Share

Sebuah Syarat

"Tidak mungkin, tradisi ini sudah lama tidak digunakan." Arga menggeleng. Ia masih belum percaya jika tradisi tersebut masih berlaku di keluarganya.

"Tapi kenyataannya tradisi ini masih berlaku," ucap Naima. Sejenak Arga diam, lalu memandang wajah istrinya.

"Dan kamu akan melakukan tradisi konyol ini, mengembalikan apa yang sudah aku berikan untukmu?" tanya Arga. Jika dipikir, rasanya mustahil untuk mengembalikan apa yang pernah Arga berikan. Karena selama ini lelaki itu selalu memenuhi kebutuhan istri serta anaknya, meski kurang perhatian. Tapi Arga tidak pernah melupakan kewajibannya sebagai seorang suami dan ayah.

"Iya, mas. Mulai dari biaya operasi caecar, operasi angkat rahim, lalu uang nafkah yang pernah kamu berikan." Naima menjelaskannya. Mendengar itu justru Arga tertawa, Naima tidak akan mungkin bisa mengembalikan semua itu, karena jumlahnya tak terhitung.

"Kenapa kamu ketawa, mas." Naima mengerutkan keningnya. Seketika Arga menghentikan tawanya, lalu memandang wajah istrinya.

"Kamu tidak akan bisa mengembalikan semua itu Naima. Kamu tahu kan biaya operasi itu mahal, apa lagi uang nafkah yang aku berikan. Kamu tidak akan pernah bisa mengembalikannya, tidak akan pernah," ujar Arga. Berharap agar Naima mau mengurungkan niatnya untuk menuruti tradisi konyol itu.

"Tidak ada yang tidak mungkin, mas. Kita lihat saja nanti, oya sarapannya sudah siap." Setelah mengatakan itu Naima berlalu dari hadapan suaminya. Melihat itu Arga menghela napas, tidak ada maksud untuk menghina atau merendahkan Naima. Ia hanya ingin jika sang istri tidak mengikuti tradisi konyol keluarganya itu.

Setelah itu Arga memutuskan untuk turun ke bawah, terlihat jika istri dan putrinya sudah menunggu di meja makan. Arga melangkah mendekati mereka, melihat suaminya datang. Dengan sigap Naima melayaninya, Arga pikir istrinya marah gara-gara kejadian tadi. Tapi nyatanya sang istri masih bisa bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, bahkan tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Mas nanti tolong anterin Alifah ke sekolah ya, aku lagi nggak enak badan. Kamu bisa kan, mas." Permintaan Naima membuat Arga mendongak lalu menatap istrinya.

"Kamu sakit? Mas lihat wajahmu sedikit pucat, apa sebaiknya kita ke dokter saja," ujar Arga. Ada rasa khawatir jika sang istri tiba-tiba jatuh sakit. Terlebih wajahnya memang terlihat pucat.

"Aku enggak apa-apa kok, mas. Nanti minum obat sama istirahat juga udah cukup," tolaknya. Bukannya tidak mau ke dokter, tapi Naima rasa itu tidak perlu. Ia hanya butuh istirahat saja di rumah.

"Ya sudah, nanti Alifah biar mas yang anterin," ujar Arga mengalah. Mungkin memang benar jika istrinya hanya butuh istirahat saja.

***

Seminggu telah berlalu, malam ini tepatnya pukul sepuluh Arga baru saja pulang. Memang akhir-akhir ini ia sangat sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Bukan itu saja, Arga juga sibuk mengurus pernikahannya dengan Arin. Wanita itu ingin dipercepat, padahal perjanjiannya setelah Arga dengan Naima resmi bercerai.

Hal tersebut benar-benar membuat Arga merasa frustasi. Jujur, tak ada niat untuk menceraikan Naima, tapi keadaan yang memaksa. Sedangkan Arin sendiri tidak ingin ada istri lain selain dirinya, memang pilihan yang begitu sulit. Karena bagaimanapun juga Naima sudah menemani dirinya hampir tujuh tahun lamanya.

Setibanya di rumah, Arga bergegas menuju ke kamar, berharap sang istri belum tidur, karena ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Kini Arga sudah sampai di kamar, terlihat jika Naima baru saja keluar dari kamar mandi, melihat itu gegas Arga mendekatinya dan memintanya untuk duduk terlebih dahulu.

"Memangnya ada apa, mas?" tanya Naima.

"Ada yang ingin mas bicarakan sama kamu." Arga menjatuhkan bobotnya di hadapan sang istri. Jujur Arga bingung harus memulainya dari mana, di tatapnya wajah sang istri lalu menghembuskan napasnya.

"Ada apa, mas. Kok diem aja." Suara Naima, mampu membuat Arga tersadar dari lamunannya.

"Iya, ini masalah pernikahan mas dengan Arin." Arga kembali menatap mata indah istrinya.

"Memangnya kenapa, mas?" tanya Naima.

"Arin minta pernikahan kami dipercepat," jawab Arga. Seketika Naima terdiam mendengar hal tersebut, padahal perjanjiannya tidak seperti itu.

"Naima, bagaimana." Arga memberanikan diri untuk menatap wajah ayu istrinya.

"Bukannya perjanjiannya setelah kita resmi bercerai, mas. Kenapa Arin ingin dipercepat," ujar Naima. Bukankah Arin sendiri yang mengatakan, akan menikah setelah Arga dan Naima resmi bercerai. Tapi kenapa Arin sendiri yang ingkar dan meminta pernikahannya dipercepat.

"Iya, katanya sudah tidak sabar. Bagaimana, apa waktu tiga puluh hari yang kamu inginkan masih tetap berlaku," sahut Arga. Jujur, ia sendiri bingung harus bagaimana.

"Tetap berlaku lah, mas. Tapi kalau Arin ingin dipercepat pernikahan kalian. Aku punya satu permintaan," ucap Naima. Seketika Arga mendongak dan menatap mata istrinya.

"Apa yang kamu minta?" tanya Arga.

"Setelah menikah nanti, kalian tidak boleh hidup satu atap, dan tidak boleh melakukan malam pertama. Sebelum kita resmi bercerai, bagaimana." Jawaban yang Naima lontarkan mampu membuat Arga bungkam. Rasanya mustahil, bukankah karena sudah tidak sabar ingin hidup bersama, itu sebabnya Arin meminta agar pernikahannya dipercepat.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
perempuan GATEL udah pengen di garuk ya Arin noh ambil bonggol jagung di bakar dikit baru gerus tuh LOBANGMU
goodnovel comment avatar
Arey Areyy
Good story
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status