Keesokan paginya.
Sinar mentari menyelinap masuk diantara celah kain vitrase putih, membaur membentuk pendar memantul pada lantai keramik bening kamar bergaya eropa kuno nan mewah. Bella tersilau sehingga memaksanya membuka kelambu manik mata hazel brown miliknya. "Aku ... Dimana?" Kalimat pertama yang sanggup terucap. Tubuhnya terasa menahan beban puluhan ton, begitu sulit membuatnya bergerak. Bella lakukan upaya pertama hanya lewat kedua matanya. Langit-langit berukiran dengan lampu gantung tanpa nyala jadi pusat gravitasi Bella. Berkedip-kedip demi dapatkan keseimbangan, karena bukan hanya dunia terasa berputar-putar, tapi juga segala macam pikiran bertumpuk berputar-putar membentuk slide-slide kejadian saling tumpah tindih. "Tidak!" pekikan lemah Bella. Dari kesemuanya, Bella tertuju pada bagian akhir dari usahanya mengingat-ingat. "Pria itu ..." Bibir Bella tercekat, ketika mulai mengingat telah melakukan sesuatu dengan seseorang. "Dia ... Aku ... Kami ..." Bella mengatur napasnya, lalu kumpulkan tenaga untuk tegakkan kepala, lalu perlahan-lahan menggerakkan tubuh agar bisa bertahan dalam posisi duduk. Mulut Bella menganga. Kain putih yang telah dia singkap telah membukakan kenyataan akan ketakutan mimpi buruk untuk kesekian kalinya. Tubuh Bella menggigil saat menatap cairan merah di antara paha dan selangkangan. Rasa perih dan nyeri pada singgasana mahkotanya jelas merupakan tanda telah terenggutnya apa yang selama ini dia jaga demi sebuah janji pada sang ibu. Air mata Bella menetes, merutuki kebodohannya sendiri. Dalam keterpurukan berkali-kalinya ini, Bella kuatkan beringsut dari kasur untuk mencari pakaiannya. Betapa terkejutnya Bella, saat mendapati setelan wanita bermotif floral, serta set pakaian dalam berada di atas sofa tak jauh dari tempat tidur. Bukan hanya itu kemudian dia temukan, tapi berjejer tumpukan uang yang menggambarkan bahwa nilainya lebih dari puluhan ribu euro. Bukannya senang mendapatkan itu semua, bahkan pakaiannya semalam juga telah menghilang, Bella justru memendam sebuah amarah. "Apa dia kira aku wanita murahan!" ** Di tempat lain, yaitu sebuah kamar pada rumah di atas bukit San Marino. "Neil. Apa gadis itu sudah pergi?" Suara gemericik teh bunga chamomile di campur jahe dari dalam teko jadi jawaban sementara selanjutnya. Hector menjauh dari jendela, wangi harum minuman hangat itu telah menggodanya. Wajahnya menegang setelah menyeruput setengahnya, lalu di perlihatkan tablet model note dengan tiap gerak gadis yang sempat bersamanya semalam. "Gadis itu baru saja pergi," jelas Neil. Menjeda sejenak, karena ekspresi Hector saat memperhatikan layar tablet tersebutlah yang membuatnya lebih tertarik. "Anda pria pertama baginya, bukan?" Hector tersentak. "Bagaimana kamu tahu?" Pertanyaan bernada ketersinggungan. "Bukankah anda sendiri yang bilang sebelum pulang semalam?" "Benarkah?" "Iya. Mungkin karena anda sedang mabuk, jadi tak sepenuhnya sadar sudah banyak cerita sama saya." Brakk!! Hector menggebrak meja secara tiba-tiba, membuat Neil hampir saja melompat kaget. "Siapa yang tahu kejadian semalam, selain kamu?!" Hector melotot bersiap-siap luapkan amarah. "Tidak ada lagi," jawab Neil tenang. "Anda langsung tidur, jadi kejadian malam itu aman hanya sampai saya." Hector duduk kembali. Dalam balutan bathrobe, kekusutan menyelimuti wajahnya. Selain efek mabuk semalam, Hector juga alami jetlag meskipun naik pesawat jet pribadi. "Cepat atau lambat, skandal baru akan jadi headline portal-portal berita online dan offline." Hector memijit-mijit kening. Minuman anti pengar dari Neil baru saja di tenggak setengahnya. "Aku sudah bilang, bubarkan saja sistem monarki, dan buat parlemen jadikan negara ini murni republik," kesal Hector frustasi. "Apa anda masih belum berniat menduduki tahta, Tuan muda?" Neil beralih berdiri di hadapan Hector. "Aku lebih senang berbisnis, daripada harus menjadi raja seperti ayah, Neil." "Ayah anda sudah menua, rakyat banyak yang tidak menghendaki Pangeran Victor atau bahkan Puteri Victoria menjadi penggantinya." "Karena itu, Neil. Kamu tahu bagaimana selama ini aku tersiksa harus hidup di sini bersama mereka. Hidupku lebih bebas di luar istana. San Marino negara kecil. Lebih dari setengah aset telah kita miliki, dan itu bukan tantangan lagi buatku. Membosankan!" keluh-kesah Hector. "Lalu kenapa semalam anda minta pulang ke sini? Anda tidak mau bertemu Nona Laura atau berkaitan dengan nona pelayan itu?" Pertanyaan Neil membuat Hector tersinggung. "Wanita dimana-mana sama saja, Neil. Mereka kira dengan tidur denganku, maka otomatis sudah jadi kekasihku. Kamu tahu aku sudah tidak percaya sama yang namanya cinta, bukan?!" Hector menghabiskan minuman teh herbal tersebut, lalu mengganti bathrobe biru tuanya dengan setelan kemeja putih dan celana bahan warna moccachino. "Setelah selesai ke kapel ibu, siapkan penerbangan kembali ke Milan buat besok pagi," perintahnya. "Tuan muda. Ayah anda minta bertemu malam ini. Sudah di jadwalkan bahwa anda dan juga saudara tiri kembar anda akan menemui Yang Mulia di sana." Hector berbalik dengan kesal. Umpatan amarah dia ucapkan lirih. "Sialan. Kenapa harus ketemu dua orang menyebalkan itu, hah! Bilang saja pada ayah, aku masih ada meeting sama keluarga Roschild. Ada pembicaraan bisnis rahasia tanpa perlu protokoler kerajaan." Hector menutup pintu dengan keras, sampai membuat Neil memegang dada setelah sempat berjingkat kaget. "Pantas saja anda di juluki 'Pangeran pemberontak." Neil geleng-gelengkan kepala. Bukannya meninggalkan kamar Hector, tapi Neil merogoh saku jas lalu mengeluarkan sesuatu. Ia tatap benda berkilau dalam genggamannya itu, lalu berdiri membeku di depan sebuah foto lukisan seorang wanita berwajah cantik, lalu tatapannya berubah sedih. "Seandainya anda masih hidup, putra anda tidak akan bernasib seperti sekarang." ** Di sebuah kantor jasa pelayanan wardrobe dan keperluan pesta. "Aku harus bertemu pria bernama Lorenzo itu, Bu Sandra!" "Kau gila, Bella!" balasan lantang Sandra. "Dia itu pasti dari kalangan keluarga kaya raya. Kalau kamu ingin bertemu sama dia cuma karena mencari tahu kalung usangmu itu, yakinlah kamu akan di usir saat itu juga!" cemoohnya lagi. Alasan yang di utarakan Bella, baginya sungguh tak masuk akal. "Tolonglah, Bu Sandra. Berikan aku alamat pria itu. Kalung itu sangat berarti buatku," hibah Bella setengah menangis. Ada maksud lain dari Bella selain mencari kalung pemberian ibunya, yaitu ingin bicara baik-baik soal one night stand yang sudah mereka lakukan, dan berharap pria itu tidak menceritakan pada siapapun, selain pengakuan itu suatu hari datang dari dirinya sendiri. Setelah alami pengkhianatan, Bella tidak berniat untuk jatuh cinta lagi. "Memang penampakannya seperti orang kaya, tapi bagaimana kalau cuma pria biasa, dan pura-pura berdandan seperti pangeram biar dapat keuntungan di pesta itu, Bella?" "Seperti apa maksudmu?" "Misalnya berniat mencari gadis kaya, menjadi pacarnya, lalu memanfaatkan dan tidur dengannya." Bella lesu. Cobaan hidup apa lagi yang harus dia hadapi, pikirnya. Meskipun demikian, Bella tetap pada pendiriannya. "Kalau memang itu penilaian anda, biarkan saya buktikan sendiri. Apa benar dia seorang pria brengsek dan seorang pencuri ulung." Sandra berpikir sejenak. Awalnya ragu, tapi kemudian dia menyerah akan sikap tak menyerah Bella. Sandra kemudian mencari-cari sebuah file di dalam laptopnya, lalu mengirimkan satu link ke alamat email Bella. "Itu nama dan alamat yang dia berikan. Berjanjilah terus kabari aku, oke!" Senyum Bella merekah. Walaupun bayangan ketidakpastian akan bagaimana sosok pria bernama Lorenzo itu, tapi apapun akan dia lakukan agar kalung pemberian ibunya bisa kembali padanya.Benar saja, yang di maksudkan dengan Yang Mulia itu adalah Umberto. Bella dan Madame Maria di minta menunggu di depan ruangan dengan pintu kembar besar dan tinggi terbuat dari kayu oak tua yang megah. "Bella. Jaga sikapmu." Bella satukan kedua tangannya di depan dengan remasan kegugupan. "Akan aku usahakan, Madame. Kalau panik atau gugup, bicaraku sering tidak terkendali. " kejujuran Bella dimana sering terjadi. Bella akan banyak bertanya atau berbicara panjang dan lebar, bertujuan untuk mengurangi kecemasan tak terkendali dalam dirinya sendiri. Terlebih saat ini yang akan dia temui adalah seorang raja. Bella memang pernah bertemu dengan Umberto, di kala pertama menginjakkan kaki di rumah tersebut, tapi situasinya saat itu tidak baik. Umberto hanya menemui sebentar saja, sebelum akhirnya di bawa ke ruangan kamar pribadinya untuk beristirahat. Saat Bella menatap nanar pada pintu kembar di hadapannya, dapat di rasakan genggaman penuh kehangatan dari wanita di sampingnya. "Jangan ce
"Kepala keamanan? Apa dirimu mantan tentara?" Secara spontan, Bella menelusuri penampilan Madame Maria dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hal ini Bella lakukan saat memutuskan melepaskan sepatu high heelsnya untuk melemaskan kaki, memijit-mijit sebentar, baru kemudian memakai sepatunya itu kembali. Duduk bersebelahan seperti ini membuat Bella busa melihat dengan jelas tampilan Madame Maria, dan Bellapun merasakan ada yang salah dengan itu semua. Rambut dominan putih dengan tatanan ke belakang membentuk cepol itu membuat kecurigaan Bella semakin besar. "Apa ini jati diri anda sebenarnya?" tanya Bella kemudian. Madame Maria menoleh dan berikan senyuman untuk Bella. "Kamu memang gadis urakan yang norak, tapi untung saja sebenarnya kamu itu pintar!" "Hei, aku tidak norak!" Ketidakterimaan Bella. Dia memang gadis yang berasal dari desa, dandanan juga biasa saja. Bella menyadari itu, tapi sebisa mungkin dengan keterbatasan yang dia milili, tidak membuatnya jadi orang yang terlalu kuno
'Aku akan mengirim seseorang untuk melindungimu. Kamu ... ' Itulah bunyi salah satu pesan terakhir dari Hector yang sempat di bacanya. Walaupun Bella hanya melihat dari notifikasinya saja, belum membaca keseluruhan. "Siapa kau?!" Pertanyaan bernada tegas dari salah satu trainer Bella yang ada di dalam ruangan. Pertanyaan sama dalam batin Bella. Ada dugaan kalau orang tersebut kemungkinan besar adalah yang di maksudkan Hector, tapi seorang wanita? Tua, lagi! Iya. Wanita yang baru datang itu berpostur lumayan tinggi untuk ukuran wanita, badannya sedikit tambun, dan umurnya di perkirakan Bella sekitar 60 tahunan. Penampilan lainnya adalah dia berkacamata dengan posisi agak melorot, sehingga mencerminkan kalau merupakan tipe plus atau untuk membaca jarak dekat, sebagian besar rambutnya berwarna putih atau beruban, dan membawa tongkat selain tas jinjing yang di kalungkan di lengan kirinya "Panggil saja aku Madame Maria," jawab wanita yang baru masuk dengan gaya bicara penuh percaya d
"Namamu Bella. Orang harus beranggapan kamu bertingkah laku cantik seperti arti dari namamu!" Bella terdiam. Kalau bersuara, apalagi melakukan pembelaan diri akan percuma. Dirinya akan tetap mendapatkan cercaan, bahkan berkesan mencari-cari kesalahannya. "Kami rasa kamu sudah mendapatkan penjelasan awal dari tuan putri." "Iya, saya sudah mendapatkannya," jawab Bella. Sebagai orang biasa, sebenarnya semua ini sangat menyiksa. Baru awal saja, sudah harus hadapi tempaan bahkan tidak pernah dia bayangkan dalam hidupnya selama ini. Tempaan itu di mulai dengan pelatihan attitude dari ketiga trainer tersebut. Hal yang di sebut kebiasaan jadi berbeda sekarang bagi Bella, dari cara duduk, berbicara, menjawab pertanyaan, dan lain sebagainya. Pada awalnya Bella tidak menyangka kalau training yang di maksud adalah tentang protokoler kerajaan, sehingga setengah dari pikirannya sekarang adalah reaksi dari orang-orang terdekatnya. Bukan training yang berhubungan dengan dunia showbiz atau enter
Sudah pasti yang menelpon itu Hector. Walaupun tak melihat layar ponselnya sendiri secara langsung, tapi Bella teringat akan ucapan Hector untuk menghubunginya setelah beberapa menit kedatangannya di gedung tersebut. "Cepat keluar dari sini!" Victoria memerintah dengan lantang. Ponsel Bella di letakkan di atas meja, kemudian membalikkan arah kursi sehingga kembali ke posisi seperti saat Bella pertama kali masuk. Asap rokok kembali mengepul. Bella hanya bisa menatapnya dalam diam. Setelah keluar bergegas dari ruangan, Bella mencari sang sekretaris yang di maksudkan oleh Victoria. Wanita tadi tidak ada lagi di mejanya, jadi Bella harus mencari lebih jauh. Baru setelah bertanya-tanya ke pegawai lain, barulah dia menemukannya di sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempat tadi berada. "Oh, kamu orang yang sudah buat janji dengan nona presdir. Masuklah," ucap sekretaris dari Victoria. Bella masuk ke ruangan yang di maksud. Hal pertama yang dapat di lihatnya adalah sebuah meja panjang
Perasaan belum adanya cinta, tak membuat Bella berpaling pada pendiriannya. Yang dia tahu sekarang adalah dia mempercayai Hector. Saat ini, kepercayaan itu sudahlah cukup buatnya melangkah lebih jauh. Bella menatap ponsel, pada nama Hector yang tertera di layar di ganti sebagai pemegang kontak VIP. Senyum tipisnya merekah setiap saat mengingat wajah pria gentleman yang pernah di kenal Bella. "Nona. Masuklah." Bella buru-buru memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya. Panggilan untuknya adalah awal untuk memasuki hal baru. Sebuah ruangan terbuka untuknya. Bella merasakan perbedaan dari model seleksi training seperti yang dia tahu, karena dari sejak waktu kedatangan dan sejauh mata memandang, hanya dirinya berada di ruangan tunggu tersebut. Belum ada tanda-tanda kedatangan peserta lain untuk mengikuti seleksi. Bella tertuju pada kursi putar yang masih menghadap ke jendela membelakanginya. "Selamat pagi. Saya Bella Costa, pegawai dari Pak Victor Garibaldi." Bella memperkenal diri, ber