Terima kasih atas dukungan teman-teman. Semoga suka.
Mobil berhenti tepat di ujung tangga pesawat yang akan membawa mereka ke luar negeri. Sopir membuka pintu untuk Bramasta dan Aqeela.“Sayang, kita sampai,” bisik Bramasta di telinga Aqeela.“Mm.” Aqeela membuka mata dan melihat Kiara serta Vio sudah menunggu di depan pintu.“Oh. Kenapa Om tidak turun duluan? Pintu hanya ada satu,” ucap Aqeela.“Karena kamu masih tidur.” Bramasta merapikan diri.“Apa kalian bisa menyingkir dari depan pintu?” Bramasta menatap tajam pada Vio dan Kiara.“Maaf.” Vio menarik tangan Kiara menjauh dari depan pintu mobil.Bramasta turun dan mengulurkan tangannya pada Aqeela. Wanita itu tanpa ragu menerima dan bergandengan dengan suaminya.“Terima kasih sudah mengantarkan kami sampai bandara,” ucap Aqeela.“Tentu saja. Selamat liburan.” Bramasta memeluk Aqeela dan mencium dahi istrinya.“Mesra sekali. Siapa bilang Bramasta ini pria dingin?” Kiara menatap Bramasta yang memeluk Aqeela.“Ya.” Aqeela dengan cepat melepaskan pelukan Bramasta. Dia malu dilihat Vio da
“Ah! Om.” Aqeela menutup mulut Bramasta dengan tangannya agar bibir dan lidah pria itu berhenti.“Aqeela. Apa kamu membenciku? Aku melakukan itu untuk mencari pelaku kejahatan yang membahayakan nyawa kamu. Apa kamu tidak tahu bahwa aku hanya mau melindungi kamu, Aqeela.” Bramasta merebahkan tubuhnya di atas Aqeela.“Hah!” Aqeela terkejut karena ditimpa tubuh seksi yang hanya mengenakan handuk.“Jangan marah padaku. Apa yang harus aku lakukan untuk mendapatkan kepercayaan dan cinta kamu, Aqeela,” bisik Bramasta di telinga Aqeela. Dia mencium leher belakang istrinya dengan pelan dan lembut.“Aqeela.” Bramasta memutar posisi dengan membalikkan diri dan Aqeela di atasnya.“Aaah!” Kedua tangan Aqeela menempel di dada Bramasta.“Kenapa kamu diam? Apa masih marah? Apa kamu membenciku, Aqeela?” tanya Bramasta memegang leher Aqeela.“Tidak,” jawab Aqeela.“Aku tidak marah. Aku juga tidak membenci siapa pun,” ucap Aqeela menatap Bramasta.“Dia sadar suaminya memang tampan. Matanya sangat normal.
Aqeela benar-benar sibuk di kampus. Dia terus bersama dengan Profesor Febrino untuk mempersiapkan kelulusan. Gadis itu juga sudah menentukan kampus yang akan dituju. “Aqeela, ayo kita makan siang bersama.” Profesor Febrino menatap Aqeela. “Aku membawa bekal dari rumah.” Aqeela tersenyum pada Febrino.“Aku juga,” ucap Profesor Febrino.“Benarkah?” Aqeela melihat Profesor Febrino mengeluarkan bekalnya dari dalam meja.“Wah. Siapa yang memasak?” tanya Aqeela.“Aku sendiri.” Febrino dan Aqeela berjalan bersama menuju meja yang lebih lebar. Mereka berdua membuka bekal makanan. “Cicipi masakan aku.” Profesor Febrino memberikan masakannya kepada Aqeela.“Terima kasih.” Aqeela mencicipi masakan Febrino.“Prof benar-benar pandai memasak. Ini enak,” ucap Aqeela.“Aku sudah terbiasa.” Febrino tersenyum. Dia makan siang berdua dengan Aqeela.Ponsel Aqeela berdering. Itu adalah nada khusus panggilan dari Bramasta. Pria itu ingin memastikan bahwa istrinya sudah makan siang.“Kenapa tidak diterima
Aqeela terdiam menatap layar computer. Dia benar-benar terkejut melihat video yang didapatkan dari akun Bramasta.“Om.” Jari-jari Aqeela gemetar melihat Bramasta yang mencekik leher seorang pria yang merupakan pembalap bersama di Singapura. Wajah pria itu tampak datar. Ada senyuman yang menyeringai memperlihatkan tanpa belas kasih.“Apa yang kamu lakukan di sini sepagi ini?” Seorang pria berdiri di depan Aqeela.“Arion.” Dengan cepat Aqeela menutup computer.“Apa aku boleh duduk?” tanya Arion.“Ya.” Aqeela menyimpan laptop ke dalam tas.“Permisi.” Pelayan mengantarkan pesanan untuk Aqeela.“Terima kasih,” ucap Aqeela tersenyum.“Selamat untuk keberhasilan seminar.” Arion memberikan sebuah kotak berukuran sedang kepada Aqeela.“Apa ini?” tanya Aqeela.“Hadiah untuk kamu. Tolong diterima.” Arion tersenyum.“Apa aku boleh membukanya?” Aqeela menerima hadiah dari Arion.“Tentu saja. Aku harap kamu suka. Hadiah kecil yang tidak mahal,” jelas Arion.“Mmm.” Aqeela membuka kotak dan melihat ga
“Aqeela,” bentak Bramasta menggocang pudak Aqeela.“Om jahat!” Aqeela memukul dada Bramasta.“Maafkan aku, Aqeela.” Bramasta kembali memeluk Aqeela dengan erat. Pria itu benar-benar merasa bersalah karena telah membuat Aqeela melihat kesadisan dirinya dalam menyiksa musuh. Dia tidak ingin sang istri takut padanya. “Aku mau ke kamar mandi,” ucap Aqeela pelan.“Ya.” Bramasta melepaskan pelukan dan membiarkan Aqeela pergi ke kamar mandi.Langkah kaki Aqeela terlihat goyah. Dia masuk ke kamar mandi dan melepaskan pakaian. Berendam di dalam bak yang berisi air dan cairan sabun dengan harum aroma terapi. Memejamkan mata untuk mendapatkan ketenangan.“Apa itu Hera dan Gia?” tanya Aqeela pada dirinya sendiri. Dia membuka mata untuk menghilangkan bayangan penyiksaan yang dilihatnya tadi malam.“Mengerikan sekali.” Tubuh Aqeela menggigil.Siksaan yang diberikan Bramasta jauh lebih mengerikan dan menyakitkan dari pada yang dilakukan Marlina pada Aqeela. Gadis muda itu benar-benar menjadi takut p
Aqeela tidak bisa tidur. Dia tidak sabar ingin bertemu dengan Alina untuk mendapatkan informasi tentang mamanya.“Kapan Kak Alina mengajak ku bertemu?” Aqeela segera duduk. Dia melihat sofa yang kosong. Tidak ada Bramasta di dalam kamar.“Kemana Om?” Aqeela turun dari kasur dan menyadari bahwa gorden kaca terbuka sehingga lampu taman masuk ke dalam kamar. Dia melihat sang suami duduk seorang diri dengan ponsel di telinga.“Apa yang Om lakukan di taman? Kenapa dia tidak tidur? Siapa yangn dihubunginya?” Aqeela membuka pintu kaca dan berjalan mendekati Bramasta dengan pelan tanpa menimbulkan suara.“Aku tidak peduli apa pun yang terjadi. Pastikan Alina tidak menyentuh Aqeela. Bila perlu hilangkan tangan dan kakinya begitu juga dengan Marlina,” tegas Bramasta dengan nada Santai.“Tidak ada kematian yang mudah. Penderitaan lebih indah.” Bramasta tersenyum tipis.“Ingat tidak ada yang boleh mati. Mereka semua harus disiksa,” tegas Bramasta.“Merasakan panasnya api.” Bramasta menyeringai.“Y