"Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."
Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko. Sontak saja aku terkejut. “Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?” Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.” Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong! Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku? Aku harus segera minta maaf! “Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian. “Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.” Tepat saat itu, aku mendengar suara mobil memasuki pekarangan. Dari jendela, aku melihat kakak keduaku itu keluar dari mobil. Dia tampak sangat lelah, dasinya yang rapi sedikit melorot dan Aaron tampak berjalan sambil mengacak pelan rambutnya. “Hm, sepertinya aku tahu apa yang harus aku lakukan,” batinku. Buru-buru aku ke dapur untuk membuatkan cokelat hangat. Minuman itu adalah yang terbaik untuk mengatasi lelah. Kujamin Aaron akan tidur nyenyak malam ini dan merasa segar saat bangun besok pagi. Ini bisa jadi permintaan maaf sekaligus rasa terima kasihku. Sekalian aku akan menjelaskan soal kesalahpahaman ponsel ini. “Kak?” Aku mengetuk pintu saat sudah berdiri di depan kamarnya. Di tanganku sudah ada secangkir cokelat hangat–resepku sendiri. Namun, tidak ada jawaban dari dalam, meski kulihat pintu kamar Aaron sedikit terbuka. "Ehm, Kak Aaron," panggilku. “Tuan Aaron? Bapak Aaron yang terhormat?” Mungkin dia masih tidak suka kupanggil ‘Kak’, makanya coba kupanggil begitu. Tapi tetap tidak ada jawaban. Sedikit demi sedikit, aku mendorong pintu kamarnya untuk mengintip ke dalam. Kosong. Apakah Aaron belum masuk ke kamar? Ke mana dia kalau begitu? Hmm … mungkin cokelat panasnya kutaruh di meja saja. Aku melangkah masuk–lalu terbelalak saat melihat ke salah satu sisi kamar dan mendapati sebuah etalase kaca memamerkan berbagai jenis senjata, mulai dari pisau, tongkat pukul, kapak, bahkan pajangan senjata api yang tidak aku tahu jenis dan namanya. Kenapa kakak tiriku memiliki barang-barang ini!? Cklek. Aku menoleh ke pintu lain di ruangan tersebut–yang ternyata merupakan pintu kamar mandi dan mendapati Aaron keluar dari sana– –tanpa mengenakan apa pun selain handuk putih yang melilit pinggangnya. Gerakannya yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil sontak terhenti saat melihatku. Meski begitu, aku sempat menyaksikan urat halus di lengannya–serta otot keras yang menyertai penampilan menggoda Aaron. Apalagi dari jarak yang tidak terlalu jauh ini, aku bisa melihat butiran air masih menetes dari rambutnya yang basah, menetes ke bahu dan dadanya yang bidang, lalu turun ke otot perutnya yang jelas terbentuk. Detak jantungku menggila, seiring indra penciumanku meraup aroma sabun maskulin segar yang memenuhi udara. Oh, tidak. Ini berbahaya. “Makin tidak tahu diri rupanya,” ucap Aaron dingin, membuat tanganku yang memegang cangkir cokelat hangat gemetar. Aku melihat rahang kakak tiriku itu mengeras dan mata gelapnya menyorot tajam. “Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini?” "A-ah, Kak. Aku ke sini untuk–ini." Aku sedikit mengangkat cangkir cokelat di tangan. “Aku cuma berniat meletakkan ini di meja, lalu keluar, Kak. Tadi aku ketuk tidak ada jawaban.” “Lalu, kamu pikir, kamu bisa seenaknya masuk ke kamarku?” Ucapan tajamnya membuatku terdiam. Tanpa sadar, aku mundur ke belakang. “Maaf, Kak,” bisikku. “Aku … mau menjelaskan soal ponsel yang barusan kuterima. Aku khawatir Kakak salah paham.” Aaron tidak mengatakan apa pun, jadi aku melanjutkan, “Apakah ponselnya bisa dikembalikan saja?” Aku pikir itu adalah keputusan terbaik. Jadi Aaron dan dua kakakku yang lain tidak akan salah paham soal keberadaanku di sini. Sungguh, aku hanya ingin hidup dengan tenang. Tidak bergelimang harta pun tidak apa-apa. “Kalau kamu tidak menyukainya, buang saja.” Aku mendongak. “Bukan begitu, Kak!” sanggahku. “Aku berterima kasih karena Kakak sudah repot-repot, tapi bukankah–” “Berterima kasih?” Aaron menyeringai tipis. Perlahan, ia melangkah mendekatiku, membuatku terus mengambil langkah mundur. “Ucapanmu banyak yang bertolak belakang.” “Bukan begitu!” sanggahku gugup, bingung menjelaskan seperti apa maksudku, tapi gagal. Apalagi penampilan Aaron sama sekali tidak membantu dan makin lama, aku justru merasakan sesuatu yang aneh di dasar perutku. “Jadi mau berterima kasih atau tidak?” Buru-buru aku mengangguk. “Aku berterima kasih pada Kak Aaron–” “Kalau begitu, seharusnya tidak pakai cokelat panas.” Tanpa bisa kucegah, Aaron mengambil cangkir cokelat di tanganku dan menyingkirkannya. Punggungku sudah membentur dinding di belakang sementara Aaron menghadangku dengan tubuhnya yang kokoh. Tamatlah riwayatku. Kurasakan tangan Aaron menyentuh daguku, membuatku otomatis mendongak dan memandang sepasang mata gelapnya yang tampak tajam. Ada seringai tipis di bibirnya yang tipis, membuat wajahnya makin terlihat tampan. “Biar kutunjukkan bagaimana caranya berterima kasih, Adik Kecil?"Gugup dan takut karena terpergok Aresh, aku reflek mundur ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan.“K-kami…."Suaraku tercekat.“Kami hanya kebetulan lewat dan sedikit berdebat, Kak.”Aaron tiba-tiba memotong, suaranya tenang namun terdengar penuh kendali.Ia meraih lenganku tanpa memberi kesempatan padaku untuk mengelak, menarikku hingga berdiri di belakang tubuhnya yang kokoh.“Lanjutkan senang-senangnya, Kak. Maafkan keributan tadi,” lanjut Aaron, nada bicaranya sopan, tapi santainya seolah meremehkan.Ujung matanya dengan sengaja melirik ke arah kamar yang terbuka, memperlihatkan sosok gadis montok hanya berbalut selimut di ranjang Aresh.Aresh hanya menatap sekilas, lalu beralih ke Aaron. Dengan ekspresi malas, ia melambaikan tangan dan menutup pintu tanpa komentar.“Huff…”Aku mengusap dada, menghela napas lega, pikiranku masih kacau karena hampir saja ketahuan mengintip.Namun kelegaanku langsung hancur ketika tangan besar Aaron tiba-tiba menggenggam lenganku lebih erat. Sa
"Kak, ak-aku.... aku cuma...."Tak disangka, Aaron malah membekap mulutku, menempelkan tubuh bagian depannya ke tubuhku sambil berbisik dengan dingin."Lanjutkan.""H-hah?"Jantungku menggila saat tubuhku yang sedang panas menempel di tubuh kuat Aaron. Aroma parfumnya yang gentleman membuat kepalaku pusing."Lihat apa yang ingin kau lihat," bisiknya lagi, nada suaranya terdengar seperti ejekan.Tubuhku seketika menggigil. A-apa maksudnya?! Bagaimana bisa aku tetap melihat percintaan Aresh dengan wanita itu di depan sana, sedangkan Aaron berdiri di belakangku?!Apakah dia sedang menguji diriku untuk mempertimbangkan membunuhku atau tidak?!"Kamu berani menolak perintahku?"Aaron yang melihat aku tak mau lanjut mengintip ke dalam berkata dengan nada dingin yang membekukan tulang."T-tidak, Kak!"Suara lirihku pecah, penuh rasa takut."Bagus," balasnya singkat, lalu ia menekan sedikit tubuhku ke arah pintu, membuatku tak punya pilihan selain kembali menatap ke depan.Suara erangan wanita
Wajahku memerah mendengar ucapannya.“Bukan begitu,” sanggahku, malu. Tapi tidak mampu menjelaskan lebih lanjut karena debar jantungku masih tidak karuan.Lelah.Pada akhirnya, aku hanya menunduk dalam-dalam, tak berani menatap siapa pun sembari memikirkan sebuah cara untuk menyembunyikan bajuku yang membingkai bentuk tubuh ini dengan sempurna..Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuduga terjadi. Arsion tiba-tiba melemparkan jaketnya ke arahku. Gerakannya cepat, seolah ia sendiri tidak mau terlihat terlalu peduli.“Pakai. Badanmu itu … memang bisa dipakai buat menggoda pria?”Aku terpaku, menatapnya dengan bingung, tapi sama sekali tidak tersinggung.Jaket itu hangat, berbeda dengan kata-kata yang barusan ia lontarkan.Sebelum aku sempat bicara, Arsion sudah berjalan menjauh. ***[Aku ada acara selesai kelas. Kamu pulang sendiri, jangan merepotkanku lagi.][Alamat rumah: terlampir.][Awas jika kamu mengadu ke Papa.]Tiga pesan singkat itu masuk ke ponsel baruku. Kulihat pengirimnya sedang
“K-Kak–”Satu tangannya yang bebas menangkup pinggulku–menahanku agar tidak bisa melarikan diri.Dari jarak sedekat ini, aroma maskulin yang menguar darinya makin tercium jelas, memaksaku menahan napas agar tidak jadi makin gila.Tidak … tidak boleh begini!“Kenapa? Tidak mau?”Aku menggeleng kuat-kuat. Bibirku terbuka, ingin memberikan penolakan masuk akal. Atau penjelasan apa pun agar dia berhenti.Namun, tidak ada suara yang keluar.Kenapa aku tidak bisa menolaknya!?Akan tetapi, sepertinya gelengan kepalaku tadi cukup, karena kulihat sorot mata Aaron berubah makin dingin seiring seringai di bibirnya menghilang.“Kalau begitu, jadilah gadis baik yang tidak mengintip atau masuk ke tempat yang tidak seharusnya.” Suara Aaron yang rendah terdengar mengancam. “Keluar.”Aku memaksakan diriku untuk pergi dari sana, meskipun kakiku terasa seperti agar-agar. Lemas dan tak bertenaga.“Oh?”Tepat saat aku keluar dari kamar Aaron, aku berpapasan dengan Aresh di depan. Penampilan pria itu rapi
"Nona, ini ponsel untuk Anda dari Tuan Aaron."Malam harinya, seorang pria muda dengan jas rapi menyodorkan sebuah tas bertuliskan merk ponsel yang tadi pagi kulihat. "Ah, terima kasih banyak," jawabku sambil menerima kotak ponsel itu dengan canggung. Saat kubuka, di dalamnya berisi ponsel seharga lima belas juta yang tadi direkomendasikan oleh kakak pegawai toko.Sontak saja aku terkejut.“Eh–ini.” Aku menatap sang asisten yang mengantarkan ponsel. “Dari Kak Aaron?”Sang asisten mengangguk. “Beliau memerintahkan saya untuk membelikan ponsel yang diinginkan oleh Nona Sherry. Pegawai toko yang Nona kunjungi tadi pagi menginformasikan bahwa ponsel inilah yang Nona sukai.”Tidak! Bukan ponsel ini yang kumaksud tadi. Pegawai itu berbohong!Aduh, bagaimana jika Aaron benar-benar berpikir bahwa aku memanfaatkan uangnya? Apakah ia makin membenciku?Aku harus segera minta maaf!“Kak Aaron sekarang di mana?” tanyaku kemudian.“Beliau sedang menuju rumah, Nona. Mungkin sebentar lagi sampai.”T
Apakah ia mau membuangku? Kalau ditinggalkan di suatu tempat di kota ini, aku pasti tidak akan bisa kembali ke sini. Ataukah dia akan membiusku, membedahku, lalu menjual organ tubuhku?Sejujurnya, postur tubuh Aaron sangat mendukung untukku berimajinasi liar. Lihatlah setelan serba hitam yang ia pakai dan wajah dingin tanpa ekspresi itu, siapa pun pasti akan mengira jika dia adalah bos penjual organ tubuh manusia. Tangan Aaron yang besar itu kemudian mendorongku masuk ke dalam mobil, lalu menutup pintu.“Eh, anu, Kak–eh, Pak,” ucapku buru-buru saat ia duduk di kursi pengemudi. “Tuan Aaron. Itu. Maaf. Kayaknya aku kurang pantas kalau dijadikan sasaran….”Wajah Aaron tampak mengernyit. “Bicara apa? Kita akan ke mal,” katanya. “Ayah menyuruhku mengantarmu membeli ponsel baru.”Aku berkedip, tampak bingung. “Tapi ponselku baik-baik aja, Kak. Eh–”Aaron mendengus, lalu melirik barang jadul di pangkuanku. Aku bisa merasakan kejengkelannya saat melihat ponsel tuaku. Memang, layarnya sudah