Hujan masih turun deras. Suaranya menenggelamkan malam, tetapi tidak bisa meredam suara gaduh di dalam kepala Nayara.Ia duduk di lantai, punggung tetap bersandar pada pintu. Tangannya gemetar saat menatap kartu hitam itu—kertas kecil yang sekarang terasa seperti beban satu dunia. Elara. Hanya satu kata. Satu simbol. Tapi dampaknya seperti ledakan di hidupnya.Bayangan wajah pria di gudang itu muncul lagi. Nada suaranya yang tenang, seolah ia sudah tahu setiap pertanyaan yang bergelut di hati Nayara. "Kalau kamu mau selamat, percaya sama kami. Raka sudah memilih jalannya. Kamu masih bisa memilih punyamu sendiri."Kalimat itu seperti racun. Masuk perlahan, tapi membuatnya semakin ingin tahu.Jalan apa yang sudah dipilih Raka?Kalau benar Raka melakukan sesuatu yang berbahaya… apa aku akan ikut terjerat juga?Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu. “Nay…”Suara itu. Suara Raka.Suaminya.Orang yang ia pikir ia kenal luar dalam—tapi sekarang… rasanya seperti berbicara dengan orang asing
Suara hujan gerimis mulai terdengar ketika taksi yang ditumpangi Nayara memasuki jalan menuju rumah. Lampu-lampu jalan yang redup membuat segala sesuatu tampak lebih muram dari biasanya. Tapi yang paling gelap adalah pikirannya sendiri. Ia memandangi kartu nama di tangannya—kertas kecil berwarna hitam dengan satu kata yang tercetak di tengah: “Elara.” Tidak ada nomor telepon. Tidak ada alamat. Hanya sebuah simbol seperti kepala ular melingkar yang mencengkram ekornya sendiri.Siapa mereka?Apa maksudnya pria itu mengatakan Raka telah memilih jalan yang salah?Dan yang paling menghantui… rekaman itu.Setiap kali mengedipkan mata, wajah Raka di rekaman itu muncul lagi. Bukan wajah suaminya yang ia kenal di rumah—yang menggodanya sambil memeluknya dari belakang di dapur, atau yang tertidur di sofa sambil menunggu Nayara pulang. Wajah di rekaman itu dingin. Rahangnya mengeras, matanya gelap, penuh kewaspadaan. Itu Raka yang Nayara tidak kenal.“Sudah sampai, Bu.”Suara sopir membuyarkan l
Suara deru kendaraan dari jalanan besar terdengar samar ketika taksi yang ditumpangi Nayara berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari lokasi yang dituju. Udara di daerah Ancol dini hari itu terasa lembab, dingin menusuk, dan ada aroma asin laut yang terbawa angin. Hatinya berdebar kencang, begitu keras hingga ia merasa supir taksi di depan bisa mendengarnya.“Sudah sampai, Bu,” ucap sang sopir sambil menoleh sekilas.Nayara mengangguk kaku, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. Ia tak peduli berapa pun jumlahnya. Tangannya gemetar saat menyerahkan bayaran, lalu dengan cepat turun dari mobil.Taksi itu pergi meninggalkan dirinya berdiri sendirian di depan gerbang besi besar, dengan papan berkarat yang bertuliskan "Gudang 17". Tidak ada kehidupan di sekitarnya. Hanya suara deburan ombak dari kejauhan dan suara angin yang berdesir di sela-sela gedung tua.Nayara menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. Apa yang aku lakukan? Ia bisa saja kembali ke rumah, pura-pura tidak ta
Suara hujan semalam memang sudah lama berhenti, tapi basahnya masih tinggal di udara, menempel seperti ingatan buruk yang tak mau pergi. Jakarta tak pernah benar-benar tidur, tapi di dalam taksi yang melaju di jalanan lengang itu, Nayara merasa seperti terlempar ke dunia lain. Dunia yang berbahaya.Amplop di pangkuannya terasa seperti bom yang siap meledak kapan saja. Jemarinya gemetar saat membolak-balik foto-foto itu. Raka. Raymond. Gedung asing. Catatan dengan tulisan tangan yang asing. Semua ini bukan hanya sekadar "masalah kantor" seperti yang selama ini Raka katakan.“Suamimu sudah memilih sisi. Tapi apakah itu sisi yang benar?”Kalimat itu terus bergema di kepalanya.Nayara menutup amplop itu buru-buru. Napasnya berat. Ia ingin menelepon Raka, menuntut penjelasan, tapi di saat bersamaan, suara pria di restoran itu mengingatkannya: "Jangan bilang siapa pun. Bahkan suamimu. Ini antara kita saja."Kenapa ia percaya pada orang asing itu? Kenapa ia bahkan datang sendirian?Tapi kala
Suara hujan malam sebelumnya masih terasa di udara pagi itu, meski matahari sudah meninggi. Jakarta, seperti biasa, sibuk dengan lalu lintas dan hiruk pikuk. Tapi di rumah kecil Raka, dunia terasa bergetar di bawah permukaan. Nayara duduk di tepi ranjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Nomor tak dikenal itu masih tersimpan di layar, menunggu apakah ia akan menekan call back. Kata-kata semalam terus terngiang di kepalanya. “Kami perlu bicara. Tentang suami Anda.” Suara itu tidak kasar, tidak mengancam. Justru tenang—dan itu membuatnya lebih menakutkan. Saat Raka keluar dari kamar mandi, dasi sudah terikat sempurna, Nayara buru-buru menyembunyikan ponsel di pangkuannya. “Mas, kita bisa bicara?” Raka berhenti, menatapnya. Ada garis kelelahan di wajahnya, lingkar hitam di bawah matanya. “Sekarang? Aku ada meeting pagi ini.” “Cuma sebentar.” Suara Nayara bergetar. “Kamu… ada masalah besar, ya? Sama Bima?” Raka kaku. “Kenapa kamu bilang begitu?” Nayara menggigit bibir. Ia ingin b
Suara hujan tipis mengetuk jendela apartemen Bima. Dari kursi kerjanya, pria itu duduk sambil menatap layar ponsel. Ada rekaman CCTV yang ia ulang-ulang, memperhatikan setiap gerakan. Rekaman itu menampilkan seseorang masuk ke apartemennya semalam. Seseorang yang ia kenal. Raka. Wajah Bima tetap datar, tapi jemari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja, iramanya cepat. “Aku tahu kau bohong, adikku,” gumamnya pelan. Sebuah pesan masuk. Dari nomor yang hanya ia beri nama ‘S’. “Aku menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.” Bima menutup ponselnya. Senyumnya samar, dingin. “Baiklah, kalau itu yang kau mau.” Sementara itu, di rumah… Nayara berdiri di dapur, menyiapkan sarapan, tapi pikirannya tak di sana. Raka di meja makan, mengenakan kemeja putih yang sama seperti biasa, tapi ada sesuatu di wajahnya—sesuatu yang membuat Nayara tak tenang. “Mas…” Nayara akhirnya membuka suara. Raka menoleh sambil merapikan jam tangannya. “Hm?” “Kita baik-baik saja kan?” Pertanyaan itu membuat gera