 LOGIN
LOGINAnna hanya ingin bertahan hidup. Trauma masa lalu membuatnya dihantui mimpi buruk dan sleepwalking. Sementara Dirga, CEO muda yang tampan, dingin dan penuh dendam, menganggap pernikahan hanyalah kontrak demi reputasi. Mereka dipertemukan dalam ikatan tanpa cinta—dingin, canggung, jauh dari romantis. Namun di balik kesepakatan itu, luka lama perlahan terbuka, rahasia terungkap, dan keduanya mulai menyentuh sisi rapuh satu sama lain. —Karena kadang, cinta tak lahir dari tawa dan bunga, melainkan dari kehancuran.
View More"Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dengan cepat?" batin seorang gadis bernama Anna, yang sudah terbiasa hidup dengan seribu beban di pundaknya.
Sejak ayahnya meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, dan ibunya memilih pergi bersama keluarga barunya, hanya dia yang tersisa untuk merawat Ara—adik kecil yang tubuhnya ringkih, namun semangat hidupnya selalu menyala. Hidup Anna tak lepas dari kerja keras—pagi di toko bunga, malam di kafe. Tak ada hari tanpa lelah, tak ada waktu untuk dirinya sendiri. Namun di balik letih yang tak pernah habis, hatinya masih menyimpan cahaya kecil: harapan bahwa esok akan ada hari yang lebih baik untuk adiknya. --- Suara mesin infus berdetak pelan, berpadu dengan alunan lagu anak-anak dari televisi kecil di sudut ruangan. Bau antiseptik yang tajam bercampur dengan wangi sabun bayi dari selimut tipis yang menyelimuti Ara. “Kak Anna!” seru gadis kecil itu dengan suara serak, matanya berbinar begitu Anna membuka pintu. Anna tersenyum, menahan lelah yang sudah menggerogoti tubuhnya. Ia meletakkan tas kain di sofa kecil, lalu mendekat untuk mencium kening adiknya yang dingin. “Gimana hari ini, Sayang?” Ara mengangkat komik bergambar putri berkilau. “Happy! Aku dapat hadiah dari Suster Lina. Judulnya Putri Bunga Ajaib. Cantik banget, kan? Dia bisa terbang!” Anna pura-pura melongo. “Wah, Kakak kalah kece sama putri itu. Bajunya aja berkilau sekali.” Ara terkikik, lalu memandang serius. “Kak, kamu nggak capek? Kerja dari pagi terus langsung ke sini…” Anna membetulkan selimut Ara, senyumnya tipis. “Enggak dong. Kakak malah semangat biar kamu bisa terus beli komik dan makan ayam goreng kesukaanmu. Saus sambalnya dua bungkus, kan?” Mata Ara berbinar. “Kakak selalu ingat!” Anna menelan ludah, menahan rasa sesak saat melihat rambut adiknya yang makin tipis. Ia ingin berkata kalau ia lelah, tapi tidak tega. Sebagai gantinya, ia menggenggam tangan Ara erat. “Kalau Kakak dipeluk Ara, tenaganya balik seratus persen.” Ara menariknya ke pelukan kecil. “Kalau bisa, Kak Anna jangan kerja malam. Temenin Ara terus…” Keheningan menelusup. Anna menutup mata sejenak, mengusap lembut punggung adiknya. “Kalau uang bisa tumbuh di pot bunga, Kakak langsung resign,” ujarnya setengah bercanda. Ara terkekeh. “Kita siram tiap hari, siapa tahu tumbuh!” Anna ikut tertawa, meski matanya memanas. Pandangannya sempat melirik jam tangan. Hampir pukul tujuh. Ia mencium kening Ara sekali lagi. “Kakak kerja dulu, ya. Nanti malam kita video call, cerita tentang Putri Bunga Ajaib.” “Semangat, Kak! Aku sayang Kak Anna.” “Sama-sama, Sayang.” Anna bangkit, meraih tasnya. Saat keluar, ia berpapasan dengan Suster Lina. “Suster, tolong jagain Ara, ya.” Suster itu tersenyum lembut. “Tentu, Anna. Kerja yang tenang.” Anna mengangguk, lalu melangkah pergi dengan hati yang berat, seolah meninggalkan separuh jiwanya di ranjang rumah sakit itu. --- Udara malam menusuk kulit ketika Anna berlari kecil menuju kafe Melodi Malam. Napasnya tersengal, pundaknya terasa berat oleh tas kain yang hampir robek. Jam tangannya tepat menunjukkan pukul 18.59 ketika ia membuka pintu. Denting bel langsung disambut aroma kopi hangat dan karamel manis. “Wih, detik terakhir!” seru Lili, temannya yang duduk di kasir. Anna melepas jaket, tersenyum lelah. “Dari rumah sakit ke sini rasanya kayak lomba estafet.” Kafe mulai ramai. Lampu temaram vintage menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya hangat di meja-meja kayu. Musik jazz mengalun pelan, membuat suasana seolah tenang meski di dalam dada Anna, badai terus berputar: Uang… bagaimana caranya aku bisa dapat uang lebih banyak? Suara bel kembali berdenting. Anna menoleh. Seorang pria tinggi dan berwibawa melangkah masuk. Jas hitamnya tampak mahal, langkahnya tenang dan pasti, setiap gerakannya seperti memancarkan kuasa. Matanya tajam, dingin, menilai ruangan tanpa ekspresi. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya dengan tas branded menyusul. Wanita itu elegan, sikapnya anggun, jelas bukan tamu sembarangan. “Selamat malam, Bapak, Ibu,” sapa Anna ramah. Senyumnya hangat, meski lututnya nyaris gemetar karena lelah. “Ada yang bisa saya bantu?” “Kami ingin memesan minuman,” jawab wanita itu dengan sopan. “Ada meja kosong di pojok sana, ya?” Anna mengangguk. “Ada, Bu. Mari saya antar.” Mereka duduk di sudut yang lebih privat. Anna mendekat dengan buku menu. “Selamat malam. Apa yang bisa saya bantu?” “Saya latte,” kata wanita itu ramah. Ia menoleh ke pria di sebelahnya. “Tuan Dirga?” “Americano.” Suaranya dingin, pendek, menusuk. Ia bahkan tak menatap Anna. Anna mencatat, lalu ke bar. Tangannya lincah menyiapkan pesanan, tapi matanya sesekali melirik ke meja VIP itu. Sepertinya aku pernah lihat wajahnya di berita… siapa dia? Sosok pria itu begitu rapi dan dingin, aura kekuasaan menempel pada setiap gerakannya. “Silakan, ini latte dan Americano,” ucap Anna sambil meletakkan cangkir. Senyumnya tetap profesional. Namun sebelum ia berbalik, wanita itu menahannya. “Nona, tunggu sebentar.” Anna menoleh, sedikit heran. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Pria bernama Dirga itu mengangkat dagunya sedikit, tatapannya dingin menusuk. Wanita itu tersenyum tipis, lalu membuka tasnya, mengeluarkan berkas. “Perkenalkan. Saya Melati, pengacara pribadi Tuan Dirga Mahendra.” Suaranya lembut, namun penuh kuasa. “Kami ingin menawarkan Anda sebuah proposal yang cukup unik.” Anna mengernyit, jantungnya berdebar aneh. “Kami ingin menawarkan Anda sebuah pernikahan kontrak.” Kata-kata itu jatuh begitu saja, namun seolah mengguncang seluruh dunia Anna. Tangannya yang masih menggenggam nampan bergetar, hampir terlepas. Pandangannya beralih cepat antara Melati dan pria dingin di hadapannya. Tatapan Dirga tetap tak terbaca, namun tajam, membuat udara di sekitarnya serasa membeku. “Apakah… apakah ini lelucon?” suara Anna pecah, gemetar, campuran marah, takut, dan bingung. Tak ada jawaban. Hanya tatapan pria itu yang terus menembus, seakan ia sudah tahu bahwa dari detik ini, Anna tak akan bisa lagi berlari dari takdir yang sedang menunggu.Dering telepon terus bergema di meja balkon.Dirga berdiri tegak, tatapannya tertuju pada layar yang menampilkan nomor asing — tanpa nama, tanpa identitas, tapi ada sesuatu yang... mengusik ingatannya. Seperti bayangan lama yang kembali membayang. Ia menarik napas pendek, kemudian menjawab panggilan itu. Suara statis sesaat terdengar sebelum keheningan menyelimuti. Hanya desau angin malam yang mengisi jarak antara dua suara di ujung telepon. “Siapa kau?” suara Dirga terdengar dingin, tenang, penuh kendali. Bukan kemarahan, bukan kecemasan—hanya ketajaman seorang yang selalu berhitung. Beberapa saat berlalu, lalu sebuah tawa pelan mengalun—bukan tawa lepas, melainkan desisan penuh arti dari seseorang yang menikmati permainan ini. “Masih sama seperti dulu, ya… Tenang di permukaan, tapi sibuk membaca arah angin di bawah.” Dirga diam. Matanya melirik ke tablet di mejanya, layar menyala menampilkan pesan terenkripsi. Andi: posisi siap. Perintah? Satu tangan Dirga segera mengetik, se
Cahaya sore menyelinap masuk, membingkai sosok seorang pria yang berdiri di ambang pintu dengan senyum kikuk.Wildan—Teman kecil Anna sewaktu di panti.Pria itu kini tampak lebih dewasa dari terakhir kali Anna melihatnya — tubuhnya tegap, berseragam rapi meski jaketnya dibiarkan terbuka, dan tatapan matanya masih sama: tenang, tapi menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir kali bertemu. Waktu yang panjang itu tak menghapus cara Wildan memandang Anna — lembut, berhati-hati, seolah takut merusak bayangan yang selama ini ia simpan.“Senang bertemu denganmu lagi, Anna”Anna yang sedang merangkai bunga menoleh, matanya sedikit membulat, lalu perlahan tersenyum.“Wildan… sudah lama sekali.”Wildan berdiri di ambang pintu. Ada gurat lelah di wajahnya, tapi senyum tipisnya tetap hangat.“Iya, Anna. Sudah cukup lama,” jawabnya, suaranya pelan tapi tulus.Anna meletakkan gunting bunga di meja, menghapus sedikit debu di tangannya.“Kamu gimana kabarnya?”“A
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Lampu kamar redup, hanya menyisakan pantulan cahaya lembut di wajah Dirga yang duduk bersandar di kepala ranjang. Tablet di tangannya menyala, layar menampilkan sederet artikel tentang sleepwalking. Dirga membaca perlahan, matanya menelusuri tiap kalimat dengan fokus yang sulit ia pertahankan. —Gangguan ini biasanya terjadi pada orang yang mengalami tekanan emosional atau trauma berat.— Ia terdiam. Kalimat itu menancap di kepalanya lebih dalam dari yang ia duga. Perlahan, jari-jarinya menggulir layar, membaca lebih jauh tentang penyebab dan dampaknya. Tapi pikirannya tidak lagi pada tulisan di depan mata — melainkan pada wajah Anna malam ini. Tatapan kosongnya. Langkahnya yang pelan dan kaku. Air matanya yang jatuh tanpa suara. Dirga memejamkan mata sejenak. Ada sesuatu yang menekan dadanya, rasa bersalah yang aneh dan samar. “Apakah aku… terlalu keras padanya?” Bisik itu hanya terdengar untuk dirinya sendiri, pelan dan
"Kalau kau tetap keras kepala… aku sendiri yang akan menjemputmu setiap hari." Anna menelan ludah. “Kenapa? Aku tidak meminta itu darimu,” gumamnya pelan, suaranya lembut tapi tegas. Dirga menoleh sekilas ke arahnya, sorot matanya tajam, tapi hanya sebentar. “Karena aku tidak ingin sesuatu di luar kendali. Itu saja.” Anna menahan napas, menundukkan kepala. “Tapi aku bisa menjaga diriku sendiri. Lagi pula, tidak ada yang tahu siapa aku—” Dirga menekankan namanya, rendah tapi penuh tekanan. “Anna. Kau tidak mengerti dunia seperti apa yang sedang kau masuki.” Anna menghela napas panjang, berusaha menahan perasaan yang mulai bergejolak. “Ini… tujuan kita juga, bukan? Agar identitasku tetap aman. Dan ini tidak ada sangkut pautnya dengan kau menjemputku setiap hari.” Ia menatap Dirga sekilas, berharap ia mengerti. Dirga mengalihkan pandangan ke depan, wajahnya tetap dingin. Anna menunduk sejenak, tetapi keberanian di bibirnya memaksa kata-kata keluar. “Aku tetap ingin beke
Dirga menatap layar ponselnya lama, sorot matanya mengeras. Pesan misterius di lift tadi masih membayangi pikirannya. Kalimat singkat itu — “Ini langkah awalmu, bukan?” — terasa seperti bisikan dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Tangannya mengepal, jemari kokoh itu mengetuk ringan meja kerjanya, sebuah kebiasaan kecil setiap kali ia menahan amarah. Nafasnya ditarik panjang, lalu dihembuskan perlahan. “Berani sekali…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Ponsel itu diletakkan dengan tenang di atas meja, meski matanya masih menatapnya tajam seakan benda itu musuh. Sesaat, ruang kerjanya terasa hening. Hanya terdengar detak jam dinding yang makin lambat di telinganya. Dirga memejamkan mata, mencoba meredam gejolak dalam dadanya. Ia tahu… ini bukan sekadar pesan iseng. Ada seseorang di luar sana yang tengah mengawasinya, menunggu langkah berikutnya. Namun bukannya panik, bibir Dirga justru melengkung tipis. Sebuah senyum dingin, penuh kalkulasi. “Kalau memang permai
Udara malam masih menyisakan aroma lembap hujan. Dirga keluar dari kamarnya dengan kaos tipis dan celana panjang setelah mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tetes air dingin jatuh di leher. Ia melangkah menuju dapur, membuka kulkas, lalu menuang segelas air putih. Saat ia meneguknya, suara langkah pelan terdengar di belakang. Dirga menoleh. Anna. Rambutnya tergerai kusut, piyama longgar membalut tubuh mungilnya. Tatapannya kosong, langkahnya lambat seperti orang yang tak benar-benar sadar dunia sekitarnya. Dirga menurunkan gelas, alisnya berkerut. "Apa yang dia lakukan tengah malam begini?" pikirnya. Ia ingin memanggil, bibirnya sempat terbuka. Tapi Anna terus berjalan melewatinya tanpa menoleh. Wanita itu berhenti di depan jendela besar ruang tamu, menatap keluar ke arah halaman gelap yang dibasahi sisa hujan. Sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Dirga menatap punggungnya lama. Ada sesuatu yang janggal, tapi ia tak bisa menebak apa. Akhirnya, ia bersuara.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments