Share

Sebuah Syarat

Author: Bintang Senja
last update Last Updated: 2022-09-20 06:25:33

"Tidak mungkin, tradisi ini sudah lama tidak digunakan." Arga menggeleng. Ia masih belum percaya jika tradisi tersebut masih berlaku di keluarganya.

"Tapi kenyataannya tradisi ini masih berlaku," ucap Naima. Sejenak Arga diam, lalu memandang wajah istrinya.

"Dan kamu akan melakukan tradisi konyol ini, mengembalikan apa yang sudah aku berikan untukmu?" tanya Arga. Jika dipikir, rasanya mustahil untuk mengembalikan apa yang pernah Arga berikan. Karena selama ini lelaki itu selalu memenuhi kebutuhan istri serta anaknya, meski kurang perhatian. Tapi Arga tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah.

"Iya, mas. Mulai dari biaya operasi caecar, operasi angkat rahim, lalu uang nafkah yang pernah kamu berikan." Naima menjelaskannya. Mendengar itu justru Arga tertawa, Naima tidak akan mungkin bisa mengembalikan semua itu, karena jumlahnya tak terhitung.

"Kenapa kamu ketawa, mas." Naima mengerutkan keningnya. Seketika Arga menghentikan tawanya, lalu memandang wajah istrinya.

"Kamu tidak akan bisa mengembalikan semua itu Naima. Kamu tahu kan biaya operasi itu mahal, apa lagi uang nafkah yang aku berikan. Kamu tidak akan pernah bisa mengembalikannya, tidak akan pernah," ujar Arga. Berharap agar Naima mau mengurungkan niatnya untuk menuruti tradisi konyol itu.

"Tidak ada yang tidak mungkin, mas. Kita lihat saja nanti, oya sarapannya sudah siap." Setelah mengatakan itu Naima berlalu dari hadapan suaminya. Melihat itu Arga menghela napas, tidak ada maksud untuk menghina atau merendahkan Naima. Ia hanya ingin jika sang istri tidak mengikuti tradisi konyol keluarganya itu.

Setelah itu Arga memutuskan untuk turun ke bawah, terlihat jika istri dan putrinya sudah menunggu di meja makan. Arga melangkah mendekati mereka, melihat suaminya datang. Dengan sigap Naima melayaninya, Arga pikir istrinya marah gara-gara kejadian tadi. Tapi nyatanya sang istri masih bisa bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, bahkan tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Mas nanti tolong anterin Alifah ke sekolah ya, aku lagi nggak enak badan. Kamu bisa kan, mas." Permintaan Naima membuat Arga mendongak lalu menatap istrinya.

"Kamu sakit? Mas lihat wajahmu sedikit pucat, apa sebaiknya kita ke dokter saja," ujar Arga. Ada rasa khawatir jika sang istri tiba-tiba jatuh sakit. Terlebih wajahnya memang terlihat pucat.

"Aku enggak apa-apa kok, mas. Nanti minum obat sama istirahat juga udah cukup," tolaknya. Bukannya tidak mau ke dokter, tapi Naima rasa itu tidak perlu. Ia hanya butuh istirahat saja di rumah.

"Ya sudah, nanti Alifah biar mas yang anterin," ujar Arga mengalah. Mungkin memang benar jika istrinya hanya butuh istirahat saja.

***

Seminggu telah berlalu, malam ini tepatnya pukul sepuluh Arga baru saja pulang. Memang akhir-akhir ini ia sangat sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Bukan itu saja, Arga juga sibuk mengurus pernikahannya dengan Arin. Wanita itu ingin dipercepat, padahal perjanjiannya setelah Arga dengan Naima resmi bercerai.

Hal tersebut benar-benar membuat Arga merasa frustasi. Jujur, tak ada niat untuk menceraikan Naima, tapi keadaan yang memaksa. Sedangkan Arin sendiri tidak ingin ada istri lain selain dirinya, memang pilihan yang begitu sulit. Karena bagaimanapun juga Naima sudah menemani dirinya hampir tujuh tahun lamanya.

Setibanya di rumah, Arga bergegas menuju ke kamar, berharap sang istri belum tidur, karena ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Kini Arga sudah sampai di kamar, terlihat jika Naima baru saja keluar dari kamar mandi, melihat itu gegas Arga mendekatinya dan memintanya untuk duduk terlebih dahulu.

"Memangnya ada apa, mas?" tanya Naima.

"Ada yang ingin mas bicarakan sama kamu." Arga menjatuhkan bobotnya di hadapan sang istri. Jujur Arga bingung harus memulainya dari mana, di tatapnya wajah sang istri lalu menghembuskan napasnya.

"Ada apa, mas. Kok diem aja." Suara Naima, mampu membuat Arga tersadar dari lamunannya.

"Iya, ini masalah pernikahan mas dengan Arin." Arga kembali menatap mata indah istrinya.

"Memangnya kenapa, mas?" tanya Naima.

"Arin minta pernikahan kami dipercepat," jawab Arga. Seketika Naima terdiam mendengar hal tersebut, padahal perjanjiannya tidak seperti itu.

"Naima, bagaimana." Arga memberanikan diri untuk menatap wajah ayu istrinya.

"Bukannya perjanjiannya setelah kita resmi bercerai, mas. Kenapa Arin ingin dipercepat," ujar Naima. Bukankah Arin sendiri yang mengatakan, akan menikah setelah Arga dan Naima resmi bercerai. Tapi kenapa Arin sendiri yang ingkar dan meminta pernikahannya dipercepat.

"Iya, katanya sudah tidak sabar. Bagaimana, apa waktu tiga puluh hari yang kamu inginkan masih tetap berlaku," sahut Arga. Jujur, ia sendiri bingung harus bagaimana.

"Tetap berlaku lah, mas. Tapi kalau Arin ingin dipercepat pernikahan kalian. Aku punya satu permintaan," ucap Naima. Seketika Arga mendongak dan menatap mata istrinya.

"Apa yang kamu minta?" tanya Arga.

"Setelah menikah nanti, kalian tidak boleh hidup satu atap, dan tidak boleh melakukan malam pertama. Sebelum kita resmi bercerai, bagaimana." Jawaban yang Naima lontarkan mampu membuat Arga bungkam. Rasanya mustahil, bukankah karena sudah tidak sabar ingin hidup bersama, itu sebabnya Arin meminta agar pernikahannya dipercepat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
perempuan GATEL udah pengen di garuk ya Arin noh ambil bonggol jagung di bakar dikit baru gerus tuh LOBANGMU
goodnovel comment avatar
Arey Areyy
Good story
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Tiga Puluh Hari Sebelum Bercerai   Video di Hari Pernikahan

    Setelah pesanan tertata di atas meja, pelayan tersebut beranjak pergi, dan ini kesempatan Arin untuk kembali berbicara. Tetapi Arga justru mengusirnya, ia tidak ingin merusak mood makan siangnya. Bukan itu saja, Arga juga khawatir jika kehadiran Arin membuat Zaskia merasa tidak nyaman."Arin lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, aku mau makan," usirnya. Mendengar itu, seketika Arin membulatkan matanya."Arga, kamu ngusir aku. Memangnya kamu tidak ingin tahu siapa dia yang sebenarnya. Aku yakin kalau kamu sudah mengetahuinya, jangankan untuk menikahinya. Mungkin untuk melihatnya saja kamu akan merasa jijik," ungkap Arin, tak lupa tangannya menunjuk ke arah di mana Zaskia duduk.Sedangkan wanita bercadar itu hanya diam dan menunduk, ia sama sekali tidak berani untuk menatap Arin. Tetapi berbeda dengan Arga, justru ia yang merasa kesal dan marah dengan ucapan mantan istrinya itu. Arga memang belum tahu asal usul Zaskia, tapi bukan berarti Arin seenaknya berkata seperti itu."Terserah

  • Tiga Puluh Hari Sebelum Bercerai   Bertemu Mantan

    Tiga tahun telah berlalu, tiga tahun sudah Naima pergi selamanya meninggalkan suami serta putrinya. Meski sudah lama, tetapi bayang-bayang istrinya masih terus menguasai hati serta pikiran Arga. Sampai detik ini Arga belum bisa melupakan Naima, wanita yang sangat ia cintai.Beberapa wanita sering dikenalkan oleh ibunya, tetapi tak ada satupun yang dapat menarik hati Arga. Bagi Arga, tidak ada yang sesempurna Naima, sangat sulit untuk menerima wanita lain di dalam hatinya. Terkadang di sisi hatinya merasa kasihan dengan Alifah, putrinya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang ibu."Arga, bagaimana saran mama. Kasihan Alifah, mungkin kamu bisa hidup tanpa seorang istri. Tapi Alifah, diusianya yang sekarang, dia masih sangat membutuhkan seorang ibu. Mama sering merasa sedih setiap kali menjemput Alifah di sekolahnya. Hampir semua teman-temannya dijemput oleh ibunya." Rianty kembali membujuk putranya untuk menikah. Bukan apa, ia merasa kasihan dengan cucunya yang masih sangat m

  • Tiga Puluh Hari Sebelum Bercerai   Permintaan Terakhir Naima

    Hampir seminggu Naima dirawat di rumah sakit, kondisinya yang sering drop membuat Frans dan dokter Ali melarangnya untuk pulang. Padahal Naima sendiri sudah merasa bosan, mungkin karena efek kanker yang sudah stadium akhir. Membuat kondisi tubuh Naima melemah, bukan itu saja, penglihatannya juga mulai terganggu.Prang, bunyi gelas yang terjatuh membuat Arga yang berada di kamar mandi buru-buru keluar. Terlihat gelas yang ada di meja samping brangkar sudah berada di lantai. Arga menghela napas lalu melangkah mendekati istrinya. Saat ini mereka hanya berdua, lantaran Haris tengah menemani Alifah di rumah."Sayang kamu baik-baik saja kan," ucap Arga dengan raut wajah panik."Aku enggak apa-apa kok, mas. Maaf, gelasnya jatuh." Naima menunduk, penglihatan yang mulai bermasalah membuatnya sering menjatuhkan sesuatu."Tidak apa-apa, udah kamu duduk saja, biar mas beresin ini dulu." Arga jongkok dan bergegas untuk membereskan pecahan gelas tersebut. Sementara Naima tetap duduk dengan perasaan

  • Tiga Puluh Hari Sebelum Bercerai   Memutuskan untuk Kembali

    Rianty masih diam, namun wanita itu segera melangkah menghampiri putranya. Ia tidak menyangka jika kedatangan Haris akan bertepatan dengan kepulangan Arga. Rianty benar-benar bingung harus berbuat apa, tidak ada kesempatan lagi untuk berbohong, karena mungkin Arga telah mendengar semuanya."Arga kamu sudah pulang." Rianty melangkah mendekati putranya."Arga sudah tahu semuanya, ma. Arga tidak menyangka kalau selama ini banyak kebohongan yang mama sembunyikan," ujar Arga. Mendengar itu seketika Rianty menggeleng."Arga, mama bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti yang kamu dengar, mama .... ""Pendengaran Arga masih normal, ma. Dari dulu mama memang pandai berbohong dan bersandiwara." Arga memotong ucapan ibunya, rasanya memang sulit untuk menerima semua kenyataan itu. Arga benar-benar tidak menyangka jika masa lalu ibunya begitu buruk."Haris, ini semua gara-gara kamu, untuk apa kamu datang ke sini hah." Rianty membentak Haris, ia benar-benar kesal dengan ulah laki-laki satu ini."Aya

  • Tiga Puluh Hari Sebelum Bercerai   Datang Kembali

    "Kenapa aku harus melihat ini, rasanya sakit sekali, bahkan lebih sakit dari penghianatan yang Arin lakukan," gunamnya. Rasanya mata Arga tidak mampu lagi untuk melihat mereka, telinganya pun tak sanggup untuk mendengar apa yang akan Naima katakan.Arga memutuskan untuk pergi dari tempat tersebut, namun entah kenapa kakinya sangat berat untuk melangkah, seakan ada yang menahannya. Dengan terpaksa Arga akan menunggu beberapa saat, ia juga merasa penasaran dengan jawaban yang akan Naima berikan. Berharap Arga bisa menerima apapun keputusan mantan istrinya.Sementara itu, Naima masih diam, jujur ia juga merasa bingung. Di lain sisi, ia ingin hidup tenang tanpa seorang suami. Tapi Naima juga sadar, jika putrinya masih sangat membutuhkan sosok seorang ayah. Tapi entah kenapa hati kecilnya seperti tidak yakin jika Frans mampu menjadi ayah pengganti untuk Alifah."Naima, bagaimana?" tanya Frans, seketika Naima sadar dari lamunannya. Wanita berjilbab itu mendongak, menatap wajah lelaki yang d

  • Tiga Puluh Hari Sebelum Bercerai   Lamaran

    Arin memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan yang Naima daratkan. Ia pikir Naima adalah wanita lemah yang hanya bisa menangis, tapi ternyata dugaan Arin salah. Ingin rasanya Arin memberikan pelajaran kepada orang yang sudah berani berbuat kasar padanya. Namun deru mesin mobil membuat dua wanita itu menoleh."Itu kan mobilnya mas Arga, itu artinya mas Arga baru ke sini atau .... " Arin membatin. Matanya terus menatap mobil milik mantan suaminya yang kini berhenti di pelataran rumah.Setelah mobil berhenti, Arga beranjak turun dan melangkah menuju teras. Lelaki berkemeja putih itu terdiam ketika melihat Arin berada di rumah Naima. Untuk apa wanita itu mendatangi mantan istrinya itu, Arga terus melangkahkan kakinya hingga kini ia berdiri di hadapan Arin dan juga Naima."Assalamu'alaikum." Arga mengucap salam."Wa'alaikumsalam." Hanya Naima yang menjawab salam dari Arga, sedangkan Arin, wanita itu hanya diam."Arin, untuk apa kamu datang ke sini?" tanya Arga. Ada rasa curiga k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status