Apa enaknya menikah muda, sih?
Aku terus memikirkan tentang pernikahan sejak kencan sama Om Restu tiga hari lalu. Sebenarnya, yang muncul di kepalaku nggak melulu soal buruknya menikah. Aku bisa membayangkan serunya menjalani kehidupan baru bareng Om Restu dan Gavin.
Sejak bangun tidur, aku sudah bisa melihat bapak dan anak itu rusuh di dalam rumah. Dua orang pria berbeda usia dengan tingkat menyebalkan yang sama itu pasti sudah membuatku mengomel sejak pagi hari. Mereka nggak akan berhenti mengusik ketenangan hidupku sampai mataku bisa memejam.
Tunggu dulu!
Kenapa pernikahan menjadi terasa menyebalkan, ya?
Kehadiran Om Restu dan Gavin harusnya membuatku bahagia. Mereka melengkapi hidupku. Tapi, kenapa malah aku yang harus tersiksa, sih?
Aku mengembuskan napas berat, lalu memperbaiki posisi duduk. Punggungku tegap. Mataku memandang orang-orang yang berseliweran di depanku, tapi nggak ada yang berhasil mencuri perhatianku. Berisiknya kantin juga nggak mempengaruhi kegelisahan yang terus menempel padaku. Jari-jari tanganku mengetuk meja, membuat nada acak yang sumbang. Kakiku bergerak, menggetarkan meja kotak yang masih kosong ini.
"Kenapa?" tanya Jessica, lalu duduk di hadapanku. Dia memberikan gelas plastik berisi jus mangga untukku.
Aku menerima jus titipanku, lalu menusukkan sedotan ke tutupnya dengan keras sampai menimbulkan bunyi kencang. "Makasih, Je." Kusedot banyak-banyak jus dingin kesukaanku. Rasa manis yang dingin menguasai mulutku begitu gumpalan mangga lembut masuk.
Jessica melakukan hal yang sama ke jus alpukat miliknya, tapi dengan cara yang lebih normal. Matanya terus memandangku. Kerutan di dahinya menandakan dia masih penasaran dengan jawabanku.
"Lo mau nikah muda nggak, Je?" Aku mulai bercerita. Walau kakiku nggak bergerak serampangan lagi, aku belum berhasil menenangkan diri. Manis dan dinginnya jus nggak mampu menghilangkan keresahanku sama sekali.
Kayaknya aku butuh es krim cokelat, deh. Nanti aku mau minta Om Restu membelikan es krim yang banyak. Om Restu harus bertanggung jawab. Ini semua gara-gara pria tua itu membuatku resah. Coba kalau Om Restu nggak menanyakan soal pernikahan, aku pasti masih bisa menikmati siomai, bakso, atau mi ayam.
Bukan aku nggak merasa lapar sampai malas makan. Aku lapar, lapar banget. Tapi, setiap melihat makanan, otakku langsung kacau. Pertanyaan-pertanyaan konyol berkeliaran di kepalaku.
Nanti kalau udah menikah, aku bisa makan mi ayam sesukanya nggak, ya? Om Restu yang bawel itu nggak mungkin membiarkan istrinya makan makanan nggak sehat terus-terusan. Tapi, mi ayam pinggir jalan itu jelas lebih enak daripada bikin sendiri. Selain aku nggak perlu membuang tenaga untuk masak, micin segambreng membuat rasanya semakin nikmat.
Itu baru perkara makan mi ayam, belum kalau mau makan bakso, burger, cilok, bubur ayam, kwetiau, sate taichan, rendang, sushi, dan sejenisnya, dan seterusnya, dan sebagainya. Cuma masalah makanan saja sudah bikin aku minder. Gimana persoalan lainnya? Kalau harus menjabarkannya, keseluruhan buku Harry Potter bisa kalah tebal dengan keluhanku.
Jessica mengaduk jus alpukat miliknya dengan sedotan. "Gue pengin nikah, tapi nggak dalam waktu dekat. Gila aja di usia gue yang masih seger-segernya harus nikah," jawab Jessica.
Aku mengangguk membenarkan jawabannya. Telunjukku mengarah ke Jessica. "Nah! Bener banget! Kita baru menikmati masa kuliah di awal,lho. Ini artinya, kita ini sedang memasuki usia yang menggemaskan banget. Om Restu juga mengakui kalau gue ini menggemaskan. Masa iya waktu indah ini harus gue tumbalkan menjadi ibu rumah tangga?"
"Lo pasang susuk di mana, sih?" tanya Jessica melenceng dari pembahasan.
"Kenapa?" Dia berhasil membuatku penasaran.
Mata Jessica memandangku sinis dari atas sampai bawah. Dia bahkan membungkukkan badan biar bisa melihat kakiku di bawah meja. "Wujud lo padahal biasa aja, deh. Penampilan lo malah berantakan. Coba lihat!" Jessica menunjuk rambutku. "Rambut cuma diiket kayak penjual daging di pasar. Muka nggak pakai make up. Baju diskonan di market place."
Aku menyentuh rambutku. Memang aku mengikat rambutku asal karena gerah banget. Rambut-rambut pendek yang nggak berhasil masuk ke dalam ikatan mencuat di sekeliling wajahku sampai tengkuk.
Jessica juga benar tentang make up. Aku nggak suka dandan karena menurutku terlalu ribet. Bedak dan lip tint menjadi senjata utama setiap aku pergi. Kalau masih bisa keluyuran tanpa berdandan heboh, aku pasti memilih nggak memakai make up berlebih. Ini juga cara menghemat pengeluaran karena aku nggak perlu boros urusan dandan.Aku memang memakai pakaian yang santai. Kemeja flanel yang kubeli waktu flash sale ini menjadi pakaian favoritku. Selain harganya yang murah, alasanku menjadikan ini pakaian favorit adalah Om Restu nggak pernah protes setiap aku memakainya.
Semua orang juga tahu gimana ribetnya Om Restu. Aku nggak mungkin mencari perkara dengan memakai pakaian konyol yang akan menimbulkan pertumpahan darah dari warga sipil. Tentu akulah warga sipil yang paling dirugikan dalam perang ini.Aku meringis, menyadari penampilanku yang kacau. "Ada yang salah?" tanyaku mencoba santai.
"Nggak. Lo nggak salah." Jessica menggeleng. "Gue cuma heran aja. Kenapa Om Restu bisa tergila-gila sama lo? Penampilan lo nggak keren. Otak juga pas-pasan. Kalau bukan pengaruh susuk dukun sakti, dari mana lo punya kelebihan?" ejek Jessica.
Aku melempar sedotan ke arahnya. "Sial!" makiku.
Jessica tertawa. Suara kencangnya berhasil membuat orang-orang memandangnya. Aku yang duduk bareng dia saja sampai malu, tapi Jessica nggak peduli. Jessica tetap meluapkan perasaannya.
"Lo kenapa, sih? Ngapain nanya soal nikah muda segala? Om Restu ngebet nikah?" tanya Jessica setelah berhasil menguasai diri.
Aku mengembuskan napas berat, lalu mengangguk. "Dari awal Om Restu itu minta gue jadi istrinya. Tapi, gue nggak siap."
Jessica sudah memilih posisi nyaman untuk mendengarkan curhatanku. Dia bahkan melipat kedua tangannya di meja dengan wajah antusias. Ekspresinya mirip balita yang baru pertama kali bertemu pesulap, yang siap pamer trik melenyapkan dosa-dosa masa lalu.
"Jangan bilang lo sebenernya nggak suka sama Om Restu," tuduh Jessica dengan mata membulat lebar. Mulutnya membentuk bulatan tanpa suara. Kepalanya menggeleng untuk mendramatisir keadaan.
"Bukan!" bantahku buru-buru. "Gue beneran sayang sama Om Restu. Walaupun Om Restu itu nyebelin, bawel, posesif, dan duda beranak satu, tapi gue cinta. C-I-N-T-A. Cin-ta. Cinta. Lo ngerti artinya cinta, kan, Je?"
Jessica mengangguk. Saat mulutnya terbuka, bersiap untuk menjawab pertanyaanku, aku meletakkan telunjuk ke bibir. Jessica menelan semua kata-kata yang belum sempat dia semburkan.
"Cinta itu artinya sebusuk apa pun dia, kita tetap akan selalu bisa menerima kondisinya. Itu juga yang terjadi sama gue, Je. Gue selalu menerima Om Restu apa adanya. Om Restu ganteng, ya, gue terima. Om Restu kaya, ya, gue terima. Kurang apa coba jadi pacar gue? Om Restu harusnya bangga punya pacar Anggiana Praba." Aku menepuk-nepuk dadaku dengan angkuh.
"Kurang mau diajakin nikah aja." Jessica mematahkan kesombonganku dengan mudah.
Kepalaku langsung menunduk. Aku mendadak kehilangan kemampuan untuk menyombongkan diri.
"Gue nggak tahu apa yang ada di otak lo." Jessica melanjutkan ucapannya. "Tapi, gue cuma berharap lo nggak buru-buru menuruti nafsu. Om Restu itu memang punya banyak kelebihan, tapi nggak berarti lo bisa langsung setuju buat nikah, Gi."
Aku suka kalau Jessica sedang mode serius begini. Dia mendadak menjadi bijak dan kayak orang sepuh. Omongannya sering nggak terpikirkan olehku. Nggak tahu memang karena otakku yang susah berpikir tentang hal rumit atau Jessica yang sudah dewasa sebelum waktunya. Tapi, Jessica selalu memberikan pandangan lain yang membantuku untuk mengambil sikap. Kali ini Jessica juga pasti akan berhasil meredakan kegelisahanku.
"Usia kita masih muda banget, Gi. Gue, sih, belum sampai dua puluh tahun, nggak tahu kalau lo." Jessica sukses menangkap lemparan tisu bekas yang sejak kelas pertama tadi kusimpan di saku kemeja. Tisu itu bekas mengelap keringatku, tapi sekarang sudah kering.
"Gue masih sembilan belas tahun, Je!" Buru-buru aku memberi informasi penting untuknya.
Jessica nggak peduli dengan protesku. Dia melanjutkan ocehannya. "Kita masih punya banyak impian yang harus diwujudkan, Gi. Pikirkan baik-baik apakah setelah menikah nanti lo masih bisa meraih semua impian lo. Seremeh apa pun impian itu, lo tetap punya kewajiban buat menjadikannya nyata. Siapa tahu impian lo yang remeh itu justru berhasil memperbaiki kehidupan lo. Paling nggak, lo bisa enak dilihat, deh.""Kalau ada api unggun, gue pengin bakar lo hidup-hidup. Kalau nggak, gue bakal jadiin lo tumbal pesugihan aja," cibirku.
Jessica tertawa. "Lo kenapa, sih, sewot mulu? Kayaknya ini masih tanggal muda. Nggak mungkin lo galak karena nggak punya duit, kan? Masa cuma diajakin nikah aja berhasil bikin lo kayak singa yang belum makan lima bulan, sih?"
"Diajakin nikah lo bilang cuma? Sana coba lo minta Anan ngajakin lo nikah. Gue pengin tahu gimana perasaan lo." Aku nggak bisa menahan kesal.
Wajah Jessica mendadak kusut. Matanya yang tadi berbinar mengejekku, kini redup. "Boro-boro ngajakin nikah, ngajakin jadian aja nggak," sahutnya pelan.
Aku salah mengatakan hal keramat. Harusnya otak dan hatiku memang mendapatkan reparasi biar bisa bekerja dengan semestinya.
"Sorry, Je," kataku tulus. Aku mengusap punggung tangan Jessica, berusaha menyalurkan energiku.
Jessica tersenyum tipis. Nggak ada ocehan lagi darinya. Dia larut dalam pikirannya sendiri.
Harusnya, aku memang bersyukur Om Restu nggak menggantungkan hubunganku. Anan menjadi contoh cowok nggak bertanggung jawab. Dia kejam banget menjadikan perasaan cewek yang suka sama dia kayak jemuran yang lama nggak diangkat. Sudah kena hujan dan berkali-kali kepanasan sampai kering lagi, jemurannya belum juga ada tanda-tanda mendapatkan kepastian kapan akan turun dari tiang jemuran.
Apa Jessica harus menunggu sampai ada maling jemuran yang menyelamatkan hatinya? Kalau malingnya berhasil selamat waktu mencuri Jessica, bisa jadi mereka akan hidup bahagia. Gimana kalau malingnya ketahuan, terus jadi korban amuk warga? Jessica bisa-bisa balik ke tiang jemuran lagi entah sampai kapan.
Hidup orang lain ternyata lebih ribet!
"Apa pun keputusan lo, mau lo nikah sekarang juga sama Om Restu atau nanti kalau umur lo udah ratusan abad, gue bakal dukung lo, Gi. Gue cuma pengin lo bisa menikmati masa muda lo. Jangan sampai lo nyalahin pernikahan karena nggak bisa mewujudkan impian receh lo." Jessica memberikan nasihatnya lagi setelah diam cukup lama.
Aku tersenyum padanya. Salah satu keberuntunganku adalah aku punya sahabat terbaik yang terus mendukungku. Nggak peduli aku baru mengenalnya belum ada satu tahun belakangan, tapi Jessica menjadi salah satu barisan pendukungku.
Sekarang, aku hanya perlu menikmati hidupku. Aku nggak harus menikah dalam waktu dekat ini. Harusnya aku mudah menjalani keputusanku ini, kan?
Apa itu menikah? Menikah itu nggak terlalu penting, deh. Aku mendadak lupa arti dari menikah. Kayaknya ini efek aku mabuk milk tea, deh.Pergi ke mall ternyata memang bukan hal buruk. Selain kenyang, aku juga mendapatkan pelajaran baru dari orang asing. Alin dan orang tuanya memberikan pandangan baru tentang pernikahan dan keluarga."Yang paling rumit dari pernikahan bukan cuma masalah antar pasangan, tapi urusan anak. Kalau kamu memang pengin menikah muda, bicarakan lagi kapan kamu siap memiliki anak. Anak memang lucu dan menggemaskan, tapi mereka bisa berubah menjadi monster mengerikan dalam sekejap," kata mamanya Alin sebelum pergi. Suaminya sudah memanggil dan mereka harus segera pulang.Ternyata enak juga berbincang dengan orang yang sama sekali nggak aku kenal. Untungnya, aku bertemu dengan orang yang nggak usil mengusik kehidupan pribadiku. Tapi, bisa jadi mamanya Alin yang muak karena aku banyak bertanya tentang keluarga kecilnya.Sekarang aku merasa sedikit ringan. Ini bukan
Lagi-lagi pernyataan Om Restu tentang menikah denganku menjadi sumber masalah baru. Ayah yang nggak mau kehilangan anak perawan satu-satunya ini menentang keras."Kamu nggak perlu menjanjikan hal yang nggak bisa kamu wujudkan, Restu!" bentak Ayah. "Pernikahan ini bukan main-main. Kamu mengambil anak saya dan menggantikan peran saya untuk membahagiakan Gia. Kamu kira gampang?""Bukan mau menganggap ini mudah, tapi sudah menjadi kewajiban saya, sebagai suami Gia, untuk membahagiakannya," sahut Om Restu."Kamu bukan suami Gia dan nggak akan pernah jadi suami Gia!" Ayah semakin gerah. Wajahnya sudah merah dan hidungnya kembang-kempis. Dari kepalanya mulai keluar asap. Mungkin kutu dan bakteri yang tinggal di kepala Ayah sedang mengadakan pesta api unggun.Ini Om Restu juga kenapa cari perkara sama orang tua terus, sih? Sudah tahu Ayah menentang pernikahan kami. Eh, Om Restu malah ngaku sebagai suamiku. Kayaknya Om Restu merasa punya nyawa seribu, deh.“Yah, tenang dulu!" pinta Bunda sambil
Malam yang keterlaluan panjangnya. Aku sudah lelah banget, tapi masih harus melewati kekacauan ini.Pernyataan Om Restu yang akan segera menikahiku cukup membuatku syok. Aku nggak bisa menerima sikap sok pahlawan Om Restu ini. Bukannya menyelesaikan masalah, ini cuma menceburkanku dalam penderitaan yang baru.Dari dulu, banyak yang menganggap menikah sebagai jalan keluar segala masalah. Demi menutupi aib karena terlanjur hamil duluan, pasangan yang belum cukup umur harus menikah. Jangankan siap menjalani ribetnya pernikahan, KTP saja mereka belum punya.Korban rudapaksa pun banyak yang harus menikah dengan pelaku yang membuatnya trauma seumur hidup. Ini belum kasus lain dengan alasan beraneka ragam; memperbaiki keturunan, menyelamatkan perekonomian keluarga, termasuk alasan politik. Sekarang, aku harus menyelesaikan fitnah ini dengan cara segera menikah juga.Yang gila saja!Aku yang mendapatkan fitnah. Tapi, aku juga yang harus sengsara. Aku yang menjadi korban. Tapi, aku juga yang ha
"YA, ALLAH. NGAPAIN KALIAN MESUM DI SINI?" Bu Budi berdiri di depan rumahku. Tanpa berteriak pun suara Bu Budi bisa mengalahkan deru mesin motor dua tak yang menggunakan knalpon racing, apalagi sekarang.Lihat saja efeknya!Tetanggaku satu per satu mulai bermunculan. Mereka nyaris sama, panik dan penasaran. Mungkin dari dalam rumah, teriakan Bu Budi terdengar seperti orang ketakutan karena melihat setan atau malah Gozila yang menghancurkan apa pun. Mereka khawatir dan berusaha menyelamatkan diri. Buktinya, Bu Ajeng keluar rumah memakai piyama tipis dan menggendong anak balitanya yang masih tidur. Mata merah Bu Ajeng nggak bisa menutupi kepanikan yang ada dalam pikirannya.Nggak cuma para tetangga yang keluar. Ayah dan Bunda juga ikut keluar. "Ada apa, Bu?" tanya Ayah berusaha tenang. Matanya melotot padaku.Menyadari sinyal bahaya yang Ayah berikan, aku buru-buru melepaskan pelukan pada Om Restu. Perasaanku semakin nggak enak karena Bu Budi menunjukku."Lihat! Itu Gia ngapain? Dia mau
Suasananya mendukung. Malamnya cerah. Jarang banget aku bisa melihat sedikit bintang di malam hari. Polusi cahaya di kota besar membuat langit kehilangan pesona. Seringnya langit hanya hamparan hitam tanpa hiasan, nggak menarik sama sekali. Untungnya, malam ini aku bisa melihat satu-dua bintang.Cuaca malam ini juga tenang. Nggak ada angin ribut atau hujan badai. Masih ada embusan angin yang melenyapkan gerah, tapi nggak membuat menggigil.Abang tukang bakso yang berkeliling mencari mangsa memukul kentongan sambil mendorong gerobak. Suaranya beradu dengan gemericik air di kolam dan gonggongan anjing di gang belakang.Sebenarnya, ini nggak romantis sama sekali. Om Restu mengajakku duduk di lantai, bukan di kursi. Kaki panjangnya menjulur dan kedua tangannya menopang di belakang tubuh. Mungkin tubuhnya sudah terlalu lelah. Sejak subuh Om Restu harus bersiap dan hampir tengah malam baru sampai rumah. Pasti Om Restu kehabisan tenaga sekarang.Aku sudah mengambilkan air minum. Om Restu cum
Aku harus membicarakan pernikahanku dengan Om Restu hari ini juga. Ini masalah serius. Aku nggak mau menunda lagi. Kekhawatiran Bunda sudah memengaruhiku dan membuatku ikut panik.Aku sering membaca curhatan di media sosial tentang cewek-cewek yang sudah hamil sebelum menikah. Sebagian besar di antara mereka harus mengalami sakitnya kenyataan kalau cowoknya menolak bertanggung jawab. Si cowok bahkan meminta untuk menggugurkan saja janin di perut. Cowok-cowok yang begini memang nggak layak hidup, sih. Bisa-bisanya mereka tega melenyapkan darah daging mereka sendiri.Memang semua nggak cuma salah cowoknya. Terjadinya kehamilan di sini karena ada dua orang yang suka dan memang mau. Ini bukan pemaksaan yang salah satunya merupakan korban dan jelas-jelas mengalami kekerasan. Mereka sadar dalam melakukannya dengan dalih saling menyanyangi.Aku nggak mau berada dalam kondisi tersebut. Bukan nggak mungkin aku yang khilaf dan menyerahkan diriku untuk Om Restu. Duh, nempel dalam pelukan Om Rest