Share

PART 12

Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya.

"Hoek.."

“Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!"

Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa.

"Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan.

Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan."

"Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia segera menyelimuti Jonathan dan mengambil minyak kayu putih di laci meja.

"Mau apa kamu?" Jonathan berteriak panik saat Hana membuka bajunya. Hana mengangkat alisnya melihat reaksi Jonathan seperti akan diperkosa saja. Sangat berlebihan.

Tanpa menjawab, Hana melanjutkan aksinya dengan menyingkap baju Jonathan sampai sebatas leher. Ia segera mengoles minyak kayu putih di sekitar perut Jonathan. "Sepertinya bapak masuk angin."

"Tidak mungkin setiap hari aku masuk angin."

"Benarkah? Hm, Penyakit macam apa ya yang sedang bapak alami ini? Sepertinya parah sekali sampai mual-mual setiap hari."

Jonathan memutar kedua matanya jengah, "Sudah berapa kali aku katakan. Ini bukan penyakit!" teriaknya kesal.

"Saya hanya khawatir saja." Hana mengdengkus. Setiap kali ia berbicara sesuatu yang tidak enak di telinga Jonathan, pria itu pasti akan menimpalnya dengan teriakan atau bentakan. Hana merasa sikap Jonathan sangat aneh akhir-akhir ini. Seperti sikap seorang ibu hamil yang sangat sensitif.

"Oh, My ..."

Hana dan Jonathan serempak menoleh ke arah pintu. Disana terdapat Billy yang sedang membulatkan matanya sambil membekap mulutnya, tidak percaya atas apa yang sedang ia lihat ini.

"Guys! What the hell is this?! Apa kalian habis bercinta?" tanya Billy seraya berjalan masuk.

Hana sontak mengangkat tangannya dari perut Jonathan. Mungkin karena inilah Billy menjadi salah paham. Posisi tubuhnya seperti seorang wanita yang hendak menggoda pria saja.

"Kami tidak—"

"Ya, kami baru saja selesai dan akan melanjutkannya sebentar lagi. Dan kedatanganmu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu telah menghancurkan segalanya!" potong Jonathan sebelum Hana berkata.

"Benarkah? Yes! Aku berhasil menghentikan kegiatan kotor kalian," pekik Billy senang, "setidaknya aku masih punya satu kebaikan untuk masuk ke surga.”

Jonathan melotot. sepertinya adik bungsunya ini sangat senang karena berhasil menghentikan aktivitas kakaknya. "Cepat katakan apa maumu?!" seru Jonathan tidak tahan berlama-lama menatap wajah sumringah Billy.

Billy terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bisa pinjam kartu debitmu? Saldoku sudah habis," mohonnya dengan nada memelas.

"Untuk apa?!"

"Aku ingin membeli sesuatu untuk pacarku yang akan berulang tahun seminggu lagi," jawab Billy.

"Pacar?" Jonathan mengernyit, "pacar yang mana lagi? Bukankah kamu sudah putus dengan semua jalang-jalangmu itu?"

"Ya, tapi kali ini berbeda. She is special."

Jonathan mendengkus, "Dasar tidak bermodal!" ucapnya lalu meraih dompet di atas nakas. Ia memberikan salah satu kartunya kepada Billy. "Sekarang cepat pergi dan jangan ganggu kami!"

Billy tersenyum, "Terima kasih, brother. Aku akan menggantinya suatu hari nanti," Billy menatap Hana. "Hana, kamu mau tidak keluar malam ini sama saya?" tanya Billy tiba-tiba.

Hana terkejut. Ia melirik Jonathan singkat yang sudah memberikan signal dari matanya untuk menolak. Ia lalu kembali menatap Billy. "Maaf saya tidak bisa," tolak Hana dengan rasa bersalah. Di sampingnya Jonathan sudah memekik girang dalam hati.

"Ayolah, masa semalam saja tidak bisa?" Billy berusaha membujuknya.

"Kamu tidak mendengarnya tadi? Dia tidak bisa!" sentak Jonathan. "Lagipula malam ini Hana akan menemaniku ke sebuah acara."

Billy membuang napas kasar. Ia lalu menatap Hana, "Baiklah, kalau begitu bagaimana dengan besok malam?" tanyanya lagi.

"Besok malam juga tidak bisa."

"Besok malamnya lagi?"

"Dia sibuk."

"Besoknya lagi?"

"Dia akan menemaniku ke suatu tempat."

"Aku meminta jawaban darinya bukan darimu, " protes Billy.

"Why? Aku berhak menentukan schedule nya karena ..." Jonathan tiba-tiba menarik lengan Hana posesif, "she is mine!"

"Argh! Fine!"  Akhirnya Billy menyerah dan segera beranjak keluar. Tidak tahan dengan sikap menyebalkan kakaknya barusan.

"Kita akan kemana malam ini, Pak?" tanya Hana.

"Ke ulang tahun pernikahan temanku." balas Jonathan.

***

"..love you so bad, love you so bad. Neol wihae yeppeun geojiseul bijeonae. Love you so mad, love you so mad. Nal—"

"Luna! Berhenti bernyanyi kalau tidak kamu akan membakar rambut Nona Hana," teriak Melisa yang tengah sibuk memilah pakaian untuk Hana di lemari.

Luna terkekeh, "Mianhe (Maaf). Tadi khilaf sih. Maklum, otak Luna isinya BTS terus," ucapnya lalu kembali fokus pada tatanan rambut Hana.

Hana hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah Luna. "Luna, berapa usiamu?" tanyanya.

"Eh? Nona tanya usia saya?" tanya Luna kembali memastikan.

"Iya."

"Usia saya delapan belas tahun."

"Benarkah? Kalau begitu usia kita sama. Jadi tidak usah memanggilku dengan sebutan nona atau semacamnya itu."

Luna tertawa kecil, "Tidak bisa begitu. Nona kan majikan saya di sini. Saya tidak enak memanggil Nona begitu. Nanti Pak Jonathan mengamuk," kekehnya.

"Tapi aku akan senang jika kalian memanggilku seperti itu. Derajatku sama seperti kalian, bahkan bisa dikatakan lebih rendah," gumam Hana. Ya, bagaimana tidak ia sebut rendahan. Ia hanyalah pemuas nafsu Jonathan. Bahkan derajat seorang pembantu lebih tinggi dari pelacur rendahan sepertinya.

"Jangan merendahkan diri seperti itu, Nona. Bagaimanapun juga anda tetap majikan kami," sahut Luna disertai senyuman di wajahnya. Mendengar hal itu, Hana hanya bisa memaksakan senyuman di bibirnya.

***

Jonathan dan Hana memasuki ballroom hotel dimana acara sahabat lamanya berlangsung. Jonathan sengaja menarik tangan Hana dan mengaitkannya di lengannya. "Jangan gugup," bisik Jonathan di telinga Hana. "Oh, ya, jangan sampai kamu memanggilku dengan embel-embel Pak atau Bapak. Nanti aku dikira membawa anak bukannya pasangan."

Hana mengangguk paham lalu menghela napas sejenak, menghilangkan rasa gugupnya karena baru pertama kali ini ia ke pesta yang dihadiri banyak orang. Hana mengeratkan cengkramannya pada lengan Jonathan. Tatapan-tatapan itu lagi. Hana membenci dilihat banyak orang.

"Tenang, mereka tidak mengejekmu. Mereka hanya sedang kagum melihat penampilanmu," bisik Jonathan lembut.

"Benarkah?"

"Hm ..."

Jonathan membawa Hana ke salah satu meja tamu yang sudah disiapkan. Hana mengedarkan pandangannya. Melirik orang-orang yang sedang berlalu-lalang.

"Hey, Dude!" Jonathan tersentak ketika merasa sebuah sentuhan kasar di bahunya. Ia segera menoleh ke belakang, sebuah senyuman mengembang dari wajah Jonathan.

"Hey," sapanya balik lalu berpelukan ala pria dengan pria itu. "Selamat atas ulang tahun pernikahanmu yang ke lima. Semoga langgeng dengan istrimu."

"Thank's," sahut pria itu.

Beberapa saat kemudian, pria itu lalu menarik bangku di samping Jonathan.

"Aku pikir kamu tidak akan datang." ucap pria itu.

"Dan seperti yang kamu lihat, ternyata aku datang," timpal Jonathan.

Pria itu mengalihkan pandangannya Pada sosok Hana. "Wow, ini yang baru lagi ya?" tanyanya.

"Begitulah," kekeh Jonathan.

Pria itu ikut terkekeh lalu mengulurkan sebelah tangannya kepada Hana. "Rian. Sahabatnya Jonathan," sambut pria itu ramah.

Hana membalas uluran tangannya. "Hana," balasnya lembut.

"Kami sudah bersahabat sejak di Harvard. Dia juniorku. Sayangnya otak Jonathan tidak setinggi Harvard," beri tahu Rian lalu menguraikan jabatan tangannya. Hana hanya bisa mengangguk seraya tersenyum kecil karena sebenarnya ia tidak paham dengan ucapan pria yang bernama Rian tersebut.

"Sudahlah, dia tidak akan tertarik dengan itu," sahut Jonathan dan Rian hanya bisa tertawa pelan. "Ngomong-ngomong, dimana istrimu? Aku tidak melihatnya.”

"Ada. Dia sedang menjaga si kecil yang nakal, berlarian kesana dan kemari mengganggu orang yang sedang berpesta."

Jonathan tertawa, "Dia sama nakalnya denganmu. Btw, apa adikmu juga hadir?"

"Hm. Tentu saja dia hadir bersama anak istrinya. Itu mereka." Rian menunjuk sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak tersebut yang tengah duduk di meja yang agak jauh dari mereka.

Jonathan mengikuti arah telunjuk Rian. "Istrinya cantik ya," gumamnya. Hal itu tak lepas dari pendengaran Hana. Ia menoleh ke arah keluarga yang tengah duduk di meja ujung sana. Wanita itu memang terlihat cantik. Hana menghela napas. Entah kenapa ia merasa minder berada di lingkungan yang dipenuhi wanita-wanita cantik ini.

"Istriku lebih cantik," timpal Rian.

Jonathan hanya bisa tertawa, "Baiklah baiklah. Istri kalian berdua memang cantik. Tuhan begitu baik, memberikan istri cantik dan sabar kepada pria brengsek seperti kalian."

"Itu namanya takdir. Tuhan menciptakan manusia untuk saling melengkapi. Itulah mengapa aku selalu mencintai istriku meski dia banyak kekurangan."

"Ya ampun, mellow sekali. Aku terharu," canda Jonathan.

Rian terkekeh, "Jadi kapan kamu akan menikah?" godanya.

Jonathan memutar kedua matanya, "Tolong jangan bahas itu di sini. Aku sensitif sekali mendengar hal itu."

Rian tertawa dan segera berdiri, "Aku hanya bercanda saja. Kalau begitu aku pergi dulu. Masih banyak tamu yang harus ku sapa. Have fun, Dude!"  Usai berkata demikian, Rian langsung melenggang pergi meninggalkan Jonathan dan Hana berdua.

***

Usai dari pesta, Jonathan tidak langsung mengajak Hana pulang. Ia membawa Hana masuk ke sebuah kamar hotel. Tentu saja Jonathan sedang ingin melakukan yang 'iya-iya', karena kalau mereka melakukannya di rumah, banyak setan-setan yang akan mengganggu aktivitas mereka.

Jonathan menindih tubuh Hana di atas kasur. Ciuman demi ciuman ia daratkan pada bibir dan leher Hana. Hana mendesah akibat remasan di payudaranya. Jonathan gemas sekali dengan buah dada Hana yang kian membesar itu. And he loves it!

Ia menangkup wajah Hana,  matanya saling bertemu dengan mata Hana, napas keduanya saling bertabrakan. "Hana …," bisiknya serak.

"Ya?"

"Aku rasa ada yang salah dengan diriku." Jonathan menatap mata Hana begitu dalam dan lembut.

"Maksud Bapak?"

"Kamu tidak menyadarinya? Aku perlahan berubah dari diriku yang sebenarnya. Kamu tahu karena siapa?"

Hana menggeleng.

"Karena kamu," jawab Jonathan begitu lembut lalu kembali memagut bibir Hana dengan mesra.

Ya, Jonathan sangat menyadari hal itu. Banyak sekali hal yang berubah dari dirinya setelah bertemu dengan Hana. Jonathan merasa dirinya sekarang menjadi lebih jinak dari dulu. Dan lagi yang membuatnya tidak paham sekarang, sejak kapan ia bisa berbicara se-nonformal ini dengan Hana? Jonathan yang awalnya dingin dan beku perlahan mulai mencair. Ia merasa ada warna baru yang sangat mencolok dan terang dalam hidupnya setelah kehadiran Hana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status