Makan malam yang harusnya romantis, mendadak menjadi suram. Ini bukan karena kami cuma dinner pakai bakso. Nggak ada yang salah dengan candle light dinner pakai bakso atau seblak sekalipun. Yang bikin suram itu orang yang duduk di hadapanku.
Om Restu memang bersikap biasa saja. Dia sama sekali nggak merasa bersalah setelah membuat jantungku nyaris kabur lewat mulut. Tapi, aku tentu nggak bisa bersikap biasa saja. Gimana mungkin aku tenang setelah pacarku yang ganteng, posesif, dan punya anak satu ini bertanya kapan aku siap menikah? Boro-boro tenang, buat bernapas lancar saja sudah alhamdulillah. Aku bahkan harus bernapas lewat mulut, mirip cara ikan-ikan peliharaanku bertahan hidup di dalam air. Untung saja aku nggak punya ekor dan mata yang nggak bisa berkedip. Mendadak pikiranku melayang ke hari pertemuan pertamaku dengan calon mertua. Aduh! Lidahku yang memanggil orang tua Om Restu sebagai calon mertua saja sukses bikin merinding. Rasa geli dan getarannya menimbulkan sensasi asing yang lucu, tapi bikin candu. Setelah menyetujui hubungan kami, bapaknya Om Restu memberikan nasihat. Aku rasa nasihat itu lebih ditujukan buat aku. "Kalian sama-sama sudah dewasa, nggak baik pacaran lama-lama. Lagi pula, niat baik seharusnya nggak terlalu lama ditunda." Aku ingat banget Bapak bilang begitu. Wajahnya yang keriput masih menyisakan ketegasan dan kehangatan sekaligus. Aku jadi tahu dari mana Om Restu mendapatkan senyum favoritku itu. Mungkin kalau sudah tua, Om Restu bakal mirip bapaknya dengan keriput dan rambut putih. Jelas nasihat Bapak itu untuk aku. Aku yang meminta nggak melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Aku yang berharap masih bisa bersenang-senang dan menikmati hidup lajang. Om Restu memang sejak awal memintaku menjadi istrinya, bukan cuma sekadar pacar. Tapi, menikah bukan perkara mudah. Ini menikah lho. Aku dan Om Restu berjanji sehidup semati. Kami akan terkurung dalam ikatan yang lebih sakral sepanjang umur kami. Sudah terasa mengerikan belum, sih? Gini, deh. Aku jelaskan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya, dan sedetail-detailnya. Biar kalian lebih paham kenapa aku masih takut menikah dengan Om Restu. Aku sudah berpacaran dengan Om Restu selama enam bulan lebih beberapa hari. Baru pacaran saja, Om Restu sudah menjadi penghambat kuliahku. Aku nggak bebas bergaul sama teman satu angkatan, apalagi kakak tingkat yang ganteng. Oke. Sebenarnya, aku juga nggak mau bergaul sama kakak tingkat yang ganteng lagi, sih. Yang ganteng memang lebih sering bikin sakit hati. Kalian ingat kejadian Om Restu yang hampir nekat bertemu dosenku, cuma karena dalam satu kelompokku ada tiga cowok? Itu cuma kejadian remeh yang Om Restu lakukan. Untung saja aku berhasil menghentikan niatnya itu. Dulu, Om Restu pernah menemui dekan Fakultas Hukumku hanya karena dosen olahragaku jenis kelaminnya sama kayak Om Restu. Pacarku itu cemburu sama dosen pria, yang bahkan belum pernah dia temui. "Saya rasa tidak layak ada dosen olahraga pria untuk mahasiswi wanita. Saya tahu yang ada di pikiran pria, Gi. Saya tidak mau kamu menjadi imajinasi gila dosen itu." Om Restu sampai bersuara keras waktu aku kesal dengan sikapnya itu. Aku yang nggak bisa memahami cara berpikir Om Restu atau memang pacarku itu yang punya ketakutan berlebih, sih? Ada yang sepemikiran sama Om Restu? Tolong jelaskan gimana maksudnya? Otakku yang pas-pasan ini nggak sanggup memahami Om Restu yang cemburuan itu. Aku nggak tahu apa yang Om Restu katakan ke Pak Dekan. Aku memilih bersembunyi di kantin karena malu punya pacar keterlaluan seperti itu. Yang jelas, Om Restu berhasil membuat dosen olahragaku pindah tugas ke fakultas lain. Keren, kan, The Power of Possessive? Kekuatannya sanggup meruntuhkan kehidupan orang lain. Sekarang, dosen yang mengajar olahragaku wanita muda yang berisik banget dan cuma jago melakukan senam kebugaran jasmani. Iya, setiap pertemuan olahraga, dia cuma mengajari kami senam dengan musik cepat kayak di klub malam. Bagi Om Restu, ini jauh lebih baik daripada membiarkan pria asing menilai kemampuan gerak tubuhku. Gimana? Apa sekarang kalian sudah paham keresahanku sampai belum mau menikah sama Om Restu? Om Restu yang statusnya masih calon suami saja sudah berani berbuat sekeji itu. Apa kabar nasibku sebagai mahasiswi sekaligus Nyonya Restu Maheswara? Bisa-bisa Om Restu mengganti dosen, petugas tata usaha, dan penjaga kantin di kampusku menjadi wanita semua. Karena statusku sebagai istri, aku nggak boleh membantah suamiku. Yang gila saja! Bukannya bahagia, aku tersiksa karena hidup kayak maling ayam. Masih mending koruptor bisa dipenjara di kamar mewah dengan fasilitas menyenangkan lainnya. Maling ayam dikurung ramai-ramai bareng maling dompet dan maling sepeda di tempat sempit yang menyedihkan. Ternyata jadi maling saja ada kastanya. "Om, ini urusan Gavin belum kelar lho. Kenapa buru-buru banget pengin nikah, sih? Kalau kita maksa nikah tanpa peduli perasaan Gavin, namanya egois, Om. Kita nggak bisa mengabaikan Gavin. Walaupun masih kecil, pendapatnya tetap harus dihargai. Kalau pendapat anak selalu diabaikan, dia lama-lama jadi apatis, Om. Gavin bakal lebih tertutup dan mengabaikan nasihat orang tuanya. Emangnya Om Restu mau kayak gitu? Ih, Gia, mah, ogah! Gia tetep pengin Gavin cerita banyak hal ke Gia." Aku mengomel sepuasnya. "Saya mengerti," sahut Om Restu, lalu menggenggam tanganku yang meremas garpu. "Terima kasih sudah berusaha memahami Gavin. Saya tidak pernah salah memilih kamu sebagai mama barunya Gavin. Kamu selalu memikirkan Gavin, tidak peduli seberapa jahat sikapnya terhadap kamu. Terima kasih, Gi." Aku menarik tanganku. Garpu dalam genggamanku kupakai untuk menunjuk Om Restu. "Nggak usah makasih makasih segala, Om. Ini belum kelar urusannya." Suaraku melengking sampai membuat orang-orang di sekitar kami menoleh. Tapi, aku nggak peduli. "Lagian, Gavin nggak jahat. Gia yakin dia punya alasan kuat sampai sedingin dan sekejam itu. Nggak ada kesalahan anak yang terlepas dari orang tuanya. Kalau anaknya nggak bener, pasti orang tuanya juga melakukan kesalahan." Aku mengempaskan tubuh sampai bersandar di kursi. Kubuang karbondioksida sebanyak mungkin. Mimpi apa aku sampai jatuh cinta sama duda beranak satu? Aku kira menaklukkan sikap posesif Om Restu menjadi perkara paling rumit. Ternyata mendapatkan hati anak tiri lebih sulit daripada mancing ikan di parit. "Ini patah hati terbesar Gia, Om. Gia kira selama ini Gavin menerima kehadiran Gia. Ternyata, Gavin masih menganggap Gia makhluk asing yang nggak berhak masuk ke dalam hidupnya. Ya, Gia selevel sama alien yang kulitnya hijau, kepalanya lebih besar dari badannya, dan matanya kayak spion Supra." Suraku sekarang rendah. Aku meletakkan garpu di meja, lalu menggelindingkannya berulang kali. "Maafkan saya, Gi." Suara Om Restu agak serak. Dia memang memesan es teh dalam gelas besar. Tapi, nggak mungkin Om Restu mendadak pilek, kan? Aku memandang mata Om Restu. Mata kecil itu sekarang meredup. Nggak ada semangat yang dari tadi memancar di sana. Mungkin saja mata Om Restu sedang mendapatkan jatah pemadaman bergilir. "Saya yang salah. Saya belum bisa membuat Gavin mau menceritakan semua perasaannya. Saya merasa semua baik-baik saja, tapi ternyata tidak. Sekali lagi, saya minta maaf. Saya akan berusaha menjadi Papa yang baik bagi Gavin agar dia mau menjadikan saya kawan untuk bercerita." Om Restu terus memandang mataku selama berbicara. Ini cara Om Restu menunjukkan kesungguhan. Aku tersenyum. Aku nggak tega juga membiarkan Om Restu larut dalam penyesalan. "Tenang aja, Om!" Aku menepuk-nepuk dadaku sampai berbunyi keras. "Gia nggak akan menyerah. Gia yakin bisa menundukkan Gavin dengan mudah." Ada senyum tipis di bibirnya. Itu bukan senyum menyenangkan kayak biasanya. Tapi, aku lumayan suka. Paling nggak, wajah Om Restu nggak terlalu kusut lagi. Om-om tua itu mengerikan kalau tanpa senyum. "Sekarang, kita fokus buat meluluhkan hati Gavin dulu. Om harus sabar. Jangan buru-buru nanyain kapan Gia siap nikah terus. Kalau ditanya pertanyaan yang sama terus, Gia bisa muntah. Gia bisa overdosis. Semua yang berlebihan itu nggak baik, termasuk terus-terusan bertanya kapan siap nikah." Kali ini perasaanku lebih ringan. Tekanan tentang pernikahan lumayan mengendur. Aku bisa bernapas lega menggunakan hidung. "Gia juga masih pengin menikmati masa lajang, Om. Gia baru jadi mahasiswa lho, belum ada satu tahun. Masih banyak impian yang pengin Gia wujudkan. Kalau menikah sekarang, Gia bakal sibuk sama suami dan anak. Mau punya asisten puluhan butir sekalipun, tetap aja Gia harus memperhatikan suami dan anak-anak Gia nanti. Gia nggak akan bisa fokus kelarin kuliah. Nggak lucu kalau Gia jadi mahasiswa abadi cuma karena menikah terlalu muda. Kalau Gia gagal lulus kuliah, bisa-bisa Om Restu kena hujatan. Om Restu bakal dianggap sebagai suami yang nggak kompeten karena menghalangi istrinya berprestasi. Tuh, ribet, kan, jadinya. Makanya Gia belum mau menikah dalam waktu dekat, Om. Ini Om Restu paham, kan? Harusnya paham dong, masa nggak?" Aku mengambil es teh milik Om Restu, lalu menyedotnya sebanyak mungkin. Ternyata curhat panjang lebar begini membuat tenggorokanku kering. Om Restu menatapku dengan mata berkedip cepat. Mulutnya berulang kali membuka, tapi nggak jadi berbicara. "Om ngerti nggak, sih? Gia udah ngomong panjang lebar, tapi Om Restu cuma mangap-mangap doang. Kalau cuma gitu, Justin sama Maikel juga bisa, Om. Tahu gini, mending Gia curhat sama mereka. Ah, iya. Gia memang udah lama nggak ngobrol sama ikan-ikan Gia. Pantes aja, waktu Gia lewat di pinggir kolam tadi, Barbara ngeliatin terus. Dia pasti habis putus dan butuh curhat." Aku jadi rindu sama semua ikan-ikan hiasku. Om Restu menggeleng, lalu mengusap wajahnya. "Maafkan saya," katanya. "Saya terlalu egois memikirkan keinginan sendiri. Harusnya pernikahan dijalankan sepasang suami-istri dan anak-anaknya. Saya akan menghargai apa pun keputusan kamu. Saya akan menunggu kamu sampai benar-benar siap untuk menikah dengan saya." Aku tersenyum lebar. Kuacungkan dua jempol kurusku untuk Om Restu. "Nah! Gitu dong. Kalau gitu, kan, jadi makin cakep," pujiku. Kedua jempolku sekarang bersilangan dengan jari telunjuk. "Gia sayang Om Restu." Om Restu mengalihkan pandangannya. Kepalanya menunduk. Tangannya sibuk memijit tengkuk. Ah, pacarku benar-benar menggemaskan sekali. Kalau sudah menikah nanti, aku punya dua bayi besar yang harus kuurus. Hidupku pasti akan meriah sekali setelah menikah. Itu juga kalau nggak mau dibilang ribet.Apa itu menikah? Menikah itu nggak terlalu penting, deh. Aku mendadak lupa arti dari menikah. Kayaknya ini efek aku mabuk milk tea, deh. Pergi ke mall ternyata memang bukan hal buruk. Selain kenyang, aku juga mendapatkan pelajaran baru dari orang asing. Alin dan orang tuanya memberikan pandangan baru tentang pernikahan dan keluarga. "Yang paling rumit dari pernikahan bukan cuma masalah antar pasangan, tapi urusan anak. Kalau kamu memang pengin menikah muda, bicarakan lagi kapan kamu siap memiliki anak. Anak memang lucu dan menggemaskan, tapi mereka bisa berubah menjadi monster mengerikan dalam sekejap," kata mamanya Alin sebelum pergi. Suaminya sudah memanggil dan mereka harus segera pulang. Ternyata enak juga berbincang dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal. Untungnya, aku bertemu dengan orang yang nggak usil mengusik kehidupan pribadiku. Tapi, bisa jadi mamanya Alin yang muak karena aku banyak bertanya tentang keluarga kecilnya. Sekarang aku merasa sedikit ringan. Ini buk
Lagi-lagi pernyataan Om Restu tentang menikah denganku menjadi sumber masalah baru. Ayah yang nggak mau kehilangan anak perawan satu-satunya ini menentang keras."Kamu nggak perlu menjanjikan hal yang nggak bisa kamu wujudkan, Restu!" bentak Ayah. "Pernikahan ini bukan main-main. Kamu mengambil anak saya dan menggantikan peran saya untuk membahagiakan Gia. Kamu kira gampang?""Bukan mau menganggap ini mudah, tapi sudah menjadi kewajiban saya, sebagai suami Gia, untuk membahagiakannya," sahut Om Restu."Kamu bukan suami Gia dan nggak akan pernah jadi suami Gia!" Ayah semakin gerah. Wajahnya sudah merah dan hidungnya kembang-kempis. Dari kepalanya mulai keluar asap. Mungkin kutu dan bakteri yang tinggal di kepala Ayah sedang mengadakan pesta api unggun.Ini Om Restu juga kenapa cari perkara sama orang tua terus, sih? Sudah tahu Ayah menentang pernikahan kami. Eh, Om Restu malah ngaku sebagai suamiku. Kayaknya Om Restu merasa punya nyawa seribu, deh.“Yah, tenang dulu!" pinta Bunda sambil
Malam yang keterlaluan panjangnya. Aku sudah lelah banget, tapi masih harus melewati kekacauan ini.Pernyataan Om Restu yang akan segera menikahiku cukup membuatku syok. Aku nggak bisa menerima sikap sok pahlawan Om Restu ini. Bukannya menyelesaikan masalah, ini cuma menceburkanku dalam penderitaan yang baru.Dari dulu, banyak yang menganggap menikah sebagai jalan keluar segala masalah. Demi menutupi aib karena terlanjur hamil duluan, pasangan yang belum cukup umur harus menikah. Jangankan siap menjalani ribetnya pernikahan, KTP saja mereka belum punya.Korban rudapaksa pun banyak yang harus menikah dengan pelaku yang membuatnya trauma seumur hidup. Ini belum kasus lain dengan alasan beraneka ragam; memperbaiki keturunan, menyelamatkan perekonomian keluarga, termasuk alasan politik. Sekarang, aku harus menyelesaikan fitnah ini dengan cara segera menikah juga.Yang gila saja!Aku yang mendapatkan fitnah. Tapi, aku juga yang harus sengsara. Aku yang menjadi korban. Tapi, aku juga yang ha
"YA, ALLAH. NGAPAIN KALIAN MESUM DI SINI?" Bu Budi berdiri di depan rumahku. Tanpa berteriak pun suara Bu Budi bisa mengalahkan deru mesin motor dua tak yang menggunakan knalpon racing, apalagi sekarang.Lihat saja efeknya!Tetanggaku satu per satu mulai bermunculan. Mereka nyaris sama, panik dan penasaran. Mungkin dari dalam rumah, teriakan Bu Budi terdengar seperti orang ketakutan karena melihat setan atau malah Gozila yang menghancurkan apa pun. Mereka khawatir dan berusaha menyelamatkan diri. Buktinya, Bu Ajeng keluar rumah memakai piyama tipis dan menggendong anak balitanya yang masih tidur. Mata merah Bu Ajeng nggak bisa menutupi kepanikan yang ada dalam pikirannya.Nggak cuma para tetangga yang keluar. Ayah dan Bunda juga ikut keluar. "Ada apa, Bu?" tanya Ayah berusaha tenang. Matanya melotot padaku.Menyadari sinyal bahaya yang Ayah berikan, aku buru-buru melepaskan pelukan pada Om Restu. Perasaanku semakin nggak enak karena Bu Budi menunjukku."Lihat! Itu Gia ngapain? Dia mau
Suasananya mendukung. Malamnya cerah. Jarang banget aku bisa melihat sedikit bintang di malam hari. Polusi cahaya di kota besar membuat langit kehilangan pesona. Seringnya langit hanya hamparan hitam tanpa hiasan, nggak menarik sama sekali. Untungnya, malam ini aku bisa melihat satu-dua bintang.Cuaca malam ini juga tenang. Nggak ada angin ribut atau hujan badai. Masih ada embusan angin yang melenyapkan gerah, tapi nggak membuat menggigil.Abang tukang bakso yang berkeliling mencari mangsa memukul kentongan sambil mendorong gerobak. Suaranya beradu dengan gemericik air di kolam dan gonggongan anjing di gang belakang.Sebenarnya, ini nggak romantis sama sekali. Om Restu mengajakku duduk di lantai, bukan di kursi. Kaki panjangnya menjulur dan kedua tangannya menopang di belakang tubuh. Mungkin tubuhnya sudah terlalu lelah. Sejak subuh Om Restu harus bersiap dan hampir tengah malam baru sampai rumah. Pasti Om Restu kehabisan tenaga sekarang.Aku sudah mengambilkan air minum. Om Restu cum
Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest