Ternyata mendapat penolakan cinta dari gebetan itu sakitnya nggak seberapa. Aku baru merasakan kepedihan yang lebih parah dari itu. Waktu tahu Bang Hugo cuma mempermainkan perasaanku saja, perihnya nggak parah begini. Ini kayak aku punya luka dalam yang masih baru, yang darahnya saja masih mengalir deras, tapi ada yang sengaja mengguyur lukanya dengan air jeruk nipis dan segentong alkohol. Beuh! Mantap kali pedihnya!
Lagian, kenapa baru sekarang Gavin bilang nggak mau aku jadi mama barunya, sih? Aku kira selama ini dia diam dan mau main sama aku, artinya dia memberikan sebuah penyambutan yang menyenangkan. Selama ini dia nggak pernah protes aku mesra sama papanya. Gavin juga nggak sedingin tembok es, kayak di awal kami bertemu. Harusnya ini baik-baik saja, kan? Terus, kenapa Gavin mendadak menolakku menjadi emak barunya, sih? Jangan-jangan dia kesurupan? Apa rumah Om Restu ada hantu anak kecil yang nggak suka sama emak-emak? Wah, aku harus cari ustaz buat rukiah rumah Om Restu, sekalian bapak-anak itu. Pantes saja kelakuan mereka aneh, bapaknya posesif, sedangkan anaknya dingin. Ini pasti karena gangguan setan. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu menjadi selalu cemberut sejak kemarin?" Om Restu bertanya dalam perjalanan kami menuju kampusku. Gavin baru saja turun. Mobil Om Restu belum meninggalkan sekolah Gavin, tapi suasana di mobil sejak tadi memang suram. Gavin lebih banyak diam. Aku yang mencoba mencairkan suasana canggung, tetap menerima pengabaiannya. Om Restu jelas menangkap ada yang nggak beres dari tingkah kaku kami berdua. Aku bersandar sambil terus menggigiti kuku. "Gavin nggak mau Gia jadi mama barunya, Om," jawabku lirih. Mengulang kalimat Gavin begini saja membuat luka yang disiram alkohol kemarin nyut-nyutan lagi. Luka kalau terkena alkohol biasanya cepat kering. Kenapa punyaku malah bernanah, sih? Mobil akhirnya mulai melaju kembali. Om Restu diam cukup lama. Aku yakin sekarang banyak pikiran nggak baik yang memenuhi kepalanya. Kerutan di dahinya menjadi bukti autentik kalau dia sedang berpikir keras. "Sepertinya kita butuh waktu berdua untuk membahas hal serius," kata Om Restu. Sebentar dia memandangku, lalu kembali fokus menyetir. Aku kira dia akan diam lebih lama lagi. Kalau iya, aku sudah berencana jalan-jalan ke Afrika dulu. Kayaknya ngobrol sama singa dan kuda nil lebih seru daripada lihat om-om nggak mau ngomong. Tapi, ngeri juga kalau singanya laper, terus membuka mulut lebar-lebar. Bisa-bisa aku berakhir tragis menjadi makanan pencuci mulut hewan liar. "Gavin nggak diajak?" Sepenuhnya aku memandang Om Restu. Tubuhnya yang duduk tegap dengan kedua tangan mencengkeram kemudi memang nggak ada lawan. Untung aku punya hak untuk mengaguminya. "Sekarang aja Gavin sudah menolak Gia terang-terangan lho. Gimana nanti kalau kita kencan tanpa dia? Bisa-bisa Gavin demo di gedung DPR, Om. Ya, memang susah suara rakyat didengar sama wakil rakyat. Tapi, Gavin mana ngerti? Dia tetap akan menolak keras pernikahan kita, Om." Tangan Om Restu menggenggam tanganku. "Tidak apa-apa. Nanti saya yang akan berbicara dengan Gavin. Kamu tenang saja." Bukannya membuatku tenang, Om Restu semakin menambah beban. "Ih, nggak boleh gitu. Gia ini calon emaknya Gavin. Masa Gia nggak diajakin ngobrol? Gia juga pengin tahu alasan Gavin menolak Gia. Bisa-bisanya Om malah minta Gia nggak khawatir, sih?" Mobil sudah masuk ke gerbang kampus Merva. Om Restu memilih mencari tempat berhenti lebih dulu, sebelum melanjutkan obrolan. "Kita lanjutkan bicara nanti. Kita perlu waktu kencan berdua. Saya akan mengajak kamu dinner." Aku sengaja memamerkan mulutku yang menjulur panjang. Aku yakin oarfish yang panjang dan pipih kalah dengan mulutku yang manyun. Kalau oarfish menjadi tanda adanya bahaya di lautan, mulutku yang manyun ini sinyal bahaya di hidupku. Om Restu nggak terpengaruh dengan ekspresi yang sengaja kubuat untuk mengusiknya. Matanya menatapku lembut. Ini pertanda aku harus menuruti permintaannya. Seperti biasa, aku nggak pernah sanggup menolak perintah Om Restu. "Tapi, Gia yang pilih tempat kencannya!" pintaku tegas. "Selama ini kita kencang nggak pernah ada tempat wajar dan romantis, Om. Bisa nggak kita jalan kayak pasangan normal gitu? Kita bisa nonton film romantis di bioskop biar level keuwuan kita naik gitu, lho. Om Restu malah ngajakin Gia ke kuburan. Masih untung Gia nggak diculik Mbak Kunti atau Bude Wewe. Kan, nggak lucu kalau cewek cakep begini gaulnya sama setan!" Aku benar-benar meluapkan kekesalanku. Memang cuma ini yang mampu kulakukan. Aku sanggup mengomel panjang lebar selama dua hari lima malam, tapi nggak pernah mampu menolak Om Restu. Nggak tahu yang salah sebenarnya otak atau hatiku, tapi mereka sama-sama saling mengkhianati. Om Restu tersenyum. Bibirnya membuka sedikit sampai memperlihatkan deretan gigi bagian atasnya. Kedua pipinya mencetak bingkai indah yang memagari bibir berkumis samar-samar itu. Senyuman ini menjadi pemandangan favoritku. Kekesalanku perlahan lenyap hanya dengan melihatnya. "Baiklah. Kita akan berkencan sesuai yang kamu inginkan," sahutnya dengan tambahan anggukan sekali. Aku mengacungkan dua jempol. "Nah! Kalau gitu, kan, ganteng." Sengaja aku memujinya. Aku senang melihatnya salah tingkah kayak sekarang. "Gia kuliah dulu, Om. Nanti kita kencan!" pamitku, lalu keluar. Apa pun yang akan dibicarakan nanti, yang penting hari ini aku bisa kencan. Aku kencan berdua sama Om Restu. Ini jarang banget bisa terwujud. Kami lebih sering jalan-jalan bertiga bareng Gavin. Memang aku juga suka main bareng Gavin. Tapi, benar kata Om Restu, kami butuh waktu berdua. Om Restu menjemputku setelah jam kerjanya selesai. Aku harus menunggu lebih dari dua jam karena kelasku berakhir di jam tiga. Untungnya, Om Restu datang sambil membawa sebungkus cilok. Aku nggak mungkin marah karena kebaikannya, kan? Dia rela beli cilok buat aku lho. Pacarku romantis banget nggak, sih? Jangan lihat yang dibawa Om Restu cuma cilok, tapi fokus ke pengorbanannya. Penjual cilok langgananku itu cowok yang umurnya nggak jauh beda dariku. Biasanya, Om Restu bakal melarangku beli cilok. Bukan karena makanan ini nggak sehat, tapi aku nggak boleh berinteraksi dengan cowok lain selain Om Restu. Jadi, sekarang Om Restu datang dengan seplastik cilok begini menjadi hal romantis buatku. Kami langsung menuju mall. Di mall itu lengkap banget. Kami bisa nonton film, makan, atau mengomentari orang lain yang penampilannya konyol. Biasanya itu yang aku dan Jessica lakukan. Om Restu pasti suka. Paling nggak, dia harus merasakan menjadi orang normal yang doyan bergibah. Kalau nanti ternyata Om Restu nggak doyan, nggak masalah. Yang penting dia sudah mencobanya. Kami menikmati kencan kami. Sepanjang langkah kami, Om Restu menggenggam erat tanganku. Telapak tangannya yang besar mampu menyembunyikan jari-jariku yang kecil. Sengatan listrik dalam daya rendah yang terasa menyenangkan selalu muncul setiap kulit kami menempel. Kalau terlalu lama menghabiskan waktu berdua bareng Om Restu begini, aku bisa berubah menjadi meteran listrik. Selain bisa mengalirkan listrik kalau sudah mencapai batas maksimal, aku bisa bunyi "tit tit tit tit". Ini tandanya aku sudah harus diisi pulsa lagi. Di jam tujuh malam, Om Restu membawaku masuk warung bakso di dalam mall. Rencana nonton terpaksa kami batalkan karena nggak ada film yang menarik. Sebagai gantinya, Om Restu mengajakku belanja baju. "Kamu butuh pakaian layak pakai yang lebih banyak lagi, Gi," kata Om Restu sambil menunjukkan daster lengan panjang warna hijau ikan wrasse. Daster itu memang cerah ceria. Tapi, jarang banget ada emak-emak yang pakai daster mentereng begitu. Aku juga nggak mau. Aku menggeleng sambil mengernyit geli. "Om, Gia nggak mungkin pakai itu ke kampus. Gia mau kuliah, bukan nyapu dan nyuci piring di rumah." Untungnya, kali ini Om Restu nggak memaksakan kehendaknya. "Baiklah. Kamu bisa memilih pakaian yang kamu suka," katanya sambil mengembalikan daster ke tempatnya berada. "Makasih, Om," kataku sambil menunjukkan simbol cinta dengan jempol dan telunjuk. Jessica yang mengajariku. Katanya, orang Korea suka melakukan ini untuk mengungkapkan cinta. "Tolong jangan pilih pakaian yang seksi. Kamu sebaiknya tidak mengambil pakaian minim yang seperti kekurangan bahan. Yang paling penting, kamu tidak boleh terlalu mengumbar aurat." Om Restu mengucapkannya dengan senyuman. Bahuku merosot. Semangatku lenyap. Terpaksa aku menuruti perintahnya. Aku memilih dress panjang yang lebih mirip gamis dan kemeja lengan panjang. Untuk menjaga penampilanku tetap terlindungi, Om Restu memilihkan hoodie merah muda yang ukurannya terlalu besar di tubuhku. Demi menuntaskan kekesalan, aku memesan bakso yang kucampur banyak sambal. Rasa pedas pasti berhasil menjadi perantara pelampiasan emosi. Aku nggak mungkin memaki Om Restu. Selain cuma buang-buang energi, omelanku pasti nggak akan membuatnya berubah. Posesif sudah masuk ke dalam unsur utama DNA Om Restu. "Jangan siksa lambung kamu dengan terlalu sering makan pedas, Gi. Kamu mungkin menikmati efek panas sampai berkeringat dan menangis, tapi tidak dengan lambungmu. Organ dalammu juga butuh bahagia, bukan terus-menerus mendapat siksaan." Om Restu mengambil mangkuk milikku yang baru kuhabiskan setengah isinya. Sebagai gantinya, Om Restu memberikan baksonya yang masih utuh. Om Restu bahkan belum menambahkan apa pun ke baksonya. Seperti biasa, aku menurut. Aku menghabiskan bakso, yang seharusnya Om Restu makan. Nggak tahu bakso ini memang enak atau perasaanku yang kacau, aku berhasil menyelesaikan makanku dalam waktu singkat. "Om nggak makan? Nggak mau pesen baru? Gia pesenin, ya?" tanyaku setelah kekenyangan. Nggak enak juga merasa kenyang sendirian. Om Restu menggeleng. "Tolong bersihkan bibirmu." Dia memberiku tisu. "Hanya melihat kamu makan dengan lahap saja sudah membuat saya kenyang dan juga senang." Aku menyeka bibir yang ternyata berlepotan kuah. "Maksudnya Gia mirip bakso gitu, bisa bikin kenyang? Bagian mana yang mirip bakso, sih? Kayaknya Gia nggak bulat dan berurat, kok." Tawa Om Restu membuatku semakin kesal. Setelah melihatku mencebik, barulah Om Restu berhenti tertawa. "Saya tidak sabar untuk menikah dengan kamu. Kamu menggemaskan sekali, Gi," kata Om Restu serius. Kedua tangannya berada di meja dengan jemari saling bertautan. Matanya menatapku lembut, lengkap dengan senyum menyenangkan. Aku duduk tegap mengikutinya. Tanganku juga di meja, tanpa jari yang bertaut. Aku lebih memilih menggenggam gelas yang isinya tinggal es batu saja. "Om nggak mau ngajakin Gia nikah sekarang juga, kan?" tanyaku. Nggak tahu karena efek pedas atau dari pertanyaan Om Restu, aku mulai gelisah. "Kapan kamu siap menikah dengan saya?" tanya Om Restu menuntut kepastian. Aku mematung. Ajakan nikah harusnya membuat bahagia. Tapi, aku justru merasakan kayak mendapatkan tuntutan untuk perang di Palestina. Ini mengerikan!Apa itu menikah? Menikah itu nggak terlalu penting, deh. Aku mendadak lupa arti dari menikah. Kayaknya ini efek aku mabuk milk tea, deh. Pergi ke mall ternyata memang bukan hal buruk. Selain kenyang, aku juga mendapatkan pelajaran baru dari orang asing. Alin dan orang tuanya memberikan pandangan baru tentang pernikahan dan keluarga. "Yang paling rumit dari pernikahan bukan cuma masalah antar pasangan, tapi urusan anak. Kalau kamu memang pengin menikah muda, bicarakan lagi kapan kamu siap memiliki anak. Anak memang lucu dan menggemaskan, tapi mereka bisa berubah menjadi monster mengerikan dalam sekejap," kata mamanya Alin sebelum pergi. Suaminya sudah memanggil dan mereka harus segera pulang. Ternyata enak juga berbincang dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal. Untungnya, aku bertemu dengan orang yang nggak usil mengusik kehidupan pribadiku. Tapi, bisa jadi mamanya Alin yang muak karena aku banyak bertanya tentang keluarga kecilnya. Sekarang aku merasa sedikit ringan. Ini buk
Lagi-lagi pernyataan Om Restu tentang menikah denganku menjadi sumber masalah baru. Ayah yang nggak mau kehilangan anak perawan satu-satunya ini menentang keras."Kamu nggak perlu menjanjikan hal yang nggak bisa kamu wujudkan, Restu!" bentak Ayah. "Pernikahan ini bukan main-main. Kamu mengambil anak saya dan menggantikan peran saya untuk membahagiakan Gia. Kamu kira gampang?""Bukan mau menganggap ini mudah, tapi sudah menjadi kewajiban saya, sebagai suami Gia, untuk membahagiakannya," sahut Om Restu."Kamu bukan suami Gia dan nggak akan pernah jadi suami Gia!" Ayah semakin gerah. Wajahnya sudah merah dan hidungnya kembang-kempis. Dari kepalanya mulai keluar asap. Mungkin kutu dan bakteri yang tinggal di kepala Ayah sedang mengadakan pesta api unggun.Ini Om Restu juga kenapa cari perkara sama orang tua terus, sih? Sudah tahu Ayah menentang pernikahan kami. Eh, Om Restu malah ngaku sebagai suamiku. Kayaknya Om Restu merasa punya nyawa seribu, deh.“Yah, tenang dulu!" pinta Bunda sambil
Malam yang keterlaluan panjangnya. Aku sudah lelah banget, tapi masih harus melewati kekacauan ini.Pernyataan Om Restu yang akan segera menikahiku cukup membuatku syok. Aku nggak bisa menerima sikap sok pahlawan Om Restu ini. Bukannya menyelesaikan masalah, ini cuma menceburkanku dalam penderitaan yang baru.Dari dulu, banyak yang menganggap menikah sebagai jalan keluar segala masalah. Demi menutupi aib karena terlanjur hamil duluan, pasangan yang belum cukup umur harus menikah. Jangankan siap menjalani ribetnya pernikahan, KTP saja mereka belum punya.Korban rudapaksa pun banyak yang harus menikah dengan pelaku yang membuatnya trauma seumur hidup. Ini belum kasus lain dengan alasan beraneka ragam; memperbaiki keturunan, menyelamatkan perekonomian keluarga, termasuk alasan politik. Sekarang, aku harus menyelesaikan fitnah ini dengan cara segera menikah juga.Yang gila saja!Aku yang mendapatkan fitnah. Tapi, aku juga yang harus sengsara. Aku yang menjadi korban. Tapi, aku juga yang ha
"YA, ALLAH. NGAPAIN KALIAN MESUM DI SINI?" Bu Budi berdiri di depan rumahku. Tanpa berteriak pun suara Bu Budi bisa mengalahkan deru mesin motor dua tak yang menggunakan knalpon racing, apalagi sekarang.Lihat saja efeknya!Tetanggaku satu per satu mulai bermunculan. Mereka nyaris sama, panik dan penasaran. Mungkin dari dalam rumah, teriakan Bu Budi terdengar seperti orang ketakutan karena melihat setan atau malah Gozila yang menghancurkan apa pun. Mereka khawatir dan berusaha menyelamatkan diri. Buktinya, Bu Ajeng keluar rumah memakai piyama tipis dan menggendong anak balitanya yang masih tidur. Mata merah Bu Ajeng nggak bisa menutupi kepanikan yang ada dalam pikirannya.Nggak cuma para tetangga yang keluar. Ayah dan Bunda juga ikut keluar. "Ada apa, Bu?" tanya Ayah berusaha tenang. Matanya melotot padaku.Menyadari sinyal bahaya yang Ayah berikan, aku buru-buru melepaskan pelukan pada Om Restu. Perasaanku semakin nggak enak karena Bu Budi menunjukku."Lihat! Itu Gia ngapain? Dia mau
Suasananya mendukung. Malamnya cerah. Jarang banget aku bisa melihat sedikit bintang di malam hari. Polusi cahaya di kota besar membuat langit kehilangan pesona. Seringnya langit hanya hamparan hitam tanpa hiasan, nggak menarik sama sekali. Untungnya, malam ini aku bisa melihat satu-dua bintang.Cuaca malam ini juga tenang. Nggak ada angin ribut atau hujan badai. Masih ada embusan angin yang melenyapkan gerah, tapi nggak membuat menggigil.Abang tukang bakso yang berkeliling mencari mangsa memukul kentongan sambil mendorong gerobak. Suaranya beradu dengan gemericik air di kolam dan gonggongan anjing di gang belakang.Sebenarnya, ini nggak romantis sama sekali. Om Restu mengajakku duduk di lantai, bukan di kursi. Kaki panjangnya menjulur dan kedua tangannya menopang di belakang tubuh. Mungkin tubuhnya sudah terlalu lelah. Sejak subuh Om Restu harus bersiap dan hampir tengah malam baru sampai rumah. Pasti Om Restu kehabisan tenaga sekarang.Aku sudah mengambilkan air minum. Om Restu cum
Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest