Home / Romansa / The Wedding Fuss / 3. Normal Dating

Share

3. Normal Dating

Author: Franciarie
last update Last Updated: 2025-04-24 06:56:05

Ternyata mendapat penolakan cinta dari gebetan itu sakitnya nggak seberapa. Aku baru merasakan kepedihan yang lebih parah dari itu. Waktu tahu Bang Hugo cuma mempermainkan perasaanku saja, perihnya nggak parah begini. Ini kayak aku punya luka dalam yang masih baru, yang darahnya saja masih mengalir deras, tapi ada yang sengaja mengguyur lukanya dengan air jeruk nipis dan segentong alkohol. Beuh! Mantap kali pedihnya!

Lagian, kenapa baru sekarang Gavin bilang nggak mau aku jadi mama barunya, sih? Aku kira selama ini dia diam dan mau main sama aku, artinya dia memberikan sebuah penyambutan yang menyenangkan. Selama ini dia nggak pernah protes aku mesra sama papanya. Gavin juga nggak sedingin tembok es, kayak di awal kami bertemu. Harusnya ini baik-baik saja, kan?

Terus, kenapa Gavin mendadak menolakku menjadi emak barunya, sih? Jangan-jangan dia kesurupan? Apa rumah Om Restu ada hantu anak kecil yang nggak suka sama emak-emak? Wah, aku harus cari ustaz buat rukiah rumah Om Restu, sekalian bapak-anak itu. Pantes saja kelakuan mereka aneh, bapaknya posesif, sedangkan anaknya dingin. Ini pasti karena gangguan setan.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu menjadi selalu cemberut sejak kemarin?" Om Restu bertanya dalam perjalanan kami menuju kampusku.

Gavin baru saja turun. Mobil Om Restu belum meninggalkan sekolah Gavin, tapi suasana di mobil sejak tadi memang suram. Gavin lebih banyak diam. Aku yang mencoba mencairkan suasana canggung, tetap menerima pengabaiannya. Om Restu jelas menangkap ada yang nggak beres dari tingkah kaku kami berdua.

Aku bersandar sambil terus menggigiti kuku. "Gavin nggak mau Gia jadi mama barunya, Om," jawabku lirih. Mengulang kalimat Gavin begini saja membuat luka yang disiram alkohol kemarin nyut-nyutan lagi.

Luka kalau terkena alkohol biasanya cepat kering. Kenapa punyaku malah bernanah, sih?

Mobil akhirnya mulai melaju kembali. Om Restu diam cukup lama. Aku yakin sekarang banyak pikiran nggak baik yang memenuhi kepalanya. Kerutan di dahinya menjadi bukti autentik kalau dia sedang berpikir keras.

"Sepertinya kita butuh waktu berdua untuk membahas hal serius," kata Om Restu. Sebentar dia memandangku, lalu kembali fokus menyetir.

Aku kira dia akan diam lebih lama lagi. Kalau iya, aku sudah berencana jalan-jalan ke Afrika dulu. Kayaknya ngobrol sama singa dan kuda nil lebih seru daripada lihat om-om nggak mau ngomong. Tapi, ngeri juga kalau singanya laper, terus membuka mulut lebar-lebar. Bisa-bisa aku berakhir tragis menjadi makanan pencuci mulut hewan liar.

"Gavin nggak diajak?" Sepenuhnya aku memandang Om Restu. Tubuhnya yang duduk tegap dengan kedua tangan mencengkeram kemudi memang nggak ada lawan. Untung aku punya hak untuk mengaguminya. "Sekarang aja Gavin sudah menolak Gia terang-terangan lho. Gimana nanti kalau kita kencan tanpa dia? Bisa-bisa Gavin demo di gedung DPR, Om. Ya, memang susah suara rakyat didengar sama wakil rakyat. Tapi, Gavin mana ngerti? Dia tetap akan menolak keras pernikahan kita, Om."

Tangan Om Restu menggenggam tanganku. "Tidak apa-apa. Nanti saya yang akan berbicara dengan Gavin. Kamu tenang saja."

Bukannya membuatku tenang, Om Restu semakin menambah beban. "Ih, nggak boleh gitu. Gia ini calon emaknya Gavin. Masa Gia nggak diajakin ngobrol? Gia juga pengin tahu alasan Gavin menolak Gia. Bisa-bisanya Om malah minta Gia nggak khawatir, sih?"

Mobil sudah masuk ke gerbang kampus Merva. Om Restu memilih mencari tempat berhenti lebih dulu, sebelum melanjutkan obrolan. "Kita lanjutkan bicara nanti. Kita perlu waktu kencan berdua. Saya akan mengajak kamu dinner."

Aku sengaja memamerkan mulutku yang menjulur panjang. Aku yakin oarfish yang panjang dan pipih kalah dengan mulutku yang manyun. Kalau oarfish menjadi tanda adanya bahaya di lautan, mulutku yang manyun ini sinyal bahaya di hidupku.

Om Restu nggak terpengaruh dengan ekspresi yang sengaja kubuat untuk mengusiknya. Matanya menatapku lembut. Ini pertanda aku harus menuruti permintaannya. Seperti biasa, aku nggak pernah sanggup menolak perintah Om Restu.

"Tapi, Gia yang pilih tempat kencannya!" pintaku tegas. "Selama ini kita kencang nggak pernah ada tempat wajar dan romantis, Om. Bisa nggak kita jalan kayak pasangan normal gitu? Kita bisa nonton film romantis di bioskop biar level keuwuan kita naik gitu, lho. Om Restu malah ngajakin Gia ke kuburan. Masih untung Gia nggak diculik Mbak Kunti atau Bude Wewe. Kan, nggak lucu kalau cewek cakep begini gaulnya sama setan!"

Aku benar-benar meluapkan kekesalanku. Memang cuma ini yang mampu kulakukan. Aku sanggup mengomel panjang lebar selama dua hari lima malam, tapi nggak pernah mampu menolak Om Restu. Nggak tahu yang salah sebenarnya otak atau hatiku, tapi mereka sama-sama saling mengkhianati.

Om Restu tersenyum. Bibirnya membuka sedikit sampai memperlihatkan deretan gigi bagian atasnya. Kedua pipinya mencetak bingkai indah yang memagari bibir berkumis samar-samar itu. Senyuman ini menjadi pemandangan favoritku. Kekesalanku perlahan lenyap hanya dengan melihatnya.

"Baiklah. Kita akan berkencan sesuai yang kamu inginkan," sahutnya dengan tambahan anggukan sekali.

Aku mengacungkan dua jempol. "Nah! Kalau gitu, kan, ganteng." Sengaja aku memujinya. Aku senang melihatnya salah tingkah kayak sekarang.

"Gia kuliah dulu, Om. Nanti kita kencan!" pamitku, lalu keluar.

Apa pun yang akan dibicarakan nanti, yang penting hari ini aku bisa kencan. Aku kencan berdua sama Om Restu. Ini jarang banget bisa terwujud. Kami lebih sering jalan-jalan bertiga bareng Gavin. Memang aku juga suka main bareng Gavin. Tapi, benar kata Om Restu, kami butuh waktu berdua.

Om Restu menjemputku setelah jam kerjanya selesai. Aku harus menunggu lebih dari dua jam karena kelasku berakhir di jam tiga. Untungnya, Om Restu datang sambil membawa sebungkus cilok. Aku nggak mungkin marah karena kebaikannya, kan? Dia rela beli cilok buat aku lho. Pacarku romantis banget nggak, sih?

Jangan lihat yang dibawa Om Restu cuma cilok, tapi fokus ke pengorbanannya. Penjual cilok langgananku itu cowok yang umurnya nggak jauh beda dariku. Biasanya, Om Restu bakal melarangku beli cilok. Bukan karena makanan ini nggak sehat, tapi aku nggak boleh berinteraksi dengan cowok lain selain Om Restu. Jadi, sekarang Om Restu datang dengan seplastik cilok begini menjadi hal romantis buatku.

Kami langsung menuju mall. Di mall itu lengkap banget. Kami bisa nonton film, makan, atau mengomentari orang lain yang penampilannya konyol. Biasanya itu yang aku dan Jessica lakukan. Om Restu pasti suka. Paling nggak, dia harus merasakan menjadi orang normal yang doyan bergibah. Kalau nanti ternyata Om Restu nggak doyan, nggak masalah. Yang penting dia sudah mencobanya.

Kami menikmati kencan kami. Sepanjang langkah kami, Om Restu menggenggam erat tanganku. Telapak tangannya yang besar mampu menyembunyikan jari-jariku yang kecil. Sengatan listrik dalam daya rendah yang terasa menyenangkan selalu muncul setiap kulit kami menempel. Kalau terlalu lama menghabiskan waktu berdua bareng Om Restu begini, aku bisa berubah menjadi meteran listrik. Selain bisa mengalirkan listrik kalau sudah mencapai batas maksimal, aku bisa bunyi "tit tit tit tit". Ini tandanya aku sudah harus diisi pulsa lagi.

Di jam tujuh malam, Om Restu membawaku masuk warung bakso di dalam mall. Rencana nonton terpaksa kami batalkan karena nggak ada film yang menarik. Sebagai gantinya, Om Restu mengajakku belanja baju.

"Kamu butuh pakaian layak pakai yang lebih banyak lagi, Gi," kata Om Restu sambil menunjukkan daster lengan panjang warna hijau ikan wrasse. Daster itu memang cerah ceria. Tapi, jarang banget ada emak-emak yang pakai daster mentereng begitu. Aku juga nggak mau.

Aku menggeleng sambil mengernyit geli. "Om, Gia nggak mungkin pakai itu ke kampus. Gia mau kuliah, bukan nyapu dan nyuci piring di rumah."

Untungnya, kali ini Om Restu nggak memaksakan kehendaknya. "Baiklah. Kamu bisa memilih pakaian yang kamu suka," katanya sambil mengembalikan daster ke tempatnya berada.

"Makasih, Om," kataku sambil menunjukkan simbol cinta dengan jempol dan telunjuk. Jessica yang mengajariku. Katanya, orang Korea suka melakukan ini untuk mengungkapkan cinta.

"Tolong jangan pilih pakaian yang seksi. Kamu sebaiknya tidak mengambil pakaian minim yang seperti kekurangan bahan. Yang paling penting, kamu tidak boleh terlalu mengumbar aurat." Om Restu mengucapkannya dengan senyuman.

Bahuku merosot. Semangatku lenyap. Terpaksa aku menuruti perintahnya. Aku memilih dress panjang yang lebih mirip gamis dan kemeja lengan panjang. Untuk menjaga penampilanku tetap terlindungi, Om Restu memilihkan hoodie merah muda yang ukurannya terlalu besar di tubuhku.

Demi menuntaskan kekesalan, aku memesan bakso yang kucampur banyak sambal. Rasa pedas pasti berhasil menjadi perantara pelampiasan emosi. Aku nggak mungkin memaki Om Restu. Selain cuma buang-buang energi, omelanku pasti nggak akan membuatnya berubah. Posesif sudah masuk ke dalam unsur utama DNA Om Restu.

"Jangan siksa lambung kamu dengan terlalu sering makan pedas, Gi. Kamu mungkin menikmati efek panas sampai berkeringat dan menangis, tapi tidak dengan lambungmu. Organ dalammu juga butuh bahagia, bukan terus-menerus mendapat siksaan." Om Restu mengambil mangkuk milikku yang baru kuhabiskan setengah isinya. Sebagai gantinya, Om Restu memberikan baksonya yang masih utuh. Om Restu bahkan belum menambahkan apa pun ke baksonya.

Seperti biasa, aku menurut. Aku menghabiskan bakso, yang seharusnya Om Restu makan. Nggak tahu bakso ini memang enak atau perasaanku yang kacau, aku berhasil menyelesaikan makanku dalam waktu singkat.

"Om nggak makan? Nggak mau pesen baru? Gia pesenin, ya?" tanyaku setelah kekenyangan. Nggak enak juga merasa kenyang sendirian.

Om Restu menggeleng. "Tolong bersihkan bibirmu." Dia memberiku tisu. "Hanya melihat kamu makan dengan lahap saja sudah membuat saya kenyang dan juga senang."

Aku menyeka bibir yang ternyata berlepotan kuah. "Maksudnya Gia mirip bakso gitu, bisa bikin kenyang? Bagian mana yang mirip bakso, sih? Kayaknya Gia nggak bulat dan berurat, kok."

Tawa Om Restu membuatku semakin kesal. Setelah melihatku mencebik, barulah Om Restu berhenti tertawa.

"Saya tidak sabar untuk menikah dengan kamu. Kamu menggemaskan sekali, Gi," kata Om Restu serius. Kedua tangannya berada di meja dengan jemari saling bertautan. Matanya menatapku lembut, lengkap dengan senyum menyenangkan.

Aku duduk tegap mengikutinya. Tanganku juga di meja, tanpa jari yang bertaut. Aku lebih memilih menggenggam gelas yang isinya tinggal es batu saja. "Om nggak mau ngajakin Gia nikah sekarang juga, kan?" tanyaku. Nggak tahu karena efek pedas atau dari pertanyaan Om Restu, aku mulai gelisah.

"Kapan kamu siap menikah dengan saya?" tanya Om Restu menuntut kepastian.

Aku mematung. Ajakan nikah harusnya membuat bahagia. Tapi, aku justru merasakan kayak mendapatkan tuntutan untuk perang di Palestina. Ini mengerikan!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Wedding Fuss   4. Affraidd of Marry

    Makan malam yang harusnya romantis, mendadak menjadi suram. Ini bukan karena kami cuma dinner pakai bakso. Nggak ada yang salah dengan candle light dinner pakai bakso atau seblak sekalipun. Yang bikin suram itu orang yang duduk di hadapanku.Om Restu memang bersikap biasa saja. Dia sama sekali nggak merasa bersalah setelah membuat jantungku nyaris kabur lewat mulut. Tapi, aku tentu nggak bisa bersikap biasa saja.Gimana mungkin aku tenang setelah pacarku yang ganteng, posesif, dan punya anak satu ini bertanya kapan aku siap menikah? Boro-boro tenang, buat bernapas lancar saja sudah alhamdulillah. Aku bahkan harus bernapas lewat mulut, mirip cara ikan-ikan peliharaanku bertahan hidup di dalam air. Untung saja aku nggak punya ekor dan mata yang nggak bisa berkedip.Mendadak pikiranku melayang ke hari pertemuan pertamaku dengan calon mertua. Aduh! Lidahku yang memanggil orang tua Om Restu sebagai calon mertua saja sukses bikin merinding. Rasa geli dan getarannya menimbulkan sensasi asing

  • The Wedding Fuss   3. Normal Dating

    Ternyata mendapat penolakan cinta dari gebetan itu sakitnya nggak seberapa. Aku baru merasakan kepedihan yang lebih parah dari itu. Waktu tahu Bang Hugo cuma mempermainkan perasaanku saja, perihnya nggak parah begini. Ini kayak aku punya luka dalam yang masih baru, yang darahnya saja masih mengalir deras, tapi ada yang sengaja mengguyur lukanya dengan air jeruk nipis dan segentong alkohol. Beuh! Mantap kali pedihnya!Lagian, kenapa baru sekarang Gavin bilang nggak mau aku jadi mama barunya, sih? Aku kira selama ini dia diam dan mau main sama aku, artinya dia memberikan sebuah penyambutan yang menyenangkan. Selama ini dia nggak pernah protes aku mesra sama papanya. Gavin juga nggak sedingin tembok es, kayak di awal kami bertemu. Harusnya ini baik-baik saja, kan?Terus, kenapa Gavin mendadak menolakku menjadi emak barunya, sih? Jangan-jangan dia kesurupan? Apa rumah Om Restu ada hantu anak kecil yang nggak suka sama emak-emak? Wah, aku harus cari ustaz buat rukiah rumah Om Restu, sekali

  • The Wedding Fuss   2. Compare With The Past

    Pacaran jarak jauh? Kok ada, sih, orang yang bisa bertahan lama dalam hubungan, tapi jarang bertemu? Apa enaknya pacaran cuma ngobrol dan saling bertanya kabar lewat ponsel? Kalau cuma bertanya kabar dan mengingatkan makan, alarm ponsel juga mampu. Kalian tinggal pasang pengingat di waktu yang diinginkan dengan keterangan yang menggoda. Saat waktunya tiba, di layar ponsel akan muncul pemberitahuan yang perhatian banget sama kalian. Alarm bahkan nggak akan berkhianat, paling cuma nggak bunyi kalau lupa isi ulang baterai ponsel saja.Untungnya, aku punya pacar yang rumahnya nggak jauh, malah keterlaluan dekatnya. Jarak rumah kami nggak sampai sepuluh meter. Kalau janjian bertemu, hanya dengan membuka pintu rumah saja kami sudah bisa melepas rindu. Sayangnya, aku nggak pernah merasakan nikmatnya menelepon pacar sambil duduk di pinggir jendela, lalu saling melambaikan tangan di tengah malam. Om Restu lebih senang datang menghampiriku dan berbicara langsung daripada harus melalui perantara

  • The Wedding Fuss   1. Possessive Man

    Kalian punya pacar posesif? Kasihan!Aku berani menjamin hidup kalian nggak akan tenang lagi. Aturan ketat yang dia buat hanya akan menjadi penghambat semua impian kalian. Pepatah yang mengatakan 'dunia seperti milik berdua, sedangkan yang lain ngontrak' nggak lagi terasa romantis, tapi justru miris. Kecemasan yang dia rasakan jelas memberikan siksaan untuk kalian.Memang orang yang posesif itu konyol. Mereka yang takut berlebihan, tapi orang lain yang harus merasakan penderitaan. Nggak enak, kok, ngajak-ngajak. Apa mereka nggak bisa menikmati kecemasan dan ketakutannya dalam diam gitu? Kalau senang-senang, bolehlah dia mengajak banyak orang untuk ikut merasakan.Ada yang lebih konyol dari orang posesif: orang yang masih bertahan dalam sebuah hubungan bersama pasangannya yang posesif. Sudah tahu hubungan ini cuma membuat kesal, tapi masih saja nggak mau melepas. Ini lelucon paling nggak lucu sepanjang abad. Ah, Firaun saja sampai bengong mendengar kisah ini.Kalau kalian merasakan itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status