonesia dilantik, diawali dengan pelantikan anggota DPR dan diakhiri dengan Pelantikan kabinet Republik Indonesia Bersatu. Tersirat harapan dari Presiden baru tersebut karena beberapa minggu sebelumnya, pejuang HAM, Munir tewas di dalam pesawat. Penerbangan tujuan Singapur menuju Amsterdam tersebut menjadi penerbangan terakhir Munir. Pada bulan-bulan tersebut, kondisi ekonomi sosial nasional tergolong stabil namun diintai lingkaran bencana.

Bulan itu tergolong kering dan siang hari merupakan waktu yang tepat untuk menjemur pakaian. Namun demikian, awal bulan Oktober merupakan peralihan ke awal musim penghujan, sehingga sempat beberapa kali hujan dengan intensitas ringan, kondisi inilah yang menambah hawa lembab dan panas, terutama di dalam kelas.

"Hilmi, hawa panas begini dan lo masih berseragam lengkap dengan ujung kemeja dimasukkan celana" Afif berkomentar sambil meletakkan kepalanya di atas meja.

"Ini mata pelajaran favorit gue. Membangun image rapi dan disiplin itu penting" balas Jimi yang kemudian memperbaiki kerah kemejanya.

"Nilai tertinggi lo di Geografi cuma 7, sementara mata pelajaran lain 6. Ga lantas kemudian Geografi jadi pelajaran andalan lo" balas Afif sambil mengoreksi dosa-dosa Jimi.

"Proses itu ga semuanya dilihat dari nilai tertinggi, yang penting perkembangannya naik" Jimi tidak mau kalah.

"Penjilat"

"Pemalas"

"Mata setan!"

"Bangsat! dapat panggilan aneh dari mana lo!?" Jimi kemudian bangkit dari duduknya.

"Galuh, anaknya mba ulfa penjual nasi rames di kantin!" balas Afif yang ikutan bangun.

"Nah! Galuh juga masih SMP! kenapa ga lo tanya nyokapnya!? dasar sister complex!" serangan yang membuat Afif terpojok.

"Argh! jangan liatin gue lama-lama! mata lo membakar pahala gue!"Afif menggerakkan tanganya seolah-olah menutupi pandangan Jimi.

"Urgh! Rasakan! Mati sekalian!".

"Sialan! berisik!" secara bersamaan dua orang memukul kepala Jimi dan Afif dengan gulungan buku pelajaran. Mereka adalah Bram si ketua kelas dan Herman si sekretaris kelas.

 "Berisik lebih dari 70 desibel adalah pelanggaran pidana, kalian berdua lebih baik pindah ke lapangan parkir" Ucap Bram yang berpostur tinggi besar dan berambut cepak.

"Menembakkan laser dengan mata setan adalah perbuatan ilegal di planet bumi" Timpal Herman.

"Haaahh.. kenapa harus ditahan dua orang aneh ini lagi" ucap Jimi dan Afif dalam hati.

Begitu keseharian kelas yang dihuni Jimi dan Afif, ramai dan hidup karena setiap muridnya memiliki hobi dan ciri khas masing-masing. Jimi dan Afif meski baru tiga bulan saling kenal, sudah mendapat cap tukang berisik di kelas oleh teman-teman kelasnya. Sering terlibat cek-cok yang tidak penting, sering mendasari adu mulut di antara mereka berdua.

Mendekati pelajaran terakhir, Afif mulai memperhatikan ruang kelasnya. Mata pelajaran terakhir yang kebetulan kosong, dimanfaatkan oleh murid-murid untuk mengerjakan pekerjaan rumah. di dalam kelas itu ada dua kursi yang kosong, satu milik Soca yang terluka semalam, sedangkan satu lagi milik Kani yang katanya tidak hadir karena sakit.

"Hilmi, apa menurut lo Kani juga anggota Agora Beak?" tanya Afif setengah berbisik.

"Mending lo diam saja, karena aturan pertama adalah jangan bicara apapun itu disini" balas Jimi yang juga setengah berbisik.

Afif kecewa dengan jawaban kawannya itu, ia merasa Jimi juga memiliki pandangan tersendiri untuk rekan-rekan di kelasnya dan setidaknya ia bisa sedikit menggali info tersebut. Namun, kemudian Jimi menulis sesuatu di sobekan kertas kecil dan memberikannya ke Afif. Begitu ia buka sobekan kertas tersebut, Afif hanya dapat tersenyum kecut. Tulisan tangan itu adalah "tahan, nanti malam kita pesta".

Malamnya Afif dan Jimi bertemu kembali di sebuah persimpangan yang memisahkan rumah mereka dari jalur utama sekolah. Dibuka obrolan ringan, mereka sudah siap dengan alasan yang dibutuhkan kepada wali mereka. Sinar rembulan yang sama terangnya dengan kemarin menemani langkah kaki menuju sekolah.

Sesampainya di depan sekolah, mereka kembali menggunakan akses pagar utama yang bersebelahan pos penjagaan. Tanpa menemui halangan yang berarti mereka dapat masuk ke lingkungan sekolah setelah menunjukkan mata mereka pada petugas jaga. Sambil berjalan, Jimi merasa ada yang janggal dengan dua petugas jaga tersebut, namun ia memilih tidak mengindahkan dan segera menuju ke El-dorado.

Dari kejauhan di lapangan depan El-dorado terlihat beberapa orang yang datang dengan menenteng tas punggung atau jinjing. Mereka berjalan memasuki pintu masuk utama El-dorado yang terletak persis muka tengah bangunan. Afif dan Jimi mengikuti mereka dan tidak lama mereka ikut dalam antrian yang berhenti di tengah-tengah bangunan.

Karena tidak ada yang berbincang atau berbicara, Mereka berdua juga ikut diam. Lorong sepanjang itu dipenuhi dengan ruangan-ruangan dengan papan nama ekskul. Tidak lama terdengar bel pintu berbunyi beberapa kali. Barisan yang terdiri dari dua orang di setiap deret kemudian perlahan bergerak maju. Selangkah demi selangkah hingga memasuki sebuah pintu yang memajang nama ekskul majalah dinding di ventilasinya.

Setelah masuk pintu tersebut, mereka masih ikut berbaris melewati sebuah ruangan yang berisi lemari, meja dan beberapa kursi, persis ruang kerja. Barisan tersebut masih melangkah hingga masuk ke sebuah pintu lain di ujung ruangan, pintu yang di bagian atasnya ditempeli tulisan Arsip. Namun belum sempat mereka masuk pintu tersebut, lengan mereka berdua ditarik hingga keluar dari barisan.

"Kalian mau kemana? gue sudah panggil dari tadi" suara yang mereka kenal, ini suara Yongki.

"Gue ga dengar panggilan apapun bang" jawab Jimi keheranan.

Yongki kemudian mempersilahkan mereka duduk di kursi yang ada di ruangan ekskul itu. Di sebuah meja yang dikelilingi empat buah kursi, Afif dan Jimi mengapit Yongki. Rombongan barisan itu masih terus berjalan perlahan-lahan tanpa menghiraukan mereka bertiga.

"Baik, jadi kalian memilih masuk kolam darah, gue ucapkan selamat, tapi sebelum mulai kegiatan tolong dengarkan saya terlebih dahulu" Yongki kemudian mengambil dua paket kotak yang berada di bawah meja sambil menyerahkan kepada mereka berdua.

"Ada dua biro utama di dalam Agora Beak. Pertama adalah penambang, tujuan mereka murni untuk mencari uang, dalam jumlah tidak terhingga. Sumbernya? mineral yang kalian lihat kemarin di conveyor belt. Apa salah? tidak, karena mereka yang membantu kegiatan biro satunya untuk mencapai tujuan utama organisasi ini" Yongki mulai menjelaskan dengan nada yang tidak terlalu jelas sehingga Afif dan Jimi kemudian mendekatkan diri mereka ke arah Yongki.

"Tujuan utama organisasi ini? Maksud lo Agora Beak, bang?" tanya Afif.

"Betul. Misi Agora Beak hanya satu, yaitu memusnahkan Terak" jawab Yongki, jawaban yang dicari-cari oleh Jimi.

"Terak yang selama ini muncul di kota melewati sebuah portal besar. Portal itu ada di lapangan belakang sekolah, jangan tanya saya kenapa bisa, dengarkan dulu. Portal itu terbuka selama tiga hari purnama, selama lima jam, dari pukul 10 malam hingga 3 dini hari" Yongki menceritakan sambil menggambar pola di atas meja.

"Tanah lapangan itu nanti akan berubah menjadi mineral dan membuka portal untuk Terak-terak tersebut. Proses itu terjadi sebanyak tiga kali selama masa tiga hari purnama. Teori kami adalah dengan menggali lapisan mineral tersebut akan menuntun kami ke portal Terak berasal, namun lapisan itu sangat tebal".

"Setebal apa bang?" tanya Jimi antusias.

"Sepuluh meter dan belum tembus". sebuah suara yang muncul di antara Afif dan Jimi mengagetkan mereka berdua.

"Kenalkan, dia Damar, kepala bagian galian dari Biro Penambang" Yongki kemudian memperkenalkan Damar. Tampilannya cukup nyentrik dengan rambut mohawk berwarna merah kekuningan, tindikan mewarnai dua daun telinganya, dan ia menggunakan shadow mata.

"Malam bang, Gue Jimi dan ini Afif" ujar Jimi berusaha beramah tamah.

"Bang, lo disekolah ga kena panggilan guru BK?" celetuk Afif yang sekejap disambut tatapan tajam Damar.

"Damar, Stop, dia belum tahu aturannya" sergah Yongki menghentikan, namun Afif keburu menyilangkan lengan di depan wajahnya seolah mengantisipasi amarah Damar.

"Lebih baik begitu, jika diteruskan akan membahayakan dirinya sendiri nanti" tandas Damar.

Yongki kemudian melanjutkan penjelasan yang tertunda tadi. Alasan mendatangkan Damar adalah sebelum masuk, seluruh murid akan dihadapkan pada pilihan akan bekerja sebagai apa di Agora Beak, Mangata atau Penambang. Batas pembedanya sangat tipis, yaitu uang. Seluruh murid yang berpartisipasi dalam kegiatan penambangan maupun pembasmian akan mendapatkan bayaran yang jumlahnya tidak kecil, karena masing-masing memiliki peran, maka pilihan apapun yang diambil seorang murid tidak akan jadi soal.

"Jadi jika disimpulkan. Saat portal terbuka dan Mangata berusaha membasmi Terak, penggali akan mengekskavasi mineral dari portal tersebut hingga menemukan gerbang menuju lokasi asal Terak, bukan begitu?" Ujar Afif berusaha menyimpulkan.

"Kurang lebih demikian" jawab Yongki.

"Memang berapa imbal jasa mangata dan penambang sampai-sampai penjurusan dilakukan sebelum masuk organisasi, bang?" tanya Jimi.

"Per malam, Penambang dibayar 12 juta, sementara mangata 8 juta" jawab Damar singkat. Afif dan Jimi terkejut mendengar jawab itu, jumlah uang yang sangat besar apalagi jika di bayar per-malam selama tiga malam.

"Namun, insentif mangata untuk sekali pemusnahan adalah 10 juta, sementara insentif penambang 50 juta" Yongki menambahkan, sekali lagi angka yang menggiurkan dan membuat Afif dan Jimi terkesima.

"In,insentif buat apa bang?".

"Bagi mangata adalah insentif pemusnahan per kepala Terak, tiap malam pasti akan dapat. Sementara insentif penambang..." Yongki diam dan melirik ke arah Damar.

"Bagi penambang, insentif menemukan Sovanite" sambung Damar.

"Sovanite?".

"Sovanite adalah mineral yang menjadi pondasi kegiatan Agora Beak. Seluruh perlengakapannya dilapisi, dilebur bersama dan atau dilengkapi sovanite. Namun terakhir mineral itu ditemukan tahun 2001 sebanyak 500 kilogram dan jumlahnya terus berkurang" ujar Damar sambil mengangkat salah satu kakinya ke atas kaki yang lain.

Jimi sadar secara tidak langsung Yongki dan Damar memainkan perang psikologis dengan menghadirkan fakta insentif dan bentuk pekerjaan yang sempat mereka lihat. Meski, satu sama lain tidak saling serang, Jimi yakin ada perang dingin yang disembunyikan dengan rapi sehingga tidak muncul ke permukaan. Bagi orang awam jelas angka rupiah yang diterima akan menutup mata dan memilih jalan yang mudah, namun tidak bagi Jimi, ia tekankan itu dalam hati.

"Apa sudah ada anggota yang meninggal?" tanya Affi mengangetkan semuanya.

"Ada baik dari penambang maupun mangata" jawab Damar.

"Berapa orang? statistiknya" Afif tidak mengendurkan tensi pertanyaannya.

"Selama satu tahun terakhir, Biro Mangata kehilangan lima orang sedangkan Biro penambang kehilangan sepuluh orang. Statistiknya, Mangata kehilangan orang setiap 10 minggu, sedangkan penambang kehilangan orang setiap 72 jam dalam periode satu bulan" Damar memincingkan matanya menatap Afif.

"Affi, lo merencanakan apa?" ujar Jimi dalam hati, meski ia juga tidak bisa menutupi cukup terkejut mendengarkan angka kematian tersebut. Dalam permainan catur, Afif terlihat memainkan teknik Zugzwang[1].

---

Glosarium;

[1] Zugzwang; Teknik catur yang yang berasal dari bahasa jerman yang berarti memaksa lawan untuk menjalankan bidak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status