Share

3. Pelukan Erat

Penulis: Lil Seven
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-07 12:15:13

Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini.

Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?

Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia.

Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.

“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”

Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”

Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”

Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah retak dan bentuknya sangat menyedihkan, tapi masih berfungsi dengan baik.

“Entahlah. Sepertinya wanita itu ingin menghabiskan uang ayahku lebih banyak,” ucap Aaron tidak acuh. Ia kemudian menyalakan mobil.

Mendengarnya, aku jadi memahami sesuatu.

Ah. Ia tidak suka dengan ibuku.

"M-maaf," lirih kuucapkan kata itu, tapi Aaron, seperti biasa, tak memberikan reaksi.

Aku terdiam setelahnya, tidak berani bicara lagi.

Kesan pertama Aaron terhadapku memang kurang baik. Tapi memikirkan ucapannya soal ibuku tadi, sepertinya aku bisa memahami sikapnya yang tidak ramah.

Meski begitu, sikapnya lebih baik dari Arsion yang tadi mengataiku dan Aresh yang mengancamku.

Aaron masih cukup baik mau mengantarku begini, meski disuruh ayah baruku.

Akhirnya, mobil memasuki pelataran mall yang megah.

"Wahhh!"

Aku tak bisa menahan untuk berteriak kagum saat melihat mall untuk pertama kalinya.

Sejak kecil tinggal di desa, aku tak pernah melihat tempat sebesar dan semewah ini. Bahkan saat akhirnya kami keluar dari parkiran dan naik lift, aku terus memandang sekeliling dengan mata berbinar-binar.

Aaron tak berkomentar apa pun, dia tampak sibuk dengan ponselnya sehingga seperti tak peduli dengan reaksi kampunganku.

Kakak tiriku yang nomor dua itu membawaku ke toko penjualan ponsel. Kami langsung disambut oleh pegawai di sana dan dibawa masuk untuk melihat-lihat.

Lebih tepatnya Aaron yang disambut.

Sementara aku yang berdiri di belakangnya melihat tatapan si pegawai toko menilaiku dari atas sampai bawah terlebih dahulu sebelum tersenyum kaku seadanya. Namun, saat Aaron mengatakan kalau dia akan membelikanku ponsel, pegawai toko yang sama langsung tersenyum lebar dan menghampiriku.

“Pilih salah satu. Lalu kita pulang.” Aaron bertitah. Ia tidak mengikutiku yang sedang mencoba model ponsel bersama pegawai toko.

“Baik, Kak,” balasku patuh, sebelum kembali mendengarkan penjelasan kakak pegawai toko yang merekomendasikan ponsel keluaran terbaru, dengan judul ‘ponsel yang cocok digunakan oleh mahasiswi’.

“Harganya berapa?” tanyaku kemudian.

“Lima belas juta saja, Kak.”

Si pegawai toko tersenyum ramah, sementara aku langsung terkejut. Ia lalu menunjuk ponsel lain yang tadi kucoba.

“Kalau yang ini lebih murah. Sembilan juta sembilan ratus ribu saja. Tapi kameranya tidak sebagus yang tadi. Yang lima juta juga ada, Kak. Tapi modelnya begini….”

Kenapa harga ponsel mahal-mahal sekali? Punyaku saja dulu kubeli tidak sampai satu juta. Bagaimana kalau Aaron berpikir aku ingin memanfaatkan hartanya cuma gara-gara ponsel?

Lagipula, memang kamera bagus-bagus untuk apa? Toh aku jarang berfoto.

“Apa nggak ada yang lebih murah, Kak?” tanyaku pada pegawai toko. “Yang satu jutaan saja.”

Ekspresi si pegawai toko langsung tampak masam. “Zaman sekarang mana ada ponsel harga satu juta, Kak. Kecuali Kakak beli yang bekas.”

Wajahku langsung memerah mendengarnya. Apalagi ia mengucapkannya dengan suara cukup keras.

Sampai aku bisa mendengar orang-orang menggunjingku di belakang.

“Kalo nggak mampu, jangan ke sini nggak sih?”

“Kamu lihat deh pakaiannya. Norak banget. Dia beneran mau beli apa cuma iseng lihat-lihat?”

Aku meremas rok longgar yang kukenakan sembari menunduk dalam-dalam.

“Kalau begitu … yang ini saja, Kak,” bisikku kemudian, sembari menunjuk ponsel paling murah yang disodorkan.

Ponsel itu tampak cukup manis, berwarna merah muda.

“Baik. Silakan pembayarannya di sebelah sini.”

Aku menoleh untuk melapor pada Aaron.

Namun, pria itu tidak ada.

“Kak Aaron?”

Sontak, jantungku berdebar lebih cepat.

Di mana dia? Kenapa dia meninggalkanku di sini? Apakah aku dikerjai? Disuruh membayar sendiri.

"Kak, silakan pembayarannya–”

"S-sebentar, saya mencari kakak saya dulu, permisi."

Wajah pegawai toko tadi langsung jadi masam lagi saat aku berbalik dan melangkah keluar dari toko ponsel.

Mal ini begitu luas dan besar. Serta ramai. Aku sama sekali tidak tahu harus mencari Aaron mulai dari mana.

Apakah aku harus ke mobilnya? Tadi kalau naik lift, ke lantai berapa ya? Lalu … parkirnya di mana?

Aku benar-benar hilang arah. Mau pulang pun, aku tidak tahu alamat rumah baruku karena kemarin aku pun dijemput oleh ayah tiri dan ibuku.

Apalagi aku sekarang tak memegang uang sepeser pun!

Panik, aku berlari mengelilingi mal, mencari sosok Aaron dengan jantung berdegup kencang.

"Aaron, kamu di mana?" bisikku dengan gelisah. “Kak….”

Mal yang tadinya terlihat mewah dan megah, kini menjadi sangat menakutkan, perutku mual karena tadi tidak jadi sarapan dan aku mulai berkeringat dingin.

Aku sudah nyaris menangis saat tiba-tiba sebuah tangan besar mencekal lenganku dan menarikku ke arahnya. Tubuhku sontak membentur sebuah dada bidang seorang pria.

“Ah!”

Saat aku mendongak, kulihat wajah Aaron tepat di atasku. Rambut hitamnya yang tadinya rapi kini tampak berantakan. Sementara napasnya terengah, seperti baru saja berlari.

“Kak–”

“Dasar bodoh! Kalau memang sudah bosan hidup enak, bilang! Kutinggalkan kamu di jalan.”

Dibentak seperti itu, aku gemetar. Namun, di sisi lain, aku lega. Rupanya dia tidak meninggalkanku dengan sengaja.

“Maaf … tadi kamu tidak ada,” bisikku. Pastilah kini mataku sudah berkaca-kaca. “Aku coba mencari.”

Aaron berdecak, lalu membuang muka. Ia memperbaiki bajunya yang juga tampak berantakan, dengan salah satu kancing.

“Merepotkan. Kita pulang saja,” katanya kemudian. Ia meraih tanganku lalu menarikku agar mengikuti langkahnya yang panjang.

Aku tidak berani memprotes meski kesulitan mengikuti langkahnya. Namun, ia benar-benar membawaku kembali ke mobil dan mendorongku masuk, sama seperti ketika kami berangkat tadi.

Diia marah. Aku tahu itu. Namun, aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Aku pun tidak menyalahkannya. Namun, ia sudah baik mengantarku ke sini. Bahkan tampak mengkhawatirkanku.

Bukankah ini berarti, aku harus memohon maaf padanya?

Tapi dengan cara apa?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   8. Menuju Klimaks Terlarang

    Gugup dan takut karena terpergok Aresh, aku reflek mundur ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“K-kami…."Suaraku tercekat.“Kami hanya kebetulan lewat dan sedikit berdebat, Kak.”Aaron tiba-tiba memotong, suaranya tenang namun terdengar penuh kendali.Ia meraih lenganku tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengelak, menarikku hingga berdiri di belakang tubuhnya yang kokoh.“Lanjutkan senang-senangnya, Kak. Maafkan keributan tadi,” lanjut Aaron, nada bicaranya sopan, tapi santainya seolah meremehkan.Ujung matanya dengan sengaja melirik ke arah kamar yang terbuka, memperlihatkan sosok gadis montok hanya berbalut selimut di ranjang Aresh.Aresh hanya menatap sekilas, lalu beralih ke Aaron. Dengan ekspresi malas, ia melambaikan tangan dan menutup pintu tanpa komentar.“Huff…”Aku mengusap dada, menghela napas lega, pikiranku masih kacau karena hampir saja ketahuan mengintip.Namun kelegaanku langsung hancur ketika tangan besar Aaron tiba-tiba menggenggam lenganku lebih erat. Sa

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   7. Tontonan Panas

    "Kak, ak-aku.... aku cuma...."Tak disangka, Aaron malah membekap mulutku, menempelkan tubuh bagian depannya ke tubuhku sambil berbisik dengan dingin."Lanjutkan.""H-hah?"Jantungku menggila saat tubuhku yang sedang panas menempel di tubuh kuat Aaron. Aroma parfumnya yang gentleman membuat kepalaku pusing."Lihat apa yang ingin kau lihat," bisiknya lagi, nada suaranya terdengar seperti ejekan.Tubuhku seketika menggigil. A-apa maksudnya?! Bagaimana bisa aku tetap melihat percintaan Aresh dengan wanita itu di depan sana, sedangkan Aaron berdiri di belakangku?!Apakah dia sedang menguji diriku untuk mempertimbangkan membunuhku atau tidak?!"Kamu berani menolak perintahku?"Aaron yang melihat aku tak mau lanjut mengintip ke dalam berkata dengan nada dingin yang membekukan tulang."T-tidak, Kak!"Suara lirihku pecah, penuh rasa takut."Bagus," balasnya singkat, lalu ia menekan sedikit tubuhku ke arah pintu, membuatku tak punya pilihan selain kembali menatap ke depan.Suara erangan wanita

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   6. Gadis Nakal

    Wajahku memerah mendengar ucapannya.“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.Lelah.Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh. ***[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.][Alamat rumah: terlampir.][Awas jika kamu mengadu ke Papa.]Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   5. Hukuman

    “K-Kak–”Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.Tidak … tidak boleh begini!“Kenapa? Tidak mau?”Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.Namun, tidak ada suara yang keluar.Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.“Oh?”Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   4. Otot-Otot yang Sempurna

    "Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko.Sontak saja aku terkejut.“Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?”Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.”Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong!Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku?Aku harus segera minta maaf!“Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian.“Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.”T

  • Tiga Kakak Tiriku yang Menggoda   3. Pelukan Erat

    Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini. Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia. Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status