Seminggu berlalu setelah kejadian di taman bermain. Di saat itu pula Anna mulai menghindari Edgar.
Ketika mereka tidak sengaja berpapasan di kampus, Anna langsung memutar balik arah jalannya agar pandangan mereka tidak bertemu.
Begitu pula saat di tengah pelajaran. Tatkala Edgar menjelaskan semua materi yang dia ajarkan, Anna selalu menundukkan kepalanya. Jika Edgar memberi pertanyaan pun, Anna menjawab seraya menatap sepatunya bukan matanya.
Anna melakukan itu karena dia memiliki alasan tersendiri. Anna tidak bisa mengontrol debaran jantungnya saat melihat sosok Edgar. Selalu seperti itu. Rasanya seperti jantungnya akan melompat ke luar, lalu Anna akan mati.
“Apa kau ada acara setelah ini?” tanya Grace yang sedang mengoleskan lipstik merah ke bibirnya melalui pantulan cermin toilet.
“Tidak. Kenapa kau bertanya?” timpal Anna yang sibuk memainkan ponselnya.
“Kalau begitu, temani aku makan dessert di kafe.”
“Baiklah. Lagi pula, aku juga senggang.”
Anna menyetujui ajakan Grace begitu saja tanpa bertanya lebih lanjut.
Grace dan Anna pergi ke kafe di ujung jalan, dekat kampus mereka. Kebetulan kafe itu menyediakan menu dessert baru dan mereka ingin mencobanya.
Mereka duduk di kursi yang masih tersedia. Karena pembukaan menu baru, kafe itu jadi ramai pengunjung. Namun, untungnya mereka masih bisa mendapatkan kursi.
Seorang pelayan menghampiri mereka dan memberikan dua buku menu untuk memesan. Tanpa membuka buku menu, mereka mengatakan pada pelayan itu bahwa mereka menginginkan dessert terbaru di kafe tersebut.
Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan Anna dan Grace.
Beberapa saat setelah pelayan pergi, datanglah dua orang laki-laki yang tidak Anna kenal dan duduk di kursi kosong tepat di hadapan mereka.
Kedua orang itu menyapa Grace. Tampaknya mereka kenalan Grace. Anna mengalihkan pandangan ke arah Grace, dia menyipitkan matanya dan menatap tajam temannya itu.
“Kau tidak bilang padaku kalau kau juga mengundang 'orang asing' ke kafe ini!” ucap Anna dengan nada kesal.
“Hahahaha ... i-itu ....“ Grace tertawa kaku sekaligus bingung cara menjelaskannya.
Anna kesal karena Grace tidak berkata jujur padanya kalau dia mengajak orang asing, terutama mereka laki-laki. Anna tidak ingin banyak bicara, jadi dia hanya akan diam saja.
“Namamu Anna 'kan, temannya Grace? Aku Peter, dan ini Romy,” ucap pria yang katanya bernama Peter itu.
“Kau lebih cantik daripada yang di foto,” imbuh pria satunya lagi.
Foto? Foto apa?! Anna bingung dengan apa yang dibicarakan kedua pria itu. Anna menatap kembali Grace. Namun, Grace mengalihkan pandangannya dari tatapan Anna. Tampaknya itu memang ulah teman baiknya itu.
Anna berdiri dan menghentakkan kedua tangannya di atas meja dan berhasil membuat semua orang menatapnya. Dia menghela napas panjang dan membisikkan beberapa kata pada telinga Grace.
“Aku akan meminta penjelasan mu nanti, Grace!”
Anna meraih tas yang dia bawa, dan pergi meninggalkan Grace serta dua pria asing itu.
Dia berjalan kaki menuju rumahnya seraya mendengarkan musik yang dia putar lewat earphone miliknya. Setidaknya musik bisa membuat Anna tenang.
***
Setibanya di rumah, Anna melihat sepatu formal hitam yang tersusun rapi di depan pintu. Sepertinya rumahnya kedatangan seorang tamu.
Anna melepaskan sepatu yang dia pakai di depan pintu masuk dan memakai sandal rumah.
“Aku pulang!” teriak Anna memberitahu keluarganya bahwa dia sudah tiba di rumah.
Anna melangkahkan kaki jenjangnya menuju kamarnya berada. Ketika berjalan, Anna mendengar orang tua beserta adiknya sedang mengobrol dengan tamu yang datang.
Anna tidak memedulikannya dan berniat masuk ke kamarnya tanpa menoleh sedikit pun.
Namun, Olivia Florence - Ibu Anna menyadari kepulangan Anna dan langsung memanggilnya agar menghampiri mereka.
“Putri Ibu sudah pulang? Kemarilah, Nak.” Suara lembut Olivia memanggil Anna.
Dengan terpaksa Anna menuruti perkataan sang ibu dan memutar balikkan tubuhnya ke arah mereka. Ya, di sana ada Ayah, Ibu, adik laki-lakinya, dan Edgar.
'Edgar? Kenapa dia ada di rumahku? Lebih baik aku segera masuk kamar.' batin Anna bertanya-tanya.
“Maaf, Ibu. Anna sangat lelah, jadi Anna akan beristirahat di kamar.”
Setelah Grace mengaku pada Anna pada hari itu, Anna memutuskan kontak dengan Grace dan tidak ingin menemuinya lagi. Grace memang teman baiknya, namun Grace sudah mengkhianati Anna dan sudah menyebabkan Anna keguguran secara tidak langsung. Sekarang Anna tengah berlatih berjalan dengan bantuan Edgar. Sudah hampir dua minggu dia melakukannya dan dia sudah bisa berdiri sendiri serta berjalan tiga hingga lima langkah. "Sudah cukup untuk hari ini. Kau melakukannya dengan baik," ucap Edgar seraya mengelus kepala Anna. Satu hari setelah keguguran, Edgar memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Dia sudah bukan seorang dosen lagi. Sekarang dia memilih fokus dari jabatannya sebagai direktur dan merawat Anna sendiri di rumah. Ya, lagi pula, pekerjaannya sebagai direktur bisa dikerjakan di rumah dan tanpa harus pergi ke perusahaan. Edgar menggendong Anna dan mendudukannya kembali di kursi roda. "Aku ingin ke kamar," ucap Anna. "Baiklah, Istriku." Sejurus kemudian Edgar mendoron
Dua minggu telah berlalu ... Wendy yang menyebabkan Anna keguguran dihukum skors selama tiga bulan. Meskipun Edgar belum puas dengan hukuman itu, namun dia tidak bisa menambah hukumannya lagi karena tidak memiliki wewenang di kampus. Anna sudah keluar dari rumah sakit. Namun, dia belum berbicara sedikit pun bak orang yang bisu. Anna pun kehilangan cara berjalannya. Dokter mengatakan jika Anna mengalami hal itu karena terlalu syok dan stress berat. Setiap malam setelah Anna tidur, Edgar minum alkohol hingga mabuk di dapurnya sendirian. Dia menangis tatkala melihat Anna yang seperti boneka hidup. Tak mengatakan apa pun dan tidak bisa berjalan tanpa bantuan suatu alat. Sekarang, Edgar sedang bersama Anna di taman. Dia membawa Anna jalan-jalan menggunakan kursi roda untuk menghirup udara segar. "Anna, bukankah bunganya sangat cantik? Jika aku memetiknya, apa kau mau menerimanya?" ucap Edgar. Anna bergeming. Dia diam saja karena memang tidak ingin mengatakan apa pun. Namun, dalam hat
Selang beberapa waktu, ambulans datang dan membawa Anna ke rumah sakit terdekat. Edgar dan Kevin ikut menemani, tetapi tidak dengan Grace. Padahal Grace adalah teman baik Anna. Anna dilarikan ke ICU karena sedang dalam keadaan darurat. Sudah lama sejak dokter memeriksanya, namun belum ada tanda-tanda dokter yang akan keluar dari ruangan. Setelah menunggu beberapa menit kemudian, akhirnya sang dokter muncul dengan raut wajah yang kurang baik. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Edgar segera. "Istri Anda baik-baik saja, namun bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan karena benturan yang cukup keras hingga menyebabkan pendarahan.""Maksud Dokter, istri saya keguguran?" Edgar memastikan perkataan sang dokter. "Benar. Saat saya memeriksanya pun, bayi dalam kandungannya sudah sangat lemah."Edgar kehilangan kata-kata, begitu juga dengan Kevin. Mereka syok mendengar berita buruk ini, namun Anna pasti lebih syok dan sedih mendengarnya. "Dok, saya ingin menemui istri saya,"
Di forum kampus, ada seseorang tanpa nama yang membongkar rahasia Wendy. Karena hal itu, Wendy menjadi ramai dibicarakan. Tatapan-tatapan intimidasi pun diberikan kepada Wendy setiap kali dia berjalan. Wendy, membuka forum kampus dan membaca postingan tersebut. Judulnya 'Kebohongan Besar Wendy'. Di sana tertulis, 'Wendy hanya orang miskin yang berpura-pura kaya di depan teman-temannya. Dia memakai barang mahal dari hasil meminta paksa kepada ayahnya yang hanya pekerja kantoran. Bahkan, ayahnya sudah dipecat karena perilaku kasarnya terhadap seseorang.'Setelah membaca semuanya, rahang Wendy mengeras dan tangannya mengepal. Dia tahu siapa pelaku yang menyebar rahasianya. Siapa lagi kalau bukan Anna! Dengan hati yang penuh amarah, Wendy sontak mencari keberadaan Anna. Dia tak menyangka jika Anna akan mengkhianatinya seperti itu. Padahal Anna berjanji akan menjaga rahasianya jika dia menuruti semua perintahnya. "Awas kau, ya! Jika aku hancur, kau pun harus hancur, Anna!" geram Wendy.
Keesokan harinya, Anna menunggu kedatangan Grace di gerbang kampus. Sudah hampir 15 menit dia menunggu, namun Grace belum menampakkan dirinya sama sekali. Ketika Anna sudah bosan menunggu dan hendak pergi, Grace tiba-tiba turun dari taksi langganannya dengan wajah yang tidak bersemangat. Meskipun begitu, Anna tetap menyapanya dengan riang dan berharap jika temannya itu kembali bersemangat. "Grace!" panggil Anna sembari melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Grace sempat melihat Anna dalam sepersekian detik, namun segera memalingkan wajah. 'Apa dia tidak melihatku, ya? Mungkin aku harus memanggilnya lagi!' pikir Anna kemudian. "Grace! Aku di sini!" panggil Anna lagi dengan suara tak kalah kencang. Nihil. Grace sama sekali tidak menjawab panggilan Anna seperti biasanya.Saat Grace berjalan melewati Anna, dia tiba-tiba berhenti sejenak dan berbisik, "Jangan ganggu aku. Biarkan aku sendirian hari ini."Setelah mengatakan itu, Grace pun melanjutkan jalannya tanpa menoleh sedikit pun ke
Di kamarnya, Anna tengah duduk di atas ranjang sembari menatap ponsel yang ada di depannya. Lebih dari 30 menit dia diam seperti itu. Dia ingin menelpon Grace, namun ragu hingga membuatnya berpikir lama. Grace bukan tipikal orang yang memikirkan pelajaran. Jika dia murung maka permasalahannya ada pada kencan yang dia lakukan dengan Kevin. Namun, apa permasalahannya? "Apa kau akan terus seperti itu?" seru Edgar tiba-tiba. Dia risih melihat istrinya yang diam seperti patung selama bermenit-menit. "Apa menurutmu aku harus menelponnya?" Betapa rumitnya seorang wanita. Para pria tidak pernah memikirkan permasalahan orang lain, jadi Edgar bingung harus menjawab apa. "Lakukanlah seperti yang ingin kau lakukan. Tapi menurutku, lebih baik jika kau membiarkan Grace sendiri. Lagi pula, dia pasti akan menelponmu jika ingin bercerita." "Kau benar. Lebih baik aku tidak menelponnya," lirih Anna. Namun, tampaknya pikirannya berubah dalam seketika. "Tapi, aku harus menelponnya!" Anna meraih