Terima kasih. Semoga suka.
Mobil membawa Aqeela dan Bramasta ke hotel yang tidak jauh dari lokasi balapan serta Perusahaan.“Silakan, Tuan.” Petugas hotel membukakan pintu kamar untuk Bramasta dan Aqeela. Mereka juga mengantar dan membawakan barang-barang.“Ini kartu kamar Anda.” Petugas memberikan kunci kepada Bramasta.“Terima kasih,” ucap Bramasta.“Permisi. Selamat beristirahat.” Petugas meninggalkan Bramasta dengan Aqeela.“Ponselku!” Aqeela lagi-lagi menadahkan tangan di depan Bramasta.“Kamu mau menghubungi siapa? Kenapa sangat tidak sabar?” Bramasta menatap tajam pada Aqeela.“Teman-temanku lah. Kami dapat hotel sendiri. Jadi, aku akan pindah,” jelas Aqeela.“Apa?” Bramasta terkejut. Dia tahu di balapan itu hanya ada tiga orang wanita dan selebihnya pria.“Kenapa?” tanya Aqeela.“Di mana hotel kalian?” Bramasta membuka gorden dan memperlihatkan hotel-hotel yang berjarak tidak jauh.“Aku mau lihat dulu di ponselku. Di sana juga ada jadwal pertemuan. Hari ini kami masih bebas,” jelas Aqeela.“Besok kalian
Dokter Fauzan tidak kembali ke rumah sakit. Pria itu pulang ke rumahnya. Dia benar-benar senang bisa menghabiskan waktu bersama Aqeela.“Kenapa Alina menghubungiku?” Dokter Fauzan melihat pesan dan panggilan dari Alina. Pria itu tidak peduli dan tidak tertarik untuk menghubungi kembali atau pun membalas pesan.“Dia pasti ingin tahu tentang Aqeela. Aku tidak akan mengizinkan kamu menyakiti Aqeela.” Dokter Fauzan menghubungi Aqeela.“Halo, Aqeela,” sapa dokter Fauzan ketika panggilan dijawab oleh Aqeela.“Halo, Dok,” salam Aqeela.“Apa Aqeela sudah tidur?” tanya dokter Fauzan.“Belum,” jawab Aqeela.“Apa Dokter mengganggu?” Dokter Fauzan makin berani untuk mendekatkan diri kepada Aqeela.“Tidak,” ucap Aqeela.“Baiklah. Kapan kamu libur magang?” tanya dokter Fauzan.“Tidak ada. Aku mengambil cuti untuk pergi ke Singapura,” jawab Aqeela jujur. Gadis itu benar-benar tidak bisa menyembunyikan apa pun. Dia pasti mengatakan segalanya dengan jujur kecuali mendapatkan ancaman. Itu tertanam seja
Aqeela duduk diam menunggu dokter Fauzan melakukan pembayaran. Dia lupa dengan rencana mereka tentang membicarakan sesuatu karena terlalu senang menikmati waktu berdua kembali ke masa lalu yang berarti.`“Kapan-kapan kita bisa jalan-jalan lagi.” Dokter Fauzan berdiri di depan Aqeela.“Ya.” Aqeela mengangguk.“Kamu akan pulang kemana? Dokter temani,” ucap dokter Fauzan.“Aku masih harus ke lapangan basket. Dokter duluan saja,” tolak Aqeela. Dia tidak mau pria yang dikaguminya mengetahui bahwa dirinya telah menikah kontrak dan tingga dengan seorang Bramasta.“Baiklah. Hati-hati.” Dokter Fauzan menatap Aqeela. Dia tidak bisa lagi mencium dahi gadis kecil yang telah dewasa.“Terima kasih, Dok. Aku duluan. Dah.” Aqeela naik ke atas motor dan mengenakan helm.“Dah.” Dokter Fauzan tersenyum melihat Aqeela yang telah pergi dengan motor balap hitam.“Aqeela.” Dokter Fauzan memegang dadanya.“Itu adalah tatapan pria yang jatuh cinta.” Bramasta memperhatikan dokter Fauzan hingga pria itu masuk
Alina menghubungi dokter Fauzan, tetapi tidak ada jawaban. Wanita itu ingin semua orang memperhatikannya. Aqeela hanya miliknya untuk dimanfaatkan.“Kemana dokter Fauzan?” tanya Alina pada perawat.“Dokter Fauzan pergi keluar,” jawab perawat.“Hm. Apa dia mencari Aqeela?” tanya Alina di dalam hati.“Aku tahu dia lebih menyukai Aqeela dari padaku. Itu juga yang membuatku melarang Aqeela bertemu lagi dengan dokter Fauzan. Tidak ada yang boleh dekat dengan Aqeela.” Jari-jari Alina meremas bantal.“Dia hanya anak buangan yang bergantung padaku.” Alina tersenyum dan turun dari tempat tidur. Wanita itu sudah bisa pulang ke rumah. Dia hanya perlu mengoleskan obat untuk menghilangkan biru pada lehernya.“Alina, ayo kita pulang.” Marlina masuk ke kamar Alina.“Aku mau lihat jadwal operasi dulu, Ma.” Alina melihat ponselnya yang penuh dengan pesan.“Apa ini?” Alina kaget karena dia tidak mendapatkan jadwal operasi hingga satu bulan ke depan.“Ada apa?” tanya Marlina.“Aku tidak memiliki jadwal
Dokter Fauzan sudah menunggu di ruang tunggu. Dia melihat layar ponsel.“Aqeela. Lebih baik kamu menjauh dari Marlina dan Alina. Pergi ke luar kota atau luar negeri.” Dokter Fauzan berbicara sendiri. Dia melihat Aqeela yang berlari padanya dan pria itu segera menyimpan ponselnya. “Dokter Fauzan,” sapa Aqeela. “Halo, Aqeela. Apa kabar?” Dokter Fauzan beranjak dari kursi. Dia mengusap kepala Aqeela dan mencubit hidung mancung gadis itu.“Lihatlah. Gadis kecil ini. Dia sudah tumbuh besar.” Dokter Fauzan meletakkan kedua tangan di pipi Aqeela.“Apa kamu bisa ikut dokter keluar?” tanya dokter Fauzan. “Kemana?” Aqeela menatap dokter Fauzan.“Ada sesuatu yang ingin dokter bicarakan dan perlihatkan kepada kamu,” ucap dokter Fauzan.“Kita bisa pergi ke mana saja asal kamu suka,” lanjut dokter Fauzan.“Baiklah. Aku sudah selesai bekerja dan bisa pulang sekarang.” Aqeela terlihat bersemangat. Dia tidak ragu untuk pergi bersama dengan dokter Fauzan.“Bagaimana jika kita pergi ke café biasa?” ta
Alina dirawat di rumah sakit. Dia masih tidak mengatakan sepatah kata pun kepada kedua orang tuanya. Wanita itu malu dengan kenyataan yang telah dialaminya. Ditolak mentah-mentah oleh Bramasta. “Alina, siapa yang melakukan ini kepada kamu?” tanya dokter Fauzan. “Aqeela,” jawab Alina. “Apa?” Dokter Fauzan terkejut.“Itu tidak mungkin,” tegas dokter Fauzan. Dia tahu bahwa Aqeela sangat lembut dan tidak akan pernah menyakiti siapa pun. “Bekas cekikan di leher itu menunjukkan jari seorang pria,” ucap dokter Fauzan. “Ya. Aqeela menyuruh seorang pria menyakitiku.” Alina berbicara tanpa melihat pada dokter Fauzan.“Terjadi di dalam kamar Aqeela. Bagaimana bisa pria itu masuk?” tanya dokter Fauzan yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan Alina.“Kamu selalu membela Aqeela,” tegas Alina.“Alina, kenapa kamu harus bersandiwara? Di depan Aqeela kamu sangat baik, tetapi di belakangnya, kamu terlihat jelas membenci Aqeela.” Dokter Fauzan menatap Alina. “Keluar!” teriak Alina hingga wanita