Share

4. Kontrak Takdir

Author: Aksara Hope
last update Last Updated: 2025-09-13 07:52:03

“Tuan Dirga… jika tawaran itu masih berlaku.... saya menerimanya.”

Dirga terpaku. Ekspresinya berubah, dari datar menjadi sedikit terkejut. Ia mengenali suara itu. Anna. Untuk sesaat, ruangan seolah membeku. Ia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan pelan ke jendela kaca besar yang menghadap ke lanskap gedung pencakar langit.

“Baik,” jawabnya, tetap datar namun dengan nada yang lebih lambat, seolah sedang mencerna keputusan itu. “Kita bertemu jam tujuh malam. Di tempat yang kemarin.”

Terdengar suara Anna lagi, lebih ragu kali ini. “Maaf, Tuan, bolehkah… kita bertemu di tempat lain saja? Saya tidak enak kalau dilihat teman kerja saya…”

Dirga melirik jam tangannya. Matanya kosong sejenak sebelum ia berkata, “Aravine. Restoran di pusat kota. Jam tujuh malam dan Jangan terlambat.”

“Baik, Tuan. Terima kasih…” suara Anna nyaris tak terdengar sebelum sambungan terputus.

Dirga menatap ponsel beberapa detik sebelum menekan nomor lain. Kali ini ia menelepon Melati.

“Melati, Wanita itu menerima tawarannya. Siapkan kontraknya. Kita bertemu di Aravine jam tujuh malam.”

“Baik, Tuan Dirga,” jawab Melati dengan tenang dan profesional.

Dirga mengakhiri panggilan dan kembali menatap jendela. Diteguknya sisa kopi yang mulai dingin.

Pikirannya berputar, bukan karena ragu, tapi karena ia tahu malam ini bukan hanya tentang sebuah kesepakatan bisnis. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih rumit dari sekadar perjanjian. Ia menghela napas perlahan, menatap ke kejauhan.

***

Malam turun di kota. Anna berdiri di depan restoran Aravine, bangunan megah berlapis marmer dengan lampu kristal berkilau dari balik jendela.

Ia menelan ludah, merasa asing dengan kemewahan itu. Sweater lusuh dan rok sederhananya membuatnya seperti noda di atas kanvas putih. Dengan napas berat, ia memberanikan diri melangkah masuk.

Lobi berkilau, musik klasik mengalun lembut, aroma masakan mahal memenuhi udara. Ketika Anna menyebut ruangan VIP, seorang petugas keamanan menahannya, menatap ragu seolah kehadirannya tidak pantas di tempat itu.

“Maaf, nona. Area VIP hanya untuk tamu yang sudah reservasi sebelumnya,” ucap petugas itu sopan, tapi matanya memindai Anna dari atas hingga ke bawah.

“Saya… saya diundang oleh Tuan Dirga Mahendra,” ucap Anna pelan namun jelas.

Petugas itu mengerutkan kening, lalu tersenyum samar seolah menertawakan lelucon. “Tuan Dirga?” tanyanya, separuh tak percaya. Ia menyilangkan tangan dan berkata lagi, “Maaf, tapi Tuan Dirga tidak mungkin membuat janji dengan… eh… maaf, seseorang seperti Anda.”

Anna menunduk, menarik ujung sweaternya untuk menutupi tangan yang gemetar. Tatapan meremehkan itu menusuk, membuat dadanya sesak. Beberapa pasang mata ikut melirik, menambah rasa malu hingga ia nyaris berbalik. Tapi demi Ara, ia bertahan.

Langkah tegap terdengar dari dalam. Dirga muncul—tinggi, berjas gelap, sorot matanya langsung tertuju pada keributan di depan pintu.

Ia berjalan mendekat dengan wibawa yang tak terbantahkan. “Dia klien saya,” ucap Dirga dingin, datar, dan tajam.

Petugas keamanan itu tersentak, langsung menunduk. “M-maaf, Tuan Dirga. Saya tidak tahu—”

“Permintaan maafmu seharusnya bukan untuk saya,” potong Dirga. Tatapannya tajam menekan.

Petugas itu menoleh ke Anna, kikuk dan menyesal. “Saya… benar-benar minta maaf, Nona. Saya salah menilai…”

Anna mengangguk kecil, tersenyum lembut meski matanya masih menyimpan luka. “Tidak apa-apa…”

“Masuklah,” kata Dirga, membuka pintu dan menoleh ke arah Anna.

Dengan langkah ragu, Anna mengikuti di belakang Dirga. Punggung pria itu tegap, dingin—mengingatkannya bahwa ini bukan awal dongeng, melainkan kontrak yang akan mengubah segalanya. Ia menarik napas, lalu masuk ke ruangan yang terasa asing baginya.

Di ruang VIP, mereka duduk berhadapan di meja bundar. Lampu kristal memantulkan cahaya lembut di dinding marmer. Di samping Dirga, seorang wanita anggun dengan map cokelat tersenyum ramah padanya.

“Kita akhirnya bertemu lagi, Anna,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. “Aku Melati, pengacara pribadi Tuan Dirga, jika kamu lupa.”

Anna menjabat tangan Melati dengan lembut. “Terima kasih… sudah menyempatkan waktunya.”

Melati membuka mapnya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas. Ia menata dokumen itu dengan rapi di atas meja. “Sebelum kita bahas perjanjiannya, izinkan saya memahami lebih dulu kondisi adik Anda, Ara. Sejauh mana kondisinya dan apa yang sedang dibutuhkan saat ini?”

Anna menunduk, menarik napas panjang, lalu mulai menjelaskan dengan suara pelan namun tegas. “Ara… sudah lebih dari sebulan ia dirawat. Leukemianya memburuk, dan dokter bilang dia butuh kemoterapi tambahan, transfusi, dan kemungkinan operasi tulang sumsum. Kami sudah kehabisan tabungan. Bahkan saya… sudah tak tahu harus meminjam ke siapa lagi.”

Suara Anna mulai bergetar. Ia mengepalkan tangannya di atas pangkuan. “Saya sudah mencoba bekerja lebih keras. Tapi… penghasilan saya di toko bunga tak cukup. Dan… saya tidak ingin kehilangan Ara.”

Melati menulis sesuatu di kertas catatannya, sesekali mengangguk. Dirga masih diam. Tatapannya dingin, tetapi ada secercah sorot perhatian yang tak bisa ia sembunyikan. Ia lalu meraih gelas air mineral di hadapannya dan meminumnya perlahan.

“Baik,” kata Melati setelah Anna selesai. “Tuan Dirga sudah menjelaskan pada saya bahwa beliau bersedia membantu dengan jumlah yang mencukupi seluruh kebutuhan pengobatan adik Anda. Namun tentu saja, bantuan ini akan disertai dengan syarat yang perlu disepakati kedua belah pihak.”

Anna mengangguk pelan, meski rasa ragu masih menyelimuti wajahnya. “Saya… siap menerima syarat itu. Asal adik saya bisa mendapatkan pengobatan yang dia butuhkan.”

Dirga akhirnya bersuara. “Ini kesepakatan bisnis. Jangan pikir terlalu jauh.”

Nada suaranya tetap tenang namun dingin. Ia menyilangkan tangan dan menatap Anna dengan serius.

Melati kemudian mengeluarkan satu bundel dokumen lagi. “Ini adalah surat perjanjian. Seperti yang sudah sempat dijelaskan sebelumnya, inti dari perjanjian ini adalah pernikahan kontrak antara Anda dan Tuan Dirga. Berdurasi satu tahun. Setelah satu tahun, pernikahan dapat dibatalkan secara hukum tanpa ikatan lebih lanjut.”

Anna menatap map cokelat itu dan mulai membaca isi kontrak. Isi kontrak itu sederhana namun tegas. Pernikahan mereka hanya sebatas perjanjian, tanpa ruang bagi perasaan. Semuanya harus dirahasiakan dari dunia luar. Anna diwajibkan tinggal bersama Dirga, dan sebagai gantinya, seluruh biaya pengobatan Ara serta tunjangan bulanannya ditanggung. Saat masa kontrak usai, keduanya sepakat berpisah tanpa tuntutan.

Dengan tangan gemetar, Anna meraih pulpen. Air mata mengaburkan pandangannya saat bayangan wajah Ara terlintas di benaknya. Anna Menguatkan hati, ia menunduk dan membubuhkan tanda tangan. Setiap goresan terasa seperti luka baru yang ia ukir sendiri.

Dirga memperhatikannya tanpa sepatah kata pun. Ada sorot aneh di matanya—antara rasa puas karena kesepakatan berjalan sesuai rencana dan rasa bersalah yang samar, yang hanya ia sendiri yang tahu.

Setelah Anna selesai menandatangani, Melati kembali mengambil map dan memeriksanya. “Terima kasih, Anna. Dengan ini, perjanjian sah secara hukum.” Ia menjulurkan tangan untuk bersalaman. Anna membalasnya dengan senyum tipis dan mata yang masih berkaca-kaca.

Dirga menyisipkan ucapannya, datar, “Pernikahan akan diadakan dua minggu dari sekarang. Pastikan kamu datang besok ke butik untuk fitting gaun.”

Anna mengangguk. “Baik, Tuan Dirga. Terima kasih…”

Melati membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebuah amplop besar. “Ini untuk pembayaran administrasi rumah sakit yang mendesak. Kami harap bisa meringankan sedikit bebanmu.”

Anna menunduk dalam-dalam. “Terima kasih… terima kasih banyak.”

Namun Dirga menjawab dingin, “Jangan salah paham. Aku melakukan ini bukan untukmu.”

Anna terdiam. Ia mengangguk pelan. “Saya mengerti.”

Saat Anna hendak pamit, Dirga berdiri dan menghentikannya. Ia berjalan ke arah pelayan, lalu berbicara pelan padanya. Tak lama, pelayan itu datang membawa kantong makanan mewah dan menyerahkannya pada Anna.

“Maaf, saya tidak memesan ini,” ujar Anna bingung.

Pelayan menjawab, “Tuan Dirga yang memesannya untuk Anda.”

Dirga mengambil kunci mobilnya dan berkata datar, “Kau terlihat lelah. Makan itu sebelum kembali ke rumah sakit. Anggap saja hadiah kecil dari kesepakatan ini.”

Anna menatap kantong itu lama, hatinya berdesir aneh. Barangkali hanya formalitas… atau sekilas celah dari dinding beku yang selama ini menutupinya. Entah kenapa, sesaat Anna merasa—di balik sikap keras itu, ada sisi hangat yang tak ingin ia percayai, tapi sulit untuk diabaikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   5. Gaun Yang Mengikat Janji Pernikahan

    Lampu kristal memantulkan cahaya hangat di ruang makan mewah itu, menerangi meja marmer panjang dengan hidangan tertata rapi. Namun, kehangatan itu tak mampu mencairkan ketegangan antara Dirga, Mahendra, dan Mulan. Mulan—sang Ibu Tiri, berusaha memecah hening sambil menuangkan sup ke piring Mahendra. “Kamu jarang makan malam di rumah. Papa sampai mengeluh,” ucapnya, senyumnya terasa dipaksakan. Dirga hanya mengangguk singkat, pandangannya tetap pada piring. Hening kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya. Mahendra, dengan anggur merahnya yang belum tersentuh, memecah keheningan. “Bagaimana bisnis proyek barumu, Dirga?” suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. “Lancar,” jawab Dirga singkat, suaranya tanpa emosi. Makan malam berlangsung kaku. Setiap suapan seperti beban, setiap tegukan anggur terasa getir. Hingga Dirga meletakkan sendok-garpunya, denting logam memecah keheningan. Tatapannya menusuk Mahendra dan Mulan, membawa tekad yang sulit ditawar. “Aku a

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   4. Kontrak Takdir

    “Tuan Dirga… jika tawaran itu masih berlaku.... saya menerimanya.” Dirga terpaku. Ekspresinya berubah, dari datar menjadi sedikit terkejut. Ia mengenali suara itu. Anna. Untuk sesaat, ruangan seolah membeku. Ia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan pelan ke jendela kaca besar yang menghadap ke lanskap gedung pencakar langit. “Baik,” jawabnya, tetap datar namun dengan nada yang lebih lambat, seolah sedang mencerna keputusan itu. “Kita bertemu jam tujuh malam. Di tempat yang kemarin.” Terdengar suara Anna lagi, lebih ragu kali ini. “Maaf, Tuan, bolehkah… kita bertemu di tempat lain saja? Saya tidak enak kalau dilihat teman kerja saya…” Dirga melirik jam tangannya. Matanya kosong sejenak sebelum ia berkata, “Aravine. Restoran di pusat kota. Jam tujuh malam dan Jangan terlambat.” “Baik, Tuan. Terima kasih…” suara Anna nyaris tak terdengar sebelum sambungan terputus. Dirga menatap ponsel beberapa detik sebelum menekan nomor lain. Kali ini ia menelepon Melati. “Melati, Wan

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   3. Harga dari Sebuah Harapan

    Mentari pagi menyelinap lewat celah jendela kamar kontrakan sempit milik Anna. Lelah semalam belum juga hilang, tapi waktu tak menunggu. Anna bangkit, menyalakan kompor kecil, lalu merebus sebutir telur—sarapan satu-satunya pagi ini. Belum sempat ia duduk, ketukan tegas terdengar di pintu. Anna buru-buru membukanya. Bu Marni, pemilik kontrakan, berdiri dengan wajah lelah. "Anna, pagi. Maaf ganggu. Tapi kamu tahu, sudah waktunya bayar kontrakan. Tolong ya, minggu ini dilunasin. Banyak yang nunggak, dan saya harus adil," ucap Bu Marni, nada suaranya datar namun jelas terasa tekanan di baliknya. Anna menunduk sedikit, suaranya pelan dan penuh sopan santun. "Maaf, Bu Marni. Saya… saya baru beli obat buat Ara tiga hari lalu. Uangnya benar-benar habis. Bisa saya minta tenggat waktu sampai minggu depan?" Bu Marni menarik napas berat, lalu mengangguk singkat. "Minggu depan, ya? Kalau belum dibayar juga, saya harus kasih kontrakan ini ke orang lain yang bisa bayar tepat waktu. Saya juga bu

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   2. Tawaran Tak Terduga

    “Pernikahan kontrak?” Suara Anna hampir tak terdengar. “Kenapa… saya?” Dunia seakan berhenti berputar. Musik jazz yang mengalun di kafe terdengar sayup, tenggelam oleh detak jantungnya yang memburu. Napasnya sesak, jari-jarinya meremas rok pelayan yang ia kenakan. Bu Melati menyandarkan tangan di atas meja, wajahnya teduh tapi tegas. “Tuan Dirga membutuhkan seorang istri sementara untuk memenuhi tuntutan keluarga besar. Kami mencari seseorang dengan latar belakang sederhana, bersih, dan tidak terikat. Anda memenuhi semua kriteria itu. Dan tentu saja, semua ini legal, terikat hukum, serta akan sangat menguntungkan Anda.” Anna menelan ludah. “Menguntungkan?” “Benar. Biaya pengobatan Ara akan ditanggung penuh, termasuk perawatan jangka panjang. Pendidikan hingga kuliah pun dijamin. Selain itu, Anda akan menerima kompensasi besar setelah kontrak berakhir.” Nama Ara disebut, membuat dada Anna sesak. Untuk sesaat, bayangan adiknya yang tertawa dengan komik di pangkuan melintas di kepa

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   1. Harga dari Sebuah Nafas

    "Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dengan cepat?" batin seorang gadis bernama Anna, yang sudah terbiasa hidup dengan seribu beban di pundaknya. Sejak ayahnya meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dan ibunya memilih pergi bersama keluarga barunya, hanya dia yang tersisa untuk merawat Ara—adik kecil yang tubuhnya ringkih, namun semangat hidupnya selalu menyala. Hidup Anna tak lepas dari kerja keras—pagi di toko bunga, malam di kafe. Tak ada hari tanpa lelah, tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Namun di balik letih yang tak pernah habis, hatinya masih menyimpan cahaya kecil: harapan bahwa esok akan ada hari yang lebih baik untuk adiknya. --- Suara mesin infus berdetak pelan, berpadu dengan alunan lagu anak-anak dari televisi kecil di sudut ruangan. Bau antiseptik yang tajam bercampur dengan wangi sabun bayi dari selimut tipis yang menyelimuti Ara. “Kak Anna!” seru gadis kecil itu dengan suara serak, matanya berbinar begitu Anna membuka pintu. Anna tersenyum, menahan lelah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status