Share

Cukup sampai disitu!

Pertanyaan macam apa itu? jawabannya sudah jelas kan, kegiatan kalian asik, pukul-pukulan dengan monster. Lagipula kalian menggali sesuatu dari tanah, jelas ada yang kalian kumpulkan. Hal misterius itu akan menarik siapa saja untuk bergabung, bukan? Afif menggerutu dalam kepalanya, ini juga yang menjadi landasan kenapa ia enggan mengikuti ekskul yang garis birokrasinya cenderung kaku.

"Saya tidak ingin melihat anak lain menjadi yatim piatu karena ulah Terak" Jawab Jimi singkat.

Mendengar jawabannya itu, Listu tidak segera merespon dan melirik ke arah Afif. Bersilangan dengan Jimi, Afif bukan pria yang begitu saja menyebutkan resolusi diri hanya karena antusias sesaat. Namun jawaban Jimi juga yang perlahan membuka hati Afif untuk berterus terang dan tidak sekedar ikut-ikutan.

"Saya tidak ingin dianggap penyakit oleh adik perempuan saya karena sindrom ini" akhirnya Afif turut menjawab singkat.

"Hah. naif juga kalian" balas Listu. Ucapan yang menyakitkan, namun hanya dibalas bisu oleh mereka berdua.

"Lo ingin balas dendam, sementara diri lo ingin pengakuan. Naif dan bisa saja nanti kalian berbalik jadi musuh kami. Tapi, itu jawaban yang jarang kami dapat dapatkan, apalagi kalian sudah sempat melihat-lihat mineral itu" sambung Listu, ia kini berkacak pinggang, raut wajahnya terlihat memikirkan sesuatu namun ia menahannya.

"Hm.. Mba.. Mau tanya" Afif memberanikan diri bertanya, meski ia sepertinya tidak yakin dengan pertanyaannya.

"Tanya dengan berlutut! Sampah!" hardik Listu.

Kali ini tanpa membuat waktu, Afif segera berlutut dan kemudian menyampaikan pertanyaannya. Jimi terkejut melihat Afif yang benar-benar berlutut padahal sebelumnya mereka berhasil menahan diri.

"Apa mba sudah punya pacar!?" tanya Afif dengan nada tinggi seolah-olah pertanyaannya itu begitu lama ia simpan.

"He he he, belum diterima saja sudah berani ngajak jalan ya.." Listu memandang Afif dengan mengangkat sedikit kepala seolah-oleh memandang dengan penuh nista, begitu juga Jimi yang kaget dengan pertanyaan Afif.

Afif dan Jimi kini cukup khawatir karena menyaksikan sendiri kemampuan individu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Sekelebat Listu juga melirik Jimi dengan tatapan yang sama seolah menantangnya untuk mengatakan hal yang sama dengan Afif.

"Kapten. Hentikan. Ini saya bawakan formulir dan pulpennya" tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang sudah berdiri di belakang Listu, perawakannya tidak begitu tinggi namun wajahnya dipenuhi kecemasan.

"Ck, seperti biasa, selalu mengagetkan ya. Benso, serahkan kepada mereka berdua, dari gue cukup, mereka lulus" Ujar Listu seraya pergi meninggalkan mereka bertiga.

".. Dan letakkan dokumen-dokumen tersebut di meja gue" tambah Listu. Ketiga anak remaja itu benar-benar memperhatikan cara berjalan Listu hingga akhirnya Benso sadar dan memanggil mereka berdua.

"Ok, sudah cukup menatap Kapten Listu-nya, silahkan isi formulir, dan tanda tangan di bawah ini" Benso tergopoh-gopoh membagikan formulir yang cukup tebal dan dua buah pulpen.

Afif tidak membaca isi lembar formulir itu namun hanya memain-mainkannya sambil sesekali bertanya, sedangkan Jimi mencari bagian mana yang harus ia isi. Benso segera menjawab dan membimbing mereka mengisi formulir tersebut. Rupanya cukup singkat, hanya perlu menulis nama panjang dan beberapa kali tanda tangan.

"Yang ini perlu ditandatangani juga?" tanya Afif yang sudah lebih dahulu menyelesaikan formulirnya.

"Cukup! sampai disitu!" seru Ari yang seraya mengambil formulir tersebut dan mengecek apa ada kolom tanda tangan yang salah di isi.

"Kok ada satu lembar yang menggunakan kop kementerian? kalian kerja buat pemerintah?" Tanya Jimi penuh curiga.

"Kalian akan tahu jawabannya saat bergabung. Intinya organisasi ini hanya bekerja sebulan maksimal lima hari dan tidak ada waktu menjawab pertanyaan kalian yang tidak ada kaitannya dengan teknis" jawab Ari dengan cepat.

Mendengar jawaban itu Jimi jadi malas untuk bertanya kembali dan memilih diam. Namun, Afif yang sedari tadi memperhatikan ujung conveyor belt yang masuk ke sebuah tabung sebesar mobil kemudian mengacungkan jarinya ke atas.

"Pak Guru, saya ingin bertanya!" tanya Afif cepat.

"Saya bukan guru, nama saya Benso Kastiawan dan saya kakak kelas kalian di tingkat dua" balas Ari.

"Dua pertanyaan, satu teknis dan satu non teknis".

"hm!" Benso seperti menyanggupi.

"Apa yang harus kami lakukan selanjutnya? dan bagaimana Mba Listu dapat mempengaruhi kami berdua?" tanya Afif menyesuaikan kecepatan bicara Ari dan Jimi tahu jika Afif sedang meledek.

"Kalian datang kembali besok malam jam tujuh. Setiba di pos satpam cukup tunjukkan sindrom ludens kalian" Jawab Ari.

"Baik!" Jawab mereka berdua bersamaan.

"hm.. untuk kemampuan Mba Listu ya. Sejauh ini yang kami tahu hanya namanya, binatang jalang[1], efeknya membuat lawan bicara menjadi iba dan over symphaty. Hanya itu" sambung Benso lagi yang berusaha mengingat-ingat.

"Kami sudah bisa pergi?" tanya Afif.

"Iya, kalian sudah bisa pergi" jawab Benso datar, Namun mereka berdua seperti melupakan sesuatu.

"Ga ada larangan bang? seperti apa gitu?" Jimi keheranan, penutup ini seperti bukan yang ada di dalam benaknya.

"Oh! iya jelas, jangan membicarakan apapun tentang ini di luar jam kerja. Jika kalian dengan sengaja atau tidak, membocorkan satu halpun di luar sana, akan ada yang menjemput kalian" Benso benar-benar membuat jantung mereka berdua berdegup kembali, seolah ada yang mereka lewatkan namun sekarang telah terpenuhi.

Afif dan Jimi kemudian pamit pulang. Saat mereka pergi meninggalkan Benso, di belakangnya kembali terlihat hilir muduk pekerja tambang, sepertinya mereka berganti shift. Sama seperti pekerja perempuan yang menegur Jimi, Benso juga tidak serta merta langsung pergi setelah Afif dan Jimi melangkah jauh. Tatapannya yang panjang sungguh membuat tidak nyaman.

"Gila ya, masih dilihatin coba, padahal kita serius mau pulang" celetuk Afif sambil menyandarkan kepalanya di kedua tangannya di belakang.

"Tapi gue ga merasakan apa-apa dari pandangan Bang Ben, fif. Buat gue, kok ada perasaan empati saat mereka melihat ke arah kita yang berjalan pergi" balas Jimi.

Tanpa mereka sadari, saat pergi dari El-dorado, mereka melewati sisi gedung yang lain. Sisi gedung yang lokasinya lebih dekat dengan pos keamanan. Sepertinya karena mereka terbiasa melewati gerbang sekolah untuk pulang, maka saat mengobrol, alam bawah sadar mereka tetap membawa mereka ke pos keamanan.

"Oia, fif. Ada yang mau gue tanya. Kenapa saat melempar pertanyaan vulgar lo ke Mba Listu, lo sampai berlutut di depannya? Apa jangan-jangan.." belum selesai Jimi bicara, Afif segera memotong.

"Cukup! sampai disitu!" Seru Afif sambil menutup kedua wajahnya dengan dua telapak tangannya. Ia sungguh tidak menyangka hatinya mengirim sinyal untut berlutut di hadapan perempuan.

"Muka lo kenapa begitu!? Gue ga mikirim apa-apa! Sumpah!" Afif kembali menyangkal saat ia membuka telapak tangannya dan melihat ke arah Jimi. Wajahnya menunjukkan raut jijik dengan dahi yang berkerut.

"Arghh!!" Afif kalah dan memilih menjerit, menduga Jimi terlanjur mempercayai keyakinannya.

Begitu mendekati teras pos keamanan, dua orang bertubuh tinggi tegap sudah siap menghadang. Petugas satu berdiri dekat pagar siap mencegat, sementara temannya berdiri di depan teras. televisi menyala menyiarkan saluran berita dengan asbak yang dipenuhi putung rokok di depannya.

"Berhenti, dari mana kalian malam-malam begini di sekolah!?" hardik petugas keamanan yang sudah mencegat Jimi dan Afif.

Mereka berdua akhirnya menyadari jika mereka tidak melakukan hal serupa saat masuk, yaitu melompati pagar. Kini mereka harus berhadapan dengan penjaga sekolah yang wajahnya saja baru mereka lihat hari ini. Afif sudah membayangkan skorsing dan poin pelanggaran yang akan ia koleksi apabila penjaga ini melapor ke sekolah.

"Ja, jadi gini pak, kami.." Afif melangkah maju berusaha membangun negosiasi, namun Jimi justru menyela.

"Fif! tunggu!" Sela jimi yang kemudian berjalan maju dan menatap dalam-dalam wajah petugas keamanan itu.

Tidak berapa lama, petugas itu mengangguk dan meliirik ke arah Afif yang rupanya sudah mengenakan kacamatanya. Afif kelihatan bingung saat melihat ke arah Jimi dan petugas tersebut yang telah menatapnya juga. Ia berusaha memahami dan akhirnya melepas kacamatanya. Menatap mata petugas keamanan itu dalam-dalam. Perasaan takut dan gelisah terpancar jelas di wajah dan desahan nafasnya.

"Baiklah. Silahkan lewat" ucap petugas keamanan tersebut seraya meninggalkan mereka berdua dan kembali ke teras, duduk dan melanjutkan menonton acara di televisi bersama temannya. Afif dan Jimi yang lega, cara mereka berhasil digunakan. Tanpa bicara mereka segera membuka gerbang yang tidak dikunci dan keluar dari sekolah. Setelah cukup jauh dari sekolah, barulah mereka bicara satu sama lain.

"Kenapa tadi kita ga lompat pagar lagi!?" ujar Afif dengan nada setengah tinggi.

"Tapi setelah tadi, kita tahu kan cara masuk sekolah dengan aman besok malam" balas Jimi yang diiringi senyum puas.

"Ya sudah, sekarang kita kemana nih? Gue laper banget".

"Kita cari warkop, makan mie, terus cabut balik. Lagian baru jam dua.. Hah! Jam dua!" Jimi histeris saat tahu mereka sudah melewati tengah malam saat posisi di tengah jalan.

"Sudah, kita ke warnet saja. Makan dan numpang mandi di sana, menjelang fajar baru kita balik" usul Afif yang langsung disetujui Jimi.

Paginya mereka berdua sudah sampai di sekolah lagi dan menatap papan tulis dengan kantuk dan mulut menguap berkali-kali. Jika biasanya mereka langsung membuka buku pelajaran dan menyiapkan alat tulis, kali ini ingin rasanya kembali tidur karena lelah yang luar biasa.

"Afif, lo sudah ngerjakan PR Fisika hari ini?" teman Afif yang duduk di belakang, mencolek dan bertanya penasaran.

"Hm? PR? Fisika? Sudah kok, Endah, tinggal dikumpul ke Bu Anjas".

"Bu Anjas itu guru Biologi" ucap Endah.

"oh.. Hah! PR Fisika! Endah kenapa lo baru bilang sekarang!?" Seru Afif yang baru menyadari kebodohannya.

"Blok! berisik! nih salin punya gue saja" ujar Jimi sambil menyodorkan buku tulis dengan sampul rapi dan bertuliskan FISIKA di atasnya.

"Seriusan! Makasih banget, Hilmi! tapi kok buku lo rapi banget kaya punya cewe, jijik!" Afif sudah menerima buku tulis tersebut dan menimang-nimangnya.

"Cukup sampai disitu, gue batalin" balas Jimi santai yang ditolak Afif saat tangannya berusaha mengambil kembali buku tersebut.

Dari baris belakang remaja berisik itu, Endah yang hampir menawarkan buku tulisnya kepada Afif mengurungkan niatnya meski sebelumnya sempat terpukau dengan sampul buku tulis Jimi. Teman sebangkunya, Anita, menepuk pundaknya dan memberinya semangat.

---

Glosarium;

[1] Binatang jalang; bagian dari satu baris sebuah puisi karya Chairil Anwar "AKU" yang ditulis pada tahun 1943.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status