Lampu kristal memantulkan cahaya hangat di ruang makan mewah itu, menerangi meja marmer panjang dengan hidangan tertata rapi. Namun, kehangatan itu tak mampu mencairkan ketegangan antara Dirga, Mahendra, dan Mulan.
Mulan—sang Ibu Tiri, berusaha memecah hening sambil menuangkan sup ke piring Mahendra. “Kamu jarang makan malam di rumah. Papa sampai mengeluh,” ucapnya, senyumnya terasa dipaksakan. Dirga hanya mengangguk singkat, pandangannya tetap pada piring. Hening kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya. Mahendra, dengan anggur merahnya yang belum tersentuh, memecah keheningan. “Bagaimana bisnis proyek barumu, Dirga?” suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. “Lancar,” jawab Dirga singkat, suaranya tanpa emosi. Makan malam berlangsung kaku. Setiap suapan seperti beban, setiap tegukan anggur terasa getir. Hingga Dirga meletakkan sendok-garpunya, denting logam memecah keheningan. Tatapannya menusuk Mahendra dan Mulan, membawa tekad yang sulit ditawar. “Aku akan menikah dalam dua minggu,” ucapnya, suaranya tenang namun tegas, Pernyataan itu seketika membekukan udara di ruangan. Mulan berhenti mengunyah, Mahendra menatap Dirga penuh tanda tanya. “Menikah?” ulang Mahendra, nadanya terdengar tajam. “Dengan siapa? Wanita dari perusahaan mana? Anak siapa dia?” Dirga menarik napas dalam, menatap piringnya sebentar sebelum menjawab, “Seorang gadis sederhana dan pekerja keras” Mulan membelalak. “Apa maksudmu bukan siapa-siapa? Dirga, kamu putra pemilik Mahendra Group. Menikahi gadis biasa bisa mempermalukan keluarga kita! Kau akan menghancurkan reputasi kita, Dirga” Suara sendok dan garpu Dirga menyentak meja saat ia meletakkannya dengan kasar. “Saya tidak peduli. Keputusan saya tidak bisa diganggu gugat,” ucapnya tegas dan dingin. “Dan satu lagi, Tante Mulan... tidak perlu ikut campur. Karena sejak awal, saya tidak pernah menganggapmu keluarga." “Jaga mulutmu, Dirga!” Tangan Mahendra melayang cepat dan menampar pipi Dirga dengan keras. Dirga menunduk, bibirnya sedikit berdarah. Tapi ia hanya mengangkat kepala pelan, sorot matanya tak berubah. “Menghargai? Menghargai kata Papa?” suaranya mulai bergetar, namun tetap tajam. “Lalu bagaimana dengan perlakuan Papa terhadap Mama dan aku dulu?! Tidak perlu mengajari aku tentang sikap. Karena aku tahu siapa yang pantas mendapatkan perlakuan baikku!” Mulan ikut menyela dengan suara tajam. “Sudah jelas kamu mirip ibumu. Lemah dan menyedihkan. Tak pantas berada di keluarga ini.” Dirga membalikkan badan menatap Mulan tajam. “Berhenti bawa-bawa Ibu saya!” serunya lantang, membuat Mulan terdiam sejenak. Ia menghembuskan napas kasar, berbalik mengambil jasnya yang tergantung di kursi. “Aku pergi,” katanya pelan namun penuh tekanan. Tanpa menunggu respons, Dirga melangkah pergi. --- Di ruang perawatan yang hening, Anna duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Ara. Senyum tipis adiknya menghadirkan sedikit lega di hatinya. Melihat rona segar kembali di wajah Ara, beban Anna terasa sedikit terangkat. “Ra… Kakak mau bilang sesuatu,” ucap Anna pelan, suaranya sedikit bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk di dalam hatinya. Ara menoleh, tersenyum tipis, “Apa, Kak?” Suaranya lemah, namun penuh perhatian. Anna menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Kakak akan menikah, dua minggu lagi.” Kata-kata itu keluar begitu saja, seakan-akan terbebas dari beban berat yang selama ini membebaninya. Namun, di balik kata-kata itu tersimpan beban yang jauh lebih berat. Mata Ara membulat sempurna, kejutan dan kegembiraan terpancar jelas dari sorot matanya. “Benarkah?! Kakak serius?” Anna mengangguk, memaksakan senyum yang terasa pahit di bibirnya. “Iya. Kakak serius.” Ara langsung memeluk Anna sekuat tenaga, pelukan erat yang penuh kasih sayang dan kegembiraan. “Kakak akhirnya bahagia juga… Kakak pasti kelihatan cantik banget pakai gaun pengantin.” Kata-kata itu membuat Anna merasa sesak, campuran haru dan pedih memenuhi dadanya. Ara kembali duduk, menatap Anna dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku ingin hadir di pernikahan Kakak. Aku ingin lihat Kakak berjalan di altar…” Suaranya bergetar, mengungkapkan kerinduan dan harapan yang begitu besar. Anna menggenggam tangan Ara lebih erat, “Ara belum sembuh betul. Tapi nanti kita bisa video call. Kamu tetap bisa lihat Kakak, janji.” Suaranya lembut, mencoba meredakan kekecewaan yang tersirat di wajah Ara. Ara mengangguk patuh, meski raut wajahnya sedikit kecewa. “Oke… Aku seneng kakak bahagia, aku ingin melihat kakak memikirkan kebahagiaan kakak juga tanpa harus memikirkan kesehatan aku.” Kata-kata itu menusuk hati Anna. “Jangan bilang begitu sayang, semua yang kakak lakukan selama ini untuk Ara sama sekali enggak ada membebani kakak kok. Kakak sudah bahagia lebih dari yang kamu tahu, jangan berpikir seperti itu lagi ya?” Suaranya bergetar, mencoba meyakinkan Ara. Di dalam hatinya, Anna berkata lirih, 'Kebahagiaan ini semu, Ra. Tapi jika itu bisa membuatmu tertawa, Kakak rela menjalaninya…' Sebuah pengorbanan yang begitu besar, dilakukan dengan penuh cinta dan kerelaan. *** Pagi itu, Anna berangkat dengan blus krem dan celana hitam sederhana. Baru saja ia mengunci pintu kontrakan, langkahnya terhenti—sebuah mobil hitam mewah terparkir di depan. Ia hendak menghindar, tapi jendela mobil perlahan terbuka. “Anna.” Anna langsung mengenali suara itu. Ia menoleh dan melihat seorang wanita anggun dengan jas formal hitam duduk di kursi pengemudi. “Bu Melati?” Melati tersenyum tipis. “Saya diutus Tuan Dirga untuk mengantar Anda ke butik.” Anna mengerjapkan mata, kebingungan. “Ah… tapi, saya bisa naik bus saja bu. Tidak perlu repot-repot.” “Ini perintah langsung Tuan Dirga,” jawab Melati datar namun tegas. Anna menelan ludah, merasa serba salah. Ia takut merepotkan, tapi menolak juga terasa tidak sopan. “Baiklah… terima kasih.” Ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Suasana dalam mobil sunyi, hanya ada suara pelan dari AC yang mengalir. Beberapa menit kemudian, Melati berkata, “Tuan Dirga akan menyusul. Beliau ada rapat pagi ini.” Anna hanya mengangguk, memandangi jendela. Langit di luar cerah, tak sebanding dengan awan ragu yang bergelayut di dalam dadanya. *** Anna melangkah keluar dari mobil dengan canggung. Pintu butik terbuka otomatis saat ia mendekat, dan seorang wanita dengan setelan hitam rapi langsung menyambutnya dengan senyum ramah. “Selamat datang. Anda pasti Nona Anna?” Anna mengangguk gugup. “Iya…” “Silakan ikut saya. Kami sudah menyiapkan beberapa pilihan gaun yang sesuai dengan permintaan.” Ruangan dalam butik itu terasa tenang dan mewah. Dinding-dindingnya dihiasi cermin besar dan lampu gantung yang memantulkan cahaya lembut. Gaun pertama yang dipakai Anna adalah putih dengan potongan A-line, sederhana namun elegan. Pelayan memuji bentuk tubuh Anna yang ramping. “Tubuh Anda seperti jam pasir, sangat cocok mengenakan gaun apa pun,” katanya sambil tersenyum. Anna tersipu. “Terima kasih…” Saat ia mengenakan gaun ketiga, ia membuka pintu ruang ganti dan hendak melangkah keluar. Namun langkahnya terhenti ketika dari seberang, pintu ruang ganti pria terbuka. Dirga berdiri di sana, mengenakan jas hitam elegan, dan mata mereka bertemu sejenak—hanya sejenak, sebelum kembali menjadi asing. Pelayan butik itu tampak terpesona. "Sungguh luar biasa, Nona! Gaun ini sangat cocok untuk Anda! Sempurna!" Ia bertepuk tangan pelan, menunjukkan kekagumannya. Anna tersenyum malu-malu, mengucapkan terima kasih. Pelayan itu kemudian menoleh ke Dirga. "Bagaimana menurut Tuan? Apakah gaun ini cocok untuk Nona?" Dirga hanya menjawab dengan datar, "Ya." Ia lalu menambahkan, "Saya juga sudah memilih jas saya." Suaranya dingin, tanpa ekspresi. Ia langsung membayar semua gaun dan jas yang telah dipilih, tanpa basa-basi. Pelayan itu mengucapkan terima kasih dengan ramah, menunjukkan profesionalismenya. Dirga mengangguk singkat, sedangkan Anna membalas dengan senyum hangat, sebuah usaha untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. Saat mereka hendak keluar, Anna berucap pelan, “Terima kasih, Dirga…” Dirga hanya membalas dengan anggukan datar, tanpa sepatah kata pun. Ia memberi kode kepada Melati bahwa ia harus pergi. Lalu pergi, meninggalkan Anna yang masih berdiri memandangi punggungnya. Matanya mulai sendu. 'Gaun ini seharusnya jadi lambang kebahagiaan. Tapi kenapa rasanya seperti baju pinjaman dari kehidupan yang bukan milikku?' batin Anna.Lampu kristal memantulkan cahaya hangat di ruang makan mewah itu, menerangi meja marmer panjang dengan hidangan tertata rapi. Namun, kehangatan itu tak mampu mencairkan ketegangan antara Dirga, Mahendra, dan Mulan. Mulan—sang Ibu Tiri, berusaha memecah hening sambil menuangkan sup ke piring Mahendra. “Kamu jarang makan malam di rumah. Papa sampai mengeluh,” ucapnya, senyumnya terasa dipaksakan. Dirga hanya mengangguk singkat, pandangannya tetap pada piring. Hening kembali jatuh, lebih berat dari sebelumnya. Mahendra, dengan anggur merahnya yang belum tersentuh, memecah keheningan. “Bagaimana bisnis proyek barumu, Dirga?” suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun kehangatan. “Lancar,” jawab Dirga singkat, suaranya tanpa emosi. Makan malam berlangsung kaku. Setiap suapan seperti beban, setiap tegukan anggur terasa getir. Hingga Dirga meletakkan sendok-garpunya, denting logam memecah keheningan. Tatapannya menusuk Mahendra dan Mulan, membawa tekad yang sulit ditawar. “Aku a
“Tuan Dirga… jika tawaran itu masih berlaku.... saya menerimanya.” Dirga terpaku. Ekspresinya berubah, dari datar menjadi sedikit terkejut. Ia mengenali suara itu. Anna. Untuk sesaat, ruangan seolah membeku. Ia menghela napas, lalu berdiri dan berjalan pelan ke jendela kaca besar yang menghadap ke lanskap gedung pencakar langit. “Baik,” jawabnya, tetap datar namun dengan nada yang lebih lambat, seolah sedang mencerna keputusan itu. “Kita bertemu jam tujuh malam. Di tempat yang kemarin.” Terdengar suara Anna lagi, lebih ragu kali ini. “Maaf, Tuan, bolehkah… kita bertemu di tempat lain saja? Saya tidak enak kalau dilihat teman kerja saya…” Dirga melirik jam tangannya. Matanya kosong sejenak sebelum ia berkata, “Aravine. Restoran di pusat kota. Jam tujuh malam dan Jangan terlambat.” “Baik, Tuan. Terima kasih…” suara Anna nyaris tak terdengar sebelum sambungan terputus. Dirga menatap ponsel beberapa detik sebelum menekan nomor lain. Kali ini ia menelepon Melati. “Melati, Wan
Mentari pagi menyelinap lewat celah jendela kamar kontrakan sempit milik Anna. Lelah semalam belum juga hilang, tapi waktu tak menunggu. Anna bangkit, menyalakan kompor kecil, lalu merebus sebutir telur—sarapan satu-satunya pagi ini. Belum sempat ia duduk, ketukan tegas terdengar di pintu. Anna buru-buru membukanya. Bu Marni, pemilik kontrakan, berdiri dengan wajah lelah. "Anna, pagi. Maaf ganggu. Tapi kamu tahu, sudah waktunya bayar kontrakan. Tolong ya, minggu ini dilunasin. Banyak yang nunggak, dan saya harus adil," ucap Bu Marni, nada suaranya datar namun jelas terasa tekanan di baliknya. Anna menunduk sedikit, suaranya pelan dan penuh sopan santun. "Maaf, Bu Marni. Saya… saya baru beli obat buat Ara tiga hari lalu. Uangnya benar-benar habis. Bisa saya minta tenggat waktu sampai minggu depan?" Bu Marni menarik napas berat, lalu mengangguk singkat. "Minggu depan, ya? Kalau belum dibayar juga, saya harus kasih kontrakan ini ke orang lain yang bisa bayar tepat waktu. Saya juga bu
“Pernikahan kontrak?” Suara Anna hampir tak terdengar. “Kenapa… saya?” Dunia seakan berhenti berputar. Musik jazz yang mengalun di kafe terdengar sayup, tenggelam oleh detak jantungnya yang memburu. Napasnya sesak, jari-jarinya meremas rok pelayan yang ia kenakan. Bu Melati menyandarkan tangan di atas meja, wajahnya teduh tapi tegas. “Tuan Dirga membutuhkan seorang istri sementara untuk memenuhi tuntutan keluarga besar. Kami mencari seseorang dengan latar belakang sederhana, bersih, dan tidak terikat. Anda memenuhi semua kriteria itu. Dan tentu saja, semua ini legal, terikat hukum, serta akan sangat menguntungkan Anda.” Anna menelan ludah. “Menguntungkan?” “Benar. Biaya pengobatan Ara akan ditanggung penuh, termasuk perawatan jangka panjang. Pendidikan hingga kuliah pun dijamin. Selain itu, Anda akan menerima kompensasi besar setelah kontrak berakhir.” Nama Ara disebut, membuat dada Anna sesak. Untuk sesaat, bayangan adiknya yang tertawa dengan komik di pangkuan melintas di kepa
"Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dengan cepat?" batin seorang gadis bernama Anna, yang sudah terbiasa hidup dengan seribu beban di pundaknya. Sejak ayahnya meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dan ibunya memilih pergi bersama keluarga barunya, hanya dia yang tersisa untuk merawat Ara—adik kecil yang tubuhnya ringkih, namun semangat hidupnya selalu menyala. Hidup Anna tak lepas dari kerja keras—pagi di toko bunga, malam di kafe. Tak ada hari tanpa lelah, tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Namun di balik letih yang tak pernah habis, hatinya masih menyimpan cahaya kecil: harapan bahwa esok akan ada hari yang lebih baik untuk adiknya. --- Suara mesin infus berdetak pelan, berpadu dengan alunan lagu anak-anak dari televisi kecil di sudut ruangan. Bau antiseptik yang tajam bercampur dengan wangi sabun bayi dari selimut tipis yang menyelimuti Ara. “Kak Anna!” seru gadis kecil itu dengan suara serak, matanya berbinar begitu Anna membuka pintu. Anna tersenyum, menahan lelah