Home / Romansa / Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO / 5. Gaun Yang Mengikat Janji Pernikahan

Share

5. Gaun Yang Mengikat Janji Pernikahan

Author: Aksara Hope
last update Last Updated: 2025-09-13 07:54:41

Lampu kristal memantulkan cahaya hangat di ruang makan mewah itu, menerangi meja marmer panjang dengan hidangan tertata rapi. Namun, kehangatan itu tak mampu mencairkan ketegangan antara Dirga, Mahendra, dan Mulan.

Mulan—sang Ibu Tiri, berusaha memecah hening sambil menuangkan sup ke piring Mahendra. “Kamu jarang makan malam di rumah. Papa sampai mengeluh,” ucapnya, senyumnya terasa dipaksakan.

Dirga hanya mengangguk singkat, pandangannya tetap pada piring. Hening kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya.

Mahendra, dengan anggur merahnya yang belum tersentuh, memecah keheningan. “Bagaimana bisnis proyek barumu, Dirga?” suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan.

“Lancar,” jawab Dirga singkat, suaranya tanpa emosi.

Makan malam berlangsung kaku. Setiap suapan seperti beban, setiap tegukan anggur terasa getir. Hingga Dirga meletakkan sendok-garpunya, denting logam memecah keheningan. Tatapannya menusuk Mahendra dan Mulan, membawa tekad yang sulit ditawar.

“Aku akan menikah dalam dua minggu,” ucapnya, suaranya tenang namun tegas,

Pernyataan itu seketika membekukan udara di ruangan. Mulan berhenti mengunyah, Mahendra menatap Dirga penuh tanda tanya. “Menikah?” ulang Mahendra, nadanya terdengar tajam. “Dengan siapa? Wanita dari perusahaan mana? Anak siapa dia?”

Dirga menarik napas dalam, menatap piringnya sebentar sebelum menjawab, “Seorang gadis sederhana dan pekerja keras”

Mulan membelalak. “Apa maksudmu bukan siapa-siapa? Dirga, kamu putra pemilik Mahendra Group. Menikahi gadis biasa bisa mempermalukan keluarga kita! Kau akan menghancurkan reputasi kita, Dirga”

Suara sendok dan garpu Dirga menyentak meja saat ia meletakkannya dengan kasar. “Saya tidak peduli. Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat,” ucapnya tegas dan dingin. “Dan satu lagi, Tante Mulan... tidak perlu ikut campur. Karena sejak awal, saya tidak pernah menganggapmu keluarga."

“Jaga mulutmu, Dirga!” Tangan Mahendra melayang cepat dan menampar pipi Dirga dengan keras.

Dirga menunduk, bibirnya sedikit berdarah. Tapi ia hanya mengangkat kepala pelan, sorot matanya tak berubah.

“Menghargai? Menghargai kata Papa?” suaranya mulai bergetar, namun tetap tajam. “Lalu bagaimana dengan perlakuan Papa terhadap Mama dan aku dulu?! Tidak perlu mengajari aku tentang sikap. Karena aku tahu siapa yang pantas mendapatkan perlakuan baikku!”

Mulan ikut menyela dengan suara tajam. “Sudah jelas kamu mirip ibumu. Lemah dan menyedihkan. Tak pantas berada di keluarga ini.”

Dirga membalikkan badan menatap Mulan tajam. “Berhenti bawa-bawa Ibu saya!” serunya lantang, membuat Mulan terdiam sejenak.

Ia menghembuskan napas kasar, berbalik mengambil jasnya yang tergantung di kursi. “Aku pergi,” katanya pelan namun penuh tekanan. Tanpa menunggu respons, Dirga melangkah pergi.

---

Di ruang perawatan yang hening, Anna duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Ara. Senyum tipis adiknya menghadirkan sedikit lega di hatinya. Melihat rona segar kembali di wajah Ara, beban Anna terasa sedikit terangkat.

“Ra… Kakak mau bilang sesuatu,” ucap Anna pelan, suaranya sedikit bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk di dalam hatinya.

Ara menoleh, tersenyum tipis, “Apa, Kak?” Suaranya lemah, namun penuh perhatian.

Anna menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Kakak akan menikah, dua minggu lagi.” Kata-kata itu keluar begitu saja, seakan-akan terbebas dari beban berat yang selama ini membebaninya. Namun, di balik kata-kata itu tersimpan beban yang jauh lebih berat.

Mata Ara membulat sempurna, kejutan dan kegembiraan terpancar jelas dari sorot matanya. “Benarkah?! Kakak serius?”

Anna mengangguk, memaksakan senyum yang terasa pahit di bibirnya. “Iya. Kakak serius.”

Ara langsung memeluk Anna sekuat tenaga, pelukan erat yang penuh kasih sayang dan kegembiraan. “Kakak akhirnya bahagia juga… Kakak pasti kelihatan cantik banget pakai gaun pengantin.” Kata-kata itu membuat Anna merasa sesak, campuran haru dan pedih memenuhi dadanya.

Ara kembali duduk, menatap Anna dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku ingin hadir di pernikahan Kakak. Aku ingin lihat Kakak berjalan di altar…” Suaranya bergetar, mengungkapkan kerinduan dan harapan yang begitu besar.

Anna menggenggam tangan Ara lebih erat, “Ara belum sembuh betul. Tapi nanti kita bisa video call. Kamu tetap bisa lihat Kakak, janji.” Suaranya lembut, mencoba meredakan kekecewaan yang tersirat di wajah Ara.

Ara mengangguk patuh, meski raut wajahnya sedikit kecewa. “Oke… Aku seneng kakak bahagia, aku ingin melihat kakak memikirkan kebahagiaan kakak juga tanpa harus memikirkan kesehatan aku.” Kata-kata itu menusuk hati Anna.

“Jangan bilang begitu sayang, semua yang kakak lakukan selama ini untuk Ara sama sekali enggak ada membebani kakak kok. Kakak sudah bahagia lebih dari yang kamu tahu, jangan berpikir seperti itu lagi ya?” Suaranya bergetar, mencoba meyakinkan Ara.

Di dalam hatinya, Anna berkata lirih, 'Kebahagiaan ini semu, Ra. Tapi jika itu bisa membuatmu tertawa, Kakak rela menjalaninya…' Sebuah pengorbanan yang begitu besar, dilakukan dengan penuh cinta dan kerelaan.

***

Pagi itu, Anna berangkat dengan blus krem dan celana hitam sederhana. Baru saja ia mengunci pintu kontrakan, langkahnya terhenti—sebuah mobil hitam mewah terparkir di depan. Ia hendak menghindar, tapi jendela mobil perlahan terbuka.

“Anna.”

Anna langsung mengenali suara itu. Ia menoleh dan melihat seorang wanita anggun dengan jas formal hitam duduk di kursi pengemudi. “Bu Melati?”

Melati tersenyum tipis. “Saya diutus Tuan Dirga untuk mengantar Anda ke butik.”

Anna mengerjapkan mata, kebingungan. “Ah… tapi, saya bisa naik bus saja bu. Tidak perlu repot-repot.”

“Ini perintah langsung Tuan Dirga,” jawab Melati datar namun tegas.

Anna menelan ludah, merasa serba salah. Ia takut merepotkan, tapi menolak juga terasa tidak sopan. “Baiklah… terima kasih.”

Ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Suasana dalam mobil sunyi, hanya ada suara pelan dari AC yang mengalir.

Beberapa menit kemudian, Melati berkata, “Tuan Dirga akan menyusul. Beliau ada rapat pagi ini.”

Anna hanya mengangguk, memandangi jendela. Langit di luar cerah, tak sebanding dengan awan ragu yang bergelayut di dalam dadanya.

***

Anna melangkah keluar dari mobil dengan canggung. Pintu butik terbuka otomatis saat ia mendekat, dan seorang wanita dengan setelan hitam rapi langsung menyambutnya dengan senyum ramah. “Selamat datang. Anda pasti Nona Anna?”

Anna mengangguk gugup. “Iya…”

“Silakan ikut saya. Kami sudah menyiapkan beberapa pilihan gaun yang sesuai dengan permintaan.”

Ruangan dalam butik itu terasa tenang dan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi cermin besar dan lampu gantung yang memantulkan cahaya lembut. Gaun pertama yang dipakai Anna adalah putih dengan potongan A-line, sederhana namun elegan.

Pelayan memuji bentuk tubuh Anna yang ramping. “Tubuh Anda seperti jam pasir, sangat cocok mengenakan gaun apa pun,” katanya sambil tersenyum.

Anna tersipu. “Terima kasih…”

Saat ia mengenakan gaun ketiga, ia membuka pintu ruang ganti dan hendak melangkah keluar. Namun langkahnya terhenti ketika dari seberang, pintu ruang ganti pria terbuka. Dirga berdiri di sana, mengenakan jas hitam elegan, dan mata mereka bertemu sejenak—hanya sejenak, sebelum kembali menjadi asing.

Pelayan butik itu tampak terpesona. "Sungguh luar biasa, Nona! Gaun ini sangat cocok untuk Anda! Sempurna!" Ia bertepuk tangan pelan, menunjukkan kekagumannya. Anna tersenyum malu-malu, mengucapkan terima kasih. Pelayan itu kemudian menoleh ke Dirga. "Bagaimana menurut Tuan? Apakah gaun ini cocok untuk Nona?"

Dirga hanya menjawab dengan datar, "Ya." Ia lalu menambahkan, "Saya juga sudah memilih jas saya." Suaranya dingin, tanpa ekspresi. Ia langsung membayar semua gaun dan jas yang telah dipilih, tanpa basa-basi. Pelayan itu mengucapkan terima kasih dengan ramah, menunjukkan profesionalismenya.

Dirga mengangguk singkat, sedangkan Anna membalas dengan senyum hangat, sebuah usaha untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.

Saat mereka hendak keluar, Anna berucap pelan, “Terima kasih, Dirga…”

Dirga hanya membalas dengan anggukan datar, tanpa sepatah kata pun. Ia memberi kode kepada Melati bahwa ia harus pergi. Lalu pergi, meninggalkan Anna yang masih berdiri memandangi punggungnya. Matanya mulai sendu.

'Gaun ini seharusnya jadi lambang kebahagiaan. Tapi kenapa rasanya seperti baju pinjaman dari kehidupan yang bukan milikku?' batin Anna.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   14. Ketika sunyi retak

    Dering telepon terus bergema di meja balkon.Dirga berdiri tegak, tatapannya tertuju pada layar yang menampilkan nomor asing — tanpa nama, tanpa identitas, tapi ada sesuatu yang... mengusik ingatannya. Seperti bayangan lama yang kembali membayang. Ia menarik napas pendek, kemudian menjawab panggilan itu. Suara statis sesaat terdengar sebelum keheningan menyelimuti. Hanya desau angin malam yang mengisi jarak antara dua suara di ujung telepon. “Siapa kau?” suara Dirga terdengar dingin, tenang, penuh kendali. Bukan kemarahan, bukan kecemasan—hanya ketajaman seorang yang selalu berhitung. Beberapa saat berlalu, lalu sebuah tawa pelan mengalun—bukan tawa lepas, melainkan desisan penuh arti dari seseorang yang menikmati permainan ini. “Masih sama seperti dulu, ya… Tenang di permukaan, tapi sibuk membaca arah angin di bawah.” Dirga diam. Matanya melirik ke tablet di mejanya, layar menyala menampilkan pesan terenkripsi. Andi: posisi siap. Perintah? Satu tangan Dirga segera mengetik, se

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   13. Api kecil dalam diam

    Cahaya sore menyelinap masuk, membingkai sosok seorang pria yang berdiri di ambang pintu dengan senyum kikuk.Wildan—Teman kecil Anna sewaktu di panti.Pria itu kini tampak lebih dewasa dari terakhir kali Anna melihatnya — tubuhnya tegap, berseragam rapi meski jaketnya dibiarkan terbuka, dan tatapan matanya masih sama: tenang, tapi menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir kali bertemu. Waktu yang panjang itu tak menghapus cara Wildan memandang Anna — lembut, berhati-hati, seolah takut merusak bayangan yang selama ini ia simpan.“Senang bertemu denganmu lagi, Anna”Anna yang sedang merangkai bunga menoleh, matanya sedikit membulat, lalu perlahan tersenyum.“Wildan… sudah lama sekali.”Wildan berdiri di ambang pintu. Ada gurat lelah di wajahnya, tapi senyum tipisnya tetap hangat.“Iya, Anna. Sudah cukup lama,” jawabnya, suaranya pelan tapi tulus.Anna meletakkan gunting bunga di meja, menghapus sedikit debu di tangannya.“Kamu gimana kabarnya?”“A

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   12. Bayangan yang kembali

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Lampu kamar redup, hanya menyisakan pantulan cahaya lembut di wajah Dirga yang duduk bersandar di kepala ranjang. Tablet di tangannya menyala, layar menampilkan sederet artikel tentang sleepwalking. Dirga membaca perlahan, matanya menelusuri tiap kalimat dengan fokus yang sulit ia pertahankan. —Gangguan ini biasanya terjadi pada orang yang mengalami tekanan emosional atau trauma berat.— Ia terdiam. Kalimat itu menancap di kepalanya lebih dalam dari yang ia duga. Perlahan, jari-jarinya menggulir layar, membaca lebih jauh tentang penyebab dan dampaknya. Tapi pikirannya tidak lagi pada tulisan di depan mata — melainkan pada wajah Anna malam ini. Tatapan kosongnya. Langkahnya yang pelan dan kaku. Air matanya yang jatuh tanpa suara. Dirga memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang menekan dadanya, rasa bersalah yang aneh dan samar. “Apakah aku… terlalu keras padanya?” Bisik itu hanya terdengar untuk dirinya sendiri, pelan dan

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   11. Langkah tanpa sadar

    "Kalau kau tetap keras kepala… aku sendiri yang akan menjemputmu setiap hari." Anna menelan ludah. “Kenapa? Aku tidak meminta itu darimu,” gumamnya pelan, suaranya lembut tapi tegas. Dirga menoleh sekilas ke arahnya, sorot matanya tajam, tapi hanya sebentar. “Karena aku tidak ingin sesuatu di luar kendali. Itu saja.” Anna menahan napas, menundukkan kepala. “Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, tidak ada yang tahu siapa aku—” Dirga menekankan namanya, rendah tapi penuh tekanan. “Anna. Kau tidak mengerti dunia seperti apa yang sedang kau masuki.” Anna menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang mulai bergejolak. “Ini… tujuan kita juga, bukan? Agar identitasku tetap aman. Dan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau menjemputku setiap hari.” Ia menatap Dirga sekilas, berharap ia mengerti. Dirga mengalihkan pandangan ke depan, wajahnya tetap dingin. Anna menunduk sejenak, tetapi keberanian di bibirnya memaksa kata-kata keluar. “Aku tetap ingin beke

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   10. Di Persimpangan

    Dirga menatap layar ponselnya lama, sorot matanya mengeras. Pesan misterius di lift tadi masih membayangi pikirannya. Kalimat singkat itu — “Ini langkah awalmu, bukan?” — terasa seperti bisikan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Tangannya mengepal, jemari kokoh itu mengetuk ringan meja kerjanya, sebuah kebiasaan kecil setiap kali ia menahan amarah. Nafasnya ditarik panjang, lalu dihembuskan perlahan. “Berani sekali…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ponsel itu diletakkan dengan tenang di atas meja, meski matanya masih menatapnya tajam seakan benda itu musuh. Sesaat, ruang kerjanya terasa hening. Hanya terdengar detak jam dinding yang makin lambat di telinganya. Dirga memejamkan mata, mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Ia tahu… ini bukan sekadar pesan iseng. Ada seseorang di luar sana yang tengah mengawasinya, menunggu langkah berikutnya. Namun bukannya panik, bibir Dirga justru melengkung tipis. Sebuah senyum dingin, penuh kalkulasi. “Kalau memang permai

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   9. Langkah Awal

    Udara malam masih menyisakan aroma lembap hujan. Dirga keluar dari kamarnya dengan kaos tipis dan celana panjang setelah mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tetes air dingin jatuh di leher. Ia melangkah menuju dapur, membuka kulkas, lalu menuang segelas air putih. Saat ia meneguknya, suara langkah pelan terdengar di belakang. Dirga menoleh. Anna. Rambutnya tergerai kusut, piyama longgar membalut tubuh mungilnya. Tatapannya kosong, langkahnya lambat seperti orang yang tak benar-benar sadar dunia sekitarnya. Dirga menurunkan gelas, alisnya berkerut. "Apa yang dia lakukan tengah malam begini?" pikirnya. Ia ingin memanggil, bibirnya sempat terbuka. Tapi Anna terus berjalan melewatinya tanpa menoleh. Wanita itu berhenti di depan jendela besar ruang tamu, menatap keluar ke arah halaman gelap yang dibasahi sisa hujan. Sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Dirga menatap punggungnya lama. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia tak bisa menebak apa. Akhirnya, ia bersuara.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status