Share

PART 11

Kalimat itu berhasil membuat bulu kuduk Hana semakin gamang. Hawa di sekitar berubah menjadi dingin dan mencekam. Ketakutan Hana menjadi dua kali lipat. Selain karena wanita tua di depannya itu tetapi juga takut akan jawaban yang akan terlontar dari mulut Jonathan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa Hana juga penasaran akan hal itu dan menantikannya.

Jonathan menelan salivanya susah payah. Ia gelagapan. Ekor matanya melirik Hana sejenak lalu kembali bertatapan dengan sang ibu.

"Dia ..."

Baik Hana dan ibu Jonathan sama-sama saling menantikan kelanjutan dari kalimat Jonathan.

"Dian ..." Jonathan semakin kalut dan bingung. Tidak mungkin kan jika dia mengatakan, 'Dia pelacurku, Mom. Atau.. Dia pemuas nafsuku, Mom. Apalagi dia partnerku di atas ranjang, Mom. Hell! Gila saja jika sampai ia berani mengatakan hal seperti itu.

"Dia pacarku, Mom."

Hana membulatkan matanya.

Bukan, itu tadi bukan suara Jonathan. Itu suara … Billy! 

Pria itu tiba-tiba muncul dari belakang sambil membawa senyuman sumringahnya. Hana tersentak kaget saat Billy tiba-tiba berdiri di sampingnya dan menarik pinggangnya posesif.

Sementara itu di sampingnya, Jonathan tampak menghela napas lega. Sang adik menyelamatkannya. Tapi pada detik berikutnya raut Jonathan menjadi gelap saat melirik tangan mesum Billy yang sudah bertengger pada pinggang Hana. Oke, Jonathan akan membiarkannya kali ini saja.

"Dia pacarku, Mom," sahut Billy sekali lagi. Wanita paruh baya itu tampak masih belum percaya. Ia menatap ketiga manusia di hadapannya itu dengan curiga.

"Oh, ayolah nyonya Vanesha Rutter. Hentikan kecurigaanmu terhadap wanitaku ini. Mommy bisa lihat sendiri. Wajah Jonathan terlalu tua untuk wanita secantik dan seimut ini. Hanya aku yang cocok. Bukan begitu, Honey?" Billy menyenggol Hana dengan sengaja lalu melirik Jonathan sembari terkekeh.

Mata tajam Vanesha mulai memindai

tubuh Hana dari atas hingga bawah. Terlihat sangat jelas sekali dari wajah Vanesha ketidak sukaannya akan sosok Hana.

"Mommy lebih menyukai wanita-wanita jalangmu yang sebelumnya. Apa seleramu sudah berubah?" tanya Vanesha.

Billy memutar kedua mata jengah, "Aku menyukai wanita sederhana ini, Mom. Dia membuatku gila hingga tidak bisa bernapas di setiap detiknya."

Hoekk! Jonathan menatap Billy jijik. Dasar lebay! batin Jonathan jengkel.

"Segera atur pertemuan keluarga. Kita akan membicarakan perihal hubungan kalian. Sepertinya kamu sangat serius dengannya," gumam Vanesha kemudian.

"Siap, Mom. Bila perlu bulan depan kita adakan pertemuan keluarga. Aku sudah tidak sabar akan hari itu."

Jonathan melotot, wajahnya sudah merah, penuh peringatan kepada Billy. Melihat wajah sang kakak, semakin gencar-lah Billy untuk menggodanya. Ia tersenyum mengejek, "Ah, aku sudah tidak sabar. Membayangkan kami sedang menikah saja sudah membuatku bahagia luar biasa. Uhg, malam pertama kami pasti akan sangat panas." Billy menggerakkan pinggangnya maju-mundur sembari melakukan gerakan menampar bokong di udara.

"Kamu belum pernah ditampar?!" akhirnya Jonathan mengeluarkan apa yang ingin dikatakannya sejak tadi. Kepalanya hampir meledak melihat tingkah Billy. "Aku akan membunuhmu jika sampai kamu menyentuhnya," tegas Jonathan.

Vanesha mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa kamu harus marah, Jonathan? Billy berhak melakukan apapun pada kekasihnya." Vanesha menatap curiga pada Jonathan dan Hana. Ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan. Ia bisa melihat semburat emosi yang terpancar dari wajah putra sulungnya itu.

"Yup! Tidak seharusnya kamu marah. She is mine!" tangkas Billy sembari memainkan alisnya naik-turun. Ekspresinya seperti sedang meledek Jonathan karena tak mampu berkutik. Jonathan mengepalkan kedua tangannya erat.

Vanesha tahu ada yang tidak beres. Ia akan mencari tahunya nanti.

Setelah beberapa saat kemudian, Vanesha menatap Jonathan, "Mommy kesini karena ada sesuatu yang ingin mommy bicarakan denganmu. Tidak di sini. Ayo masuk." Vanesha-pun membalikkan badannya dan melangkah ke dalam.

Sebelum menyusul langkah Vanesha, Jonathan sempat menatap Billy sebentar. "Terimakasih atas bantuanmu. Tapi kita akan membicarakan hal ini nanti setelah urusanku dengan mommy selesai."

Setelah kepergian Jonathan, Billy berdecih. "Dasar. Manusia tidak tahu terima kasih." Ia lalu melepaskan tangannya pada pinggang Hana. "Jangan khawatir. Itu tadi hanya sandiwara saja. Aku hanya ingin menolongmu dari nenek sihir itu."

"Anda mengatai ibu Anda sendiri nenek sihir?"  tanya Hana heran.

Billy menghela napas. "Dia memang pantas disebut nenek sihir. Kamu belum tahu saja sifatnya bagaimana. Dia kejam. Inilah mengapa aku tidak mau tinggal serumah dengannya dan lebih memilih untuk tinggal di luar. Dia selalu melakukan sesuatu sesuka hatinya. Seperti halnya dalam dunia asmara. Dia akan mengatur rencana perjodohan dengan wanita lain. Dan itulah yang sekarang dialami oleh Jonathan. Untung saja aku bukan anak kesayangan. Poor Jonathan."

Hana mengernyit, "Perjodohan? Pak Jonathan dijodohkan?"

Billy mengangguk. "Tepat sekali. Kuharap kamu mempersiapkan hati dan mental. Ibuku akan bertindak jika kalian ketahuan olehnya. Berhati-hatilah."

***

"Apa yang ingin Mommy katakan?" tanya Jonathan setelah menghempaskan bokongnya di sofa, bersampingan dengan Vanesha namun agak jauh.

"Mommy sudah menetapkan tanggal pernikahannya. 12 Desember. Yang berarti satu bulan lagi." Vanesha tersenyum. "Tanggal yang cantik, bukan?"

Jonathan membelalak, "Apa? Kenapa dipercepat? Yang benar saja, Mom."

"Mommy tidak bercanda. Satu bulan lagi. Dan kalian akan menikah!" Vanesha menyaksikan wajah kusut sang anak, "why? Kamu keberatan?"

Jonathan membuang napas kasar. "Aku tidak keberatan. Tapi bukankah kita sudah mengadakan perjanjian sebelumnya? Aku akan menikah tapi waktu dan kapan berlangsungnya pernikahan itu harus aku sendiri yang tentukan."

"Bukankah lebih cepat lebih baik? Kalau menunggumu menetapkan tanggalnya mungkin Catherine tidak akan pernah menjadi menantu Mommy sampai Billy punya cicit," sahut Vanesha.

Jonathan mengusap wajahnya kasar. Mendengar nama Billy makin membuatnya kesal tingkat akut.

"Kenapa kamu harus mempermasalahkan ini? Biasanya kamu tidak akan peduli dan membiarkan Mommy mengatur segalanya. Apa karena..."

"Baiklah! 12 Desember." Jonathan menyela ucapan Vanesha. "Aku setuju. Pernikahannya akan dilaksanakan satu bulan lagi." Jonathan tidak ingin Vanesha menaruh curiga terhadap Hana.

Vanesha tersenyum puas. "Good, anak baik. Dua minggu lagi Catherine akan kembali dari New York. Persiapkan dirimu untuk menyambut dirinya dengan baik. Mommy akan mengatur makan malam yang romantis untuk kalian."

"Tidak usah repot-repot. Aku akan mengajaknya makan malam di rumah ini. Jadi tidak membuang-buang uang. Sekaligus dapat menghemat biaya untuk pernikahan nanti."

"No, Jonathan! Jangan terlihat seperti orang susah. Kita punya banyak uang. Dinner yang mewah tidak akan membuatmu jatuh miskin!"

"Tapi, Mom."

Vanesha menggelengkan kepalanya pelan, menandakan bahwa ucapannya tak dapat dibantah lagi. "Mommy sudah memesan tempat yang bagus dan elegan. Lagipula kalau di rumah ini terlalu banyak pengganggu. Pokoknya tidak ada bantahan, Mengerti?"

Usai berkata demikian, Vanesha segera memakai jaket bulunya yang tebal dan meraih tas miliknya yang berwarna metalik perak. Jonathan juga tidak paham dengan gaya busana Vanesha yang seperti wanita-wanita konglomerat Rusia, padahal busana itu tidak cocok digunakan di Indonesia yang cuacanya sangat berbeda dengan di sana.

"Kalau begitu Mommy pulang dulu. Ada banyak hal yang harus diurus." Vanesha hendak beranjak, namun langkahnya terhenti seketika kala mengingat sosok wanita muda tadi.

"Oh, iya. Gadis tadi siapa namanya?"

Jonathan mengangkat wajahnya, "Siapa?"

"Yang tadi bersamamu di depan pintu."

"Hana—" Jonathan menutup mulutnya seketika. Ia keceplosan! Dasar bodoh! Seharusnya ia tidak memberitahukan nama wanita itu kepada Vanesha. Ibunya itu pasti akan mengorek informasi tentang Hana dengan mudah. Bagaimana jika dia sampai mengetahui kalau Hana adalah seorang wanita miskin yang berasal dari pedesaan? Tentu ibunya itu tidak akan diam saja. Oh, tidak. Dasar Jonathan bodoh!

Vanesha mengangkat sebelah alisnya, "Ah, jadi namanya Hana." sebuah senyuman terbit dari sudut bibirnya. "Sampaikan salam Mommy kepadanya. Sepertinya tadi dia ketakutan saat melihat Mommy."

***

Billy meletakkan sebotol wine dan gelas berkaki di atas meja lalu mendaratkan bokongnya di ujung sofa. Ia menatap Jonathan yang duduk tidak jauh darinya. "Apa yang dikatakan oleh nenek sihir tadi? Ia mengancammu lagi?"

"Bukan mengancam, dia memajukan tanggal pernikahanku dengan Catherine menjadi bulan depan," sahut Jonathan sembari memijit pelipisnya, frustasi.

Billy tertawa, "Sabarlah. Ini cobaan menjadi anak sulung."

Jonathan mendelik tidak suka lalu merampas wine yang terletak di atas meja. Jonathan membuka botol tersebut dengan giginya. Lalu setelah itu meneguknya rakus, melampiaskan rasa kesal terhadap ibunya dan Billy. "Oh, iya. kita perlu meluruskan yang tadi," gumam Jonathan seraya menatap Billy.

"Apanya yang perlu diluruskan? Your penis?" ejek Billy.

"Aku serius!"

"Baiklah, baiklah. Katakan apa itu?"

Jonathan menghela napas sejenak. "Aku sangat berterimakasih karena kamu mau menolongku tadi. Tapi apa yang kamu lakukan selanjutnya sangatlah keterlaluan."

Billy mengernyitkan dahi, "Maksudmu?"

"Kamu pikir mom akan bermain-main dengan pernyataanmu yang gila tadi? Mempertemukan keluarga besar Hana dengan keluarga kita bulan depan? Kamu gila, hah?! mommy benar-benar akan menantikan hal itu, Bil! Aktingmu terlalu berlebihan!"

Billy terkekeh, "Ya sudah. Kalau sudah seperti itu mau bagaimana lagi."

"Apa maksudmu?"

"Kami akan menikah. Beres," jawab Billy santai.

"Sialan. Kamu pikir pernikahan itu main-main?"

"Aku tahu pernikahan itu bukanlah sesuatu yang main-main. Tapi aku serius. Jika memang aku harus menikahi Hana, aku akan melakukannya." Billy menjeda kalimatnya lalu menatap Jonathan lamat-lamat, "aku menyukai Hana."

Jonathan tersentak. What the ...

"Pernikahan itu harus didasarkan dengan cinta, Bil! Kamu bahkan tidak mengenal Hana dengan baik."

"Benarkah? Lalu apa kamu mencintai Catherine?" tanya Billy balik.

Jonathan memejamkan matanya, menyabarkan diri. "Itu hal yang berbeda, Bil."

"Sama saja, dude." Billy menatap Jonathan. "Bilang saja kalau kamu tidak rela Hana menikah dengan orang lain. Iya kan?"

"Bukannya tidak rela. Aku hanya tidak ingin Hana jatuh ke tangan orang yang salah." elak Jonathan.

"Itu sama saja. Sudahlah, akui saja kalau memang benar begitu, kupikir kamu harus menghentikan keegoisanmu itu. Kamu saja boleh menikah dengan orang lain. Kenapa Hana tidak boleh? Lagipula status kalian juga tidak jelas. Untuk apa meributkan sesuatu yang bukan milikmu?"

"Aku bilang tidak ya tidak!"

"Why? Memangnya kamu siapanya dia? Apa hakmu melarang adikmu yang terkena sindrom love at the first sight, ini Kak?" tanya Billy mendrama.

"Sialan, aku akan membunuhmu jika—"

"I don’t care. Kamu tahu? Semakin kamu melarangku semakin bulat pula keputusanku untuk menikahi Hana." Billy menyeringai.

Cukup. Jonathan tidak tahan. "Hana milikku, Billy! Milikku!" akhirnya Jonathan mengatakannya. Ya, Hana milik Jonathan. Sejak awal memang sudah begitu!

"Oh, benarkah?" Billy tersenyum mengejek. "Kalau begitu kontraknya sebentar lagi akan habis. Karena sebulan lagi kamu akan menikah dengan Princess Catherine," ledek Billy lalu segera berdiri. "Bye bye stupid Jo! Jangan menghalangi hubunganku dengan my lovely Hana." Billy melambaikan tangannya sengaja sebelum beranjak pergi.

"Shit!" umpat Jonathan kasar, tidak tahan dengan tingkah Billy.

Tawa Billy menggema, puas dengan reaksi kakaknya. "Sorry, Bung. Anda kurang beruntung. Saatnya mengalah dengan buaya buntung!" 

***

Sudah satu jam lamanya Hana terdiam seribu bahasa di dalam bathtub bergelut dengan pikirannya. Ucapan Billy tadi terus saja menggema di dalam otaknya. Benarkah Jonathan dijodohkan? Jika memang benar seharusnya Hana merasa lega karena kabar ini. Dia bisa bebas dari Jonathan.

Tapi kenapa hatinya tiba-tiba tidak berjalan dengan semestinya? Seharusnya Hana merasa senang! Bukan malah gundah gulana seperti ini. Rasa kecewa atas kabar itu seharusnya menjadi kabar gembira bagi Hana. Hana menggeleng, ini tidak benar. Hatinya mulai tersesat ke arah yang tidak benar. Hana harus meluruskannya kembali. Dia hanyalah pemuas nafsu Jonathan. Ia tidak boleh menyukai Jonathan. Ya, jangan sampai hal itu terjadi.

Hana terkejut ketika kamar mandinya terbuka. Jonathan melangkah masuk tanpa seizin Hana.

"Pak Jonathan?" panggil Hana gugup. Bagaimana ia tidak gugup? Raut wajah pria itu tampak menggelap. Nampak sekali bahwa ia sedang dalam kondisi hati yang tidak baik. Jonathan marah. Entahlah, Hana juga tidak tahu penyebabnya apa.

Ucapan Hana tak dijawab oleh Jonathan. Ia segera menanggalkan pakaiannya hingga tubuhnya kini telah telanjang bulat. Jonathan ikut bergabung ke dalam bathtub bersama Hana.

"Kemarilah," pinta Jonathan dengan nada rendah. Hana mengangguk dan mendekat ke arah Jonathan yang tengah bersender.

Jonathan memposisikan tubuh Hana membelakanginya. Tangannya mulai meremas payudara Hana yang tampak membesar akhir-akhir ini. Jika dibandingkan dengan saat pertama kali mereka melakukannya, ukurannya mungkin bisa diandaikan seperti lemon vs batok kelapa.

Sebuah erangan lolos dari bibir Hana saat jemari Jonathan menggoda putingnya dan bermain-main di sana. Jonathan mengecup daun telinga Hana dan menggigitnya pelan. Bibirnya turun pada ceruk leher Hana. Jonathan menghirup dalam aroma sabun yang menyegarkan pada tubuh Hana. Bibirnya mulai mengecup dan menggigit bagian sana. "Hibur aku," pintanya sensual.

Hana mengangguk patuh. Ia membalikkan badannya hingga berhadapan dengan Jonathan. Ditatapnya dalam mata Jonathan. Terbersit rasa sakit di dalam dada Hana saat Jonathan membalas tatapannya. Ucapan Billy kembali terngiang-ngiang di kepala Hana. Pak Jonathan di jodokan. Hana gelisah. Ingin rasanya ia menanyakan hal itu secara langsung kepada Jonathan. Memastikan apakah kabar itu benar adanya?

Tapi lagi-lagi Hana kembali tersadar akan posisinya. Ia tak berhak bertanya seperti itu. Dia bukan siapa-siapa dan ini bukanlah urusannya.

"Tunggu apa lagi?" Suara Jonathan membuyarkan lamunan Hana.

Baiklah. Hana akan melakukan apa yang menjadi tugasnya. Jonathan memejamkan matanya dan mulai menikmati sentuhan Hana. Hal itu tidak luput dari pandangan Hana. Ia bersumpah, wajah Jonathan menjadi dua kali lipat lebih tampan saat sedang memejamkan mata dan mengerang nikmat seperti sekarang ini. Dan Hana menjadi pelaku dari pemandangan yang ia kagumi ini. Mengetahui bahwa ialah pencipta suasana itu membuat Hana tersenyum senang. Ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuatnya ingin terus seperti ini.

Tapi tunggu, tunggu. Hana tersadar beberapa saat. Tadi ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlarut dalam perasaannya. Ia harus menghentikannya. Tapi apa ini? Kupu-kupu seperti sedang beterbangan di dalam perutnya. Perasaan apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status