Home / Romansa / Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO / 3. Harga dari Sebuah Harapan

Share

3. Harga dari Sebuah Harapan

Author: Aksara Hope
last update Last Updated: 2025-09-13 07:50:07

Mentari pagi menyelinap lewat celah jendela kamar kontrakan sempit milik Anna. Lelah semalam belum juga hilang, tapi waktu tak menunggu. Anna bangkit, menyalakan kompor kecil, lalu merebus sebutir telur—sarapan satu-satunya pagi ini.

Belum sempat ia duduk, ketukan tegas terdengar di pintu. Anna buru-buru membukanya. Bu Marni, pemilik kontrakan, berdiri dengan wajah lelah.

"Anna, pagi. Maaf ganggu. Tapi kamu tahu, sudah waktunya bayar kontrakan. Tolong ya, minggu ini dilunasin. Banyak yang nunggak, dan saya harus adil," ucap Bu Marni, nada suaranya datar namun jelas terasa tekanan di baliknya.

Anna menunduk sedikit, suaranya pelan dan penuh sopan santun. "Maaf, Bu Marni. Saya… saya baru beli obat buat Ara tiga hari lalu. Uangnya benar-benar habis. Bisa saya minta tenggat waktu sampai minggu depan?"

Bu Marni menarik napas berat, lalu mengangguk singkat. "Minggu depan, ya? Kalau belum dibayar juga, saya harus kasih kontrakan ini ke orang lain yang bisa bayar tepat waktu. Saya juga butuh makan, Neng."

Anna mengangguk, senyum tipis penuh getir di wajahnya. "Iya, Bu. Saya usahakan."

Pintu tertutup, meninggalkan Anna mematung di ruang sempit. “Dari mana aku bisa dapat uang segitu?” bisiknya getir. Ia menatap dompet lusuh—hanya ada puluhan ribu dan receh. Terlalu sedikit bahkan untuk bayar listrik.

Tapi ia tak punya waktu meratap. Hidup tetap berjalan. Ia menyimpan dompet ke tas lusuh dan berangkat kerja.

---

Di sisi lain kota, sarapan tersaji lengkap di meja panjang rumah megah bergaya modern. Dirga duduk sendiri di ujung meja, menatap roti panggang dan omelet tanpa ekspresi. Rumah itu dingin meski mewah.

“Maaf, Tuan. Hari ini saya izin pulang lebih awal,” kata Bi Ningsih, pembantu tua yang setia sejak dulu.

“Ya. Pulanglah,” jawab Dirga singkat.

Ia bangkit, mengambil jas dari sandaran kursi dan memasukkannya ke dalam tas kerja. Sebelum melangkah ke pintu, ia membuka dompet dan menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu ke Bi Ningsih.

Perempuan tua itu terkejut. “Lho, Tuan... saya baru digaji kemarin…”

“Untuk naik taksi nanti,” jawab Dirga singkat.

Sekilas, ada senyum tipis di wajahnya—hangat yang hampir tak terlihat.

“Terima kasih, Tuan. Sehat-sehat ya,” ucap Bi Ningsih tulus.

Dirga mengangguk lagi, lalu berjalan ke teras. “Pak Supri, kita berangkat sekarang,” ucapnya datar saat melihat sang sopir sudah siap.

---

Toko bunga itu mungil tapi penuh warna. Rak-rak kayu dihiasi berbagai jenis bunga segar—mawar merah muda, lily putih, anggrek ungu, dan krisan kuning—tersusun rapi di dalam vas kaca bening.

Anna sedang sibuk merangkai bunga untuk pesanan pengantin. Tangannya lincah, menyatukan tangkai demi tangkai, melilitkan pita satin dengan hati-hati. Tapi matanya terlihat sayu.

“Anna, jangan melamun. Bunganya hampir patah,” tegur Bu Sinta, pemilik toko.

“Maaf, Bu,” jawab Anna buru-buru. Ia tersenyum, tapi sorot matanya tetap sayu.

Ia kembali bekerja, tapi hatinya masih kacau. Lalu tiba-tiba—dering notifikasi di ponselnya membuat jantungnya melompat. Di layar tertulis: “Pesan dari dr. Risa”.

Jari Anna gemetar saat menyentuh layar. Napasnya tertahan, tenggorokannya kering. Dengan hati-hati ia membaca isi pesan.

“Anna, kondisi Ara menurun cukup drastis. Kami butuh tindakan segera, tapi biayanya tidak sedikit. Bisa ke rumah sakit sekarang?”

Wajah Anna seketika pucat. Lututnya terasa lemas. Ia menahan tubuhnya agar tidak jatuh, menggigit bibirnya kuat-kuat. Tangannya bergetar hebat.

Tanpa pikir panjang, ia menghampiri Bu Sinta. "Bu... saya minta izin... adik saya... saya harus ke rumah sakit sekarang."

Melihat wajah Anna yang tegang dan matanya yang berkaca-kaca, Bu Sinta langsung mengangguk. "Cepat pergi, Anna. Hati-hati, ya."

Anna membungkuk sopan, lalu bergegas keluar. Langkah kakinya terburu-buru, hampir berlari.

---

Lorong rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Anna tergesa masuk ke ruang rawat. Tubuh mungil Ara terbaring lemah, napasnya berat, wajahnya pucat. Jemari kecilnya dingin saat Anna genggam.

“Ara… bertahan, ya…” bisiknya, menahan air mata.

Beberapa helai rambut adiknya menempel di bantal, membuat dada Anna sesak. Ia keluar mencari dr. Risa.

“Dok, tolong lakukan apa pun. Saya janji akan bayar minggu depan,” pintanya lirih tapi penuh harap.

Dokter Risa menggeleng pelan. “Anna, ini rumah sakit. Kami terikat aturan. Tindakan baru bisa dilakukan setelah administrasi selesai.”

“Tapi... itu bisa membahayakan nyawa Ara, kan?” tanya Anna putus asa, suaranya hampir tak terdengar.

“Untuk kondisi seperti ini, iya. Tapi saya tak bisa mengambil keputusan tanpa izin dari atas,” jawab dokter Risa lembut namun tegas.

Anna menunduk. Bibirnya gemetar, matanya berkaca. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ia tahu tak ada yang bisa disalahkan. Semuanya butuh biaya—bahkan untuk menyelamatkan orang yang paling ia cintai.

“Maaf, Anna...” kata dokter Risa lagi. “Saya benar-benar ingin membantu.”

Anna hanya mengangguk pelan. Air mata jatuh satu per satu, membasahi lantai putih rumah sakit itu.

---

Ia berdiri di balkon rumah sakit, tubuhnya bergetar halus. Angin sore berembus, menusuk kulit, seakan ikut menambah dingin yang merayap di dadanya. Ponselnya ia genggam erat, layar menyala menampilkan satu nama yang sudah lama tak ingin ia lihat lagi—Ibu. Sosok yang dulu meninggalkannya bersama Ara begitu saja, tanpa menoleh ke belakang.

Jari Anna sempat bergerak, hampir menyentuh tombol hijau. Namun secepat itu pula ia menarik tangannya kembali. Napasnya tercekat.

’Untuk apa? Apa aku masih punya tempat di hatinya?’ batinnya pedih.

Kenangan masa kecil bermunculan—suara pintu rumah dibanting keras, tangisan Ara kecil di pelukannya, dan langkah kaki Ibu yang menjauh tanpa pernah kembali. Luka itu terlalu dalam untuk sekadar ditelepon begitu saja.

Anna menutup mata, mencoba menahan air mata yang nyaris jatuh. “Tidak… bukan dia jawabannya,” bisiknya getir.

Saat membuka mata, pandangannya jatuh pada sebuah kartu nama hitam berlapis emas di dalam tas kecilnya. Nama itu terpampang jelas—Dirga Mahendra. Kartu itu terasa begitu berat, seolah memikul masa depan yang sedang ia pertaruhkan. Ingatan tentang pertemuannya dengan pria itu kembali mengalir—tatapan matanya yang tajam, suara dinginnya, serta tawaran yang sempat ia tolak mentah-mentah. Tawaran yang baginya terdengar gila, tapi kini…

‘Satu-satunya jalan.’

Ia teringat kata-kata sahabatnya: “Jangan sampai kehilangan dirimu sendiri, Anna. Apa pun yang terjadi, bertahanlah.” Ucapan itu menancap seperti pengingat keras, membuat dadanya kian sesak.

Tangannya gemetar saat meraih kartu itu, lalu menempelkan nomor yang tertera ke layar ponselnya. Jempolnya ragu-ragu melayang di atas tombol panggil. Rasanya seperti memilih antara kehilangan dirinya sendiri atau kehilangan Ara.

Anna menghela napas panjang, menundukkan kepala. “Ini… demi Ara,” gumamnya lirih, seolah meneguhkan tekad.

Dengan sisa keberanian yang ia kumpulkan, ia akhirnya menekan tombol itu. Nada sambung terdengar, lambat, panjang, menusuk telinga. Jantungnya berdegup kencang, hampir melompat keluar.

Hingga akhirnya—suara dingin dari seberang sana memecah keheningan.

“Halo, ini siapa?”

Anna menelan ludah. Suaranya bergetar, tapi penuh tekad.

“Tuan Dirga… jika tawaran itu masih berlaku… saya menerimanya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   14. Ketika sunyi retak

    Dering telepon terus bergema di meja balkon.Dirga berdiri tegak, tatapannya tertuju pada layar yang menampilkan nomor asing — tanpa nama, tanpa identitas, tapi ada sesuatu yang... mengusik ingatannya. Seperti bayangan lama yang kembali membayang. Ia menarik napas pendek, kemudian menjawab panggilan itu. Suara statis sesaat terdengar sebelum keheningan menyelimuti. Hanya desau angin malam yang mengisi jarak antara dua suara di ujung telepon. “Siapa kau?” suara Dirga terdengar dingin, tenang, penuh kendali. Bukan kemarahan, bukan kecemasan—hanya ketajaman seorang yang selalu berhitung. Beberapa saat berlalu, lalu sebuah tawa pelan mengalun—bukan tawa lepas, melainkan desisan penuh arti dari seseorang yang menikmati permainan ini. “Masih sama seperti dulu, ya… Tenang di permukaan, tapi sibuk membaca arah angin di bawah.” Dirga diam. Matanya melirik ke tablet di mejanya, layar menyala menampilkan pesan terenkripsi. Andi: posisi siap. Perintah? Satu tangan Dirga segera mengetik, se

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   13. Api kecil dalam diam

    Cahaya sore menyelinap masuk, membingkai sosok seorang pria yang berdiri di ambang pintu dengan senyum kikuk.Wildan—Teman kecil Anna sewaktu di panti.Pria itu kini tampak lebih dewasa dari terakhir kali Anna melihatnya — tubuhnya tegap, berseragam rapi meski jaketnya dibiarkan terbuka, dan tatapan matanya masih sama: tenang, tapi menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir kali bertemu. Waktu yang panjang itu tak menghapus cara Wildan memandang Anna — lembut, berhati-hati, seolah takut merusak bayangan yang selama ini ia simpan.“Senang bertemu denganmu lagi, Anna”Anna yang sedang merangkai bunga menoleh, matanya sedikit membulat, lalu perlahan tersenyum.“Wildan… sudah lama sekali.”Wildan berdiri di ambang pintu. Ada gurat lelah di wajahnya, tapi senyum tipisnya tetap hangat.“Iya, Anna. Sudah cukup lama,” jawabnya, suaranya pelan tapi tulus.Anna meletakkan gunting bunga di meja, menghapus sedikit debu di tangannya.“Kamu gimana kabarnya?”“A

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   12. Bayangan yang kembali

    Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Lampu kamar redup, hanya menyisakan pantulan cahaya lembut di wajah Dirga yang duduk bersandar di kepala ranjang. Tablet di tangannya menyala, layar menampilkan sederet artikel tentang sleepwalking. Dirga membaca perlahan, matanya menelusuri tiap kalimat dengan fokus yang sulit ia pertahankan. —Gangguan ini biasanya terjadi pada orang yang mengalami tekanan emosional atau trauma berat.— Ia terdiam. Kalimat itu menancap di kepalanya lebih dalam dari yang ia duga. Perlahan, jari-jarinya menggulir layar, membaca lebih jauh tentang penyebab dan dampaknya. Tapi pikirannya tidak lagi pada tulisan di depan mata — melainkan pada wajah Anna malam ini. Tatapan kosongnya. Langkahnya yang pelan dan kaku. Air matanya yang jatuh tanpa suara. Dirga memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang menekan dadanya, rasa bersalah yang aneh dan samar. “Apakah aku… terlalu keras padanya?” Bisik itu hanya terdengar untuk dirinya sendiri, pelan dan

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   11. Langkah tanpa sadar

    "Kalau kau tetap keras kepala… aku sendiri yang akan menjemputmu setiap hari." Anna menelan ludah. “Kenapa? Aku tidak meminta itu darimu,” gumamnya pelan, suaranya lembut tapi tegas. Dirga menoleh sekilas ke arahnya, sorot matanya tajam, tapi hanya sebentar. “Karena aku tidak ingin sesuatu di luar kendali. Itu saja.” Anna menahan napas, menundukkan kepala. “Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, tidak ada yang tahu siapa aku—” Dirga menekankan namanya, rendah tapi penuh tekanan. “Anna. Kau tidak mengerti dunia seperti apa yang sedang kau masuki.” Anna menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang mulai bergejolak. “Ini… tujuan kita juga, bukan? Agar identitasku tetap aman. Dan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau menjemputku setiap hari.” Ia menatap Dirga sekilas, berharap ia mengerti. Dirga mengalihkan pandangan ke depan, wajahnya tetap dingin. Anna menunduk sejenak, tetapi keberanian di bibirnya memaksa kata-kata keluar. “Aku tetap ingin beke

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   10. Di Persimpangan

    Dirga menatap layar ponselnya lama, sorot matanya mengeras. Pesan misterius di lift tadi masih membayangi pikirannya. Kalimat singkat itu — “Ini langkah awalmu, bukan?” — terasa seperti bisikan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Tangannya mengepal, jemari kokoh itu mengetuk ringan meja kerjanya, sebuah kebiasaan kecil setiap kali ia menahan amarah. Nafasnya ditarik panjang, lalu dihembuskan perlahan. “Berani sekali…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ponsel itu diletakkan dengan tenang di atas meja, meski matanya masih menatapnya tajam seakan benda itu musuh. Sesaat, ruang kerjanya terasa hening. Hanya terdengar detak jam dinding yang makin lambat di telinganya. Dirga memejamkan mata, mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Ia tahu… ini bukan sekadar pesan iseng. Ada seseorang di luar sana yang tengah mengawasinya, menunggu langkah berikutnya. Namun bukannya panik, bibir Dirga justru melengkung tipis. Sebuah senyum dingin, penuh kalkulasi. “Kalau memang permai

  • Tiba-Tiba Menjadi Istri CEO   9. Langkah Awal

    Udara malam masih menyisakan aroma lembap hujan. Dirga keluar dari kamarnya dengan kaos tipis dan celana panjang setelah mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tetes air dingin jatuh di leher. Ia melangkah menuju dapur, membuka kulkas, lalu menuang segelas air putih. Saat ia meneguknya, suara langkah pelan terdengar di belakang. Dirga menoleh. Anna. Rambutnya tergerai kusut, piyama longgar membalut tubuh mungilnya. Tatapannya kosong, langkahnya lambat seperti orang yang tak benar-benar sadar dunia sekitarnya. Dirga menurunkan gelas, alisnya berkerut. "Apa yang dia lakukan tengah malam begini?" pikirnya. Ia ingin memanggil, bibirnya sempat terbuka. Tapi Anna terus berjalan melewatinya tanpa menoleh. Wanita itu berhenti di depan jendela besar ruang tamu, menatap keluar ke arah halaman gelap yang dibasahi sisa hujan. Sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Dirga menatap punggungnya lama. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia tak bisa menebak apa. Akhirnya, ia bersuara.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status