Di dalam sebuah rumah bergaya eropa kuno, seorang pria tampan berbicara di ruang kerja.
"Ayah. Apa Hector tidak akan datang?" tanyanya pada pria berusia 70 tahun di depannya. Dia bernama Umberto, yang kini berbicara dengan putranya Victor. "Neil melapor kalau kemungkinan Hector sudah dalam perjalanan." "Maaf, Yang Mulia. Pangeran Hector sudah di bandara. Tidak sampai dua jam di pastikan sampai di sini," koreksi sang pelayan di sampingnya. Victor tersenyum mencibir. "Aku kira anak itu tidak punya nyali buat menghadap ayah." "Kalau menurutmu karena masalahnya dengan putri Agustine, sepertinya itu tidak akan mempengaruhinya." "Sampai kapan ayah membelanya terus? Dia cuma anak manja yang suka bikin masalah. Ini rencana proyek bisnis besar. Mana bisa dia di beri tanggung jawab besar?" Mendengar protesan Victor, dada Umberto mendadak sesak. "Yang Mulia. Anda tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter?" tanya sang pelayan panik. Umberto menolak, tapi lebih meminta hal lain. "Tidak. Tinggalkan kami," perintahnya. Setelah pelayannya itu pergi, baru kemudian berbicara lagi pada Victor. "Apa yang sedang kamu rencanakan, anakku?" tanyanya to the point. "Nikahkan Hector, Ayah." "Dengan putri Agustine? Kamu sudah tahu Hector tidak menyukainya. Bagaimana kalau dia menghilang lagi, dan semakin membuat malu keluarga kita?" "Cari wanita yang terakhir kali bersama dia. Hanya ayah yang bisa meyakinkannya. Hector itu gayanya saja playboy, tapi sebenarnya pengecut!" "Victor. Hentikan. Dia adikmu!" "Ayah selalu membelanya. Ayah sama saja dengan orang-orang bodoh di parlemen dan perdana menteri itu. Kalian menghendaki Hector yang jadi raja dan pemegang kendali perusahaan Kingdom Emporium, bukan?" "Victor. Tidak seperti itu. Semua terjadi karena kamu juga yang sudah buat kesalahan, sampai mosi tidak percaya itu muncul." "Tapi aku adalah anak tertua ayah, dan Hector bukan adikku, dia hanya saudara tiriku!" "Tapi dia putra mendiang ratu, sebelum di ambil alih ibumu." "Ayah ayah ... Ratu terdahulu sudah di kenal wanita lemah. Tentu saja Hector mewarisi sifatnya!" ngotot Victor. Rasa benci itu selalu menghinggapi Victor bila mengingat kenyataan. Memang benar, ratu terdahulu bernama Catharina adalah wanita lemah lembut, serta di kenal lemah kandungan. Mengetahui hal ini, Catharina mengijinkan Umberto mengambil selir dan memiliki anak. Setelah bertahun-tahun berlalu, di luar dugaan Catharina mengandung lagi. Dengan bantuan seorang bidan handal, akhirnya berhasil melahirkan, meskipun nyawa sebagai penggantinya. "Siapa itu?" Umberto sengaja mengalihkan pembicaraan dengan memperhatikan layar pengawas di CCTV gerbang utama. Victor menjadi tertarik. Ia mengitari meja, sampai berdiri di samping kursi Umberto. "Maksud ayah gadis itu?" tanggapnya. "Hmm." Tanpa meminta ijin Umberto, Victor mencari tahu dengan menanyakan pada penjaga gerbang utama. "Laporkan!" ucapnya pada petugas yang menerima panggilan interkom darinya. "Gadis ini ngotot minta masuk, Tuan." "Sudah ku bilang tidak ada nama Tuan Lorenzo di sini!" suara lantang dari salah satu penjaga lain ini terdengar oleh Umberto dan Victor. "Lorenzo?" gumam Victor dengan menaikkan satu alis di sertai senyuman tipis. "Bukankah itu ..." lanjutnya sembari menatap ayahnya yang memegang dadanya. "Ayah." Victor berganti menggenggam tangan Umberto. "Aku tahu ayah sudah mengira aku sudah punya rencana. Percayakan padaku, ayah. Anggap saja ini penebusan atas kesalahanku." Victor kemudian memanggil pelayan dan memintanya membawa Umberto ke kamarnya. "Victor ... Lakukan yang terbaik ..." ucap Umberto menahan sesak di dada. Keadaan kesehatan yang terus menurun, membuatnya tak ada pilihan selain mempercayai anak tertuanya ini. "Pulihkan dulu jantung ayah, dan serahkan semua padaku." Victor tersenyum. Titah ayahnya ini merupakan awal jalan pikiran untuk menyingkirkan Hector. "Bawa gadis itu masuk," perintahnya kemudian pada penjaga gerbang utama. ** Di bagian beranda rumah. Bella berjalan pelan, kepalanya menengadah tak henti-hentinya mengagumi interior rumah berukuran berkali-kali lipat tempat tinggalnya sendiri. "Wow. Bagus sekali!" Bella putar tubuhnya sambil berjalan mundur, seolah tak ingin terlewat detil dari interior mewahnya. "Eh!" Bella kikuk setelah merasakan sudah menabrak seseorang. "Lewat sini, Nona." Pria berpakaian jas lengkap itu mengarahkan tangannya ke sebuah lorong samping. Bella mengikutinya dengan rasa gugup. Ibunya dulu pernah bercerita pernah membantu persalinan orang kaya. Bella kini takjub, penggambaran tempat tinggal mewah dari ibunya atau video-video di media sosial itu kini telah dia masuki secara nyata. Bella ragu ketika pelayan itu membuka sebuah pintu berornamen kepala naga, lalu terkejut saat seorang pria berpostur jangkung menyambut di baliknya. "Masuklah, Nona. Aku Victor. Tuan rumah di sini." Bella melangkah pelan. Jemarinya saling bertaut untuk menutupi kegugupan. "Terima kasih," ucapnya pelan. "Siapa namamu?" Hector menelusuri gadis sederhana di hadapannya ini dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Bella, Tuan." Setelah menjawab, Bella kembali tertunduk kikuk. Rambutnya berantakan setelah sempat berargumen dengan para penjaga gerbang utama. "Apa kau mencari Lorenzo?" Victor berjalan mendekat. Kali ini wajah cantik alami Bella yang jadi santapan tatapan tajamnya. "Iya, Tuan." "Ada perlu apa?" "Ini alamat yang di berikan customer tempat saya bekerja, tapi kata penjaga tidak ada nama Tuan Lorenzo di sini." "Apa tujuanmu kemari mencari Lorenzo? Apa kamu ada hubungan dengan dia?" "Saya mencari barang, dan berniat bertanya sama beliau. Apa sempat terbawa atau tidak." "Barang apa?" Bella mulai tak nyaman. Setiap mengajukan pertanyaan, Victor lebih mendekatkan wajahnya. "Ka Kalung pemberian nenekku." "Kalung? Apa itu kamu pakai sewaktu bersama Lorenzo?" Bella beranikan diri mengangkat wajah. Pertanyaan Victor menurutnya perlu jawaban yang tidak mencurigakan. "Saat di pesta topeng itu, saya asisten Tuan Lorenzo dan ..." "Apa ada yang terjadi antara kamu dan dia? Kalung itu ada di lehermu. Mana mungkin bisa berpindah kalau tidak bersentuhan atau hal yang mirip dengan itu?" Victor memajukan wajahnya lebih dekat lagi, sampai Bella harus menahan napas, mendongak dengan sedikit menarik ke belakang. "Apa asisten adalah kata lain dari wanita sewaan?" "Tidak, Tuan!" Suara jawaban Bella lebih keras dari Victor yang berbisik. "Saya bukan wanita seperti itu!" Lanjut Bella bergetar. Sebenarnya tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Memang dia bukanlah gadis jalang, tapi bercinta dengan pria yang baru di kenal, bukan juga di sebut wanita hebat yang masih mampu menjaga diri. Victor tersenyum, lalu mengambil ponsel untuk menunjukkan sesuatu pada Bella. "Apa pria bernama Lorenzo yang kamu cari itu dia?" Sebuah foto terdiri dari beberapa orang berpose bersama sambil mengenggam gelas berisi anggur. Mereka semua memang memakai topeng, tapi dari pakaian dan topeng yang di kenakan salah satunya masih di ingat jelas oleh Bella. "Iya. Dia pria itu. Aku yakin sekali. Bisakah aku bertemu dengannya, Tuan. Kumohon." Hibahan Bella ini semakin membuat senyuman Victor melebar. Sebuah ide menyelinap segera dalam pikirannya. "Tenang, Nona. Akan aku atur segala sesuatunya. Kamu pasti bertemu dengan pria bernama Lorenzo itu dalam suasana yang tidak di sangka-sangka!"Brukk!!Kali ini suara bemper depan mobil milik Hector itu menabrak pembatas trotoar dan taman sepanjang jalan. Dalam kondisi mobil masih menyala namun terhenti, Hector keluar lalu memukul keras pada wajah pria yang melecehkan Bella sampai terjerembab ke tanah. Bukanlah hal sulit, dimana postur Hector yang tinggi dan besar ini melawan pria bertubuh junkies."Banci!" umpat Hector pada orang yang sudah tak berdaya setelah mendapat beberapa kali hantamannya. Hector lalu berbalik kembali ke depan kemudi, kemudian membuka pintu di sampingnya sembari beri perintah pada Bella. "Masuk!"Dalam keadaan setengah takut setengah tercengang, Bella raih tasnya dengan cepat lalu masuk ke dalam mobil."Pakai sabuk pengamannya," perintah Hector lagi bersamaan suara alarm pengingat berbunyi.Bella memasang dengan tangan bergetar. "Terima kasih, tuan." Bella berucap sambil berkaca-kaca."Apa kamu selalu ceroboh seperti ini? Begitu mudahnya jadi santapan liar pria, hah?""Saya tidak melakukan apa-apa, tua
"Baiklah." Bella patuh pada tiap langkah pria berpostur tinggi dan besar di hadapannya. Bella tahu kalau Hector melakukan ini semua hanya demi harga diri di depan kakak tirinya, Victor.Keterkejutan Bella berlanjut saat Hector justru membuka pintu mobil pribadinya. Ini berarti mereka akan berdua saja selama perjalanan tanpa seorang sopir.Laju mobilpun bermula tak lama setelah mesin menyala. Suasana dingin dan hening jadi hiasan dalam benda mewah model sedan dan bertenaga besar tersebut."Saya turun bus shelter di ujung jalan bawah sana saja, tuan." Bella menunjuk ke arah depan pada beberapa menit perjalanan mereka."Memang kamu tahu jalan? Jangan asal nunjuk saja!"Bella melirik takut-takut pada Hector. Tidak menyangka seperti pikirannya telah terbaca. "Google map, dan itu mudah." Bella merutuki diri dalam hati. Tentu saja dia tidak tahu-menahu tempat itu, tapi tentu saja dia tidak akan mau menunjukkan kebodohannya itu pada Hector."Benar, kan. Kamu asal bicara.""Saya sempat perhati
Keesokan harinya.Entah ramuan apa yang telah di campur dengan susu coklat hangatnya semalam., Bella merasakan ngantuk teramat sangat. Silau mata pada mentari pagi. Bella tergagap bangun, memutar bola mata berkeliling."Apa aku masih di rumah Tuan Lorenzo?" Di kedip-kedipkan mata untuk menarik kesadaran. "Nyonya ..." Jantung Bella berdegup, ketika di hadapannya adalah pelayan tua dengan wajah patung hidup. Bagaikan masih tersangkut di mimpi buruk, tapi harus menyadari ini kenyataan."Semua sudah di siapkan. Bangun dan menurut saja!"Bella tarik selimut ketika pelayan tua itu berjalan mendekat, tapi segera menuruni kasur setelah pelayan tua justru membuka lalu melipatnya.Bella menoleh cepat pada manequin yang tadi tertutup korden tempat tidur bergaya eropa itu. "Itu ... Apa ... Apa benar aku akan di nikahkan hari ini?" Pembicaraan semalam dengan keluarga Umberto jadi penarik kesimpulan.Bella berjingkat, pelayan tua sudah berada di belakangnya saat berbalik. Diberikan sebuah bathrobe
Setelah bertemu dengan Victor, Bella di bawa seorang pelayan wanita ke sebuah kamar. Tentu bukan hal yang di sangka-sangka bagi tamu seperti Bella."Nyonya pelayan," terpaksa Bella mengajukan pertanyaan pada wanita setengah baya dengan wajah judes di hadapannya. "Apa sudah aturan di keluarga ini kalau tamu harus menunggu di dalam kamar?" Bella rapatkan tautan jemari-jemarinya sebagai kebiasaannya bila dalam keadaan gugup."Aku tidak tahu!" jawab pelayan tua itu dingin.Bella memang di jamu dengan baik, tapi apalah semua itu kalau hatinya tak tenang dengan seribu pertanyaan di pikiran. "Boleh aku keluar dan jalan-jalan di taman. Kali saja orang yang ingin aku temui sudah datang.""Tapi Tuan Sul ..."Belum sampai selesai pelayan tua menjelaskan, pintu di ketuk sekali lalu pelayan lain masuk. "Tuan Sulung minta tamu di bawa ke ruang keluarga," ucapnya meneruskan apa yang di perintahkan Victor."Apa itu artinya aku akan bertemu Tuan Lorenzo?" Bella senang. Bukan hanya karena ingin menanya
Di dalam sebuah rumah bergaya eropa kuno, seorang pria tampan berbicara di ruang kerja."Ayah. Apa Hector tidak akan datang?" tanyanya pada pria berusia 70 tahun di depannya. Dia bernama Umberto, yang kini berbicara dengan putranya Victor."Neil melapor kalau kemungkinan Hector sudah dalam perjalanan.""Maaf, Yang Mulia. Pangeran Hector sudah di bandara. Tidak sampai dua jam di pastikan sampai di sini," koreksi sang pelayan di sampingnya.Victor tersenyum mencibir. "Aku kira anak itu tidak punya nyali buat menghadap ayah.""Kalau menurutmu karena masalahnya dengan putri Agustine, sepertinya itu tidak akan mempengaruhinya.""Sampai kapan ayah membelanya terus? Dia cuma anak manja yang suka bikin masalah. Ini rencana proyek bisnis besar. Mana bisa dia di beri tanggung jawab besar?"Mendengar protesan Victor, dada Umberto mendadak sesak."Yang Mulia. Anda tidak apa-apa? Apa perlu saya panggilkan dokter?" tanya sang pelayan panik.Umberto menolak, tapi lebih meminta hal lain. "Tidak. Ting
Keesokan paginya.Sinar mentari menyelinap masuk diantara celah kain vitrase putih, membaur membentuk pendar memantul pada lantai keramik bening kamar bergaya eropa kuno nan mewah. Bella tersilau sehingga memaksanya membuka kelambu manik mata hazel brown miliknya."Aku ... Dimana?" Kalimat pertama yang sanggup terucap. Tubuhnya terasa menahan beban puluhan ton, begitu sulit membuatnya bergerak. Bella lakukan upaya pertama hanya lewat kedua matanya.Langit-langit berukiran dengan lampu gantung tanpa nyala jadi pusat gravitasi Bella. Berkedip-kedip demi dapatkan keseimbangan, karena bukan hanya dunia terasa berputar-putar, tapi juga segala macam pikiran bertumpuk berputar-putar membentuk slide-slide kejadian saling tumpah tindih."Tidak!" pekikan lemah Bella. Dari kesemuanya, Bella tertuju pada bagian akhir dari usahanya mengingat-ingat. "Pria itu ..." Bibir Bella tercekat, ketika mulai mengingat telah melakukan sesuatu dengan seseorang. "Dia ... Aku ... Kami ..." Bella mengatur napasny