Hana membuka matanya saat mendengar suara ribut dari toilet kamarnya.
"Hoek.."
“Arghh ... sial! Kenapa aku harus seperti ini setiap pagi?!"
Hana menyingkap selimutnya dan segera berlari ke toilet, menyusul suara yang sedang tersiksa itu. Sesampainya di toilet, Hana dapat melihat Jonathan sudah berlutut di lantai dengan wajah menghadap ke dalam kloset duduk. Dilihat dari wajahnya yang sudah merah dan berkeringat saja, Hana sudah tahu bahwa Jonathan sangat tersiksa.
"Pak Jonathan? Apa bapak sedang sakit?" tanya Hana panik sembari mengelus punggung Jonathan.
Jonathan menggeleng, "Tidak. Dokter Leo mengatakan bahwa tubuhku baik-baik saja. Mungkin karena faktor salah makan."
"Oh begitu." Ia kembali mengelus punggung Jonathan dengan lembut, seperti yang pernah ibunya lakukan kepadanya saat ia mual-mual beberapa minggu yang lalu. Usai membantu Jonathan di toilet, Hana membawa Jonathan berbaring di kasur. Ia segera menyelimuti Jonathan dan mengambil minyak kayu putih di laci meja.
"Mau apa kamu?" Jonathan berteriak panik saat Hana membuka bajunya. Hana mengangkat alisnya melihat reaksi Jonathan seperti akan diperkosa saja. Sangat berlebihan.
Tanpa menjawab, Hana melanjutkan aksinya dengan menyingkap baju Jonathan sampai sebatas leher. Ia segera mengoles minyak kayu putih di sekitar perut Jonathan. "Sepertinya bapak masuk angin."
"Tidak mungkin setiap hari aku masuk angin."
"Benarkah? Hm, Penyakit macam apa ya yang sedang bapak alami ini? Sepertinya parah sekali sampai mual-mual setiap hari."
Jonathan memutar kedua matanya jengah, "Sudah berapa kali aku katakan. Ini bukan penyakit!" teriaknya kesal.
"Saya hanya khawatir saja." Hana mengdengkus. Setiap kali ia berbicara sesuatu yang tidak enak di telinga Jonathan, pria itu pasti akan menimpalnya dengan teriakan atau bentakan. Hana merasa sikap Jonathan sangat aneh akhir-akhir ini. Seperti sikap seorang ibu hamil yang sangat sensitif.
"Oh, My ..."
Hana dan Jonathan serempak menoleh ke arah pintu. Disana terdapat Billy yang sedang membulatkan matanya sambil membekap mulutnya, tidak percaya atas apa yang sedang ia lihat ini.
"Guys! What the hell is this?! Apa kalian habis bercinta?" tanya Billy seraya berjalan masuk.
Hana sontak mengangkat tangannya dari perut Jonathan. Mungkin karena inilah Billy menjadi salah paham. Posisi tubuhnya seperti seorang wanita yang hendak menggoda pria saja.
"Kami tidak—"
"Ya, kami baru saja selesai dan akan melanjutkannya sebentar lagi. Dan kedatanganmu tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu telah menghancurkan segalanya!" potong Jonathan sebelum Hana berkata.
"Benarkah? Yes! Aku berhasil menghentikan kegiatan kotor kalian," pekik Billy senang, "setidaknya aku masih punya satu kebaikan untuk masuk ke surga.”
Jonathan melotot. sepertinya adik bungsunya ini sangat senang karena berhasil menghentikan aktivitas kakaknya. "Cepat katakan apa maumu?!" seru Jonathan tidak tahan berlama-lama menatap wajah sumringah Billy.
Billy terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bisa pinjam kartu debitmu? Saldoku sudah habis," mohonnya dengan nada memelas.
"Untuk apa?!"
"Aku ingin membeli sesuatu untuk pacarku yang akan berulang tahun seminggu lagi," jawab Billy.
"Pacar?" Jonathan mengernyit, "pacar yang mana lagi? Bukankah kamu sudah putus dengan semua jalang-jalangmu itu?"
"Ya, tapi kali ini berbeda. She is special."
Jonathan mendengkus, "Dasar tidak bermodal!" ucapnya lalu meraih dompet di atas nakas. Ia memberikan salah satu kartunya kepada Billy. "Sekarang cepat pergi dan jangan ganggu kami!"
Billy tersenyum, "Terima kasih, brother. Aku akan menggantinya suatu hari nanti," Billy menatap Hana. "Hana, kamu mau tidak keluar malam ini sama saya?" tanya Billy tiba-tiba.
Hana terkejut. Ia melirik Jonathan singkat yang sudah memberikan signal dari matanya untuk menolak. Ia lalu kembali menatap Billy. "Maaf saya tidak bisa," tolak Hana dengan rasa bersalah. Di sampingnya Jonathan sudah memekik girang dalam hati.
"Ayolah, masa semalam saja tidak bisa?" Billy berusaha membujuknya.
"Kamu tidak mendengarnya tadi? Dia tidak bisa!" sentak Jonathan. "Lagipula malam ini Hana akan menemaniku ke sebuah acara."
Billy membuang napas kasar. Ia lalu menatap Hana, "Baiklah, kalau begitu bagaimana dengan besok malam?" tanyanya lagi.
"Besok malam juga tidak bisa."
"Besok malamnya lagi?"
"Dia sibuk."
"Besoknya lagi?"
"Dia akan menemaniku ke suatu tempat."
"Aku meminta jawaban darinya bukan darimu, " protes Billy.
"Why? Aku berhak menentukan schedule nya karena ..." Jonathan tiba-tiba menarik lengan Hana posesif, "she is mine!"
"Argh! Fine!" Akhirnya Billy menyerah dan segera beranjak keluar. Tidak tahan dengan sikap menyebalkan kakaknya barusan.
"Kita akan kemana malam ini, Pak?" tanya Hana.
"Ke ulang tahun pernikahan temanku." balas Jonathan.
***
"..love you so bad, love you so bad. Neol wihae yeppeun geojiseul bijeonae. Love you so mad, love you so mad. Nal—"
"Luna! Berhenti bernyanyi kalau tidak kamu akan membakar rambut Nona Hana," teriak Melisa yang tengah sibuk memilah pakaian untuk Hana di lemari.
Luna terkekeh, "Mianhe (Maaf). Tadi khilaf sih. Maklum, otak Luna isinya BTS terus," ucapnya lalu kembali fokus pada tatanan rambut Hana.
Hana hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat tingkah Luna. "Luna, berapa usiamu?" tanyanya.
"Eh? Nona tanya usia saya?" tanya Luna kembali memastikan.
"Iya."
"Usia saya delapan belas tahun."
"Benarkah? Kalau begitu usia kita sama. Jadi tidak usah memanggilku dengan sebutan nona atau semacamnya itu."
Luna tertawa kecil, "Tidak bisa begitu. Nona kan majikan saya di sini. Saya tidak enak memanggil Nona begitu. Nanti Pak Jonathan mengamuk," kekehnya.
"Tapi aku akan senang jika kalian memanggilku seperti itu. Derajatku sama seperti kalian, bahkan bisa dikatakan lebih rendah," gumam Hana. Ya, bagaimana tidak ia sebut rendahan. Ia hanyalah pemuas nafsu Jonathan. Bahkan derajat seorang pembantu lebih tinggi dari pelacur rendahan sepertinya.
"Jangan merendahkan diri seperti itu, Nona. Bagaimanapun juga anda tetap majikan kami," sahut Luna disertai senyuman di wajahnya. Mendengar hal itu, Hana hanya bisa memaksakan senyuman di bibirnya.
***
Jonathan dan Hana memasuki ballroom hotel dimana acara sahabat lamanya berlangsung. Jonathan sengaja menarik tangan Hana dan mengaitkannya di lengannya. "Jangan gugup," bisik Jonathan di telinga Hana. "Oh, ya, jangan sampai kamu memanggilku dengan embel-embel Pak atau Bapak. Nanti aku dikira membawa anak bukannya pasangan."
Hana mengangguk paham lalu menghela napas sejenak, menghilangkan rasa gugupnya karena baru pertama kali ini ia ke pesta yang dihadiri banyak orang. Hana mengeratkan cengkramannya pada lengan Jonathan. Tatapan-tatapan itu lagi. Hana membenci dilihat banyak orang.
"Tenang, mereka tidak mengejekmu. Mereka hanya sedang kagum melihat penampilanmu," bisik Jonathan lembut.
"Benarkah?"
"Hm ..."
Jonathan membawa Hana ke salah satu meja tamu yang sudah disiapkan. Hana mengedarkan pandangannya. Melirik orang-orang yang sedang berlalu-lalang.
"Hey, Dude!" Jonathan tersentak ketika merasa sebuah sentuhan kasar di bahunya. Ia segera menoleh ke belakang, sebuah senyuman mengembang dari wajah Jonathan.
"Hey," sapanya balik lalu berpelukan ala pria dengan pria itu. "Selamat atas ulang tahun pernikahanmu yang ke lima. Semoga langgeng dengan istrimu."
"Thank's," sahut pria itu.
Beberapa saat kemudian, pria itu lalu menarik bangku di samping Jonathan.
"Aku pikir kamu tidak akan datang." ucap pria itu.
"Dan seperti yang kamu lihat, ternyata aku datang," timpal Jonathan.
Pria itu mengalihkan pandangannya Pada sosok Hana. "Wow, ini yang baru lagi ya?" tanyanya.
"Begitulah," kekeh Jonathan.
Pria itu ikut terkekeh lalu mengulurkan sebelah tangannya kepada Hana. "Rian. Sahabatnya Jonathan," sambut pria itu ramah.
Hana membalas uluran tangannya. "Hana," balasnya lembut.
"Kami sudah bersahabat sejak di Harvard. Dia juniorku. Sayangnya otak Jonathan tidak setinggi Harvard," beri tahu Rian lalu menguraikan jabatan tangannya. Hana hanya bisa mengangguk seraya tersenyum kecil karena sebenarnya ia tidak paham dengan ucapan pria yang bernama Rian tersebut.
"Sudahlah, dia tidak akan tertarik dengan itu," sahut Jonathan dan Rian hanya bisa tertawa pelan. "Ngomong-ngomong, dimana istrimu? Aku tidak melihatnya.”
"Ada. Dia sedang menjaga si kecil yang nakal, berlarian kesana dan kemari mengganggu orang yang sedang berpesta."
Jonathan tertawa, "Dia sama nakalnya denganmu. Btw, apa adikmu juga hadir?"
"Hm. Tentu saja dia hadir bersama anak istrinya. Itu mereka." Rian menunjuk sebuah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, dan dua anak tersebut yang tengah duduk di meja yang agak jauh dari mereka.
Jonathan mengikuti arah telunjuk Rian. "Istrinya cantik ya," gumamnya. Hal itu tak lepas dari pendengaran Hana. Ia menoleh ke arah keluarga yang tengah duduk di meja ujung sana. Wanita itu memang terlihat cantik. Hana menghela napas. Entah kenapa ia merasa minder berada di lingkungan yang dipenuhi wanita-wanita cantik ini.
"Istriku lebih cantik," timpal Rian.
Jonathan hanya bisa tertawa, "Baiklah baiklah. Istri kalian berdua memang cantik. Tuhan begitu baik, memberikan istri cantik dan sabar kepada pria brengsek seperti kalian."
"Itu namanya takdir. Tuhan menciptakan manusia untuk saling melengkapi. Itulah mengapa aku selalu mencintai istriku meski dia banyak kekurangan."
"Ya ampun, mellow sekali. Aku terharu," canda Jonathan.
Rian terkekeh, "Jadi kapan kamu akan menikah?" godanya.
Jonathan memutar kedua matanya, "Tolong jangan bahas itu di sini. Aku sensitif sekali mendengar hal itu."
Rian tertawa dan segera berdiri, "Aku hanya bercanda saja. Kalau begitu aku pergi dulu. Masih banyak tamu yang harus ku sapa. Have fun, Dude!" Usai berkata demikian, Rian langsung melenggang pergi meninggalkan Jonathan dan Hana berdua.
***
Usai dari pesta, Jonathan tidak langsung mengajak Hana pulang. Ia membawa Hana masuk ke sebuah kamar hotel. Tentu saja Jonathan sedang ingin melakukan yang 'iya-iya', karena kalau mereka melakukannya di rumah, banyak setan-setan yang akan mengganggu aktivitas mereka.
Jonathan menindih tubuh Hana di atas kasur. Ciuman demi ciuman ia daratkan pada bibir dan leher Hana. Hana mendesah akibat remasan di payudaranya. Jonathan gemas sekali dengan buah dada Hana yang kian membesar itu. And he loves it!
Ia menangkup wajah Hana, matanya saling bertemu dengan mata Hana, napas keduanya saling bertabrakan. "Hana …," bisiknya serak.
"Ya?"
"Aku rasa ada yang salah dengan diriku." Jonathan menatap mata Hana begitu dalam dan lembut.
"Maksud Bapak?"
"Kamu tidak menyadarinya? Aku perlahan berubah dari diriku yang sebenarnya. Kamu tahu karena siapa?"
Hana menggeleng.
"Karena kamu," jawab Jonathan begitu lembut lalu kembali memagut bibir Hana dengan mesra.
Ya, Jonathan sangat menyadari hal itu. Banyak sekali hal yang berubah dari dirinya setelah bertemu dengan Hana. Jonathan merasa dirinya sekarang menjadi lebih jinak dari dulu. Dan lagi yang membuatnya tidak paham sekarang, sejak kapan ia bisa berbicara se-nonformal ini dengan Hana? Jonathan yang awalnya dingin dan beku perlahan mulai mencair. Ia merasa ada warna baru yang sangat mencolok dan terang dalam hidupnya setelah kehadiran Hana.
"Begitulah cerita hidup saya."Seorang wanita berdiri di hadapan ratusan mahasiswa yang sedang duduk dan mendengarkan kisahnya. Hari ini ia diundang oleh sebuah kampus ternama untuk menjadi salah satu pembicara dalam acara seminar. Hana diminta untuk memberikan kiat-kiat menjadi pebisnis muda dan cara agar menjadi pengusaha sukses. Namun bukannya memberikan tips-tips itu, Hana malah menceritakan dongeng kepada mahasiswa dan mahasiswi di hadapannya. Ya, dongeng tentang pengalaman hidupnya.Suara tepuk tangan menggema dengan keras di ruangan itu dan berlangsung lama. Semua orang memandang takjub pada Hana sambil berteriak memujinya. Kisah hidupnya begitu pilu namun ia bisa menghadapinya dan bangkit menjadi lebih kuat lagi."Anda sangat luar biasa!"Hana tersenyum ke arah mahasiswa yang berteriak kepadanya itu. "Terima kasih," ucapnya sambil menundukkan kepala. Suara tepuk tangan semakin meriah.Namun ada satu mahasiswi yang tiba-tiba mengangkat
Billy sedang bersedekap dengan kedua tangannya di dada. Ia menatap Jonathan dengan ekspresi dongkol."Berhenti tersenyum, Jonathan! Kamu membuat perutku mulas," omel Billy tak suka melihat saudaranya yang tengah dilanda kebahagiaan luar biasa itu.Jonathan semakin melebarkan senyumannya. Tak peduli dengan ucapan Billy. Bagaimana ia tak bahagia? Besok ia akan segera melaksanakan pernikahannya dengan Hana dan mereka secara resmi akan menjadi suami istri. Jonathan sudah tidak sabar untuk membangun keluarga baru bersama Hana dan Axel."Ya, Tuhan, aku benci sekali dengan ekspresi itu." Billy semakin jengkel. "Aku harap besok akan ada hujan dan badai. Agar kalian tidak jadi menikah."Jonathan tersenyum, "Biasanya doa orang tidak ikhlas tidak akan dikabulkan Tuhan." Dan Billy hanya menghela napas kasar. Ia hendak meninggalkan Jonathan seorang diri namun langkahnya tertahan saat Jonathan tiba-tiba memanggilnya."Billy?"Billy menoleh, "Hm?""
Billy menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua lengannya di dada, menyaksikan Jonathan yang tengah mengemas pakaiannya ke dalam koper besar. Billy menghela napasnya kasar. "Jonathan bodoh!"Jonathan menghentikan kegiatannya dan menatap Billy balik. "Apa katamu?""JONATHAN BODOH. AKU MENGATAKANMU BODOH. TULI?"Jonathan melempar pakaian yang ia pegang dengan kasar. Merasa emosi mendengar hal itu. "Ada masalah denganku, orang miskin?"Billy berjalan santai ke kasur dan merebahkan bokongnya. "Aku hanya tidak paham denganmu, Jonathan. Untuk apa kamu melakukan semua ini? Maksudku ... kamu menyelamatkan Hana dan melindungi Axel serta keluarganya. Kenapa tiba-tiba ingin pergi? Langkahmu sudah jauh, bro. Kalau aku adalah kamu, mungkin aku sudah meminta restu keluarga Hana untuk menikahinya lalu membangun keluarga bahagia."Jonathan diam tak menjawab."Buka kembali otak tololmu itu, Jonathan," lanjut Billy, "ini adalah kesempatan
Semua kamera mengarah kepada wanita yang sedang berjalan menuju meja Pers. Para wartawan sudah stand by di tempatnya masing-masing, bersiap-siap untuk merekam dan mengambil gambar. Hana menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, menghilangkan kegugupan di dadanya. Seperti biasa, rentetan pertanyaan terus berdatangan dari para wartawan. MC menenangkan suasana agar Hana bisa menjawab satu - persatu.Tenanglah, Hana. Ia menarik napas lagi lalu mengangguk. Aku bisa melakukannya, batinnya."Bisa Anda ceritakan kejadian yang menimpa Anda sebenarnya?" tanya salah seorang dari puluhan wartawan yang ada di tempat itu.Hana mengangguk lalu meraih mic dengan berani."Sebelumnya saya ingin memperkenalkan diri saya terlebih dahulu. Nama saya Florentina Hana, Ceo cabang DELOXA di Jakarta. Saya berdiri disini untuk menjawab dan memberikan pernyataan terkait peristiwa yang menimpa saya yang membuat orang - orang menjadi heboh. Seb
"Kamu tidak apa - apa?" Agung memberikan tisu kepada Hana yang baru saja mendaratkan bokongnya di mobil. Matanya terlihat sangat sembab. "Aku tidak apa - apa." Hana menerima tisu itu dan menyeka air matanya. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba menenangkan diri."Bagaimana? Apa yang mereka katakan?" tanya Agung.Hana menggeleng, "Tidak penting. Semuanya hanya omong kosong. Aku tidak akan mempercayai mereka lagi."Agung mengangguk paham. "Apa mereka mengatakan sesuatu tentang anak kepadamu?"Hana terdiam sambil memilin tisu di tangannya.Agung terdiam beberapa saat, memerhatikan wajah Hana. "Apa kamu—""Anakku sudah meninggal. Bukankah kamu mengatakannya begitu kepadaku?" sela Hana. "Aku hanya sedih saja ketika teringat akan anak tidak berdosa itu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir."Agung menepuk pundak Hana pelan. "Aku turut bersedih untukmu. Ku mohon jangan lagi mengingatnya. Sekarang sudah ada aku. Kit
Suasana menjadi heboh setelah Hana tiba-tiba menampar wajah Jonathan di depan semua orang. Jonathan memegang sisi wajahnya sambil menatap ke arah wanita itu. Datar. Wanita itu memandangnya dengan tatapan datar dan dinginnya. Seolah Jonathan adalah orang asing di matanya. Ya, ia seperti tidak pernah mengenal Jonathan. Tapi tidak mungkin bukan yang Jonathan lihat di depannya ini adalah hantu? Hana-nya benar-benar nyata!Aku merindukanmu. Jonathan menahan air matanya untuk tidak mengalir. Ia hendak meraih tubuh Hana kembali, namun tubuhnya segera ditarik oleh para petugas keamanan yang berjaga.Jonathan berusaha memberontak, namun kekuatan orang-orang itu lebih besar darinya. Mereka membawa Jonathan menjauh dari meja pers."Hana! Ini aku, Jonathan!" teriak Jonathan sembari berusaha melepaskan diri. "Hana!" Yang diteriaki malah membuang mukanya, tidak ingin menatap Jonathan."Hana!" Jonathan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, pria-pria berba