"Naima, apa tidak ada syarat yang lain?" tanya Arga. Rasanya syarat yang Naima ajukan cukup berat.Naima menggeleng. "Tidak ada, mas. Kalau Arin tidak setuju ya sudah, aku tidak memaksa kok."Arga mengusap wajahnya dengan gusar, syarat yang begitu sulit. Dan tidak mungkin Arin akan menyetujuinya, Arga paham betul sikap calon istrinya itu. Lelaki yang masih memakai kemeja berwarna putih itu menatap istrinya, berharap Naima mau mengerti, tapi rasanya tidak mungkin."Ya sudah, besok mas bicarakan sama Arin." Arga pasrah, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi, lalu membersihkan diri. Ketika hendak menyalakan shower, tiba-tiba Arga kembali menemukan gumpalan rambut. Jumlahnya memang tidak sebanyak seperti sebelumnya, tetapi hal tersebut tetap saja membuat Arga merasa penasaran dan curiga. Setelah itu Arga memutuskan untuk segera membersihkan diri, ia harus menanyakan langsung kepada Naima.Usai mandi Arga bergegas keluar, terlihat jika pakaian ganti sudah berada di atas ranjang
"Arin, kamu benar-benar keterlaluan. Aku tidak suka kamu memperlakukan Naima seperti itu. Seharusnya kamu berterima kasih karena Naima sudah memberi ijin untuk kita menikah, tapi seperti ini balasan kamu," geramnya. Arga tidak habis pikir kalau Arin bisa setega itu, ia benar-benar tidak rela jika Naima dijadikan pelayan di hari pernikahan keduanya nanti."Baik, aku bersedia." Naima menjawab dengan mantap, hal tersebut membuat Arin serta Rianty tersenyum bahagia. Tapi tidak dengan Arga, lelaki itu menggeleng tak percaya mendengar jawaban dari istrinya."Naima, kamu tidak perlu melakukan itu. Mas tidak rela kamu menjadi pelayan," ujar Arga. Lelaki itu melangkah mendekati istrinya, ia tahu jika Naima terpaksa menerima syarat yang Arin ajukan."Arga sudahlah, Naima aja setuju. Tapi kenapa kamu seperti itu, lagian dia pantas kok jadi pelayan, asalnya aja anak pelayan. Cuma lagi beruntung aja nikah sama kamu," ucap Arin. Jujur ia kesal melihat Arga yang begitu perhatian kepada Naima."Arin,
"Mana ada kegadisan bisa dikembalikan, ternyata selain kampungan, pikiranmu juga ngawur," ucap Rianty. Berusaha menahan emosinya, padahal ucapan yang Naima lontarkan mampu membuat darahnya mendidih."Mama bilang aku ngawur, padahal yang mama lakukan juga ngawur," sahut Naima. Rianty menyunggingkan senyumnya. "Saya tidak ngawur, itu adalah tradisi di keluarga saya. Siapa saja yang telah bercerai, maka harus mengembalikan apapun yang sudah diberikan. Terlebih dia seorang istri, jadi kamu harus melakukannya.""Tradisi itu sudah lama tidak digunakan, mama sengaja mau membuat .... ""Siapa bilang tradisi itu tidak digunakan lagi, nyatanya sampai sekarang tradisi itu masih berlaku." Rianty memotong ucapan Naima. Sejenak wanita berhijab itu terdiam, ia harus bisa memutar otak untuk melawan ibu mertuanya."Oh, tapi yang mas Arga katakan. Katanya tradisi itu sudah tidak berlaku lagi," ucap Naima. Ia dapat melihat jika sang ibu mertua tengah menahan amarahnya."Kamu jangan percaya dengan Arga,
Malam sudah larut, tepatnya pukul sebelas Arga baru saja sampai di rumah. Lelaki itu baru saja selesai mengurus apa saja yang dibutuhkan saat menikah nanti. Mulai dari tempat, dekor, catering dan masih banyak lagi, Arin ingin acara pernikahan yang mewah. Bahkan wanita itu sendiri yang memilih hotel tempat acara itu berlangsung.Arga hanya bisa menurut tanpa berkomentar apapun, terlebih ibunya juga ikut turun tangan. Keinginan seorang perempuan jika tidak terpenuhi, nantinya hanya membuat masalah. Itu sebabnya Arga memilih untuk mengalah dan menurut, meski begitu pikirannya benar-benar tidak tenang. Ia masih belum rela jika nantinya harus kehilangan Naima."Huft, hari yang sangat melelahkan." Arga memegangi tengkuknya yang terasa begitu pegal. Lelaki itu baru saja sampai di rumah, melihat keadaan rumah yang sudah sepi. Arga buru-buru masuk ke dalam kamarnya.Terlihat jika Naima sudah tertidur, tentu saja istrinya sudah tidur karena hari sudah larut. Padahal ada sesuatu yang ingin Arga
"Buruan turun, mas. Nanti sarapannya keburu dingin, Alifah juga udah nungguin," ucap Naima, sontak Arga mendongak. Setelah itu ia bangkit dan melangkah mengikuti istrinya yang sudah keluar dari kamar terlebih dahulu.Setibanya di bawah, terlihat Naima dan Alifah sudah menunggu. Jujur perdebatan tadi masih saja menguasai hati dan pikirannya. Arga melangkah menuju meja makan di mana istri dan anaknya sudah menunggu. Lelaki itu menarik kursi untuk duduk, dengan cepat Naima mengambil piring yang ada di hadapan suaminya, lalu diisi dengan nasi goreng."Naima kamu kenapa?" tanya Arga ketika melihat istrinya tengah memegangi kepalanya. Wajahnya terlihat pucat, tetapi jika ditanya Naima selalu menjawab jika dirinya baik-baik saja."Enggak apa-apa kok, mas. Ya sudah aku siapin bekal dulu untuk kalian." Naima bangkit dan beranjak meninggalkan meja makan, Arga terus menatap punggung istrinya yang kini sudah menghilang dari balik dinding.Sepuluh menit kemudian Naima kembali dengan membawa dua ko
"Arga kamu pasti akan menyesal setelah mengetahui semuanya." Frans berjalan menghampiri Naima."Naima kamu baik-baik saja kan?" tanya Frans dengan raut wajah khawatir, terlebih ketika melihat wajah Naima yang sudah pucat."Aku baik-baik saja." Naima menghembuskan napasnya secara perlahan, ucapan yang Arga lontarkan masih saja terngiang di telinga, membuat rasa sakit di kepala semakin menjadi."Naima lebih baik kamu istirahat dulu," saran Frans, ia khawatir jika kondisi Naima kembali drop. Terlebih mengingat pertengkaran tadi dengan Arga."Aku baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir," pungkasnya. Naima berusaha tegar meskipun hatinya sudah hancur. Ia tidak ingin terlihat lemah di mata orang lain."Kalau begitu aku anterin pulang ya." Frans kembali bersuara."Tidak usah, soalnya aku tidak langsung pulang," tolaknya. Naima ingin menenangkan diri terlebih dahulu, setelah itu ia baru akan pulang ke rumah."Ya sudah, tapi ingat jangan lakukan hal yang membahayakan dirimu," pesan Frans. Ta
"Bunda jangan pergi." Alifah terus berteriak memanggil ibunya. Bahkan Arga sampai kewalahan untuk menenangkan putrinya itu."Alifah sudah, bunda sudah pergi," ucap Arga berusaha sabar. Walaupun ia sendiri bingung harus bagaimana, karena selama ini Arga tidak pernah tahu cara mengurus seorang anak."Papa jahat, papa udah biarin bunda pergi. Alifah nggak mau sama papa, Alifah maunya sama bunda." Alifah menggigit tangan ayahnya, seketika Arga melepaskan tangannya. Setelah itu Alifah berlari ke luar berharap ibunya belum pergi."Bunda, bunda Alifah mau ikut sama bunda!" teriak Alifah di teras depan, gegas Arga menyusulnya khawatir jika putrinya sampai kabur.Arga berdiri di ambang pintu, melihat putrinya yang terus menangisi kepergian ibunya. Sejenak Arga berpikir, apakah Alifah akan bahagia hidup tanpa ibunya. Arga tidak bisa membayangkan jika putrinya terus menangis dan mencari Naima, apa yang harus ia lakukan. Sejujurnya tak ada niat untuk memisahkan mereka berdua."Alifah sayang, suda
Arga masih diam, otaknya seakan berhenti untuk bekerja bahkan tenggorokannya terasa tercekat. Ia benar-benar tidak menyangka jika fakta menyakitkan ini terjadi pada hidup Naima. Arga pikir Naima hanya sakit biasa, tapi justru lebih dari yang ia kira. Bahkan Naima sudah berkorban demi Alifah, putrinya yang sempat Arga tolak kehadirannya dulu."Apa kamu menyesal setelah mengetahui semua ini, tapi penyesalanmu sudah tidak ada gunanya lagi, Arga. Terlalu dalam dan lama kamu menyakiti hati dan perasaan Naima, orang yang sudah mengabdikan diri selama hampir tujuh tahun. Tapi apa yang dia dapat, hanya rasa sakit," ucap Frans. Mendengar itu Arga hanya diam, karena apa yang sepupunya itu katakan memang benar."Apa Naima masih bisa sembuh?" tanya Arga, setelah cukup lama terdiam. "Kami para dokter tidak bisa menjamin, karena kanker yang Naima derita sudah stadium akhir. Kemoterapi yang Naima lakukan, hanya bisa untuk mencegah agar sel kanker tidak menyebar. Bahkan dokter Ali menyatakan jika Na