Share

PART 13

Seminggu pun berlalu, Hana sudah mulai terbiasa dengan kehidupannya yang sekarang. Siang hari ia akan melakukan aktivitas seperti membaca, menonton acara komedi di Tv, membantu membersihkan rumah, dan lain-lain. Kebanyakan semua aktivitas siang dilakukan di dalam rumah karena Jonathan selalu membatasi kebebasan Hana dan melarangnya keluar rumah tanpa Jonathan. Dan pada malam harinya, Hana harus melayani nafsu tuannya yang gila itu.

Hana menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dan Jonathan setelah percintaan yang panas semalam. Akhir-akhir ini Jonathan selalu tertidur di kamar Hana setelah melakukan pergumulan yang panjang. Hal ini cukup mengganggu Hana karena ia merasa tidak enak dengan orang-orang di rumah. Tapi ia juga tidak bisa mengusir Jonathan pergi dari kamarnya karena ini adalah rumah Jonathan. Meski Hana merasa risih, tetap saja ia tidak bisa untuk tidak menyukai situasi ini. Ia menikmati kedekatannya dengan Jonathan di atas ranjang. Terlebih saat Jonathan tengah memeluknya, Hana merasa nyaman dan senang.

Suara nada dering ponsel berbunyi. Hana meraih benda pipih tersebut yang tergeletak di atas nakas. Hana tersenyum saat melihat nama penelepon yang tertera di layar. Itu Ibunya. Jonathan membelikan ponsel untuk Fatma saat mereka ke desa beberapa minggu yang lalu. Sebenarnya Hana tidak pernah menyangka Jonathan akan bertindak sejauh ini.

"Halo, Ibu?" sapa Hana.

"Halo, Hana … apa kabar?"

Hana tersenyum dan berjalan ke arah jendela lalu membuka tirai jendela dengan sebelah tangannya. "Aku baik-baik saja, Bu." jawabnya sambil menatap ke luar, menikmati pemandangan dari luar. "Ibu sendiri? Bagaimana kabarnya?"

"Ibu baik-baik saja di sini."

"Syukurlah. Hana senang Ibu baik-baik saja di sana."

"Iya, Nak. Oh iya, selamat ulang tahun ya. Maaf jika selama ini Ibu belum bisa membahagiakanmu."

Hana tersentak. Ulang tahun? Ah benar. Hari ini ia genap sembilan belas tahun. Astaga! Bagaimana bisa ia melupakan hari dimana ia dilahirkan ke dunia ini?

"Kamu kerja yang baik ya disana. Ingat selalu akan Tuhan. Jangan lupa untuk selalu berbuat baik dan sopan. Doa Ibu selalu menyertaimu."

Hana mengulas senyum, "Iya, Bu. Terima kasih atas nasehatnya. Hana sayang Ibu."

Terdengar suara kekehan di seberang sana. "Iya, Ibu juga menyayangimu. Sudah dulu ya, Ibu mau jahit baju dulu. Nanti sore sudah harus diantar."

"Iya, Bu. Aku matikan ya," balas Hana lembut.

"Hm."

Hana memutuskan panggilan.

"Siapa?"

Hana tersentak mendengar suara Jonathan. Ia menoleh ke arah pria itu. "Kamu sudah bangun?" Oh, iya. Hana juga sudah mulai terbiasa memanggil Jonathan dengan sebutan kamu. Hal ini dikarenakan Jonathan selalu memarahinya jika ia terus saja memanggil pria itu dengan embel-embel 'Pak atau Bapak'. Jonathan memaksanya untuk tidak berbicara formal.

Jonathan berdecak. Pertanyaan bodoh. "Tadi siapa yang telfon?"

"Oh, tadi ibu yang telfon."

Jonathan mengangguk paham. Ia lalu menyibakkan selimutnya dan turun dari ranjang. Mengambil baju kaosnya yang terlempar di bawah ranjang dan memakainya. Hana cukup agresif semalam, buktinya saja baju dan celana Jonathan bisa berserakan di lantai. Tapi Jonathan senang, Hana sudah mulai berkembang.

"Kamu mandilah terlebih dahulu. Setelah itu turun sarapan. Aku akan kembali ke kamarku," ucap Jonathan. Hana mengangguk patuh.

Jonathan hendak melangkahkan kakinya pergi, namun niatnya terhenti sejenak. Ia membalikkan tubuhnya dan menatap Hana. "Kamu suka perhiasan?" tanyanya tiba-tiba.

"Ya?" sahut Hana kaget.

Jonathan berdecak. "Perhiasan. Seperti kalung, emas, gelang dari mutiara asli, atau cincin berlian?"

Hana menelan salivanya susah. Untuk apa Jonathan menanyakan barang-barang mahal itu?

"Cepat katakan. Aku tidak punya waktu!" seru Jonathan sensi.

"Eh? Ka- kalung … iya kalung," jawab Hana gelagapan, "tapi untuk apa—"

"Cepat mandi!" potong Jonathan sebelum Hana menyelesaikan ucapannya. Hana mengangguk patuh lalu meraih handuknya dan bergegas ke kamar mandi. Setelah Hana menghilang dari pandangannya, Jonathan pun melangkah keluar dari kamar.

***

Jonathan berlari kecil menuruni undakan tangga rumahnya. Penampilannya cukup keren hari ini. tampaknya ia akan ke suatu tempat.

Saat Jonathan membuka pintu depan, tubuhnya tiba-tiba mematung melihat sosok wanita cantik yang sudah berdiri di hadapannya sekarang dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Long time no see, calon suami," sambut wanita itu dengan wajah berbinar.

"Catherine?" Jonathan masih tidak menyangka dengan sosok yang dilihatnya barusan. "Ini ...Catherine? Catherine Jovanka?"

"Yeah!" pekik wanita itu dengan wajah berbinar lalu menghambur ke pelukan Jonathan. Jonathan shock dan tidak tahu harus berkata apa. Ia membalas pelukan Catherine dengan wajah yang sulit untuk ditebak.

"I miss you so much," bisik Catherine sembari mengeratkan pelukannya.

"Yeah … i miss you too," balas Jonathan pelan lalu menguraikan pelukan.

Catherine tampak bahagia. Ia memperhatikan penampilan Jonathan dari atas rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum kagum, "Kamu terlihat semakin tampan saja," pujinya.

Jonathan mengikis senyum, "Terima kasih. Kamu juga terlihat semakin cantik dan … seksi?"

Wajah Catherine bersemu merah mendengar ucapan Jonathan barusan. "Kamu bisa saja." Ia memukul dada Jonathan manja.

Jonathan terkekeh. "Aku pikir kamu akan kesini seminggu lagi. Ternyata kamu datang sebelum itu."

"Pasti mommy Vanesha ya yang memberitahumu?"

"Benar."

"Sudah kuduga dia akan melakukan itu. karena itulah aku datang sebelum waktunya. Supaya menjadi sebuah kejutan untukmu. Kalau kamu sudah tahu bukan kejutan namanya."

Jonathan mengangguk. "Ah, begitu ya."

"Kenapa? Apa kamu tidak senang dengan kedatanganku?" tanya Catherine.

"Tentu saja aku senang."

"Tidak, kamu tidak senang. Buktinya wajahmu tidak se-senang perkataanmu." Catherine mencebikkan bibirnya.

"Aku senang, Catherine. Sangat senang. Hanya saja aku terlalu shock. Kamu tidak memberitahuku tentang kedatanganmu. Aku perlu mempersiapkan diri," jelas Jonathan.

Catherine masih cemberut. "Aku tidak bisa mempercayaimu."

Jonathan menghela napas. "Apa yang harus ku lakukan agar kamu bisa mempercayaiku?" tanya Jonathan.

"Umm ..." Catherine tampak berpikir. "Kiss me?" Catherine menunjuk bibirnya.

Jonathan memperhatikan sekelilingnya lalu menatap Catherine. "Oke. Hanya itu?"

Catherine mengangguk.

"Itu mudah." Jonathan lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Catherine singkat. Hanya menempelkan bibir. Karena Jonathan tidak berniat untuk memberikan yang lebih. Namun saat ia hendak melepaskan bibirnya, tangan Catherine tiba-tiba menahan kepala Jonathan agar tetap dalam posisi seperti ini. Jonathan membulatkan matanya. Catherine membuka mulutnya dan lidah wanita itu membelai-belai bibir Jonathan yang masih terkatup rapat.

***

Hana sudah selesai mandi dan memakai baju. Ia juga sudah memakai parfum yang dibelikan Jonathan saat mereka berbelanja di mall. Hana memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. sebenarnya Hana jarang memperhatikan wajah dan penampilannya. Tapi melihat replika wajahnya di cermin, Hana sadar akhir-akhir ini wajahnya tampak memutih dan bersih. Usai berkaca, Hana segera beranjak keluar dari kamar untuk turun sarapan, sesuai dengan perintah Jonathan.

Saat Hana sampai di lantai bawah, ia hendak berbelok ke dapur. Namun langkahnya terhenti saat ekor matanya menangkap bayangan dua orang di sekitar pintu depan. Hana menoleh ke sumber objek tersebut dengan segera.

Deg!

Ia membulatkan matanya. disana… Jonathan… berciuman dengan wanita asing. Hana bersembunyi di balik dinding. Jantungnya berdebar kencang. Rasa kecewa mulai menjalar di dada. Hana memejamkan matanya. Mungkinkah ia sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan ia sekarang juga! Hana sulit menerima ini. Sekali lagi, ia mengintip ke depan untuk memastikan kembali. Dan ketika matanya kembali menangkap pemandangan itu, goyahlah sudah dirinya. Ternyata ia tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Jonathan tengah berciuman dengan wanita yang Hana sendiri tak tahu siapa. Mungkinkah itu wanita yang dijodohkan dengan Jonathan? Apa mereka akan segera menikah? Ini berarti Hana tidak akan bisa menghabiskan waktu dengan Jonathan lagi. Sungguh, hati kecil Hana ingin memprotes. Sulit sekali untuk menerima ini semua.

Tapi sekali lagi. Ia harus menyadari keberadaanya. Ia bukanlah siapa-siapa. Hana membungkam mulutnya dengan tangan, mencegah dirinya untuk tidak bersuara. Matanya mulai panas, siap mengeluarkan cairan bening. Hana menggeleng, tidak tidak. Ini salah. Ia tidak mungkin merasakan apa yang dinamakan sakit hati.

Sadarlah Hana. Kamu tidak berhak sakit hati. Bukankah dari awal kamu sudah memperingatkan dirimu sendiri untuk tidak memendam rasa kepadanya? Lihat sendiri akibatnya. Kamu bukan siapa-siapa baginya, hapus tangisanmu, dan hentikan perasaanmu sebelum kamu merasakan sakit yang lebih dalam. Batin Hana menguatkan diri.

***

"Cari tahu tentang gadis bernama Hana," titah Vanesha sembari memegang gelas berisikan wine-nya.

"Siap, Nyonya. Akan saya lakukan perintah anda," sahut seorang pria muda dengan pakaian serba hitam itu.

Vanesha tersenyum. "Bagus. Semakin cepat kamu mendapatkan informasinya, semakin cepat pula kamu mendapatkan bayarannya."

Pria tersebut mengangguk patuh lalu memakai topi hitamnya dan berdiri, bersiap untuk beranjak pergi. "Apa ada perintah lagi, Nyonya?" tanya pria itu kembali memastikan.

"Tidak ada. Sekarang kamu boleh pergi," ucap Vanesha tegas. Pria tersebut mengangguk lalu melangkah pergi dari hadapan Vanesha. Sebuah seringaian misterius terbit dari bibir Vanesha. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

***

Hana duduk termenung di atas kasurnya. Kejadian tadi pagi terus berkeliaran di kepalanya. Ia sudah berusaha keras untuk melupakannya, tapi tetap saja susah. Yang ada ia semakin mengingatnya. Dan ketika ia mengingatnya, semakin sesak pula dadanya. Sungguh, ini merupakan kado ulang tahun yang menyakitkan.

Terdengar suara pintu yang terbuka. Hana segera menyeka bekas air matanya agar tidak ketahuan habis menangis. Hana tidak ingin terlihat menyedihkan di hadapan Jonathan.

"Selamat ulang tahun … selamat ulang tahun … selamat ulang tahun, Hana. Selamat ulang tahun …"

Hana tersentak. Itu bukan suara Jonathan. Itu suara Billy! Hana segera menoleh dan terkejut saat Billy membawakan sebuah kue dengan lilin angka sembilan belas menyala di atasnya. Pria itu berjalan mendekati Hana dengan mengikis senyum manisnya.

Hana terharu. Ternyata masih ada yang mengingat hari ulang tahunnya "Billy, kamu ..."

"Tiup lilin dulu baru berbicara," kekeh Billy sambil menyodorkan kue tersebut. Hana tersenyum kecil lalu meniup lilin yang ada.

"Eh, kamu lupa make a wish," pekik Billy sembari menepuk jidatnya dengan sebelah tangan.

Hana melongo, tidak paham dengan kata-kata asing yang baru saja dilontarkan Billy. Melihat ekspresi Hana, Billy pun menjelaskan. "Ah, kamu tidak paham ya? Make a wish itu doa atau harapan sebelum meniup lilin." Billy tersenyum. "Sepertinya aku harus menjadi guru bahasa inggrismu. Apa kamu mau merekrutku?" canda Billy.

Hana menggeleng. "Aku tidak tertarik dengan bahasa asing."

"Hm, baiklah." Billy meletakkan kue di atas nakas, samping tempat tidur. Ia menatap Hana "Tunggu sebentar ya," pintanya lalu bergegas ke luar kamar. Beberapa menit kemudian, Billy kembali ke kamar dengan memeluk sebuah kotak kado berukuran besar. Hana menutup mulutnya dengan tangan, tidak menyangka Billy akan bertindak sejauh ini. Billy membuka kado jumbo itu perlahan.

"Tada!!!" teriaknya sumringah. Ternyata isi dari kotak tersebut adalah sebuah boneka beruang besar berwarna ungu.

Hana membulatkan matanya. "Billy ..."

"Selamat ulang tahun, Hana. Selamat atas berkurangnya umurmu untuk hidup di dunia ini," kekeh Billy lalu menyerahkan boneka tersebut kepada Hana.

Hana hanya bisa tertawa di sela tangis harunya. Ia menerima boneka tersebut dan langsung memeluknya. "Terima kasih, Billy. Apa yang kamu berikan ini terlalu besar bagiku. Aku akan membalasnya nanti."

Billy mengulum senyum. "Tentu kamu harus membalasnya. Aku akan menagihnya nanti," balas Billy. Hana mengangguk. Billy mendekat dan mengacak-acak puncak kepala Hana gemas. "Seandainya saja kamu bukan ..."

Hana sontak mendongak. "Ya?"

Billy menggeleng. "Bukan apa-apa. Ya sudah, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik dan jangan menangis terus," pamit Billy lalu beranjak keluar tanpa melihat ke belakang.

Usai kepergian Billy, Hana terus menatap boneka itu. Ada rasa penasaran saat Billy mengucapkan kata-kata yang menggantung tadi. Hana meletakkan boneka tersebut di samping tempat tidurnya. Ia akan tidur saja malam ini. Jonathan juga tak menampakkan batang hidungnya hingga sekarang. Mungkin sedang pergi dengan wanita tadi. Pikir Hana dalam hati.

Hana memejamkan matanya. Mengenyahkan semua pikiran yang menyiksanya.

Memangnya apa yang Hana harapkan di hari spesialnya ini? Hadiah dari Jonathan? ia tertawa miris dalam hati. Itu tidak akan pernah terjadi.

***

Hana merasakan guncangan dalam tidurnya. Ia membuka matanya dengan terpaksa. Hana tersadar. Ini bukan kamarnya! Lalu dimana dia? Terdengar suara deru mesin di luar. Hana bangkit dari tempat tidur lalu menatap ke luar jendela.

Hana membuka mulutnya lebar. Astaga, dia sekarang sedang berada di laut! Seketika ia panik lalu berlari keluar dari kamar megah ini.

Angin laut di malam hari menerpa wajah Hana begitu ia sampai di luar. Rasa takut kian menyelimuti saat ia tidak menemukan siapa-siapa. Ya, Tuhan! dimana ini? kenapa ia bisa berada di sini?

Hana mulai mengingat-ingat. Tadi setelah Billy meninggalkan kamarnya, ia langsung tidur. Berarti, ini hanyalah mimpi. Ya, Hana yakin ia hanya bermimpi. Ia menampar wajahnya beberapa kali agar ia segera bangun dari mimpi aneh ini.

"Berhenti menyiksa dirimu."

Hana membalikkan badannya saat mendengar suara rendah yang tak lagi asing itu. Hana tercekat saat melihat Jonathan tengah berjalan ke arahnya. Beberapa detik, Hana sempat terkesima. Pantulan sinar lampu yang menerpa pakaian Jonathan yang serba putih membuatnya tampak bercahaya. Ditambah lagi ketika pria itu sedang menatapnya dalam, membuat jantung Hana berdegup kencang.

"Jonathan?”

Ketika Jonathan sudah berdiri dekat dengan Hana, ia langsung menarik pinggang wanita itu hingga tubuh keduanya saling bersentuhan. Hana menelan salivanya dengan susah payah. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya pelan dengan kedua bola mata saling memandang mata pria di hadapannya ini.

"Aku menculikmu."

Hana masih tak paham. "Apa maksudmu? Dan kenapa kita bisa berada di sini?"

"Kita sedang berlayar di atas laut. Menggunakan yacht," jelas Jonathan.

Hana mengernyitkan dahinya. Ia masih tak bisa mengerti sama sekali dengan situasi seperti ini.

"Lalu apa sebenarnya tujuanmu membawa—"

“Selamat ulang tahun,” sela Jonathan tiba-tiba. Hana tercekat dan membelalakkan matanya saat ia merasakan sentuhan tangan Jonathan di lehernya. Sebuah kalung liontin yang tampak begitu cantik dan indah dilingkarkan di lehernya.

"Selamat ulang tahun, My precious woman," bisik Jonathan di telinga Hana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status